Benarkah Ajaran Buddha Terlampau Idealis sehingga Tidak Bisa Dijalankan Umat Manusia?

Yang Ekstrem bagi Kita Belum Tentu Ekstem di Mata Orang Lain

Question: Ada orang-orang yang mengatakan bahwa Buddhisme sebagaimana diajarkan oleh Sang Buddha, bahkan oleh sebagian umat Buddhist sendiri, adalah terlampau idealis sehingga tidak dapat dijalankan oleh umat manusia maupun para siswa-siswi-Nya. Benarkah demikian ataukah itu hanya alasan untuk pembenaran diri atas perbuatan-perbuatan buruknya yang gagal mengendalikan diri akibat tidak membiasakan diri berlatih agar terlatih pengendalian diri dalam keseharian?

Agamais namun Suka Main Kekerasan Fisik dalam Menyelesaikan Setiap Masalah

Budaya Kekerasan Fisik dalam Menyelesaikan Setiap Masalah, merupakan Cerminan Mentalitas “Premanis”, alih-alih “Tuhanis” maupun “Humanis”

Jangan Bersikap seolah-olah Tidak Ada Cara yang Lebih Kreatif dalam Menyelesaikan setiap Masalah selain “Main Kekerasan Fisik”

Question: Mengapa juga ya, orang Indonesia identik dengan masyarakat yang “agamais”, dimana Indonesia tidak pernah kekurangan orang-orang yang “agamais” dalam artian mengaku ber-Tuhan serta rajin beribadah bahkan juga menjadi pemuka agama, namun wajah bangsa kita dikeseharian kerap kali menampilkan corak “suka main kekerasan fisik” juga tidak takut berbuat dosa seperti merugikan, melukai, ataupun menyakiti individu lainnya? “Agamais” maka semestinya “humanis”, mengapa ini justru budayanya mirip seperti “hewanis”?

SELF-CONTROL, Itulah Sumber SURGA DUNIA

Contoh dan Makna NERAKA DUNIA

Manusia yang Seakan Terbakar Api Neraka (NAFSU TIDAK TERKONTROL, Ibarat Api yang Disiram Bensin)

Terhadap Dosa dan Maksiat, demikian Kompromistik. Namun mengapa terhadap Pluralisme dan Kemajemukan Umat Beragama, demikian Intoleran?

Question: Maksudnya apa, ada yang bilang “mirip neraka dunia”?

Don't Clap One Hand. Jangan Bertepuk Sebelah Tangan

HERY SHIETRA, Don't Clap One Hand. Jangan Bertepuk Sebelah Tangan

When others treat us unfairly,

Then we also need to treat them unfairly.

It’s not because we want to be bad like them, those bad people,

But we become mirrors that simply reflect what other people have done to us.

Agama yang Optimis Vs. Agama yang Pesimis

Agama yang Menjual dan Mengumbar Iming-Iming Bukanlah Agama yang Positif-Optimis, namun DELUSIF bagi para Pemimpi

TRUTH ALWAYS BITTER, sementara Itu Iming-Iming Selalu MANIS. Namun, yang Manis Jangan Langsung Ditelan, dan yang Pahit Jangan Langsung Dibuang

Mengobral Penghapusan / Pengampunan / Penebusan Dosa bagi para Delusif Penuh Kecurangan serta bagi para Pesimis yang Merasa menjadi Orang Baik Bukanlah Penentu Masuk Surga

Question: Banyak yang mencibir ajaran Buddhist, seolah-olah yang ada hanya kekelaman serta penderitaan, bahwa hidup ini adalah duka. Sebenarnya apa kriteria, sehingga seseorang dapat mengatakan bahwa suatu agama adalah mengajarkan dogma-dogma yang bersifat optimis ataukah sebaliknya, pesimistik?

Makna MISI MISIONARIS, Bukan Jargon ataupun Gimmick, namun Praktik Cara Hidup Umatnya pada Realita

Manakah yang Anda Peluk, Yakini, dan Jalankan : Agama Versi Realita Vs. Agama Versi Fantasi?

4 Jenis Tingkat Karakteristik Kedunguan Manusia

Question: Sebenarnya yang dimaksud dengan “misi misionaris”, apa dan seperti apakah?

Tes SQ : NATAL adalah BERKAH ataukah PETAKA? Juru Selamat ataukah Juru (Pembawa) Petaka?

HARI BERDUKA UMAT MANUSIA YANG DIRAYAKAN DENGAN MERIAH DAN KECERIAAN BAGI MEREKA YANG DUNGU, UNTUK SETIAP TAHUNNYA

Akibat kebodohan batin serta kekotoran batin, si dungu memandang apa yang sebetulnya “petaka”, dianggap sebagai “berkah” dan kemudian mereka peringati serta rayakan sebagai Hari Raya yang dimeriahkan oleh semarak pesta dan segala puji-syukur setiap tahunnya.

Orang Baik bagai Tidak Kasat Mata sehingga Tidak Dihargai oleh Masyarakat, mengapa? Ini Penyebabnya

“Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang jahat. Juga adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang baik. Adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang baik. Juga adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang jahat.” [Sang Buddha]

Orang Baik Tidak Dihargai karena Orang Jahat Tidak Mampu Melihat Kebaikan akibat Buta Hati

Question: Mengapa ya, orang baik (justru) “sama sekali tidak dihargai”, bukan lagi sekadar “kurang dihargai” oleh orang lain?

BE SMART, not HARD. Bersikap CERDAS, bukan KERAS

HERY SHIETRA, BE SMART, not HARD. Bersikap CERDAS, bukan KERAS

Instead of us choosing to work hard,

Would be ideal,

In many circumstances,

If we choose to work smartly.

