Sayangi Dirimu dan Cintai Hidupmu, itulah Opsi Alternatif yang dapat Kita Pilih, Ambil, dan Tempuh

SENI PIKIR & TULIS

Daripada Menyesali Kegelapan dan Rasa Tidak Berdaya, Hidupkan saja Pelita yang Menerangi Hidup Kita

Ketika Orang-Orang Jahat Tidak Terhentikan dan Terus saja Menyakiti ataupun Merugikan (Menjahati) Diri Kita, seperti Apapun Kita Berupaya Menolak Disakiti dan Menjaga Diri, Setidaknya Kita Tidak Perlu ikut-Ikutan (secara Latah) Turut Menyakiti Diri Kita Sendiri

Orang Jahat adalah Orang Jahat, Sebanyak Apapun Kita Menyatakan Menolak untuk Disakiti ataupun Dirugikan. Setidaknya, Kita Tidak menjadi Salah Satu Orang Jahat demikian terhadap Orang Lain maupun terhadap Diri Kita Sendiri

Ketika menghadapi kejahatan orang-orang jahat yang kerap menyalah-gunakan kekuatan fisik, kekuatan uang, kekuatan politik, kekuatan kekuasaan, kekuatan kedudukan, maupun penyalah-gunaan sumber daya lainnya, kita cenderung jatuh dalam kondisi tertekan, tanpa daya, putus asa, khawatir, cemas, tidak berdaya, depresi, murung, bersedih, cemas, marah pada para pelakunya yang jahat, serta marah kepada diri kita sendiri yang tidak berdaya menghadapi keadaan, benci pada kondisi diri yang tidak berdaya, kecewa pada hidup yang mengecewakan, yang mana bila kita melakukan aksi pembalasan maka dapat dipastikan kita akan kembali terjatuh kalah dan menderita luka fisik disamping luka batin semata karena lebih lemah dari segi ekonomi, fisik, jumlah orang, maupun kekuasaan, dsb.

Jangankan orang lain, aparatur penegak hukum maupun anggota keluarga yang semestinya melindungi dan menjaga diri kita, justru tidak jarang menjadi aktor pelaku kejahatan yang menyerupai “musuh dalam selimut”, dimana kita berikan kebaikan hati dan pengorbanan diri, namun dibalas dengan kejahatan. Bila orang-orang terdekat kita yang memiliki pertalian darah justru menjahati dan menyakiti diri kita, melukai hati dan perasaan kita, merugikan fisik dan mental kita, maka kesimpulannya ialah : terlebih-lebih orang-orang di luar sana yang penuh oleh keserakahan, keburukan moralitas, kekotoran batin yang demikian tebal, arogansi serta kesombongan atas kekuatan atas kekuasaan yang dimiliki olehnya, dan berbagai niat buruk lainnya yang menyerupai “serigala bagi sesamanya”. Semakin kita lama hidup di Indonesia, kian kita mendapati realita berupa fenomena “bila tidak memakan, maka akan dimakan”.

Mendapati kondisi hidup dan kehidupan yang tidak pernah berjalan secara ideal sebagaimana dalam kisah-kisah dongeng dimana orang-orang baik selalu akan menang dan hidup bahagia pada akhirnya, realitanya dalam kehidupan yang lebih konkret memperlihatkan wajah dunia dimana orang-orang jahat justru lebih beruntung seolah-olah “Tuhan adalah buta karena memberi peruntungan dan kekuatan serta kekuasaan dan uang kepada orang-orang jahat”, dimana orang lemah yang menjadi korban kian termarjinalisasi dan tersisihkan tanpa keadilan, maka getir dan pahitnya kehidupan ini yang dipenuhi oleh berbagai tingkah-polah kejahatan, keserakahan, dan kebusukan perilaku maupun bobroknya moralitas umat manusia, akan membuat kita pastilah cenderung jatuh dalam kondisi tertekan, putus asa, depresi, hingga bahkan mulai menyakiti diri sendiri akibat kebencian terhadap ketidak-adilan hidup dan betapa “buta”-nya Tuhan yang justru seakan lebih memihak kepada orang-orang jahat. Bila tiada jaminan maupun kepastian akan adanya keadilan di dunia manusia, maka atas dasar delusi ataupun spekulasi apakah, seolah-olah baru akan kita peroleh keadilan di alam baka setelah ajal menjelang?

