Agama yang Optimis Vs. Agama yang Pesimis

Agama yang Menjual dan Mengumbar Iming-Iming Bukanlah Agama yang Positif-Optimis, namun DELUSIF bagi para Pemimpi

TRUTH ALWAYS BITTER, sementara Itu Iming-Iming Selalu MANIS. Namun, yang Manis Jangan Langsung Ditelan, dan yang Pahit Jangan Langsung Dibuang

Mengobral Penghapusan / Pengampunan / Penebusan Dosa bagi para Delusif Penuh Kecurangan serta bagi para Pesimis yang Merasa menjadi Orang Baik Bukanlah Penentu Masuk Surga

Question: Banyak yang mencibir ajaran Buddhist, seolah-olah yang ada hanya kekelaman serta penderitaan, bahwa hidup ini adalah duka. Sebenarnya apa kriteria, sehingga seseorang dapat mengatakan bahwa suatu agama adalah mengajarkan dogma-dogma yang bersifat optimis ataukah sebaliknya, pesimistik?

Brief Answer: Untuk mudah dan sederhananya, jika seseorang cukup menjadi orang baik-baik—dengan tidak melakukan kejahatan dan rajin melakukan kebajikan—maka sudah memadai untuk bisa masuk alam surgawi dan menjadi penghuninya sebagai dewa atau dewi, maka untuk apa lagi didikte serta tersandera tanpa daya oleh diktatoriat “agama samawi”, itulah yang menjadi cerminan konkret seorang manusia yang optimis dan ber-“positive thinking”. Tanpa perlu menggadaikan jiwa dengan menjadi budak praktik ritual sembah-sujud, seseorang dapat menggunakan haknya untuk “self determination” secara berdaya dan swadaya menentukan nasibnya sendiri, itulah yang disebut sebagai berpikiran positif.

Sebaliknya, ketika seseorang umat berkeyakinan dan berasumsi bahwa hanya umat satu agama tertentu saja, yang memonopoli alam surgawi, dimana menjadi orang baik ataukah pendosa (penjahat, alias orang jahat) tidak lagi relevan sebagai penentu akan masuk surga ataukah neraka, namun di-determinasi oleh faktor yakin atau tidaknya pada suatu “Tuhan” versi agama tertentu, maka itulah yang tepatnya disebut sebagai “negative thinking”. Banyak penjud! yang yakin seyakin-yakinnya bahwa dalam permainan selanjutnya ia akan mengalami kemenangan besar, namun telah ternyata keliru dan selalu dikecoh oleh delusinya. Sama halnya, para pendosa yang yakin seyakin-yakinnya akan masuk alam surgawi setelah melakukan banyak perbuatan buruk, semata karena ritual sembah-sujud, adalah delusif.

Dahulu, ribuan tahun lampau, sebelum “agama samawi” dilahirkan, tiada orang jahat yang berdelusi akan dapat masuk surga setelah melakukan serangkaian banyak perbuatan-perbuatan jahat semasa hidupnya. Kini, para pendosa berbondong-bondong serta berlomba-lomba mengoleksi dosa, mereproduksi dosa, menimbun diri dengan dosa, menggunungkan dosa, berkubang dalam dosa, serta mengubur diri dengan dosa akibat termakan serta memakan iming-iming janji-janji surgawi berupa ideologi korup bernama “penghapusan / pengampunan” maupun “penebusan dosa”.

Dahulu, ratusan juta tahun lampau, sejak nenek-moyang umat manusia, yakni para manusia purbakala, lahir ke dunia ini, maka manusia-manusia baik menikmati apa yang disebut oleh Sang Buddha sebagai “kebahagiaan dibalik moralitas” alias kebahagiaan menjadi orang baik—setidaknya nyaman dengan diri mereka sendiri alias mampu “self love”—serta tidak takut mati karena mereka sadar betul bahwa dirinya bukanlah orang jahat, namun orang baik yang suka berbuat kebaikan, sehingga mereka patut berharap dan mengimpikan alam surgawi setelah tutup usia dengan bekal perbuatan-perbuatan baiknya semasa hidup.

PEMBAHASAN:

Dukkha”, yang disebutkan oleh Sang Buddha, lebih tepatnya dimaknai sebagai “tidak memuaskan dan tidak akan terpuaskan secara permanen ataupun secara mutlak”. Akibat kekotoran batin yang menutupi atau mengeruhkan pandangan, banyak diantara kegembiraan maupun kesenangan duniawi yang disukai para manusia telah ternyata tampak sebagai derita di mata seorang Buddha yang menghindari perbuatan-perbuatan “menyenangkan” duniawi tersebut. Para manusia bahkan cenderung menyakiti dan melukai diri mereka sendiri, bahkan juga bersikap egois terhadap diri mereka sendiri dengan menggali “lubang kubur” untuk mereka sendiri dengan menanam banyak perbuatan jahat untuk mereka petik sendiri buah Karma buruknya di masa mendatang.