Benarkah Agama Samawi Membawa Berkah bagi Umat Manusia?

AGAMA IMING-IMING, Agama yang Mengumbar dan Berjualan Delusi bagi para Pendosa Penuh Khayalan Korup Bernama Penghapusan Dosa bagi Para Pendosa Penuh Dosa

AGAMA SOK TAHU, Khusus bagi para Spekulan yang Merasa Dirinya Paling Tahu Isi Pikiran Tuhan

Question: Negeri ini, Indonesia, tidak pernah kekurangan para “agamais”. Namun mengapa masih banyak juga bencana alam terjadi sepanjang tahun serta setiap tahunnya, silih-berganti seolah tidak kenal henti-hentinya menimpa dengan korban jiwa?

Menyembelih Sesama Manusia, Praktik Ritual Pengorbanan Manusia

PENGORBANAN DENGAN KEKEJAMAN Vs. PENGORBANAN DIRI SENDIRI BEBAS DARI KEKEJAMAN

Question: Mengapa bisa sampai terjadi, pejabat korupsi mengorupsi hak-hak rakyat jelata, ibarat merampok nasi dari piring milik orang-orang yang bahkan lebih miskin daripada sang pejabat-pejabat korup tersebut?

Melawan Arus dan Memahami Bahaya Dibalik Mengikuti Arus

Untuk Apa Belajar Sains ke Kitab Agama, itu Salah Alamat. Belajarlah Sains ke Buku-Buku Sains, bukan justru ke Kitab Agama

Yang Manis (Kenikmatan Duniawi) Jangan Langsung Ditelan, dan yang Pahit (Dukkha Kehidupan) Jangan Langsung Dibuang

Ada orang-orang yang hanya karena membaca ataupun terdapat satu ataupun dua ayat yang tampak seperti ajaran kebaikan pada kitab suatu agama, lantas secara prematur menilai bahwa agama tersebut adalah baik dan layak untuk dipeluk adanya—sekalipun ajaran yang baik tersebut sifatnya umum saja karena juga terdapat di agama-agama lainnya, bahkan norma sosial pun telah mengenalnya sebagai kearifan budaya Timur ataupun semacam hak asasi manusia yang universal sifatnya, dimana disaat bersamaan secara membias para pemeluknya menutup mata dari ajaran-ajaran buruk dan jahat penuh cela moril dalam agama dimaksud.

Memahami Asas Resiprositas / Resiprokal

Prinsip Saling Menghargai antar Umat Beragama secara Bertimbal-Balik, Tidak Toleran secara Bertepuk Sebelah Tangan

Seri Artikel Sosiologi—Anthropologi

Question: Di negara-negara dimana agama Islam adalah mayoritas, para muslim melarang serta memberangus pluralisme ataupun kemajemukan umat beragama. Jangankan jauh-jauh, di Indonesia sendiri, ada banyak kota atau daerah yang melarang pendirian rumah ibadah bagi umat beragama nonmuslim, belum lagi jika kita bicara mengenai berbagai Peraturan Daerah yang bersifat intoleran seperti pemaksaan penutupan rumah makan saat bulan Ramadhan, kewajiban penggunaan kerudung bagi kaum wanita, hingga pemaksaan anak sekolah peserta didik nonmuslim untuk memakai jilbab di Sekolah Negeri.

Kita pun menjadi bertanya-tanya, ini negara hukum, ataukah negara agama? Artinya, negara-negara mayoritas muslim bersikap intoleran dan tidak terbuka bagi kemajemukan umat beragama. Lantas, mengapa justru mereka yang paling keras berteriak perihal Uighur, Rohingya, dan sebagainya, dengan maksud menuntut diberi keistimewaan berupa toleransi untuk beribadah dan mengekspresikan agamanya, bahkan diberi kebebasan untuk menjadi separatis di negara-negara nonMuslim?

Antara Ibadah, Praktik Rituil, Norakisme dan Narsistik-isme

Beribadah secara HENING, Hening itu Indah, Damai, Sakral, Penuh Makna, dan Mendalam

Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra

Question: Mengapa bisa ada agama, yang mana para umatnya ketika beribadah begitu norak dan narsis, sampai-sampai mengganggu ketenangan hidup umat beragama lain, seolah-olah umat agama lain tidak butuh beribadah sesuai keyakinannya masing-masing secara tenang dan bebas dari segala gangguan, tidak terkecuali gangguan yang bersumber dari “polusi suara” (kebisingan atau suara yang keras akibat speaker pengeras suara eksternal tempat ibadah) maupun “polusi sosial” (parkir liar, menutup jalan milik umum, tebaran sampah yang dibuang sembarangan, dsb, yang mengatasnamakan agama) praktik-praktik ritual keagamaan demikian?

Ada sebuah femomena cukup unik yang biasa kita jumpai. Semua orang dari negara asing yang baru kali pertamanya mengunjungi dan menjejakkan kakinya di Indonesia, bukan dibuat kagum oleh ritual serba “berisik” tersebut, namun justru mengundang ekspresi jijik dan heran disamping senyum sinis ketika kita terangkan bahwa itu adalah praktik ibadah kaum agama tertentu, yang akan terjadi sepanjang harinya mulai dari siang hari, sore, bahkan hingga subuh. Ekspresi mereka seolah hendak berkata, bahwa bangsa kita di Indonesia belum dapat disebut beradab adanya.

