Ciri Orang Paling DUNGU Sedunia, Aneh namun Nyata dan Jamak di Tengah Masyarakat
Question: Seperti apakah ciri-ciri orang paling dungu di dunia ini, namun pertanyaan saya tidak terkait dengan tingkat IQ seseorang maupun sejenisnya? Apakah orang yang sudah berbuat keliru, ketika ditegur oleh korbannya, justru lebih galak, itulah orang paling dungu sedunia?
Brief Answer: Menurut Anda, apakah ada orang yang lebih dungu,
daripada orang yang begitu bersusah-payah menyusahkan dirinya sendiri serta
merepotkan diri dengan berbagai upaya dan sekuat tenaga (verba, kata kerja alias
sikap aktif, bukan pasif) dengan maksud / tujuan untuk menanam sebuah terlebih serangkaian
KARMA BURUK? Upaya pengingkaran dengan maksud berkelit atau membuat korban
tidak berdaya untuk meminta pertanggung-jawaban, merupakan sikap pengecut,
namun tidak lebih dungu dari tipikal karakter orang pertama yang disebutkan di
awal.
Orang yang cerdas, memakai “akal sehat milik orang
sehat”, bukan “akal sakit milik orang sakit”. Orang yang masih sehat akal pikirannya,
akan berpikir : Untuk apa merepotkan diri untuk berbuat keburukan alias bersusah-payah
sedemikian rupa untuk menanam KARMA BURUK? Sebaliknya, orang dungu justru
memiliki gaya atau paragidma berpikir yang berkebalikan. Faktanya, air tidak
perlu bersusah-payah untuk bergerak ke arah BAWAH, karena alamiahnya memang
aliran air bergerak ke arah BAWAH. Menjadi mengherankan ketika seseorang
bersusah-payah belajar, merencanakan, serta “all out” untuk berbuat
kejahatan.
PEMBAHASAN:
Dalam Buddhisme, terdapat
postulat berikut : penjahat yang paling beruntung, ialah penjahat yang selalu
gagal meng-gol-kan berbagai rencana dan aksi jahatnya. Sebaliknya, penjahat
yang paling malang ialah penjahat yang selalu berhasil dalam setiap niat dan upaya
jahatnya. Sibuk dan repot-repot menanam Karma Buruk, ibarat bersusah-payah
menjeruskan dirinya sendiri ke jurang neraka. Hanya orang berakal-sehat yang
mau bersusah-payah untuk hal-hal yang bermanfaat dan positif seperti menanam
Karma Baik, dan malas untuk berbuat sebaliknya. Fakta realitanya di lapangan,
demikian banyak diantara masyarakat kita yang justru memutar-otak sedemikian
rupa untuk menipu dan memanipulasi pihak lain, menyakiti orang lain demi memuaskan
keserakahan pribadi, meracuni kesehatan publik lewat produk-produk yang diklaim
“sehat” ataupun yang terang-terangan memproduksi polutan, bahkan hingga mengeksploitasi
lingkungan hidup hingga terjadi kerusakan secara masif dan menjadikan aktivitas
tersebut sebagai profesi keseharian mereka, baik berupa premanisme vulgar
maupun yang terselubung dan yang berkerah-putih.
Tengoklah apa yang telah dilakukan oleh Abrahan /
Ibrahim, yang memiliki niat buruk bahkan telah repot-repot melakukan serangkaian
persiapan serta permulaan perbuatan (verba, kata kerja) untuk sengaja merampas nyawa
/ menyembelih leher anak kandungnya sendiri, Ishaq / Ismail, demi ego pribadi
sang ayah, yakni agar sang ayah dapat BERSENANG-SENANG BERSETUBUH DENGAN
PULUHAN BIDADARI DI KERAJAAN ALLAH (selfish motive)—yang dalam
anekdot berbahasa Inggris : At
that time, Abraham / Ibrahim was not a father, but an EXECUTOR.
