When others treat us unfairly,
Then we also need to treat them unfairly.
It’s not because we want to be bad like them, those bad people,
But we become mirrors that simply reflect what other people have done to us.
When others treat us unfairly,
Then we also need to treat them unfairly.
It’s not because we want to be bad like them, those bad people,
But we become mirrors that simply reflect what other people have done to us.
Agama yang Menjual dan Mengumbar Iming-Iming Bukanlah Agama yang Positif-Optimis, namun DELUSIF bagi para Pemimpi
TRUTH ALWAYS
BITTER, sementara Itu
Iming-Iming Selalu MANIS. Namun, yang Manis Jangan Langsung Ditelan, dan yang
Pahit Jangan Langsung Dibuang
Mengobral Penghapusan / Pengampunan / Penebusan Dosa
bagi para Delusif Penuh Kecurangan serta bagi para Pesimis yang Merasa menjadi
Orang Baik Bukanlah Penentu Masuk Surga
Question: Banyak yang mencibir ajaran Buddhist, seolah-olah yang ada hanya kekelaman serta penderitaan, bahwa hidup ini adalah duka. Sebenarnya apa kriteria, sehingga seseorang dapat mengatakan bahwa suatu agama adalah mengajarkan dogma-dogma yang bersifat optimis ataukah sebaliknya, pesimistik?
Manakah yang Anda Peluk, Yakini, dan Jalankan : Agama Versi Realita Vs. Agama Versi Fantasi?
4 Jenis Tingkat Karakteristik Kedunguan Manusia
Question: Sebenarnya yang dimaksud dengan “misi misionaris”, apa dan seperti apakah?
HARI BERDUKA UMAT MANUSIA YANG DIRAYAKAN DENGAN MERIAH DAN KECERIAAN BAGI MEREKA YANG DUNGU, UNTUK SETIAP TAHUNNYA
Akibat kebodohan batin serta kekotoran batin, si dungu memandang apa yang sebetulnya “petaka”, dianggap sebagai “berkah” dan kemudian mereka peringati serta rayakan sebagai Hari Raya yang dimeriahkan oleh semarak pesta dan segala puji-syukur setiap tahunnya.
“Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang jahat. Juga adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang baik. Adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang baik. Juga adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang jahat.” [Sang Buddha]
Orang Baik Tidak Dihargai karena Orang Jahat Tidak
Mampu Melihat Kebaikan akibat Buta Hati
Question: Mengapa ya, orang baik (justru) “sama sekali tidak dihargai”, bukan lagi sekadar “kurang dihargai” oleh orang lain?
Instead of us choosing to work hard,
Would be ideal,
In many circumstances,
If we choose to work smartly.
AGAMA IMING-IMING, Agama yang Mengumbar dan Berjualan Delusi bagi para Pendosa Penuh Khayalan Korup Bernama Penghapusan Dosa bagi Para Pendosa Penuh Dosa
AGAMA SOK TAHU, Khusus bagi para Spekulan yang Merasa
Dirinya Paling Tahu Isi Pikiran Tuhan
Question: Negeri ini, Indonesia, tidak pernah kekurangan para “agamais”. Namun mengapa masih banyak juga bencana alam terjadi sepanjang tahun serta setiap tahunnya, silih-berganti seolah tidak kenal henti-hentinya menimpa dengan korban jiwa?
PENGORBANAN DENGAN KEKEJAMAN Vs. PENGORBANAN DIRI SENDIRI BEBAS DARI KEKEJAMAN
Question: Mengapa bisa sampai terjadi, pejabat korupsi mengorupsi hak-hak rakyat jelata, ibarat merampok nasi dari piring milik orang-orang yang bahkan lebih miskin daripada sang pejabat-pejabat korup tersebut?
Untuk Apa Belajar Sains ke Kitab Agama, itu Salah
Alamat. Belajarlah Sains ke Buku-Buku Sains, bukan justru ke Kitab Agama
Yang Manis (Kenikmatan Duniawi) Jangan Langsung Ditelan, dan yang Pahit (Dukkha Kehidupan) Jangan Langsung Dibuang
Ada orang-orang yang hanya karena membaca ataupun terdapat satu ataupun dua ayat yang tampak seperti ajaran kebaikan pada kitab suatu agama, lantas secara prematur menilai bahwa agama tersebut adalah baik dan layak untuk dipeluk adanya—sekalipun ajaran yang baik tersebut sifatnya umum saja karena juga terdapat di agama-agama lainnya, bahkan norma sosial pun telah mengenalnya sebagai kearifan budaya Timur ataupun semacam hak asasi manusia yang universal sifatnya, dimana disaat bersamaan secara membias para pemeluknya menutup mata dari ajaran-ajaran buruk dan jahat penuh cela moril dalam agama dimaksud.