Maksud MERUGI Tidak Memeluk Agama PENGHAPUSAN DOSA

Agama SUCI, Agama KSATRIA, Vs. Agama DOSA

“Agama DOSA” namun Dilabel Kemasan sebagai “Agama SUCI”

Question: Ada suatu agama tertentu, yang selalu membuat jargon klaim, bahwa adalah “merugi” yang tidak menjadi pemeluk agamanya tersebut. Maksudnya apa itu, kata “merugi” yang selalu mereka dengung-dengungkan kepada publik sebagai alat marketing mereka untuk menghimpun umat?

Mengapa Polisi (Bisa) Sejahat Itu? Ini Alasannya

Mengapa Polisi Lebih Jahat daripada Preman? Preman Tidak Disumpah Jabatan untuk Menegakkan Hukum, namun Polisi Disumpah Jabatan untuk Menegakkan Hukum dan Keadilan serta Diberi Gaji dari Pajak yang Dibayar Masyarakat maupun Memonopoli Penegakan / Akses Pidana

Polisinya Saja Jahat, bagaimana Penjahatnya?

Question: Polisi ada di sumpah jabatan untuk melindungi dan mengayomi masyarakat, mengenmban amanat sebagai aparatur penegak hukum. Namun, mengapa justru polisi itu sendiri yang kerap melanggar hukum? Lihat saja berbagai “sarang” para polisi berkantor dan bermarkas, semisal Kantor Polisi, tempat pembuatan SIM (Surat Izin Mengemudi) ataupun STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan), banyak terjadi pungutan liar, penyalahgunaan kekuasaan, maupun ajang pamer kekuasaan dan arogansi kalangan kepolisian. Bila di “sarang” polisi saja banyak kejahatan, terjadi secara masif dan terang-terangan, apa yang dapat kita harapkan dari keberadaan polisi di negeri ini?

Sekarang ini bahkan ada tragedi kemanusiaan, dimana Kepala Divisi Propam POLRI yang menjadi penegak etik, panutan, serta menjadi suri teladan tertinggi kalangan profesi polisi, justru memerintahkan anak buahnya yang juga anggota polisi, bahkan para petinggi kepolisian, untuk melakukan pembunuhan berencana terhadap warganegara lainnya. Anehnya, yang tidak masuk diakal ialah, mengapa polisi yang punya kewajiban dan tanggung jawab untuk menegakkan hukum, bahkan memonopolinya, justru “main hakim sendiri” dan melanggar hukum? Bagaimana masyarakat mau diharapkan untuk patuh terhadap hukum, bila polisinya sendiri saja melanggar hukum?

Keganjilan berikutnya yang tidak dapat diterima oleh nurani masyarakat luas ialah, bagaimana mungkin para polisi maupun perwira polisi yang menjadi bawahan sang atasan, menurut saja dan patuh ketika diperintahkan untuk membunuh alias merampas nyawa dan hidup warga lainnya, entah itu korbannya ialah warga sipil ataupun sesama anggota kepolisian? Jangan-jangan disuruh untuk lompat ke jurang dan ke neraka pun, mereka menurut dan patuh saja secara membuta. Kultur patuh dan menghamba pada iblis yang memberikan perintah jahat, bahkan melanggar tugas dan kewenangannya, menyalahgunakan kekuasaannya, “yes man” ABS—asal Bapak senang, sebenarnya apa akar penyebabnya?

Kita Bisa Bertekad dan Membuat Tekad untuk Pengondisian Kelahiran Kita Berikutnya

Karena Ada KEMATIAN, maka Ada KELAHIRAN

Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra

Question: Banyak sekali kejahatan dan pelaku kejahatan di republik ini, sementara itu polisi tidak bisa diandalkan, lebih sering mengabaikan dan menelantarkan aduan ataupun laporan korban dan masyarakat. Apakah dimungkinkan menurut hukum tumimbal lahir, untuk bertekad agar saya dikehidupan berikutnya, saat meninggal dunia dan terlahirkan kembali, diri saya ini bisa rebirt atau reborn sebagai seorang penegak hukum yang benar-benar dapat diandalkan oleh masyarakat untuk memberantas kejahatan?

Pejalan Kaki Vs. Banteng dan Kuda BESI (Pengendara Mobil dan Motor)

Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra

Question: Tidak mudah menjadi seorang pejalan kaki di negeri ini (Indonesia), kondisi jalan umumnya tidak layak dan tidak manusiawi (tidak pejalan kaki “friendly”). Ketika mendapati kondisi berat jalanan seperti adanya lubang ataupun ranting-ranting terjuntai di pinggir jalan ataupun atap-atap rumah di sisi kiri jalan yang pendek tingginya sehingga berpotensi melukai mata kami sebagai pejalan kaki yang berpostur tubuh tinggi, yang terpaksa dalam beberapa kesempatan karenanya harus bergeser ke bahu jalan agak ke tengah, pengendara kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat seketika mengklakson saya, bahkan tidak jarang memaki atau menatap ganas kepada saya selaku pejalan kaki.

Mereka bersikap seolah pejalan kaki menghalangi jalan mereka dan menjadi kasta paling rendah yang tidak berhak atas jalan (milik) umum. Namun tidak lama kemudian, tidak jauh dari ruas jalan yang sama, saya berjalan persis di sisi kiri bahu jalan, akan tetapi masih juga diklakson oleh pengedara dari arah belakang. Pejalan kaki sungguh-sungguh menjadi kalangan minoritas di republik (Indonesia) ini, mungkin karena trauma menjadi pejalan kaki yang selalu lemah jika menghadapi kuda atau banteng besi.