Mengapa seekor kuda, ditunggangi? Karena kuda adalah
makhluk dungu. Bila tidak, maka sebaliknya, kuda yang menunggangi manusia. Senyatanya,
ada kalangan manusia yang tidak ubahnya seekor kuda yang dungu, dapat ktia
simak khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:
14 (4) Anak Kuda Liar
“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian
tentang delapan jenis anak kuda liar dan delapan cacat seekor kuda, dan Aku
akan mengajarkan kepada kalian tentang delapan jenis orang yang serupa dengan
anak kuda liar dan delapan cacat seseorang. Dengarkan dan perhatikanlah, Aku
akan berbicara.”
“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang
Bhagavā berkata sebagai berikut:
“Dan apakah, para bhikkhu, delapan jenis anak kuda
liar dan delapan cacat seekor kuda?
(1) “Di sini, ketika seekor anak kuda liar disuruh:
‘Maju!’ dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia mundur [191] dan memutar
kereta ke sekeliling di belakangnya. Ada jenis anak kuda liar demikian di sini.
Ini adalah cacat pertama seekor kuda.
[Kitab Komentar : Mendorong kuk
ke atas dengan bahunya, ia mundur, memutar kereta ke sekeliling dengan sisi belakangnya.]
(2) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh:
‘Maju!’ dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melompat mundur dan
[karenanya] merusak palang dan mematahkan tongkat tiga. Ada jenis anak kuda
liar demikian di sini. Ini adalah cacat ke dua seekor kuda.
[Kitab Komentar : Ia menendang
dengan kedua kaki belakangnya, menghantam palang kereta, dan merusak palang. Ia
mematahkan tongkat tiga, ketiga tongkat di depan kereta.]
(3) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh:
‘Maju!’ dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melonggarkan pahanya
dari tiang kereta dan menabrak tiang kereta. Ada jenis anak kuda liar demikian
di sini. Ini adalah cacat ke tiga seekor kuda.
[Kitab Komentar : Setelah menurunkan
kepalanya, ia menjatuhkan kuk ke tanah dan memukul tiang kereta dengan pahanya
dan mematahkan tiang kereta dengan kedua kaki depannya.]
(4) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh:
‘Maju!’ dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia mengambil jalan yang
salah dan menarik kereta itu keluar dari jalurnya. Ada jenis anak kuda liar
demikian di sini. Ini adalah cacat ke empat seekor kuda.
(5) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh:
‘Maju!’ dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melompat dengan bagian
depan tubuhnya dan mengais udara dengan kaki-kaki depannya. Ada jenis anak kuda
liar demikian di sini. Ini adalah cacat ke lima seekor kuda.
(6) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh:
‘Maju!’ dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia tidak mematuhi pelatihnya
atau tongkat kendali 211 melainkan menghancurkan kekang mulutnya dengan giginya
[192] dan pergi ke manapun yang ia suka. Ada jenis anak kuda liar demikian di
sini. Ini adalah cacat ke enam seekor kuda.
(7) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh:
‘Maju!’ dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia tidak berjalan maju atau
berbalik melainkan berdiri diam bagaikan sebuah tiang. Ada jenis anak kuda liar
demikian di sini. Ini adalah cacat ke tujuh seekor kuda.
(8) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh:
‘Maju!’ dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melipat kaki depan dan
kaki belakangnya dan duduk di sana di atas keempat kakinya. Ada jenis anak kuda
liar demikian di sini. Ini adalah cacat ke delapan seekor kuda.
“Ini adalah kedelapan jenis anak kuda liar itu dan
kedelapan cacat seekor kuda itu.
Dan apakah, para bhikkhu, delapan
jenis orang yang serupa dengan anak kuda liar dan delapan cacat seseorang?
(1) “Di sini, ketika para bhikkhu mengecam seorang
bhikkhu atas suatu pelanggaran, ia berdalih dengan alasan tidak ingat,
dengan mengatakan: ‘Aku tidak ingat [telah melakukan pelanggaran demikian].’