Prinsip Saling Menghargai antar Umat Beragama secara Bertimbal-Balik, Tidak Toleran secara Bertepuk Sebelah Tangan
Seri Artikel Sosiologi—Anthropologi
Question: Di negara-negara dimana agama Islam adalah
mayoritas, para muslim melarang serta memberangus pluralisme ataupun
kemajemukan umat beragama. Jangankan jauh-jauh, di Indonesia sendiri, ada
banyak kota atau daerah yang melarang pendirian rumah ibadah bagi umat beragama
nonmuslim, belum lagi jika kita bicara mengenai berbagai Peraturan Daerah yang
bersifat intoleran seperti pemaksaan penutupan rumah makan saat bulan Ramadhan,
kewajiban penggunaan kerudung bagi kaum wanita, hingga pemaksaan anak sekolah
peserta didik nonmuslim untuk memakai jilbab di Sekolah Negeri.
Kita pun menjadi bertanya-tanya, ini negara hukum, ataukah negara agama? Artinya, negara-negara mayoritas muslim bersikap intoleran dan tidak terbuka bagi kemajemukan umat beragama. Lantas, mengapa justru mereka yang paling keras berteriak perihal Uighur, Rohingya, dan sebagainya, dengan maksud menuntut diberi keistimewaan berupa toleransi untuk beribadah dan mengekspresikan agamanya, bahkan diberi kebebasan untuk menjadi separatis di negara-negara nonMuslim?
Beribadah secara HENING, Hening itu Indah, Damai, Sakral, Penuh Makna, dan Mendalam
Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra
Question: Mengapa bisa ada agama, yang mana para umatnya
ketika beribadah begitu norak dan narsis, sampai-sampai mengganggu ketenangan
hidup umat beragama lain, seolah-olah umat agama lain tidak butuh beribadah
sesuai keyakinannya masing-masing secara tenang dan bebas dari segala gangguan,
tidak terkecuali gangguan yang bersumber dari “polusi suara” (kebisingan atau
suara yang keras akibat speaker pengeras suara eksternal tempat ibadah) maupun
“polusi sosial” (parkir liar, menutup jalan milik umum, tebaran sampah yang
dibuang sembarangan, dsb, yang mengatasnamakan agama) praktik-praktik ritual
keagamaan demikian?
Ada sebuah femomena cukup unik yang biasa kita jumpai. Semua orang dari negara asing yang baru kali pertamanya mengunjungi dan menjejakkan kakinya di Indonesia, bukan dibuat kagum oleh ritual serba “berisik” tersebut, namun justru mengundang ekspresi jijik dan heran disamping senyum sinis ketika kita terangkan bahwa itu adalah praktik ibadah kaum agama tertentu, yang akan terjadi sepanjang harinya mulai dari siang hari, sore, bahkan hingga subuh. Ekspresi mereka seolah hendak berkata, bahwa bangsa kita di Indonesia belum dapat disebut beradab adanya.
Agama SUCI, Agama KSATRIA, Vs. Agama DOSA
“Agama DOSA” namun Dilabel Kemasan sebagai “Agama SUCI”
Question: Ada suatu agama tertentu, yang selalu membuat jargon klaim, bahwa adalah “merugi” yang tidak menjadi pemeluk agamanya tersebut. Maksudnya apa itu, kata “merugi” yang selalu mereka dengung-dengungkan kepada publik sebagai alat marketing mereka untuk menghimpun umat?
Mengapa Polisi Lebih Jahat daripada Preman? Preman Tidak Disumpah Jabatan untuk Menegakkan Hukum, namun Polisi Disumpah Jabatan untuk Menegakkan Hukum dan Keadilan serta Diberi Gaji dari Pajak yang Dibayar Masyarakat maupun Memonopoli Penegakan / Akses Pidana
Polisinya Saja Jahat, bagaimana Penjahatnya?
Question: Polisi ada di sumpah jabatan untuk melindungi dan
mengayomi masyarakat, mengenmban amanat sebagai aparatur penegak hukum. Namun,
mengapa justru polisi itu sendiri yang kerap melanggar hukum? Lihat saja
berbagai “sarang” para polisi berkantor dan bermarkas, semisal Kantor Polisi,
tempat pembuatan SIM (Surat Izin Mengemudi) ataupun STNK (Surat Tanda Nomor
Kendaraan), banyak terjadi pungutan liar, penyalahgunaan kekuasaan, maupun
ajang pamer kekuasaan dan arogansi kalangan kepolisian. Bila di “sarang” polisi
saja banyak kejahatan, terjadi secara masif dan terang-terangan, apa yang dapat
kita harapkan dari keberadaan polisi di negeri ini?
Sekarang ini bahkan ada tragedi
kemanusiaan, dimana Kepala Divisi Propam POLRI yang menjadi penegak etik, panutan,
serta menjadi suri teladan tertinggi kalangan profesi polisi, justru
memerintahkan anak buahnya yang juga anggota polisi, bahkan para petinggi
kepolisian, untuk melakukan pembunuhan berencana terhadap warganegara lainnya.
Anehnya, yang tidak masuk diakal ialah, mengapa polisi yang punya kewajiban dan
tanggung jawab untuk menegakkan hukum, bahkan memonopolinya, justru “main hakim
sendiri” dan melanggar hukum? Bagaimana masyarakat mau diharapkan untuk patuh
terhadap hukum, bila polisinya sendiri saja melanggar hukum?