Jika pejalan kaki hendak memaki atau meneriaki mereka, pejalan kaki yang dipandang “tidak waras”, sementara itu mereka seenaknya dapat mengklaksoni seorang pejalan kaki dengan begitu kerasnya tanpa rasa malu ataupun bersalah, untuk mengintimidasi ataupun meminta didahulukan oleh pejalan kaki. Semestinya mereka merasa malu, namun dasarnya bangsa yang memang tidak punya rasa malu, bahkan justru meminta didahulukan oleh pejalan kaki.

Semestinya memberi jalan, bukan justru merampas hak pejalan kaki. Bagaimana kata-kata yang tepat dapat seorang pejalan kaki utarakan kepada mereka, bila mereka masih juga menuding pejalan kaki sebagai pengganggu ataupun penghalang jalan mereka? Karena jalan (milik) umum (selama ini) didominasi pengendara kendaraan bermotor, maka mereka berdelusi bahwa jalan umum adalah jalan milik mereka, para pengendara, bukan jalan milik pejalan kaki. Bukankan itu tidak logis serta tidak etis? Mengapa bangsa yang katanya tekun dan rajin beribadah ini, bahkan tidak tahu apa itu “etika berkendara”? Jangankan bersikap Tuhanis kepada Tuhan, bersikap humanis kepada sesama manusia pun mereka gagal.

Brief Answer: Pejalan kaki juga dapat bersikap diktator di jalan umum, ketika jumlah pejalan kakinya ialah lebih dari satu orang, biasanya berupa berjalan bersisian di kanan dan di kiri, bukan di depan dan di belakang, sehingga kerap memakan badan jalan dan menghalangi pengguna jalan lainnya, budaya mana telah ternyata bukan hanya monopoli Warga Negara Indonesia, warga asing pun punya tendensi atau kebiasaan serupa—itulah cerminan “power tends to corrupt”, mengingat jumlah orang lebih dari satu orang sudah merupakan “power” itu sendiri dan cenderung disalah-gunakan. Tidak terkecuali seseorang yang mengendarai kendaraan bermotor (“power”), baik roda dua maupun roda empat, kerap mengundang godaan berupa tendensi untuk bersikap sewenang-wenang di jalanan terhadap pihak yang lebih lemah dan paling lemah, yakni terhadap pejalan kaki.

Memang tidak mudah menjadi seorang pejalan kaki di Indonesia, kondisi jalan maupun infrastruktur yang tidak mendukung disamping tidak manusiawi, dimana pemerintah seolah lebih memerhatikan sarana dan prasarana bagi pengendara kendaraan bermotor, dan masih juga mentolerir pedagang kaki lima yang merambah trotoar dengan mengatas-namakan toleran terhadap usaha mikro, namun disaat bersamaan tidak toleran terhadap pejalan kaki.

Konon, orang-orang dengan tingkat intelijensi tinggi yang kerap disebut dijuluki “jenius”, adalah orang-orang yang menyukai akfitivas berjalan kaki dalam kegiatannya sehari-hari ketimbang berkendara, meski mereka memiliki kendaraan pribadi yang lebih banyak menghuni garasi. Bagaimana negeri ini mau mengasuh dan membesarkan seorang warga yang notabene bisa jadi “jenius”, bila di negeri ini kondisi jalan umumnya tidak ramah terhadap mereka, para pejalan kaki tersebut? Untuk menilai bangsa, penuh atau miskinnya warga yang tergolong “jenius”, maka lihatlah kondisi jalan umum ataupun jalan raya kita, jamak atau jarangnya pejalan kaki.

Berikut tips kalimat yang dapat diutarakan oleh kalangan pejalan kaki ketika dilecehkan oleh para pengendara kendaraan bermotor yang saling “bersinggungan” atau berkonflik dengan pejalan kaki sebagai sesama pengguna jalan, terutama ketika para kalangan pengendara kendaraan bermotor tersebut justru menyalahkan pihak pejalan kaki yang “malang” (karena harus menghadapi teriknya sinar mataharai yang menyengat, serangga yang mengancam, tebaran debu dan asap knalpot kendaraan bermotor, genangan air pada lubang jalan, jalan yang tidak rata dan penuh lubang, guyuran hujan, ranting-ranting yang menjuntai, atap perumahan yang terkadang sangat rendah, dsb):

“Jangan arogan. Jika (Anda) berani, berjalan kaki-lah, jangan naik kendaraan bermotor. Hanya pengecut yang beraninya naik kendaraan bermotor.

“Yang selama ini zalim, ialah pengendara kendaraan bermotor, bukan sebaliknya. Yang suka mengebut dan parkir sembarangan, adalah kalian, para pengendara. Namun yang selama ini selalu mengalah, adalah pejalan kaki.

“Kalian itu, para pengendara, begitu sabar ketika menemukan kendaraan yang parkir di bahu ataupun di badan jalan. Tapi sikap kalian kepada pejalan kaki, kalian klakson keras-keras dan arogan. Otak kalian taruh di mana sih, lebih bersabar terhadap benda mati daripada terhadap pejalan kaki (manusia)?”

PEMBAHASAN:

Kekuasaan maupun kekuatan, cenderung menggoda untuk disalah-gunakan, dimana pola yang sama selalu berulang, sepanjang zaman, baik penguasa negara maupun rakyat jelata sesama sipil. Mengendarai kendaraan bermotor, cenderung membuat pengendaranya bertendensi untuk menjadi arogan di jalan umum, menyalah-gunakan “bumper besi” kendaraan yang dikendarainya yang berpotensi melukai terutama terhadap warga yang lemah seperti pejalan kaki. Mengendarai kendaraan, adalah faktor kekuatan dan kekuasaan itu sendiri. Karenanya, “power” dalam pengejawantahannya di keseharian, bisa berupa faktor kekuatan dan kekuasaan karena memiliki sumber daya akses terhadap modal, menaiki dan mengemudikan kendaraan, dua orang yang berjalan kaki, kerap “tends to corrupt”. Apa yang diutarakan oleh Lord Acton bahwa, “Power tends to corrupt. Absolute power, corrupt absolutely”, selalu bersifat relevan dan aktual, bukan sekadar mitos ataupun pernyataan klise tanpa makna.