Aku katakan orang ini serupa dengan anak kuda liar yang, ketika disuruh:
‘Maju!’ dan ketika dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia mundur dan memutar
kereta ke sekeliling di belakangnya. Ada jenis orang demikian di sini yang
serupa dengan seekor anak kuda liar. Ini adalah cacat pertama seseorang.
(2) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang
bhikkhu atas suatu pelanggaran, [193] ia balik memarahi si pengecam: ‘Hak
apa yang engkau, seorang dungu yang tidak kompeten, miliki untuk berbicara?
Apakah engkau benar-benar berpikir bahwa engkau boleh mengatakan sesuatu?’ Aku
katakan orang ini serupa dengan anak kuda liar yang, ketika disuruh: ‘Maju!’
dan ketika dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melompat mundur dan [karenanya]
merusak palang dan mematahkan tongkat tiga. Ada jenis orang demikian di sini
yang serupa dengan seekor anak kuda liar. Ini adalah cacat ke dua seseorang.
(3) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang
bhikkhu atas suatu pelanggaran, ia membalikkan pelanggaran itu pada si pengecam,
dengan mengatakan: ‘Engkau telah melakukan pelanggaran itu. Perbaikilah itu
terlebih dulu.’ Aku katakan orang ini serupa dengan anak kuda liar yang, ketika
disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia
melonggarkan pahanya dari tiang kereta dan menabrak tiang kereta. Ada jenis orang
demikian di sini yang serupa dengan seekor anak kuda liar. Ini adalah cacat ke
tiga seseorang.
(4) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang
bhikkhu atas suatu pelanggaran, ia menjawab dengan cara mengelak, mengalihkan
pembicaraan pada topik yang tidak berhubungan, dan memperlihatkan kemarahan,
kebencian, dan kekesalan. Aku katakan orang ini serupa dengan anak kuda
liar yang, ketika disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu dan didorong oleh
pelatihnya, ia mengambil jalan yang salah dan menarik kereta itu keluar dari jalurnya.
Ada jenis orang demikian di sini yang serupa dengan seekor anak kuda liar. Ini
adalah cacat ke empat seseorang.
(5) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang
bhikkhu atas suatu pelanggaran, ia berbicara sambil melambai-lambaikan tangannya
di tengah-tengah Saṅgha. Aku katakan orang ini serupa dengan [194] anak kuda liar yang, ketika
disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melompat
dengan bagian depan tubuhnya dan mengais udara dengan kaki-kaki depannya. Ada
jenis orang demikian di sini yang serupa dengan seekor anak kuda liar. Ini
adalah cacat ke lima seseorang.
(6) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang
bhikkhu atas suatu pelanggaran, ia tidak mematuhi Saṅgha atau pengecamnya melainkan
pergi ke manapun yang ia suka sambil masih membawa pelanggarannya. Aku katakan orang ini serupa dengan
anak kuda liar yang, ketika disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu dan didorong
oleh pelatihnya, ia tidak mematuhi pelatihnya atau tongkat kendali melainkan
menghancurkan kekang mulutnya dengan giginya dan pergi ke manapun yang ia suka.
Ada jenis orang demikian di sini yang serupa dengan seekor anak kuda liar. Ini
adalah cacat ke enam seseorang.
(7) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang
bhikkhu atas suatu pelanggaran, ia tidak mengatakan, ‘aku melakukan pelanggaran,’
ia juga tidak mengatakan, ‘aku tidak melakukan pelanggaran,’ melainkan ia
menjengkelkan Saṅgha dengan berdiam diri. Aku katakan orang ini serupa dengan anak kuda
liar yang, ketika disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu dan didorong oleh pelatihnya,
ia tidak berjalan maju atau berbalik melainkan berdiri diam bagaikan sebuah
tiang. Ada jenis orang demikian di sini yang serupa dengan seekor anak kuda
liar. Ini adalah cacat ke tujuh seseorang.