Keganjilan berikutnya yang tidak dapat diterima oleh nurani masyarakat luas ialah, bagaimana mungkin para polisi maupun perwira polisi yang menjadi bawahan sang atasan, menurut saja dan patuh ketika diperintahkan untuk membunuh alias merampas nyawa dan hidup warga lainnya, entah itu korbannya ialah warga sipil ataupun sesama anggota kepolisian? Jangan-jangan disuruh untuk lompat ke jurang dan ke neraka pun, mereka menurut dan patuh saja secara membuta. Kultur patuh dan menghamba pada iblis yang memberikan perintah jahat, bahkan melanggar tugas dan kewenangannya, menyalahgunakan kekuasaannya, “yes man” ABS—asal Bapak senang, sebenarnya apa akar penyebabnya?
Karena Ada KEMATIAN, maka Ada KELAHIRAN
Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra
Question: Banyak sekali kejahatan dan pelaku kejahatan di republik ini, sementara itu polisi tidak bisa diandalkan, lebih sering mengabaikan dan menelantarkan aduan ataupun laporan korban dan masyarakat. Apakah dimungkinkan menurut hukum tumimbal lahir, untuk bertekad agar saya dikehidupan berikutnya, saat meninggal dunia dan terlahirkan kembali, diri saya ini bisa rebirt atau reborn sebagai seorang penegak hukum yang benar-benar dapat diandalkan oleh masyarakat untuk memberantas kejahatan?
Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra
Question: Tidak mudah menjadi seorang pejalan kaki di negeri
ini (Indonesia), kondisi jalan umumnya tidak layak dan tidak manusiawi (tidak
pejalan kaki “friendly”). Ketika
mendapati kondisi berat jalanan seperti adanya lubang ataupun ranting-ranting
terjuntai di pinggir jalan ataupun atap-atap rumah di sisi kiri jalan yang
pendek tingginya sehingga berpotensi melukai mata kami sebagai pejalan kaki
yang berpostur tubuh tinggi, yang terpaksa dalam beberapa kesempatan karenanya harus
bergeser ke bahu jalan agak ke tengah, pengendara kendaraan bermotor roda dua
maupun roda empat seketika mengklakson saya, bahkan tidak jarang memaki atau
menatap ganas kepada saya selaku pejalan kaki.
Mereka bersikap seolah pejalan
kaki menghalangi jalan mereka dan menjadi kasta paling rendah yang tidak berhak
atas jalan (milik) umum. Namun tidak lama kemudian, tidak jauh dari ruas jalan yang
sama, saya berjalan persis di sisi kiri bahu jalan, akan tetapi masih juga
diklakson oleh pengedara dari arah belakang. Pejalan kaki sungguh-sungguh
menjadi kalangan minoritas di republik (Indonesia) ini, mungkin karena trauma
menjadi pejalan kaki yang selalu lemah jika menghadapi kuda atau banteng besi.
Jika pejalan kaki hendak memaki
atau meneriaki mereka, pejalan kaki yang dipandang “tidak waras”, sementara itu
mereka seenaknya dapat mengklaksoni seorang pejalan kaki dengan begitu kerasnya
tanpa rasa malu ataupun bersalah, untuk mengintimidasi ataupun meminta
didahulukan oleh pejalan kaki. Semestinya mereka merasa malu, namun dasarnya
bangsa yang memang tidak punya rasa malu, bahkan justru meminta didahulukan
oleh pejalan kaki.
Semestinya memberi jalan, bukan
justru merampas hak pejalan kaki. Bagaimana kata-kata yang tepat dapat seorang
pejalan kaki utarakan kepada mereka, bila mereka masih juga menuding pejalan
kaki sebagai pengganggu ataupun penghalang jalan mereka? Karena jalan (milik) umum
(selama ini) didominasi pengendara kendaraan bermotor, maka mereka berdelusi
bahwa jalan umum adalah jalan milik mereka, para pengendara, bukan jalan milik
pejalan kaki. Bukankan itu tidak logis serta tidak etis? Mengapa bangsa yang
katanya tekun dan rajin beribadah ini, bahkan tidak tahu apa itu “etika
berkendara”? Jangankan bersikap Tuhanis kepada Tuhan, bersikap humanis kepada
sesama manusia pun mereka gagal.
Brief Answer: Pejalan kaki juga dapat bersikap diktator di
jalan umum, ketika jumlah pejalan kakinya ialah lebih dari satu orang, biasanya
berupa berjalan bersisian di kanan dan di kiri, bukan di depan dan di belakang,
sehingga kerap memakan badan jalan dan menghalangi pengguna jalan lainnya,
budaya mana telah ternyata bukan hanya monopoli Warga Negara Indonesia, warga
asing pun punya tendensi atau kebiasaan serupa—itulah cerminan “power tends to corrupt”, mengingat
jumlah orang lebih dari satu orang sudah merupakan “power” itu sendiri dan cenderung disalah-gunakan. Tidak terkecuali
seseorang yang mengendarai kendaraan bermotor (“power”), baik roda dua maupun roda empat, kerap mengundang godaan
berupa tendensi untuk bersikap sewenang-wenang di jalanan terhadap pihak yang
lebih lemah dan paling lemah, yakni terhadap pejalan kaki.