Tumimbal lahir, alias siklus roda perputaran hidup dan mati, untuk kemudian terlahir kembali sebelum kemudian akan kembali meninggal, dan begitu seterusnya, bagai siksaan tanpa akhir itu sendiri, alias “never ending stories” yang tidak akan pernah usai dan tiada berkesudahan, dimana selama ini menurut “sutta pitaka” disebutkan bahwa kelahiran kembali kita sudah tidak lagi terhitung, dimana banyaknya tulang-belulang kita pada berbagai kehidupan sebelumnya sekalipun ditumpuk maka gunung himalaya pun kalah tingginya, dimana air mata yang pernah kita teteskan masih lebih banyak daripada jumlah volume air pada berbagai samudera disatukan.

Never ending stories”, merupakan “dukkha” itu sendiri, dimana menyadari hal tersebut lewat meditasi ataupun “past life regression”, membuat kita merasa muak serta jemu terhadap siklus tumimbal lahir tanpa akhir yang tiada berkesudahan ini. Hanya ketika seseorang telah merealisasi Nibbana, barulah seseorang manusia tidak akan lagi terjerat dalam siklus tumimbal lahir dimana dewa pencabut nyawa tidak lagi berkuasa atas dirinya, namun dengan syarat sang manusia harus berjuang keras mengikis segala bentuk kekotoran batin dalam dirinya sendiri dengan melepaskan segala kemelekatan duniawi yang selama ini menjerat banyak umat manusia—alias berjuang “melawan arus”. Kapankah, seseorang baru dapat dikatakan telah merealisasi Nibbana? Jawabannya ialah yakni ketika seseorang tersebut telah mampu “break the chain of karma” atau “break the shacle of kamma”.

Dengan menyadari serta melihat langsung bahaya dibalik kegiuran duniawi yang mana ada “harga” yang harus dibayarkan, yakni fakta perihal “dukkha”, dimana kesenangan duniawi ibarat seekor ular berbisa—yang dalam perumpamaan oleh Ajahn Chah, kita menikmati memegang ekor sang ular dimana resikonya kita akan terpatuk oleh kepala dengan bisa beracun ular tersebut—maka kita akan mengalihkan atau setidaknya berpikir-ulang apa yang menjadi tujuan utama hidup kita, dari semula begitu “duniawi” menjadi lebih kepada “spiritual practice” seperti bermeditasi, belajar melepas, berbuat kebajikan, serta latihan pengendalian diri lewat praktik mawas diri agar tidak jatuh dalam perbuatan-perbuatan jahat.

Contoh “ada harga dibalik kesenangan duniawi”, kita menjadi melekat dimana ketika kita melekat konsekuensinya ialah kita kehilangan kedamaian dan kebahagiaan hidup akibat kian banyaknya ketergantungan hidup yang menyandera. Kedua, menikmati kesenangan duniawi ekstrem seperti minuman beralkohol, bakaran tembakau, hingga obat-obatan terlarang, membuat sang pecandu akan kehilangan sifat-sifat baik, tidak terkendali, dan menjadi budak candu untuk seumur hidupnya. Jauh lebih bahagia manusia yang bebas dari perbudakan zat madat yang memabukkan dan yang membuat kecanduan yang menyandera serta merampas kemerdekaan seseorang. Dari semula bebas, menjadi tersandera untuk seumur hidupnya, itulah candu. Jika hidup ini adalah “suka”, maka orang-orang tidak akan tergiur atau tergoda menjebloskan diri ataupun terjebloskan ke dalam lembah gelap bernama candu.

Pernah kisahkan, seseorang menyewa dan tidur bersama seorang “wanita tuna susila” di sebuah hotel, dimana sesaat setelah melakukan persetubuhan, sembari terbaring di ranjang sang pria kemudian menghisap bakaran tembakau, alias tidak benar-benar memuaskan semua aktivitas persetubuhan, selalu ada bahaya dibalik perbuatan tidak sehat penuh resiko demikian. Atau ketika dikisahkan bahwa para pecandu obat-obatan terlarang, setelah melakukan “pesta nark0tika”, kemudian melakukan praktik persetubuhan antar pecandu, yang menandakan juga bahwa kesemua barang madat tidaklah memuaskan, bagai meminum air laut membuat seseorang kian haus dan dikuasai dahaga meski maksud hati pada mulanya ialah untuk melepaskan dahaga.

Bahkan tidak sedikit diberitakan oleh media, seorang pecandu mengalami “overdosis” akibat berdelusi bahwa akan tercapai “kebahagiaan dan kepuasan absolut” ketika ia menambah lebih banyak lagi dosis barang madat yang ia konsumssi—meski sejatinya dirinya kian dibakar serta terbakar oleh nafsu yang tidak mampu ia bendung ataupun kendalikan, dimana ia dikuasai oleh kekotoran batinnya sendiri yang kian berkuasa atas dirinya sebagai bukti adanya bahaya dibalik kenikmatan duniawi, sekaligus bukti bahwa mengonsumsi barang madat tidaklah memuaskan sehingga tidak layak disentuh karena harus dibayar dengan “harga hidup” yang sangat amat mahal.