Secara pribadi, penulis pun merupakan seorang pejalan kaki yang aktif berjalan kaki dalam setiap keperluan saat berada di luar rumah, dan memang turut merasakan lewat pengalaman pribadi secara langsung betapa infrastruktur jalanan yang sangat amat tidak ramah dan tidak bersahabat terhadap kalangan pejalan kaki di Indonesia, terutama ibukota Jakarta yang notabene megapolitan, ditambah oleh faktor ketidak-disiplinan warga yang kerap memarkir kendaraan dengan merampas hak pejalan kaki atas trotoar maupun bahu jalan, pejalan kaki yang “berebut” ruang trotoar dengan “pedagang kaki lima” yang menggelar lapak dagangan secara merampas hak pejalan kaki, terlebih menghadapi manusia-manusia yang berkekuasaan dan berkekuatan karena mengendarai “banteng / kuda besi”.

Alhasil, pejalan kaki secara “de facto” memang merupakan “kasta” yang tersisihkan dan kurang mendapat perhatian pemerintah, semata karena merupakan kalangan “minoritas”—atau dipaksa dan terpaksa menjadi “minoritas”. Mengenai betapa “zolim”-nya pengendara kendaraan bermotor, dimana pejalan kaki selalu diposisikan sebagai “kasta rendahan” yang harus mengais-rais ruas jalan umum di Indonesia, dimana juga pejalan kaki yang kerap dipaksa dan terpaksa mengalah dari “ego” para pengendara yang merasa berhak memonopoli ruas jalan umum, kejadian berikut merupakan pengalaman pribadi penulis yang penulis alami dan jumpai pada ruas jalan manapun pada berbagai kota di Indonesia, entah ruas jalan yang sepi maupun ramai, sejak dahulu kala, saat kini, maupun tampaknya juga akan mengalami pola senada dimasa yang akan datang.

Ketika entah itu pengendara sepeda roda dua maupun sepeda motor melaju secara melawan arus, selalu saja 100% kejadiannya ialah penulis yang berjalan di sisi (paling) kiri jalan, sisi mana menjadi hak dari penulis, pengendara tersebut tidak mau mengalah, dan tetap melajukan “banteng besinya” dengan resiko penulis akan ditabrak dan tertabrak “bumper besi” sehingga berpotensi terluka, bilamana penulis tidak menghindarinya dengan bergeser agak ke badan jalan, dengan resiko terkena tabrak kendaraan yang melaju dari arah belakang—sekalipun para pengendara tersebut menyadari, bahwa penulis tidak memiliki mata indera penglihatan di belakang kepala, namun akibat “ego”, sang pengendara yang melaju secara melawan arus sekalipun dapat melihat arus lalu-lintas di belakang penulis, tetap tidak mau mengalah dan merampas hak pejalan kaki atas sisi kiri jalan (mengorbankan bahkan mengancam keselamatan pejalan kaki selaku pengguna jalan yang tertib), dan tetap melajukan kendaraannya secara melawan tanpa mengurangi laju kecepatan, tanpa rasa malu terhadap korban (pejalan kaki) maupun tanpa rasa takut (pada hukum karma). Mereka tidak takut melukai pejalan kaki (manusia), namun takut terhadap tilang elektronik berupa denda.

Bangsa “agamais”, namun dalam keseharian begitu produktif mencetak dosa. Buat dosa, siapa takut? Ada “penghapusan / pengampunan dosa” (aboliton of sins), agar tidak “mubazir”. Itulah yang terjadi, suatu fenomena sosial, ketika bangsa yang masih primitif—alias belum beradab—diberi kekuasaan dan keleluasaan mengendarai kendaraan bermotor, dapat dipastikan “tends to corrupt”. Kejadian begitu ini, pola yang sama selalu terulang menjelma budaya, dimana hampir selalu penulis jumpai, sedikitnya satu kali peristiwa setiap kali penulis berjalan kaki di luar rumah, pada ruas jalan umum manapun, yang menjadi cerminan betapa ironis serta memprihatinkannya perilaku yang diterima kalangan pejalan kaki oleh sikap arogansi pengendara kendaraan bermotor yang “irasional”.

Sudah dari bertahun-tahun lampau penulis dapati dan alami, bahkan juga kembali penulis alami pada pagi hari ini, peristiwa mana sudah tidak terhitung lagi jumlahnya penulis hadapi, ketika penulis berjalan kaki di sisi kiri jalan, pengendara entah pengendara roda dua maupun roda empat, mengklaksoni penulis tanpa sikap kompromi ataupun toleran, sekalipun kondisi jalanan begitu berat bagi penulis selaku pejalan kaki, tidak rata dan ditambah rerantingan tumbuhan yang tumbuh tidak terpangkas maupun atap-atap rumah yang pendek di pinggir jalan, namun tidak jauh di depan, hanya berselang beberapa ratus meter jauhnya, sang pengendara yang sama “mendadak bersabar”, “mendadak alim”, “mendadak penyabar”, dengan tidak mengklaksoni baik itu sepeda motor maupun mobil yang diparkir di bahu jalan atau bahkan memakan separuh dari badan jalan, dan dengan sabar menghentikan lajunya, menunggu adanya kesempatan untuk merayap ke lajur jalan seberang untuk bisa melintas.

