Masih Belum Matang, dan Masih Bisa Berbuat Keliru, merupakan Kesadaran Awal yang cukup Baik dalam Rangka Perbaikan Diri

SENI PIKIR & TULIS

Kesalahan untuk Diakui, Bukan untuk Dipungkiri, namun Jangan pula secara FatalistiK Dijadikan sebagai Akhir dari Riwayat Kita

Jujur pada Diri Sendiri bahwa Kita Masih bisa Berbuat Keliru, Bukanlah Akhir dari Segalanya, namun Awal dari Segalanya

Tidak sedikit pihak-pihak dari beragam kalangan latar belakang, yang telah membaca berbagai publikasi karya tulis penulis dibidang ilmu hukum dan sosial, menyatakan bahwa penulis merupakan pribadi yang tergolong memiliki kecerdasan “diatas rata-rata”. Faktanya, penulis tidak pernah memandang diri penulis secerdas itu, bahkan jauh dari itu. Orang-orang yang tergolong “jenius”, menurut sejumlah sumber, disebutkan bahwa tidak ada orang-orang yang diklasifikasi sebagai pemilik IQ “jenius” memandang bahwa dirinya adalah seorang “jenius”. Faktanya pula, penulis kerap melakukan kesalahan-kesalahan “konyol” yang seringkali penulis sesalkan sendiri dikemudian hari.

Ternyata diri pribadi penulis masih bisa berbuat berbagai kesalahan-kesalahan “bodoh” yang “konyol” serta “sebego ini dan setolol itu”, membuat penulis menyadari bahwa diri penulis belumlah benar-benar “jenius” sebagaimana disebutkan sejumlah kalangan. Di depan layar dan di atas panggung, kita bisa jadi tampil dengan performa terbaik dan tampak “gemilang” hampir tanpa cacat dan mendapatkan aplaus yang antusias dari para audiens yang hadir menyaksikan. Namun di balik layar, semua itu terjadi berkat latihan serangkaian “try and error” yang panjang dan meletihkan karena harus jatuh dan bangun, bercucuran air mata keringat bahkan tetesan darah dalam arti yang sesungguhnya. Tampil hanya satu atau dua jam, persiapannya dapat memakan waktu berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan dan bertahun-tahun, demi “kesempurnaan”.

Dengan masih dapat melakukan kesalahan, menyadari dan mengakuinya, dengan begitulah kita tidak menjadi pribadi yang tinggi hati. Ketika kita tinggi hati, maka kita cenderung jatuh dan terjebak dalam delusi seolah-olah diri kita telah berada di posisi terpuncak, telah penuh bagaikan gelas yang terisi penuh oleh air sehingga tidak perlu diisi oleh air lainnya, bahkan berdelusi diri ini telah “sempurna” tanpa cela serta tanpa cacat. Ketika kita telah merasa sebagai terunggul pada suatu bidang, kita cenderung setelahnya jatuh dalam kondisi “stagnan”. Itulah sebabnya, menjadi juara bisa jadi bumerang yang memerangkap mental sang pemenang.

Pembelajaran, prosesnya, disebutkan ialah untuk sepanjang hayat—karenanya kita tidak boleh berhenti dan melekat pada satu momen atau satu titik, karena momen atau titik pada suatu masa akan menjadi bagian dari masa lampau satu detik kemudian, momen demi momen terus bergulir. Itulah pentingnya untuk tetap hidup pada masa kekinian, dengan mengikuti perkembangan zaman, update informasi dan pengetahuan / keterampilan, melakukan inovasi dan penemuan baru, agar tidak tertinggal oleh kemajuan zaman yang terus berubah dan bergerak secara dinamis, disamping kompetisi yang kian ketat.

Terkadang, kita perlu melepaskan diri dari kemelekatan atas pencapaian dan keterampilan yang kita miliki pada masa lampau, dan bergerak maju disesuaikan dengan perkembangan “current moment” yang menjadi keadaan kontemporer suatu zaman terkini. Yang dulu “efektif”, mungkin saat kini sudah tidak lagi relevan. Mungkin itu bisa menjadi semacam “kabar baik”, bahwa diri kita masih eling, karena menyadari perbuatan keliru yang telah dan pernah kita lakukan. Orang-orang gila, tidak menyadari betapa “konyol” diri mereka, itulah yang membedakan mereka dari orang-orang yang tergolong waras, yakni kemampuan dalam menyadari perihal diri mereka sendiri. Sama halnya, ketika tubuh fisik kita masih bisa merasakan rasa sakit, maka itu adalah “kabar baik” bahwa kita setidaknya, masih hidup!