Memang tidak mudah menjadi seorang pejalan kaki
di Indonesia, kondisi jalan maupun infrastruktur yang tidak mendukung disamping
tidak manusiawi, dimana pemerintah seolah lebih memerhatikan sarana dan
prasarana bagi pengendara kendaraan bermotor, dan masih juga mentolerir
pedagang kaki lima yang merambah trotoar dengan mengatas-namakan toleran
terhadap usaha mikro, namun disaat bersamaan tidak toleran terhadap pejalan
kaki.
Konon, orang-orang dengan tingkat intelijensi
tinggi yang kerap disebut dijuluki “jenius”, adalah orang-orang yang menyukai akfitivas
berjalan kaki dalam kegiatannya sehari-hari ketimbang berkendara, meski mereka
memiliki kendaraan pribadi yang lebih banyak menghuni garasi. Bagaimana negeri
ini mau mengasuh dan membesarkan seorang warga yang notabene bisa jadi
“jenius”, bila di negeri ini kondisi jalan umumnya tidak ramah terhadap mereka,
para pejalan kaki tersebut? Untuk menilai bangsa, penuh atau miskinnya warga yang
tergolong “jenius”, maka lihatlah kondisi jalan umum ataupun jalan raya kita,
jamak atau jarangnya pejalan kaki.
Berikut tips kalimat yang dapat diutarakan oleh
kalangan pejalan kaki ketika dilecehkan oleh para pengendara kendaraan bermotor
yang saling “bersinggungan” atau berkonflik dengan pejalan kaki sebagai sesama
pengguna jalan, terutama ketika para kalangan pengendara kendaraan bermotor
tersebut justru menyalahkan pihak pejalan kaki yang “malang” (karena harus
menghadapi teriknya sinar mataharai yang menyengat, serangga yang mengancam,
tebaran debu dan asap knalpot kendaraan bermotor, genangan air pada lubang
jalan, jalan yang tidak rata dan penuh lubang, guyuran hujan, ranting-ranting
yang menjuntai, atap perumahan yang terkadang sangat rendah, dsb):
“Jangan arogan. Jika (Anda)
berani, berjalan kaki-lah, jangan naik kendaraan bermotor. Hanya pengecut yang
beraninya naik kendaraan bermotor.
“Yang selama ini zalim, ialah
pengendara kendaraan bermotor, bukan sebaliknya. Yang suka mengebut dan parkir
sembarangan, adalah kalian, para pengendara. Namun yang selama ini selalu
mengalah, adalah pejalan kaki.
“Kalian itu, para pengendara,
begitu sabar ketika menemukan kendaraan yang parkir di bahu ataupun di badan
jalan. Tapi sikap kalian kepada pejalan kaki, kalian klakson keras-keras dan
arogan. Otak kalian taruh di mana sih, lebih bersabar terhadap benda mati
daripada terhadap pejalan kaki (manusia)?”
PEMBAHASAN:
Kekuasaan maupun kekuatan,
cenderung menggoda untuk disalah-gunakan, dimana pola yang sama selalu
berulang, sepanjang zaman, baik penguasa negara maupun rakyat jelata sesama
sipil. Mengendarai kendaraan bermotor, cenderung membuat pengendaranya
bertendensi untuk menjadi arogan di jalan umum, menyalah-gunakan “bumper besi”
kendaraan yang dikendarainya yang berpotensi melukai terutama terhadap warga
yang lemah seperti pejalan kaki. Mengendarai kendaraan, adalah faktor kekuatan
dan kekuasaan itu sendiri. Karenanya, “power”
dalam pengejawantahannya di keseharian, bisa berupa faktor kekuatan dan
kekuasaan karena memiliki sumber daya akses terhadap modal, menaiki dan
mengemudikan kendaraan, dua orang yang berjalan kaki, kerap “tends to corrupt”. Apa yang diutarakan
oleh Lord Acton bahwa, “Power tends to
corrupt. Absolute power, corrupt absolutely”, selalu bersifat relevan
dan aktual, bukan sekadar mitos ataupun pernyataan klise tanpa makna.
Secara pribadi, penulis pun
merupakan seorang pejalan kaki yang aktif berjalan kaki dalam setiap keperluan
saat berada di luar rumah, dan memang turut merasakan lewat pengalaman pribadi
secara langsung betapa infrastruktur jalanan yang sangat amat tidak ramah dan
tidak bersahabat terhadap kalangan pejalan kaki di Indonesia, terutama ibukota
Jakarta yang notabene megapolitan, ditambah oleh faktor ketidak-disiplinan
warga yang kerap memarkir kendaraan dengan merampas hak pejalan kaki atas
trotoar maupun bahu jalan, pejalan kaki yang “berebut” ruang trotoar dengan
“pedagang kaki lima” yang menggelar lapak dagangan secara merampas hak pejalan
kaki, terlebih menghadapi manusia-manusia yang berkekuasaan dan berkekuatan
karena mengendarai “banteng / kuda besi”.
