Makna Paradigma BE REALISTIC dalam Berupaya dan Berusaha

SENI PIKIR & TULIS

Realistis artinya Tidak Melekat pada Optimisme, Pesimisme, juga tidak Membuta pada Pikiran Positif, maupun Pikiran Negatif, namun Situasional dan Kondisional

Bersikap realistis dan sikap realistik artinya tahu kapan harus bersikap optimis, dan kapan harus bersikap pesimistis; serta tahu kapan harus berpikiran positif (positive thinking) dan tahu kapan harus berpikiran negatif (negative thinking). Dasar dibalik paradigma realistik, ialah rasio sebagai basis pendekatan terhadap setiap peristiwa konkret yang sangat kasuistik. Tidak ada kalangan pengusaha, atlet, maupun pimpinan organisasi ataupun bahkan seorang pekerja, yang bersikap optimistis dan berpikiran positif sepanjang waktunya, karena sikap membuta semacam itu artinya kurang arif disamping tidak bijaksana—kecuali di mata seorang “pemimpi”.

Sebagai contoh, seorang produsen “consumer goods”, secara begitu saja memproduksi produk-produk konsumsi, tanpa didahului riset tren pasar, tanpa melihat kebutuhan pasar, tidak mencermati pangsa pasar, tidak pula membuka mata lebar-lebar dari eksistensi kompetitor yang bisa jadi sudah terlebih dahulu membanjiri pasar, branding yang sekadarnya, upaya marketing dan promosi yang separuh hati, lantas berharap dapat mencetak sukses memasarkan produknya secara gemilang, semata mengandalkan peruntungan (baca : berspekulasi), dengan mengatas-namakan “optimis” serta ber-“positive thinking”? Itu adalah delusi, harapan yang tidak realistis karena tidak memiliki basis rasio sebagai pegangan utamanya.

Sehingga, variabel terikatnya bukanlah apakah kita harus optimis ataukah pesimis, bukan pula berpikiran positif ataukah berpikiran negatif, namun keadaan konkret real di lapangan yang menjadi variabel terikatnya, barulah atas dasar itu dapat kita tentukan apa yang menjadi variabel bebasnya, yakni bersikap optimis, pesimis, berpikiran positif, ataukah sebaliknya berpikiran negatif sebagai opsi-opsi yang dapat kita pilih. Para pengusaha yang bergerak dibidang produksi dan pemasaran, setelah pemetaan kondisi pasar, biasanya melakukan strategi yang disebut sebagai “pengkondisian”, dalam rangka untuk mewujudkan optimalisasi potensi dengan mengeliminir faktor-faktor penyulit yang menyukarkan mereka memprediksi hasil dari suatu upaya ataupun usaha.

Suatu metode “pengkondisian”, artinya tidak mengandalkan kondisi yang ada secara apa adanya “dari sananya”, namun menyerupai sebuah upaya rekayasa pasar (market engineering), seperti menerapkan langkah-langkah terkondisi serta terukur lewat branding, asosiasi produk terhadap suatu pencitraan tertentu (biasanya lewat iklan atau pariwara dalam ruang dan luar ruang), sensitifitas harga, penentuan segmen pasar (apakah kelas ekonomi ataukah kelas premium), ceruk pasar yang belum banyak dimasuki oleh kompetitor produk serupa, promosi yang gencar, membentuk tren pasar atau membaca dan mengikuti perubahan tren yang ada, menerapkan sebentuk “ciri khas” yang menjadi faktor pembeda dari produk sejenis lainnya, keunggulan tertentu yang menjadikan produk yang diproduksi dan mereka pasarkan sebagai “unik” dan lain daripada yang lain, ataupun strategi-strategi pemasaran seperti marketing gimmick bernada “limited edition”, menumbuhkan loyalitas konsumen, dsb—tanpa melepaskan diri dari rambu-rambu etika bisnis dengan tidak menghalalkan segala cara.

Dalam setiap upaya dan usaha, selalu terdapat setidaknya tiga proses berantai berikut : Pemikiran / perencanaan, proses (eksekusi), dan hasil. Bila belum apa-apa sudah menempatkan diri pada optimisme yang tidak rasional maupun sikap-sikap semacam “positive thinking”, yang bahkan belum melalui proses pemikiran dan perencanaan yang matang, belum pula merambah prosesnya yang membutuhkan persiapan yang panjang, maka itulah yang kita sebut sebagai optimisme dan pikiran positif yang “prematur”. Pengecualian, ialah ketika kita memiliki potensi yang memang “unik” sebagai bekal atau modal utama kita memasuki pasar.