Ketika kita sudah berusaha dan berupaya semaksimal mungkin menghadapi banyaknya “penzoliman” oleh banyak orang “zolim” di luar sana, ataupun bahkan di dalam lingkungan kediaman keluarga tempat kita bernaung dan bertempat tinggal, namun perlawanan kita hasilnya nihil atau bahkan kita kian terluka dan menderita sakit, cerminan betapa jahat watak dan kebiasaan sang pelaku kejahatan yang tidak malu dan tidak takut berbuat jahat, maka yang setelah itu terjadi ialah kita akan cenderung tergoda untuk menyakiti diri kita sendiri akibat rasa benci dan kecewa kita terhadap hidup dan kehidupan yang kita jalani ini. Betapa “langit” adalah buta, serta betapa Hukum Karma tampaknya tidak benar-benar eksis adanya, mengingat sang penjahat justru tampak beruntung dan kian beruntung setelah berbagai kejahatan yang dilakukan olehnya—seolah-olah kebal dari Hukum Negara maupun imun dari Hukum Karma.

Berikut inilah saran terdalam pribadi penulis bagi para pembaca yang mungkin mengalami pengalaman serupa. Ketika kita merasa letih terhadap ketidak-adilan dunia, dan muak terhadap kejahatan para manusia yang bersikap jahat pada kita, ataupun menjadi seburuk seperti apapun wajah umat manusia di luar sana, tetaplah bersikap baik dan lembut terhadap diri kita ini, serta tetaplah sayangi diri kita dengan menjadi teman terbaik bagi diri kita sendiri.

Jika kita justru menjahati diri kita, maka yang menderita dan merugi ialah diri kita sendiri, sementara itu orang-orang yang selama ini menjahati diri kita akan merasa gembira dan menikmatinya ketika mengetahui kondisi kita yang menjadi terpuruk seorang diri—ingatlah, orang-orang jahat justru menikmati kejahatannya serta menikmati korbannya menderita luka dan derita, alih-alih merasa bersalah ataupun menyesali perbuatannya. Apapun situasinya, kita tetap hanya perlu belajar cara untuk bersikap baik dan penuh pengertian terhadap diri kita sendiri.

Menghadapi orang-orang jahat yang kuat dan memiliki sumber daya kekuasaan, uang, kedudukan, dsb, dimana kita hanya memiliki kekuatan otak sebagai satu-satunya andalan, yang tetap saja akan terbatas daya lawan kita, maka cukuplah kita ingat pesan berikut : Tidak perlu pembalasan dengan tangan kita sendiri, cepat atau lambat perbuatan pelakunya akan berbuah menjadi bumerang bagi pelakunya itu sendiri dalam beragam bentuk dan beragam cara, serta lewat tangan-tangan milik alam maupun tangan-tangan milik orang lain. Tugas kita ialah, cukup memahami dan mengerti diri kita sendiri (penuh pengertian terhadap diri kita sendiri), berbelas kasih terhadap diri kita sendiri, menyayangi diri kita sendiri, serta bersikap baik dan lembut terhadap diri kita sendiri.

Perasaan “hopeless” dan fakta realita yang pahit tanpa dapat kita kendalikan maupun tolak terjadinya, memang membuat wajah dunia manusia jauh dari kata “humanis”. Tidak jarang sebagian orang memilih untuk lari dari kenyataan dengan mencoba memungkirinya lewat melakukan destruksi diri seperti tenggelam dalam minum minuman keras yang kian membuat depresi ataupun konsumsi barang madat pembius lainnya yang menjerumuskan ke dalam masalah baru berupa candu dan kecanduan, yang mana tidak sehat bagi hidup dan pikiran kita sendiri—sama artinya turut menyakiti diri kita sendiri, yang artinya pula turut menambah parah derita luka fisik dan batin yang telah kita alami.

Ketika kita salah melangkah dan keliru dalam membuat pilihan hidup, kita akan mendapati diri kita bukan hanya telah ternyata disakiti dan dilukai oleh orang lain, namun juga diri kita telah pula dijahati oleh diri kita sendiri yang bahkan sedikit banyak merusak dan melukai diri kita sendiri. Jadilah menyerupai “lingkaran setan” tidak berkesudahan, dimana diri kita pun gilirannya bukan hanya membenci orang-orang jahat tersebut, membenci hidup dan dunia ini, namun juga membenci diri kita sendiri disamping menyia-nyiakan hidup yang ada di depan mata yang saat kini sedang kita jalani dan hadapi. Lebih baik semua orang tidak humanis terhadap diri kita, ketimbang kita gagal untuk bersikap humanis terhadap diri kita sendiri.

Sampai pada akhirnya penulis seorang diri merasa letih secara fisik dan mental, terluka parah berdarah-darah, putus asa, air mata mengering dan mengerak, marah pada diri sendiri dan sama besarnya dengan kemarahan pada kehidupan ini, benci terhadap umat manusia. Bagaikan seekor singa yang terluka, tanpa daya, seorang diri. Namun, berbagai pengalaman buruk ini membuat penulis belajar darinya, bahwa penulis sudah saatnya perlu bergerak malampaui segala derita dan ketidak-adilan dunia ini, yakni sebagaimana bunyi kata pepatah yang kini terdengar sangat indah di telinga dan di pkiran penulis, “daripada menyalahkan kegelapan, lebih baik kita menghidupkan pelita”.