Bagaimana mungkin seseorang yang disebut-sebut sebagai “jenius”, melakukan hal yang sekonyol dalam kisah nyata berikut ini. Pada suatu hari, seorang warga keluar dari balik pintu pagar rumah untuk membuang bungkusan kantung plastik berisi sampah, ke dalam tong sampah di depan rumah. Ketika menjatuhkan kantung plastik berisi sampah ke dalam tong sampah, tong sampah tersebut terjatuh dan menjadi tergeletak di tanah. Agar kucing-kucing domestik yang berkeliaran tidak merobek-robek kantung plastik dan membuat sampah-sampah di dalamnya berceceran, sebagaimana kebiasaan para kucing yang tidak bisa diajak kompromi, maka sang warga dengan jari tangan telanjang (naked hand) menaikkan tong sampah yang penuh kerak bekas kotoran ke atas, ke posisinya semula.

Setengah menit kemudian, barulah ia menyadari “kebodohan” dirinya, betapa tong sampah merupakan tempat paling kotor di dunia ini, penuh bakteri, virus, dan kotoran kimiawi ataupun kotoran hewan lainnya. mengapa harus dengan tangan telanjang yang bisa saja terluka terkena benda tajam atau terpajan virus dan bakteri, dimana sejatinya kita bisa saja menggunakan alat bantu semisal kantung plastik sekali pakai atau paling mudahnya sedikit merepotkan diri mencari daun kering yang berguguran untuk menjadi alas bagi jari tangan saat menyentuh sisi dari tong sampah? Kemalasan berpikir, pangkal kebodohan.

Akhirnya, selama seharian itu dirinya “uring-uringan” menyalahkan dirinya sebagai “betapa bodohnya aku”. Demi sikap malas bergerak dan malas berpikir sesaat, kini habis waktunya untuk menyesali perbuatannya yang tidak dapat diputar ulang dan “uring-uringan” selama seharian penuh. Itu adalah salah satu contoh kecil di keseharian, yang mana sehari-harinya juga kerap ia melakukan kesalahan-kesalahan “konyol” yang sama bodohnya atau bahkan lebih “tidak berotak” daripada itu. Bukankah mustahil, orang “jenius” melakukan kesalahan sedungu itu?

Artinya, bila kita pun kerap melakukan kekonyolan serupa, menyebut diri sendiri sebagai “dungu”, maka setidaknya (sebagai penghibur diri) kita tidak terjebak dalam delusi bahwa diri kita sudah cerdas dan “jenius”. Kita perlu bersikap dan berpikir secara lebih cerdas. Kerja cerdas, bukan kerja keras. Secerdas dan seunggul apapun kita, bila tertinggal dari dinamika sosial-kemasyarakatan yang terus bergerak, maka kita akan tersisih dan menemukan diri kita terdegradasi dari urutan puncak meluncur hingga ke titik terendah dalam tempo waktu yang singkat.

Berkebalikan itu, terdapat dan dapat kita jumpai pula pribadi-pribadi yang berkelakuan “sok pintar” dan “sok tahu”, dimana diri bersangkutan selalu bersikap seolah-olah paling pintar seorang diri, sementara orang lain dianggap bodoh dan selalu salah, mampu mengkritik kesalahan orang lain hingga ke hal-hal paling kecil tidak substansil dan tidak signifikan untuk disinggung, namun disaat bersamaan selalu gagal melihat cacat-cela dirinya sendiri yang tidak luput dari melakukan “unforce error” (istilah yang merujuk kepada “kesalahan yang tidak perlu dilakukan”).