Dengan “pengkondisian” yang memadai dan matang, dari segi perencanaan hingga persiapan dan eksekusinya, berbagai “unexpected error” dapat dipetakan dan dieliminir hingga menjadi seminimal mungkin potensi teradinya, sekalipun tidak dapat dimitigasi sepenuhnya. Para intelek dan pemimpin organisasi menyadari, apapun hasilnya, yang terpenting ialah proses yang telah dijalankan secara optimal, karenanya tetap perlu menikmati jalannya proses kegiatan, tanpa terobsesi pada hasil sebagai “output” usaha dan upaya ataupun kegiatan mereka. Itulah tepatnya, yang disebut dengan optimis serta berpikiran positif, yakni menggunakan basis pendekatan yang rasional. Adapun perihal apa yang kemudian akan menjadi hasilnya, kita semua perlu bersikap realistis, dengan mengakui apa yang saat kini sedang terjadi.

Gagal sebagai gagal, berhasil sebagai berhasil, dan kurang optimal sebagai kurang optimal. Untuk itu, dibutuhkan kembali sikap realitik berupa menyusun strategi dan pendekatan baru dalam berupaya dan berusaha selanjutnya, agar tidak mengulangi kekeliruan serupa dan jika sudah berhasil maka perlu belajar dari keberhasilan tanpa melekat kepadanya karena bisa jadi keadaan dan zaman sudah turut berubah seiring waktu.

Dengan sikap realistik pula, kita menjadi dapat beradabtasi dan bersikap terbuka dengan perkembangan zaman. Seperti evolusi handphone genggam yang menggantikan fungsi surat konvensional kantor pos, pemesanan transportasi berbasis “online” yang kini telah menggeser serta menggusur taksi konvensional yang sebelumnya eksis dan makmur, hingga tren saat kini berbagai toko “offline” yang terancam gulung-tikar bila tidak menerapkan strategi yang lebih revolusioner menghadapi berbagai toko “online”. Menghadapi secara rasional, atau tersisih dari perkembangan zaman dan kompetisi yang kian ketat dewasa ini, dimana strategi lama yang dahulu kala efektif bisa jadi sudah tidak relevan diterapkan pada masa yang lebih kekinian dan akan terus berubah, secara cepat maupun lambat, secara evolusiner maupun revolusioner.

Kita pun perlu bersikap rasional dalam melihat dan mendapati watak serta budaya suatu bangsa. Sebagai contoh, ketika menjalin kerjasama dengan orang Indonesia, kita perlu benar-benar memastikan “hitam diatas putih” sebelum saling mengikatkan diri, dengan syarat dan ketentuan yang sejelas-jelasnya dan setegas-tegasnya, bila perlu disertai jaminan agar mudah dieksekusi bila terjadi ingkar janji. Ketika sikap realistik menuntut kita untuk berpikiran negatif demi kebaikan diri kita, maka itulah yang perlu kita kerjakan, apapun konsekuensinya, agar tidak menyesal dikemudian hari. Untuk itu, kita bisa belajar dari pengalaman buruk diri sendiri maupun dari pengalaman buruk orang lain, dengan banyak membuka mata dan membuka telinga, ataupun melakukan eksperimen produk dan pasar.

Karenanya, bukanlah persoalan bersikap optimis, pesimis, ataupun berpikiran positif dan berpikiran negatif, kecermatan dan kecerdasan dalam membaca situasi serta keadaan (semisal tren atau minat pasar dan ceruk pasar yang belum dimasuki kompetitor produk serupa), disamping “pengkondisian”, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sikap rasional. Orang-orang yang realistik lebih cenderung bersikap jujur terhadap situasi yang ia hadapi, ketimbang membutakan mata dengan harapan ataupun ketakutan, lalu melangkah dan menerapkan strategi berdasarkan kalkulasi yang terukur, disamping “sentuhan-sentuhan personal” (personal touch) tertentu yang kadang didasarkan pada insting yang terasah dan dipertajam oleh pengalaman pribadi ataupun pengalaman hasil dari proses pembelajaran.

Sebagai penutup serta kesimpulan, orang-orang realistis biasanya lebih cenderung memiliki cara berpikir serta sikap yang “membumi”, karenanya terbiasa bersikap fleksibel dalam membawa diri dan menempatkan diri sesuai keadaan maupun situasi dan kondisi (“sikon”) yang ada. Untuk itu, mungkin langkap paling awal dalam ialah melatih kemampuan membaca situasi, sebelum kemudian melatih sikap fleksibel dalam membawa diri sesuai situasi dan kondisi (“sikon”) yang ada. Dengan cara dan langkah-langkah seperti itulah, kita menjadi pribadi yang lebih realistis.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.