Penulis adalah “makhluk hidup”, dimana kondisi pejalan kaki dan jalanan yang tidak ramah terhadap pejalan kaki sudah begitu menyukarkan para pejalan kaki, sehingga adalah momen tepat bagi pengendara untuk bersikap sabar dan toleran terhadap pejalan kaki, dimana para pengendara tersebut cukup duduk manis dan dapat sampai pada tujuan dengan cepat, bahkan masih pula menikmati subsidi bahan bakar dari pemerintah, tidak mengalami resiko tersengat serangga, ranting tanaman, maupun sinar terik mentari yang membakar, guyuran hujan, cipratan genangan air oleh kendaraan yang melintas, asap knalpot yang menyembur (terutama motor roda dua yang memakai knalpot “racing”), polusi udara, terserempet dan terluka, berjumpa “mad dog”, berpapasan dengan preman, maupun resiko-resiko lainnya.

Sementara itu, kendaraan yang dalam kondisi diparkir ialah “benda mati”, namun para pengendara yang melintas telah ternyata lebih bersikap toleran dan penyabar menghadapi benda mati daripada ketika mereka berhadapan dengan seorang manusia pejalan kaki yang sudah malang kondisinya, masih juga di-“bully” oleh arogansi penyalah-gunaan klakson kendaraan bermotor secara tidak bertanggung-jawab. Itukah yang disebut sebagai intelek, logis, berakal sehat, bertanggung-jawab, “agamais”, etis, sopan, santun, bertata-krama, Ketimuran, ataukah memang budaya khas Bangsa “Made in Indonesia”? Lagi-lagi, penjelasannya ialah “power tends to corrupt”. Bangsa Indonesia ialah bangsa yang bahkan belum siap untuk menggunakan alat-alat semacam “banteng besi”, karena tingkat peradabannya sama sekali masih belum memadai.

Perbuatan baik yang paling mendasar, bukanlah seperti berdana koin “recehan” ke kotak amal, namun kemauan untuk “bersikap sabar”. Bila seseorang tidak mampu bersikap bersabar, maka jangan harap ia mampu dan mau berbuat kebajikan yang lebih tinggi, seperti jiwa altruistik, berwelas asih, jiwa rela berkorban, berdonasi (namun bukan “recehan”), memaafkan, mengulurkan tangan untuk menolong, merawat, maupun berkegiatan sosial lainnya yang mana pada pokoknya ialah kerelaan berkorban, kerelaan mengalah, kerelaan bersabar, kerelaan memberikan.

Jangankan diharapkan sebagai bangsa yang gemar berdana—seperti disebut-sebut sejumlah media yang mengatas-namakan berdasarkan survei yang menyebutkan “Indonesia sebagai bangsa paling murah hati dan paling gemar berdana”—janganlah jauh-jauh mengklaim sebagai bangsa yang pemurah dan pemaaf, dimana faktanya untuk bersabar terhadap manusia (makhluk hidup) bernama “pejalan kaki” sekalipun, mereka telah ternyata gagal dan lebih bersabar terhadap benda mati semacam kendaraan yang diparkir / terparkir di pinggir maupun di badan jalan. Sama sekali tidak lucu, tidak logis, serta tidak patut untuk terus-menerus dilestarikan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Appreciating Life and Being Happy, is a Must. Menghargai HIdup dan Berbahagia, adalah Keharusan

HERY SHIETRA Appreciating Life and Being Happy, is a Must. Menghargai HIdup dan Berbahagia, adalah Keharusan

Having wise close people,

And sincerely love us,

It is a valuable condition,

We should be grateful and appreciate,

And maintain such positive relationships,

So that it doesn’t become extinct.

Jangan Bersikap Seolah-Olah Hanya Anda yang Berat dan Letih Mencari Uang

SEBELUM MEMINTA DIMAKLUMI, MAKLUMI DAHULU ORANG LAIN

Pada suatu pagi menjelang siang, saat hendak memasuki rumah untuk mengambil air, di depan gerbang kediaman penulis, melintas seorang bapak yang memikul tikar jualannya yang ia jajakan sepanjang jalan dengan berjalan kaki—“kerja keras”, alih-alih “kerja cerdas”, dimana yang bersangkutan bisa saja meminjam modal usaha untuk membeli sepeda dalam rangka berjualan tikar tanpa harus memikul tikar dagangannya.

The Paradox of Freedom, Responsibility, and Self-Control. Paradoks tentang Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Pengendalian Diri

HERY SHIETRA, The Paradox of Freedom, Responsibility, and Self-Control. Paradoks tentang Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Pengendalian Diri

For whose benefit and good,

Those freedom,

Responsibility,

And self-control?

When freedom,

Tend to lead us astray,

So we need to learn about self-control.

Gado-Gado Carina Bojong Indah, HARAM (BERACUN & JOROK TIDAK DICUCI, BUMBUNYA PESTISIDA PLUS KUMAN PENYAKIT)

Gado-Gado Carina, Bojong Indah, Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat, Bumbunya PESTISIDA, TOXIC! BERACUN! Halal ataukah Haram?

Gado-Gado Carina Menjual RACUN untuk Dimakan Konsumennya yang Bayar Mahal!

Gado-Gado Carina JUAL MAHAL NAMUN JUSTRU MERUSAK DAN MENCELAKAI KESEHATAN DAN KESELAMATAN KONSUMENNYA, DURHAKA, PENDOSA, JAHAT!