Alhasil, pejalan kaki secara “de facto” memang merupakan “kasta” yang
tersisihkan dan kurang mendapat perhatian pemerintah, semata karena merupakan kalangan
“minoritas”—atau dipaksa dan terpaksa menjadi “minoritas”. Mengenai betapa
“zolim”-nya pengendara kendaraan bermotor, dimana pejalan kaki selalu
diposisikan sebagai “kasta rendahan” yang harus mengais-rais ruas jalan umum di
Indonesia, dimana juga pejalan kaki yang kerap dipaksa dan terpaksa mengalah
dari “ego” para pengendara yang merasa berhak memonopoli ruas jalan umum,
kejadian berikut merupakan pengalaman pribadi penulis yang penulis alami dan
jumpai pada ruas jalan manapun pada berbagai kota di Indonesia, entah ruas
jalan yang sepi maupun ramai, sejak dahulu kala, saat kini, maupun tampaknya
juga akan mengalami pola senada dimasa yang akan datang.
Ketika entah itu pengendara
sepeda roda dua maupun sepeda motor melaju secara melawan arus, selalu saja
100% kejadiannya ialah penulis yang berjalan di sisi (paling) kiri jalan, sisi
mana menjadi hak dari penulis, pengendara tersebut tidak mau mengalah, dan
tetap melajukan “banteng besinya” dengan resiko penulis akan ditabrak dan
tertabrak “bumper besi” sehingga berpotensi terluka, bilamana penulis tidak
menghindarinya dengan bergeser agak ke badan jalan, dengan resiko terkena tabrak
kendaraan yang melaju dari arah belakang—sekalipun para pengendara tersebut
menyadari, bahwa penulis tidak memiliki mata indera penglihatan di belakang
kepala, namun akibat “ego”, sang pengendara yang melaju secara melawan arus
sekalipun dapat melihat arus lalu-lintas di belakang penulis, tetap tidak mau
mengalah dan merampas hak pejalan kaki atas sisi kiri jalan (mengorbankan
bahkan mengancam keselamatan pejalan kaki selaku pengguna jalan yang tertib),
dan tetap melajukan kendaraannya secara melawan tanpa mengurangi laju
kecepatan, tanpa rasa malu terhadap korban (pejalan kaki) maupun tanpa rasa
takut (pada hukum karma). Mereka tidak takut melukai pejalan kaki (manusia),
namun takut terhadap tilang elektronik berupa denda.
Bangsa “agamais”, namun dalam keseharian
begitu produktif mencetak dosa. Buat dosa, siapa takut? Ada “penghapusan /
pengampunan dosa” (aboliton of sins),
agar tidak “mubazir”. Itulah yang terjadi, suatu fenomena sosial, ketika bangsa
yang masih primitif—alias belum beradab—diberi kekuasaan dan keleluasaan
mengendarai kendaraan bermotor, dapat dipastikan “tends to corrupt”. Kejadian begitu ini, pola yang sama selalu
terulang menjelma budaya, dimana hampir selalu penulis jumpai, sedikitnya satu
kali peristiwa setiap kali penulis berjalan kaki di luar rumah, pada ruas jalan
umum manapun, yang menjadi cerminan betapa ironis serta memprihatinkannya
perilaku yang diterima kalangan pejalan kaki oleh sikap arogansi pengendara
kendaraan bermotor yang “irasional”.
Sudah dari bertahun-tahun lampau
penulis dapati dan alami, bahkan juga kembali penulis alami pada pagi hari ini,
peristiwa mana sudah tidak terhitung lagi jumlahnya penulis hadapi, ketika
penulis berjalan kaki di sisi kiri jalan, pengendara entah pengendara roda dua
maupun roda empat, mengklaksoni penulis tanpa sikap kompromi ataupun toleran,
sekalipun kondisi jalanan begitu berat bagi penulis selaku pejalan kaki, tidak
rata dan ditambah rerantingan tumbuhan yang tumbuh tidak terpangkas maupun
atap-atap rumah yang pendek di pinggir jalan, namun tidak jauh di depan, hanya
berselang beberapa ratus meter jauhnya, sang pengendara yang sama “mendadak bersabar”,
“mendadak alim”, “mendadak penyabar”, dengan tidak mengklaksoni baik itu sepeda
motor maupun mobil yang diparkir di bahu jalan atau bahkan memakan separuh dari
badan jalan, dan dengan sabar menghentikan lajunya, menunggu adanya kesempatan
untuk merayap ke lajur jalan seberang untuk bisa melintas.
Penulis adalah “makhluk hidup”,
dimana kondisi pejalan kaki dan jalanan yang tidak ramah terhadap pejalan kaki
sudah begitu menyukarkan para pejalan kaki, sehingga adalah momen tepat bagi
pengendara untuk bersikap sabar dan toleran terhadap pejalan kaki, dimana para
pengendara tersebut cukup duduk manis dan dapat sampai pada tujuan dengan cepat,
bahkan masih pula menikmati subsidi bahan bakar dari pemerintah, tidak mengalami
resiko tersengat serangga, ranting tanaman, maupun sinar terik mentari yang
membakar, guyuran hujan, cipratan genangan air oleh kendaraan yang melintas, asap
knalpot yang menyembur (terutama motor roda dua yang memakai knalpot “racing”), polusi udara, terserempet dan
terluka, berjumpa “mad dog”, berpapasan
dengan preman, maupun resiko-resiko lainnya.