(8) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang
bhikkhu atas suatu pelanggaran, ia mengatakan: [195] ‘Mengapa engkau begitu
cerewet tentang aku? Sekarang aku akan menolak latihan dan kembali kepada
kehidupan rendah.’ Kemudian ia menolak latihan, kembali kepada kehidupan
rendah, dan mengatakan: ‘Sekarang kalian boleh puas!’ Aku katakan orang ini
serupa dengan anak kuda liar yang, ketika disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu
dan didorong oleh pelatihnya, ia melipat kaki depan dan kaki belakangnya dan
duduk di sana di atas keempat kakinya. Ada jenis orang demikian di sini yang
serupa dengan seekor anak kuda liar. Ini adalah cacat ke delapan seseorang.
“Ini, para bhikkhu, adalah kedelapan jenis orang itu
yang serupa dengan anak kuda liar dan kedelapan cacat seseorang itu.”
Telah ternyata tampaknya ada
yang lebih dungu daripada seekor kuda maupun keledai. Ketika kuda ataupun
keledai jatuh di suatu lubang, mereka tidak akan jatuh di lubang yang sama. Akan
tetapi, terdapat manusia-manusia bernama umat agama samawi, yang setiap hari
untuk sepanjang hidup dan seumur hidupnya jatuh dalam vonis “hidup dan mati
sebagai seorang PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA”. Alih-alih memperbaiki diri, berlatih
disiplin diri yang ketat bernama “self-control”, maupun mengasah jiwa
ksatria dengan berani tampil untuk bertanggung-jawab sehingga korban tidak
perlu mengemis-ngemis pertanggung-jawaban, para “manusia hewan” bernama “PENDOSA
PECANDU PENGHAPUSAN DOSA” tersebut begitu tenggelam dan mengubur diri ke dalam
lembah nista bernama “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN” bundling “PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN /
PENEBUSAN DOSA”—kesemuanya dikutip
dari Hadis Sahih Muslim:
- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan
membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya,
maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.”
- No. 4857 : “Barang
siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji
bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya
akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
- No. 4863 : “Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam
dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No. 4864 : “Apabila
ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya
tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii
warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku
dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No. 4865 : “Ya
Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah
Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai
berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”
- Aku mendengar Abu Dzar dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan
memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan
tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan
berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia
mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
- Dari Anas
radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam,
selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni
dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun
kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau
menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak
isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku
datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula”. (HR.
Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]
PENDOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, moral,
hidup suci, luhur, adil, jujur, mulia, agung, lurus, bertanggung-jawab, berjiwa
ksatria, dan bersih? Itu menyerupai ORANG BUTA yang hendak membimbing para
BUTAWAN lainnya, berbondong-bondong secara deras menuju jurang-lembah nista,
dimana neraka pun diyakini sebagai surga. Alhasil, sang nabi rasul Allah dalam
keseharian lebih sibuk mabuk serta kecanduan “PENGHAPUSAN DOSA” (bagi PENDOSA
maupun KORUPTOR DOSA, tentunya), alih-alih introspeksi diri, mengenali serta
mengakui perbuatan buruknya, meminta maaf kepada korban-korbannya, terlebih
menggunakan waktu yang ada untuk bertanggung-jawab kepada mereka, lebih sibuk
lari dari tanggung-jawab ketimbang sibuk untuk mempertanggung-jawabkan
perbuatannya sendiri, layak diberi gelar “RAJA PECUNDANG nan PENGECUT”—juga
masih dikutip dari Hadis Muslim:
- No. 4891. “Saya
pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang
belum aku lakukan.’”
- No. 4892. “Aku
bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang
telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No. 4893. “dari
'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca:
‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang
belum aku lakukan.’”
- No. 4896. “dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai
berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan,
kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah bertanya kepada
Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah
Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan
datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]