Hargai serta Optimalkan Potensi dan Bakat Diri Kita Sendiri, dengan Tetap Berwelas-Kasih terhadap Kekurangan dan Kelemahan Diri Kita

SENI SOSIAL

Berfokus pada Kelebihan dan Keunggulan Diri alih-alih Berjibaku pada Kekurangan dan Kelemahan

Prestasi-Prestasi yang Dimiliki Orang-Orang Besar, mampu Menutupi Berbagai Kekurangan Dirinya. Karenanya, Optimalkanlah Berbagai Keunggulan, Bakat, dan Potensi Diri Kita—alih-alih Bergelut dan Berjibaku pada Kelemahan Diri Kita

Question: Sebagai angkatan kerja yang tergolong masih sangat muda, mengapa saya merasa adanya ketidak-cocokan dengan berbagai pemilik perusahaan tempat saya mengajukan lamaran kerja? Mereka lebih banyak mencoba menggali kelemahan-kelemahan dan kekurangan saya ketimbang lebih ingin mengetahui maupun mengeksplorasi apa yang menjadi keunggulan dan kelebihan-kelebihan saya. Apa hanya saya sendiri saja yang “aneh” dengan perasaan semacam ini, atau memang lazim adanya dijumpai orang-orang seusia saya?

Agama Islam juga Mengenal Sistem Kasta Penggolongan Masyarakat

SENI SOSIAL

Agama Islam Mengenal dan Melestarikan Sistem KASTA, Kasta Pendosa-Penjilat, Kasta Kafir, dan Kasta Budak Seksuil

Question: Apakah ada agama lain diluar Agama Hindu, yang juga mengenal pembagian kelompok strata sosial masyarakatnya ke dalam segregasi semacam sistem kasta seperti pengotak-kotakan kaum di India yang masih berlangsung hingga dewasa ini?

TAMU yang Wajib Tunduk, Patuh, serta Menghormati Aturan Milik TUAN RUMAH, Bukan Sebaliknya. Kasus PENIPUAN Johnsen Tannato

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi

Johnsen Tannato, Gembel Sinting PENIPU yang Tidak Mau Bayar SEPESER PUN namun Mengklaim Dirinya sebagai Konsumen yang Merasa Berhak Meminta Dilayani oleh Profesi Konsultan yang ia PERKOSA dan PERBUDAK

Question: Ketika menghadapi orang-orang “irasional” dan “arogan” (orang-orang yang “sukar”) yang suka memaksakan kehendaknya sendiri dan tidak bersikap profesional, tidak mampu menghormati ataupun menghargai profesi orang lain maupun tuan rumah ketika bertandang, sebaiknya apa yang perlu kita utarakan agar sikap irasional mereka tidak semakin menjadi-jadi dan merongrong serta meresahkan pemilik rumah ataupun pemilik usaha?

JIka Anak Kandung Sendiri saja Mau dan Tega Disembelih Demi EGO, apalagi terhadap Orang Lain

SENI SOSIAL

Ada Beda antara Godaan Setan dan Cobaan Tuhan, namun Sama-Sama Berupa Bisikan Gaib

Menyembelih dan Mengorbankan Anak, Bukanlah Cinta, namun EGO

Question: Mengapa orangtua bisa begitu egoisnya kepada anak kandung sendiri? Apakah hanya anak, yang bisa durhaka?

Hidup adalah Perjalanan Mendidik Diri Kita Sendiri, Mengikis Sifat dan Pola Pikir Irasional

SENI PIKIR & TULIS

Akibat Cara Berpikir yang Irasional, Kita Memandang yang Tidak Penting sebagai Penting, dan yang Berharga sebagai Tidak Berharga

Kita Tidak Terlahir dalam Kondisi Rasional, Namun Irasional

Masih jelas dalam ingatan penulis, ketika penulis masih seorang bocah kecil yang bodoh, banyak sekali barang-barang yang penulis “bocah” lekati label sebagai “barang milik aku”, lalu melekat erat terhadapnya sedemikian rupa hingga menyerupai “posesif” yang agresif sifatnya. Ketika barang “milik aku” itu rusak karena suatu hal terutama kerusakan mana diakibatkan oleh perbuatan orang lain, penulis “bocah” menjadi ngambek, marah, hingga mengamuk, seolah-olah ada anggota tubuh penulis yang telah dilukai dan disakiti. Memiliki barang, ibarat membuat diri kita menjadi ringkih dan riskan, ketika barang tersebut rusak atau dirusak oleh orang lain, kita merasa seperti ada anggota tubuh kita yang terluka sehingga kita merasakan sakit dan menderita. Orang-orang yang memiliki banyak kepemilikan tanah tersebar di berbagai kota dan daerah, ketika terdapat satu saja objek tanah miliknya diserobot oleh pihak lain, maka ia akan merasa seolah ada bagian dari tubuhnya yang telah diamputasi, dicuri darinya, dan terluka berdarah.

Sesama Pendosa / Penjahat Biasanya Saling Kompromistis

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi

Question: Mengapa ada orang, yang mengakunya orang baik, tapi kok suka marah-marah?

Kiat Membentengi Diri dari Modus MANIPULASI PIKIRAN

SENI PIKIR & TULIS

Seni Berdiri di atas Kaki dan Pikiran Sendiri

Dunia ini Tidak Pernah Kekurangan para Penipu dan Penjahat

Manipulasi pikiran, kerap kita jumpai dalam keseharian, masif sifatnya, intrusif, terselubung ataupun yang eksplisit modusnya, kita sadari maupun tidak kita sadari telah menjadi sasaran manipulasi, serta kasat mata maupun tidak kasat mata. Manipulasi pikiran yang terselubung, penetrasinya berupa memberikan umpan berupa iming-iming agar lawan bicara termakan harapan semu. Sementara itu manipulasi pikiran yang eksplisit biasanya dilakukan dengan membuat lawan bicara merasa ketakutan lewat bentuk-bentuk ancaman, intimidasi, atau sejenisnya.