Sementara itu, kendaraan yang dalam
kondisi diparkir ialah “benda mati”, namun para pengendara yang melintas telah
ternyata lebih bersikap toleran dan penyabar menghadapi benda mati daripada ketika
mereka berhadapan dengan seorang manusia pejalan kaki yang sudah malang
kondisinya, masih juga di-“bully” oleh
arogansi penyalah-gunaan klakson kendaraan bermotor secara tidak bertanggung-jawab.
Itukah yang disebut sebagai intelek, logis, berakal sehat, bertanggung-jawab, “agamais”,
etis, sopan, santun, bertata-krama, Ketimuran, ataukah memang budaya khas
Bangsa “Made in Indonesia”? Lagi-lagi,
penjelasannya ialah “power tends to
corrupt”. Bangsa Indonesia ialah bangsa yang bahkan belum siap untuk
menggunakan alat-alat semacam “banteng besi”, karena tingkat peradabannya sama
sekali masih belum memadai.
Perbuatan baik yang paling
mendasar, bukanlah seperti berdana koin “recehan” ke kotak amal, namun kemauan
untuk “bersikap sabar”. Bila seseorang tidak mampu bersikap bersabar, maka jangan harap ia
mampu dan mau berbuat kebajikan yang lebih tinggi, seperti jiwa altruistik,
berwelas asih, jiwa rela berkorban, berdonasi (namun bukan “recehan”),
memaafkan, mengulurkan tangan untuk menolong, merawat, maupun berkegiatan
sosial lainnya yang mana pada pokoknya ialah kerelaan berkorban, kerelaan mengalah,
kerelaan bersabar, kerelaan memberikan.
Jangankan diharapkan sebagai bangsa
yang gemar berdana—seperti disebut-sebut sejumlah media yang mengatas-namakan
berdasarkan survei yang menyebutkan “Indonesia sebagai bangsa paling murah hati
dan paling gemar berdana”—janganlah jauh-jauh mengklaim sebagai bangsa yang
pemurah dan pemaaf, dimana faktanya untuk bersabar terhadap manusia (makhluk
hidup) bernama “pejalan kaki” sekalipun, mereka telah ternyata gagal dan lebih
bersabar terhadap benda mati semacam kendaraan yang diparkir / terparkir di pinggir
maupun di badan jalan. Sama sekali tidak lucu, tidak logis, serta tidak patut
untuk terus-menerus dilestarikan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.
Having wise close people,
And sincerely love us,
It is a valuable condition,
We should be grateful and appreciate,
And maintain such positive relationships,
So that it doesn’t become extinct.
SEBELUM MEMINTA DIMAKLUMI, MAKLUMI DAHULU ORANG LAIN
Pada suatu pagi menjelang siang, saat hendak memasuki rumah untuk mengambil air, di depan gerbang kediaman penulis, melintas seorang bapak yang memikul tikar jualannya yang ia jajakan sepanjang jalan dengan berjalan kaki—“kerja keras”, alih-alih “kerja cerdas”, dimana yang bersangkutan bisa saja meminjam modal usaha untuk membeli sepeda dalam rangka berjualan tikar tanpa harus memikul tikar dagangannya.
For whose benefit and good,
Those freedom,
Responsibility,
And self-control?
When freedom,
Tend to lead us astray,
So we need to learn about self-control.
Gado-Gado Carina Menjual RACUN untuk Dimakan Konsumennya yang Bayar Mahal!
Gado-Gado Carina JUAL MAHAL NAMUN JUSTRU MERUSAK DAN MENCELAKAI KESEHATAN DAN KESELAMATAN KONSUMENNYA, DURHAKA, PENDOSA, JAHAT!
SENI
SOSIAL
Berfokus pada Kelebihan dan Keunggulan Diri alih-alih Berjibaku pada Kekurangan dan Kelemahan
Prestasi-Prestasi yang Dimiliki Orang-Orang Besar,
mampu Menutupi Berbagai Kekurangan Dirinya. Karenanya, Optimalkanlah Berbagai
Keunggulan, Bakat, dan Potensi Diri Kita—alih-alih Bergelut dan Berjibaku pada
Kelemahan Diri Kita
Question: Sebagai angkatan kerja yang tergolong masih sangat muda, mengapa saya merasa adanya ketidak-cocokan dengan berbagai pemilik perusahaan tempat saya mengajukan lamaran kerja? Mereka lebih banyak mencoba menggali kelemahan-kelemahan dan kekurangan saya ketimbang lebih ingin mengetahui maupun mengeksplorasi apa yang menjadi keunggulan dan kelebihan-kelebihan saya. Apa hanya saya sendiri saja yang “aneh” dengan perasaan semacam ini, atau memang lazim adanya dijumpai orang-orang seusia saya?
SENI SOSIAL
Agama Islam Mengenal dan Melestarikan Sistem KASTA,
Kasta Pendosa-Penjilat, Kasta Kafir, dan Kasta Budak Seksuil
Question: Apakah ada agama lain diluar Agama Hindu, yang juga mengenal pembagian kelompok strata sosial masyarakatnya ke dalam segregasi semacam sistem kasta seperti pengotak-kotakan kaum di India yang masih berlangsung hingga dewasa ini?
SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi
Johnsen Tannato, Gembel Sinting PENIPU yang Tidak Mau
Bayar SEPESER PUN namun Mengklaim Dirinya sebagai Konsumen yang Merasa Berhak
Meminta Dilayani oleh Profesi Konsultan yang ia PERKOSA dan PERBUDAK
Question: Ketika menghadapi orang-orang “irasional” dan “arogan” (orang-orang yang “sukar”) yang suka memaksakan kehendaknya sendiri dan tidak bersikap profesional, tidak mampu menghormati ataupun menghargai profesi orang lain maupun tuan rumah ketika bertandang, sebaiknya apa yang perlu kita utarakan agar sikap irasional mereka tidak semakin menjadi-jadi dan merongrong serta meresahkan pemilik rumah ataupun pemilik usaha?
SENI
SOSIAL
Ada Beda antara Godaan Setan dan Cobaan Tuhan, namun Sama-Sama Berupa Bisikan Gaib
Menyembelih dan Mengorbankan Anak, Bukanlah Cinta,
namun EGO
Question: Mengapa orangtua bisa begitu egoisnya kepada anak kandung sendiri? Apakah hanya anak, yang bisa durhaka?
SENI PIKIR & TULIS
Akibat Cara Berpikir yang Irasional, Kita Memandang
yang Tidak Penting sebagai Penting, dan yang Berharga sebagai Tidak Berharga
Kita Tidak Terlahir dalam Kondisi Rasional, Namun
Irasional
Masih jelas dalam ingatan penulis, ketika penulis masih seorang bocah kecil yang bodoh, banyak sekali barang-barang yang penulis “bocah” lekati label sebagai “barang milik aku”, lalu melekat erat terhadapnya sedemikian rupa hingga menyerupai “posesif” yang agresif sifatnya. Ketika barang “milik aku” itu rusak karena suatu hal terutama kerusakan mana diakibatkan oleh perbuatan orang lain, penulis “bocah” menjadi ngambek, marah, hingga mengamuk, seolah-olah ada anggota tubuh penulis yang telah dilukai dan disakiti. Memiliki barang, ibarat membuat diri kita menjadi ringkih dan riskan, ketika barang tersebut rusak atau dirusak oleh orang lain, kita merasa seperti ada anggota tubuh kita yang terluka sehingga kita merasakan sakit dan menderita. Orang-orang yang memiliki banyak kepemilikan tanah tersebar di berbagai kota dan daerah, ketika terdapat satu saja objek tanah miliknya diserobot oleh pihak lain, maka ia akan merasa seolah ada bagian dari tubuhnya yang telah diamputasi, dicuri darinya, dan terluka berdarah.
SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi
Question: Mengapa ada orang, yang mengakunya orang baik, tapi kok suka marah-marah?
SENI PIKIR & TULIS
Seni Berdiri di atas Kaki dan Pikiran Sendiri
Dunia ini Tidak Pernah Kekurangan para Penipu dan Penjahat
Manipulasi pikiran, kerap kita jumpai dalam keseharian, masif sifatnya, intrusif, terselubung ataupun yang eksplisit modusnya, kita sadari maupun tidak kita sadari telah menjadi sasaran manipulasi, serta kasat mata maupun tidak kasat mata. Manipulasi pikiran yang terselubung, penetrasinya berupa memberikan umpan berupa iming-iming agar lawan bicara termakan harapan semu. Sementara itu manipulasi pikiran yang eksplisit biasanya dilakukan dengan membuat lawan bicara merasa ketakutan lewat bentuk-bentuk ancaman, intimidasi, atau sejenisnya.
SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra
Plonco Siswa / Mahasiswa, Tidak Berfaedah, mengapa masih Dibudayakan pada Lingkungan Akademik seperti Sekolahan maupun Kampus?
Question: Sebetulnya hal semacam per-plonco-an terhadap siswa maupun mahasiswa di sekolah dan di kampus, apakah ada manfaatnya dan hal positifnya, sehingga dari dulu hingga kini masih saja ada praktik plonco baik di sekolah maupun di kampus yang mana para siswa senior menjadikan plonco sebagai ajang balas-dendam serta pamer kekuasaan akibat relasi yang timpang antara senior dan junior? Mengapa juga pihak sekolah atau kampus, membiarkan praktik primitif kurang beradap semacam itu terus berlangsung?
SENI PIKIR & TULIS
Manusia adalah Makhluk (yang) IRASIONAL, Tidak Logis dan Pintar-Pintar (namun) Bodoh
Umat Manusia Tidak Seindah yang Kita Bayangkan maupun
Harapkan. Ini Dunia Nyata, bukan Dunia Dongeng yang Manis dan Ideal
Pepatah pernah berpesan, “tidak mengenal, maka tidak sayang”. Anekdot klise tersebut ada benarnya, namun sayangnya tidak betul-betul lengkap, mengingat terdapat ekor kalimat yang selengkapnya berbunyi, “..., namun semakin kita mengenal manusia, semakin kita merasa ‘ngeri’!” Mengapa kita patut merasa sebentuk “kengerian” ketika kita semakin mengenal hati dan isi atau cara berpikir seorang manusia? Semata karena kita semakin tahu “wajah asli” seseorang yang selama ini hidup berdampingan dengan kita, semakin kita tahu mengenai kekotoran batin yang dapat dimiliki dan dilekati oleh umat manusia, dan betapa manusia adalah “makhluk yang irasional” disamping penuh dengan “persona” (topeng)—manusia adalah “makhluk irasional”.