Disinilah pentingnya kesadaran. Semakin kuat kesadaran kita, dengan latihan berkesadaran dan tidak mengkonsumsi makanan maupun minuman yang melemahkan kesadaran, maka semakin mampu dan tajam persepsi kita dalam menangkap berbagai fenomena yang terjadi dan mengidentifikasikannya secara jernih sebagai “keliru” ataukah “sudah tepat” adanya. Sebagai contoh, mereka yang kerap berlatih meditasi, barulah menyadari bahwa betapa tubuh dirinya selama ini memiliki rasa sakit secara laten yang tidak pernah diperhatikan olehnya—semata karena kurangnya kesadaran alias kurang disadari olehnya selama ini. Semakin diamati dan disadari, semakin kentara dan kuat rasa sakitnya. Jika dibiarkan selama bertahun-tahun, tidak tertutup kemungkinan bibit penyakit tersebut akan membesar seiring waktu, menjelma tumor hingga kanker serius. Barulah ia menyadarinya, ketika segala sesuatunya telah “terlambat”, menjelma akut dan stadium lanjut dan tidak lagi tertolong.

Kita selama ini membawa-bawa rasa sakit dalam tubuh kita kemana pun kita berada, pergi, dan beraktivitas, secara laten dan jarang kita sadari karena pikiran kita sibuk oleh kesibukan sehari-hari sehingga selalu teralihkan (terdistraksi) untuk menyadari keberadaan berbagai penyakit yang bersarang dalam tubuh diri kita, ataupun oleh akibat kesibukan, obsesi dan pekerjaan kita yang tiada habis-habisnya untuk diraih dan ditawarkan. Hingga daya tahan tubuh kita tidak lagi mampu menopang berbagai rasa sakit yang bersarang dan bersemayam dalam diri, barulah kita mengalami kolaps ketika tubuh kita “ngambek” serta “mogok”, dan jatuh sakit “bed rest” disertai selang infus menembus perbuluh darah di pergelangan tangan, dimana seringkali sudah jauh terlambat karenanya tingkat penyakitnya telah akut sehingga membutuhkan penanganan yang lebih ekstra, itu pun tanpa jaminan akan pasti dapat diselamatkan.

Ketika seseorang bermeditasi sebagaimana diajarkan oleh Sang Buddha dalam satipatthana sutta, perhatian menjadi terpusat pada fenomena tubuh, barulah pada saat itu kita menyadari apa yang telah terjadi pada tubuh kita, tumpukan penyakit bersarang demikian mengerikannya dan selama ini kita bengkalaikan atau bahkan perparah oleh gaya hidup kita sehari-harinya. Para penderita hepatitis (kanker hati), kerap kali baru menyadari dirinya “sakit” ketika semuanya sudah terlambat, stadium lanjut yang sudah tidak lagi terselamatkan. Kalangan medik menyebutkan, “early warning system” merupakan sistem pertahanan tubuh terbaik, berupa pemberian alaram peringatan, agar penyakit fisik tidak berlanjut hingga ke titik dimana “point of no return”.

Terdapat kisah yang cukup menarik menyimak sejarah atau legenda kehidupan seorang tokoh samurai legendaris yang hidup ribuan tahun lampau di Jepang, Miyamoto Musashi, sebagaimana diulas dalam novel sejarah yang ditulis oleh Eiji Yoshikawa, dikisahkan ketika Musashi melakukan kekeliruan ataupun kegagalan, ia tidak jatuh dalam kondisi putus asa ataupun depresif dan pasrah, namun inilah yang ia katakan : “Ternyata saya masih belum matang.” Alih-alih melakukan “self talk” kepada diri sendiri dengan pilihan kalimat yang negatif seperti “saya bodoh”, “saya tidak berguna”, dan kalimat-kalimat negatif destruktif yang membajak dan menjatuhkan mental lainnya, kita dapat menyatakan kalimat yang lebih positif serta konstruktif bagi kebaikan serta optimalisasi potensi kita saat tumbuh-kembang, bahwa “saat ini saya masih belum matang”.