Dunia ini Tidak Pernah Kekurangan PLONCO Siswa / Mahasiswa, namun Miskin TELADAN

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra

Plonco Siswa / Mahasiswa, Tidak Berfaedah, mengapa masih Dibudayakan pada Lingkungan Akademik seperti Sekolahan maupun Kampus?

Question: Sebetulnya hal semacam per-plonco-an terhadap siswa maupun mahasiswa di sekolah dan di kampus, apakah ada manfaatnya dan hal positifnya, sehingga dari dulu hingga kini masih saja ada praktik plonco baik di sekolah maupun di kampus yang mana para siswa senior menjadikan plonco sebagai ajang balas-dendam serta pamer kekuasaan akibat relasi yang timpang antara senior dan junior? Mengapa juga pihak sekolah atau kampus, membiarkan praktik primitif kurang beradap semacam itu terus berlangsung?

Tidak Mengenal Manusia maka Tidak Sayang, namun Makin Mengenal maka Semakin Mengerikan

SENI PIKIR & TULIS

Manusia adalah Makhluk (yang) IRASIONAL, Tidak Logis dan Pintar-Pintar (namun) Bodoh

Umat Manusia Tidak Seindah yang Kita Bayangkan maupun Harapkan. Ini Dunia Nyata, bukan Dunia Dongeng yang Manis dan Ideal

Pepatah pernah berpesan, “tidak mengenal, maka tidak sayang”. Anekdot klise tersebut ada benarnya, namun sayangnya tidak betul-betul lengkap, mengingat terdapat ekor kalimat yang selengkapnya berbunyi, “..., namun semakin kita mengenal manusia, semakin kita merasa ‘ngeri’!” Mengapa kita patut merasa sebentuk “kengerian” ketika kita semakin mengenal hati dan isi atau cara berpikir seorang manusia? Semata karena kita semakin tahu “wajah asli” seseorang yang selama ini hidup berdampingan dengan kita, semakin kita tahu mengenai kekotoran batin yang dapat dimiliki dan dilekati oleh umat manusia, dan betapa manusia adalah “makhluk yang irasional” disamping penuh dengan “persona” (topeng)—manusia adalah “makhluk irasional”.

Bila HAUS DARAH disebut sebagai CINTA DAMAI, maka yang disebut sebagai ANTI KEDAMAIAN seperti apakah?

SENI JIWA

Pertanyaan bagi para Muslim, Mohon Klarifikasi dan Dijawab

Jika sedang Ibadah saja, seperti Itu Sikap para Muslim terhadap Orang Lain, (maka) bagaimana ketika Mereka Tidak sedang Beribadah?

Sering penulis bertanya kepada para kalangan Muslim, yang beribadah dengan praktik penggunaan speaker pengeras suara eksternal yang mereka pasang di Masjid, menyerupai “polusi suara” yang merampas ketenangan hidup maupun istirahat umat agama lain yang juga punya hak untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing tanpa saling mengganggu, maka bagaimana ketika mereka tidak sedang beribadah dan tidak sedang berbusana “agamais”, perampasan semacam apa yang akan mereka lakukan? Ketika para Muslim mengatas-namakan Agama Islam untuk berbuat apapun semau mereka, sebagai legitimasi atau justifikasi perbuatan apapun yang mereka perbuat, maka bagaimana dengan gaya hidup para Muslim tersebut ketika tidak sedang ber-“agamais”?

3 Faktor Relasi yang Ideal antar Manusia

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra Menjawab

Jangan Paksakan Diri maupun Keadaan, dan Jangan Bersikap Seolah-Olah Tiada Orang yang Lebih Layak dan Lebih Tepat untuk menjadi Pilihan Kita

Question: Yang disebut dengan relasi atau hubungan antar manusia yang sehat, positif, dan berfaedah, seperti apa bentuk dan contohnya?

Apakah hanya Anak yang dapat Durhaka? Apakah Orangtua tidak dapat Durhaka kepada Anak?

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra Menjawab

Masing-Masing Peran dan status Memiliki Tanggung-Jawabnya Sendiri

Question: Apakah hanya anak yang “memonopoli” kata “durhaka”? Bagaimana dengan banyak orangtua di luar sana, yang justru mengabaikan dan menelantarkan anak, atau bahkan membuat anak tersiksa hidupnya dan terjerumuskan oleh teladan buruk orangtuanya? Itu ibarat dua pasal “maut” untuk anak, berikut : Pasal Pertama, orangtua selalu benar dan anak selalu salah. Pasal Kedua, jika orangtua salah atau keliru, (maka) rujuk aturan dalam Pasal Pertama. Jadilah, orangtua lebih cenderung bersikap arogan (sewenang-wenang atau cenderung bersikap seenaknya) terhadap anak kandungnya sendiri sekalipun.

Orang Baik untuk Dihargai, Dilindungi, dan Dilestarikan, bukan untuk Dijadikan Sasaran dan Mangsa Empuk, agar Tidak Punah

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra Menjawab

Orang Suci pun Sesekali Perlu Menunjukkan TARING TAJAM-nya agar Tidak Dijadikan Objek BULLYING Tangan-Tangan Nakal

Hanya seorang Pengecut, yang Menjadikan Orang-Orang Baik sebagai MANGSA EMPUK

Question: Jika Agama Buddha memang adalah agama yang baik dan suci, mengapa para umatnya masih bisa marah dan galak kepada orang lain?