Sebagaimana pun kita menyakiti diri sebagai respons-nya, sebanyak apapun kita menyalahkan “kegelapan” (orang-orang jahat dan kejahatan yang mereka lakukan terhadap diri kita), sebanyak apapun kita mengutuk ketidak-adilan hidup, sedalam apapun kita menyesali keadaan, realita tidak berubah. Yang bisa kita ubah dan kendalikan, ternyata hanyalah diri kita sendiri. Ketika kita membentur sebuah tembok yang keras, memukul tembok tersebut dengan tangan kita hanya akan membuat tangan kita bertambah sakit dan kekesalan bertambah akut. Salurkan dan ekspresikan dengan cara-cara yang sehat dan positif yang membawa faedah bagi kehidupan produktif serta perkembangan jiwa kita.

Kini, penulis membuat pendekatan baru, yakni pendekatan yang lebih positif dan lebih sehat terhadap hidup dan kondisi jiwa serta pikiran diri pribadi penulis, yakni dengan melakukan terapi mental berupa “self talk” berisi nada-nada positif membangun, sebagai berikut : “Semoga saya bisa kuat dan tegar. Semoga saya bisa kuat dan tegar. Semoga saya bisa kuat, cerdas, berdaya, dan tegar, ...”, maupun kata-kata positif menguatkan lainnya yang dinilai lebih cocok bagi kita masing-masin, yang dapat kita repetisi di dalam hati dikala perasaan negatif yang destruktif dan ucapkan secara verbal ataupun cukup di dalam hati.

Tetaplah sayangi dan hargai diri serta hidup kita sendiri, dengan begitulah hidup kita dan hidup ini menjadi berharga serta memiliki nilai untuk diperjuangkan. Kita tidak perlu berfokus pada banyaknya “manusia sampah” yang berserakan di dunia luar kita ini, kita cukup berfokus pada permata yang bersemayam di dalam diri kita sendiri ini untuk dipoles agar berkilauan, ke dalam diri kita sendiri. Kita tidak perlu membakar dunia ini hanya karena banyaknya orang-orang jahat berkeliaran di dunia ini, karena dunia ini masih menyisakan ragam-ragam keindahan diluar orang-orang jahat tersebut—ibarat pepatah, “Kita tidak perlu membakar lumbung padi hanya karena ingin menyingkirkan tikus yang bersembunyi di dalam lumbung padi tersebut”.

Kita hanya bisa melakukan satu hal pada satu momen waktu. Jika kita menghabiskan waktu kita dan menyibukkan diri kita untuk membenci dan mendendam, maka kita tidak akan lagi memiliki waktu untuk diri kita sendiri, kita akan cenderung mengabaikan kebaikan hidup dan kepentingan kehidupan diri kita sendiri. Lebih baik dan lebih cerdas bila kita memilih untuk mengerahkan segala daya yang kita miliki untuk mencintai dan menyayangi hidup kita, secara baik, lembut, serta niat baik. Tidaklah penting apakah para pelaku kejahatan tersebut mengakui ataupun memungkiri telah merugikan diri kita, karena diri kita yang merasakannya secara langsung sebagai korban tanpa siapapun berhak menghakimi perasaan yang kita rasakan secara personal, dimana pelakunya tetap telah menanam Karma Buruk, dimana cepat ataupun lambat akan berbuah Karma Buruk serupa kepada sang pelakunya.

Tidaklah penting apakah para pelaku kejahatan tersebut menyesali ataupun bahkan merasa bangga dan kian melukai diri dan perasaan kita, tanpa rasa penyesalan sedikit pun, dan kian hari kian “besar kepala” atau “menjadi-jadi”, kita cukup menyadari bahwa setiap orang adalah pewaris dari perbuatannya sendiri dan terlahir dari perbuatannya sendiri, perbuatan baik ataupun yang buruk, yang besar maupun yang kecil. Si dungu meremehkan perbuatan-perbuatan jahat mereka dan menyepelekan perasaan derita yang dialami oleh korbannya.

Tidaklah terlampau relevan apakah para pelaku kejahatan tersebut hanya sesekali atau bahkan seringkali (cerminan tidak menyesali perbuatannya) menyakiti diri dan perasaan kita, kita cukup menjawab pertanyaan berikut ini : Penjahat manakah yang paling naas, penjahat yang selalu berhasil melakukan kejahatannya dengan melukai, menyakiti, ataupun merugikan orang lain, ataukah penjahat yang selalu gagal melancarkan niat jahatnya?