Melakukan kesalahan, bukanlah “penyakit”, namun adalah manusiawi adanya. Kita dilahirkan bukan dalam kondisi sudah sempurna, namun justru dalam misi menyempurnakan diri lewat perjuangan penuh berkesadaran—hanya orang sadar, yang menyadari tentang siapa dirinya dan yang mengetahui dimina dirinya selama ini dan saat kini tengah berpijak. Proses pembelajaran dan untuk “menjadi”, adalah tugas sepanjang hayat agar tidak terjebak dalam delusi pribadi. Penyakit sosial yang kerap melanda umat manusia, ialah ketika dirinya gagal mengidentifikasikan kesalahan dan sikap-sikap negatif dan perilaku buruk dirinya sendiri, dicerminkan oleh sikap dan sifat seolah-olah dirinya sudah benar, selalu benar, paling benar, yang merupakan delusi semata mengenai diri yang seakan sudah sempurna sehingga tidak mungkin keliru, dimana dalam ruang pikirannya yang masih disisakan ialah hanya satu kemungkinan lain yang tersisa, yakni : hanya orang lain yang bisa salah sementara dirinya sendiri selalu benar.

Melakukan kesalahan dan kekeliruan, langkah selanjutnya yang dapat kita lakukan ialah mengidentifikasi kekeliruan dan kesalahan yang telah pernah kita perbuat, mengakuinya, sebelum kemudian belajar dari kesalahan tersebut, dalam rangka memperbaiki diri dan mengurangi berbagai sikap maupun sifat irasional yang selama ini membuat kita jauh dari kata “sempurna”. Bila kita masih belum “sempurna”, setidaknya kita tidak jauh-jauh sekali dari kata “sempurna”, atau bahkan kian hari kian menjauh dari kesempurnaan dan kian bergeser menjauh dari itu.

Pergeseran, terjadi secara gradual. Sama seperti kita secara mendadak mendapati diri kita telah tumbuh begitu besar dan tingginya (manusia dewasa), sementara dulu kita masih sangat pendek dan kecil saat kanak-kanak. Seseorang pun dapat menjelma menjadi pribadi yang jahat dan buruk, terjadi secara gradual perlahan-lahan, dimana tanpa disadari ia telah melenceng jauh dari garis lajur semula, bahkan berakhir pada lajur yang berlawanan arah—berkat atau akibat pergeseran secara gradual perlahan-lahan sehingga terjadi perubahan terhadap diri kita, tanpa kita sadari.

Orang-orang yang gagal mengidentifikasi kekeliruan dan tidak menyadari kesalahan yang pernah telah dilakukan olehnya, ataupun mereka yang menyadari namun tidak berjiwa besar untuk mengakuinya, akan lebih cenderung jatuh kedalam “lubang” yang sama—lebih dungu daripada seekor keledai yang konon tidak akan jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Jatuh ke dalam lubang, memang memalukan. Namun, kita perlu mengakuinya sebelum kemudian belajar dari pengalaman buruk tersebut, sepahit apapun, bukan untuk dilupakan ataupun menghantui kita untuk seumur hidup, namun dalam rangka untuk tidak mengulangi kesalahan serupa.

Jika masih juga terjatuh dalam lubang yang sama, artinya kita belum benar-benar belajar dari pengalaman tersebut. Bagaimana kita dapat belajar dari kesalahan dan pengalaman buruk, bila kita bahkan berupaya memungkirinya sedemikian rupa dengan seketika menghapusnya dari ingatan (sebagai bentuk penghiburan diri yang kurang sehat), karena lemahnya daya tahan mental mendapati kenyataan yang kurang menyenangkan demikian. Pengalaman buruk memang tidak menyenangkan, namun berarti sebagaimana kata pepatah : Yang manis jangan langsung ditelan, dan yang pahit jangan langsung dibuang. Dengan mengakuinya, kita menjadi terbuka serta membuka diri untuk belajar.

Sadari, kenali, akui, dan pelajari, itulah serangkaian proses yang dilakukan oleh mereka yang memandang dirinya sebagai seorang pembelajar yang masih perlu belajar dan kembali belajar. Mengakui kekeliruan bukanlah suatu aib, namun sebagai bagian dari penguatan keberanian mental disamping proses pembelajaran dalam rangka rangkaian “menjadi” itu sendiri, yang suka atau tidak suka memang harus kita hadapi dan lampaui sebagai bagian dari “resiko hidup” ditengah-tengah ketidak-pastian hidup.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.