SENI JIWA
Pertanyaan bagi para Muslim, Mohon Klarifikasi dan
Dijawab
Jika sedang Ibadah saja, seperti Itu Sikap para Muslim terhadap Orang Lain, (maka) bagaimana ketika Mereka Tidak sedang Beribadah?
Sering penulis bertanya kepada para kalangan Muslim, yang beribadah dengan praktik penggunaan speaker pengeras suara eksternal yang mereka pasang di Masjid, menyerupai “polusi suara” yang merampas ketenangan hidup maupun istirahat umat agama lain yang juga punya hak untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing tanpa saling mengganggu, maka bagaimana ketika mereka tidak sedang beribadah dan tidak sedang berbusana “agamais”, perampasan semacam apa yang akan mereka lakukan? Ketika para Muslim mengatas-namakan Agama Islam untuk berbuat apapun semau mereka, sebagai legitimasi atau justifikasi perbuatan apapun yang mereka perbuat, maka bagaimana dengan gaya hidup para Muslim tersebut ketika tidak sedang ber-“agamais”?
SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra Menjawab
Jangan Paksakan Diri maupun Keadaan, dan Jangan Bersikap
Seolah-Olah Tiada Orang yang Lebih Layak dan Lebih Tepat untuk menjadi Pilihan
Kita
Question: Yang disebut dengan relasi atau hubungan antar manusia yang sehat, positif, dan berfaedah, seperti apa bentuk dan contohnya?
SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra
Menjawab
Masing-Masing Peran dan status Memiliki Tanggung-Jawabnya Sendiri
Question: Apakah hanya anak yang “memonopoli” kata “durhaka”? Bagaimana dengan banyak orangtua di luar sana, yang justru mengabaikan dan menelantarkan anak, atau bahkan membuat anak tersiksa hidupnya dan terjerumuskan oleh teladan buruk orangtuanya? Itu ibarat dua pasal “maut” untuk anak, berikut : Pasal Pertama, orangtua selalu benar dan anak selalu salah. Pasal Kedua, jika orangtua salah atau keliru, (maka) rujuk aturan dalam Pasal Pertama. Jadilah, orangtua lebih cenderung bersikap arogan (sewenang-wenang atau cenderung bersikap seenaknya) terhadap anak kandungnya sendiri sekalipun.
SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra
Menjawab
Orang Suci pun Sesekali Perlu Menunjukkan TARING TAJAM-nya agar Tidak Dijadikan Objek BULLYING Tangan-Tangan Nakal
Hanya seorang Pengecut, yang Menjadikan Orang-Orang
Baik sebagai MANGSA EMPUK
Question: Jika Agama Buddha memang adalah agama yang baik dan suci, mengapa para umatnya masih bisa marah dan galak kepada orang lain?
SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra Menjawab
Neraka sebagai Tugu / Monumen KEGAGALAN Proses Penciptaan
Umat Manusia oleh Tuhan
Question: Disebutkan bahwa Tuhan dengan rencananya sedang mencobai manusia lewat segala kuasanya, seperti bencana alam ataupun segala derita lainnya, agar manusia manjadi kuat ditempa cobaan dan demi memuliakan manusia. Apakah memang logis, segala derita maupun kenikmatan hidup ini adalah pemberian maupun cobaan dari Tuhan?
SENI PIKIR & TULIS
Pertanyaan bagi para Muslim, Ujian bagi Iman sang
umat ataukah Iman para Umat tersebut yang sedang Mencobai Tuhan?
Bukankah Tuhan semestinya Tuhanis, dan Tuhanis lebih Luhur daripada Sekadar Humanis?
Dalam kesempatan ini, penulis hendak mengajukan pertanyaan mendasar kepada para Muslim, dan menunggu jawabannya. Seorang ustad, pada ceramahnya baik di Masjid maupun pada media massa seperti radio, televisi, dsb, menyampaikan bahwa Nabi Muhammad adalah sosok manusia (yang dikultuskan dan menjadi saingan terberat bagi Tuhan yang disembah para Muslim), sebagai “rasul Tuhan” juga sekaligus orang yang baik, suci, mulia, luhur, dan menjadi suri tauladan para Muslim, bahkan oleh ibu-ibu pengajian disebut sebagai “kekasih Tuhan”.
Banyak diantara kita,
Yang terlena dan berlarut-larut
dalam kegembiraan maupun kesenangan yang ditawarkan oleh hidup,
Sekalipun mereka tahu dan
menyadari bahwa itu hanya temporer saja sifatnya,
Sebelum kemudian menjerat
kita dalam kemelekatan,
Tetap saja mereka senang dibodohi oleh kehidupan,