Menghadapi orang-orang dengan niat jahat, terlebih sebagaimana penuturan Lord Acton, “Power tends to corrupt. Absolute power, corrupts absolutely!”, memang menyerupai “dealing with a crocodile”, terlebih bila keserakahan mereka tidak lagi terbendung akibat terbiasa tidak memiliki kontrol diri, menjelma tidak segan dan tidak takut menyakiti, merugikan, ataupun melukai korban-korbannya, diwarnai pula sikap-sikap seperti “mau menang sendiri”, egois, serakah, tidak takut dosa, dan tidak bermoral (tidak malu berbuat jahat). Karenanya, keselamatan diri kita adalah yang nomor kesatu sebagai skala prioritas terpuncak, karena jelas-jelas mereka tidak akan bersedia bertanggung-jawab selain sekadar umbar kata.

Kita bisa tetap melanjutkan hidup, tanpa terobsesi tidak disakiti pihak manapun, tanpa membalas dendam ataupun tanpa melakukan perlawanan sengit berdarah-darah ketika disakiti, dirugikan, maupun dilukai. Itulah, yang disebut dengan “positive thinking”, hidupkan pelitanya daripada menyesali keadaan yang pahit. Kita sudah berusaha yang terbaik dan memikirkan cara terbaik yang kita mampu, selebihnya biarkan Hukum Karma yang berbicara dan mengabil-alih tugas pembalasan perbuatan jahat pelakunya. Tugas kita ialah untuk tetap melanjutkan hidup, sembari dengan lembut dan penuh cinta kasih berkata kepada diri kita sendiri, “Semoga saya tegar dan kuat. Semoga saya lebih berdaya dan lebih cerdas lagi sehingga dapat menemukan solusi jalan keluarnya. Semoga saya tegar dan kuat.

Diantara kesemua itu, yang paling menyakitkan ialah kebaikan budi baik dibalas dengan air tuba dan kejahatan, ataupun ketika dijadikan korban namun untuk menjerit kesakitan pun dilarang (disebut dan dikomentari sebagai “tidak sopan!”, seolah-olah korban adalah sebongkah mayat yang hanya bisa membujur kaku tanpa suara dan tanpa mampu merasakan sakit, dan seolah-olah perilaku sang pelaku kejahatan adalah sudah sopan dengan menyakiti dan menjahati orang lain), terlebih mereka yang semestinya berkewajiban melindungi kita justru melukai dan menyakiti diri kita.

Apapun itu, terobsesi untuk membalas perbuatan jahat orang-orang yang telah pernah menyakiti, melukai, maupun merugikan diri kita, akan membuat hidup kita habis untuk obsesi yang tiada habisnya demikian karena di luar sana banyak sekali terdapat orang-orang jahat yang tidak dapat kita hindari dan antisipasi selamanya (bahkan tidak jarang satu rumah dengan kita), yang kerap berbuat jahat dan bersikap tidak patut terhadap kita. Kita memang berhak untuk mendapatkan keadilan, namun jangan sampai kita melepaskan kesempatan untuk hidup secara bahagia dengan cara lebih berfokus pada kebaikan-kebaikan serta berbagai hal positif dalam hidup kita.

Obsesi dan ambisi untuk membalas derita dengan derita, kerugian dengan kerugian, rasa sakit dengan rasa sakit, luka dengan luka, ketidak-adilan dengan ketidak-adilan, hanya akan membuat kita bahkan tidak lagi memiliki sisa waktu untuk memperhatikan, merawat, dan bersikap baik terhadap diri kita sendiri, semata karena orang-orang jahat akan terus silih-berganti muncul dalam kehidupan kita secara tidak diundang dan tanpa pernah siapapun harapkan yang akan menguras habis energi dan perhatian kita yang akan letih seorang diri pada muaranya.

Kita selalu memiliki opsi lain yang lebih produktif dan lebih sehat bagi perkembangan mental diri kita, yakni gunakan sumber daya waktu yang ada untuk tetap berfokus pada menyayangi diri kita dan cintai kehidupan kita. Kita hanya perlu mengingat, bahwa kita selalu memiliki opsi demikian untuk dipilih, diambil, dan ditempuh : Sayangi dirimu dan cintai hidupmu. Selebihnya, biarkan pembalasan terhadap kejahatan yang kita derita, diambil-alih sepenuhnya oleh Hukum Karma, yang akan bekerja secara senyap ketika waktunya berbuah telah matang kepada pelakunya. Kita cukup berfokus menggunakan waktu dan sumber daya yang kita miliki untuk membangun dan menciptakan hidup yang lebih bahagia.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.