Seorang pecandu bakaran tembakau, berdelusi bahwa mereka menguasai zat adiktif dalam tembakau, meski senyatanya mereka diperbudak sepenuhnya dan dikendalikan pikirannya oleh zat adiktif tersebut, alias telah dibodohi dan diperbudak namun masih juga berdelusi bahwa dirinya adalah si penguasa yang lebih berkuasa. Itulah jahatnya manipulasi dibalik kekotoran batin, akan mencelakai diri kita sendiri ketika kita meremehkan, menyepelekan, ataupun “look down” kekotoran batin yang bersarang dalam diri kita. Ada dua serigala dalam diri kita yang saling bertarung, serigala yang baik dan serigala yang jahat. Ketika kita lebih banyak memberi makan serigala yang jahat, konsekuensinya serigala yang baik akan tumbang.

Pernah penulis mengadakan seminar kecil pada suatu kelas di perguruan tinggi saat masih sebagai seorang mahasiswa, dimana para hadirin di kelas yang berlatar-belakang agama maupun tingkat ekonomi, ditantang untuk mengangkat tangan yang mana tidak mengakui bahwa “hidup ini adalah derita”. Kesemuanya tidak membantahnya, yang telah ternyata membuktikan bahwa siapapun, tanpa terkecuali, dicengkeram oleh “dukkha”—karenanya, kita tidak dapat bersikap bahwa hanya diri kita seorang yang merasakan “dukkha” karenanya menjadikan distorsi fakta itu sebagai alasan pembenar untuk merampas kebahagiaan hidup milik orang-orang lainnya.

Dengan mulai mampu memahami bahwa “hidup adalah dukkha”, kita menjadi lebih menghargai sesama umat manusia yang juga sedang bergelut menghadapi “dukkha” dalam hidupnya—meski masih bisa tersenyum disamping derita hidupnya—sehingga kita tidak perlu merasa iri hati ataupun cemburu, namun saling berwelas-kasih satu sama lainnya, saling mendukung dan saling membantu. Akan tetapi, yang kerap menjadi salah-kaprah, ajaran Sang Buddha telah ternyata tidak berhenti pada satu fakta tersebut, namun “FOUR noble truth” (empat kebenaran mulia) sehingga juga dibabarkan apa yang merupakan akar penyebab “dukkha”, “akhir dari dukkha”, serta jalan menuju “akhir dari dukkha” (Nibbana, exit door bagi dukkha). Karenanya, ajaran Sang Buddha penuh dengan semangat juang dan optimisme, bahwa kebahagiaan puncak tertinggi dan absolut yang permanen sifatnya dapat diraih dan dicapai oleh setiap orang, namun lewat usaha sendiri yang tidak separuh hati, alias optimisme itu sendiri. Karenanya, adalah fitnah terhadap keluhuran agung ajaran “my BIG BOSS” (Sang Buddha) ketika disebutkan bahwa Buddhist adalah agama yang pesimistik.

Kita semua menyukai buah jeruk, namun cobalah terus-menerus memakannya hingga sepuluh butir, maka Anda dijamin akan merasa mual sebelum kemudian muntah. Itukah yang Anda sebut sebagai “suka” dan “bahagia” memakan buah yang enak? “Teori marginal” dalam ilmu ekonomi sudah menjelaskan fenomena demikian, dimana ketika kita mencapai kurva puncak—yang mana juga bukanlah kebahagiaan absolut yang mutlak dan tertinggi secara permanen—maka mengonsumsi buah jeruk semanis apapun secara berlebihan akan bermuara pada “dukkha” sebagai pamuncaknya berupa kurva menurun yang menukik. Kita mungkin “puas” pada saat kini, namun temporer sifatnya, sebelum kemudian kita bergelut dan jungkir-balik penuh “dukkha” untuk bisa membeli dan menebus “puas temporer” saja sifatnya. Makan, dapat menjadi derita itu sendiri, karena kita harus rutin makan dan bekerja mencari nafkah untuk membeli makanan atau memasaknya.

Bahkan, penulis mengenal banyak orang yang sekalipun sudah lansia, rapuh, sepuh, masih juga harus berjuang mencari nafkah untuk menyambung hidup, kita harus mandi dan makan setiap harinya, harus bekerja dan belajar sepanjang hayat, dimana kita dituntut untuk belajar keras agar bisa mendapatkan pekerjaan yang baik, sebelum kemudian dituntut serta menuntut diri untuk memiliki istri / suami, untuk kemudian dituntut serta menuntut diri memiliki anak, berlanjut pada dituntut serta menuntut diri mendidik serta memiliki anak yang baik tidak terjerumus pergaulan yang tidak baik, dicemaskan oleh anak yang tumbuh besar, masalah pekerjaannya, asmaranya, perihal cucu, bahkan hingga masalah pada “derita orang lanjut usia”. Belum lagi kita berbicara masalah terkait “penyakit sosial” hingga bencana alam dan penyakit fisik, bahasan akan kian panjang dan tampak “gelap-kelam-gulita”.

Apakah itu akhir dari semua episode kehidupan? Tidak, itu adalah awal baru lembaran kehidupan baru selanjutnya dalam siklus tiada berkesudahan dari tumimbal lahir. Mengutip pandangan Ajahn Chah, kita bergembira dan berpesta ketika seorang anak dilahirkan ke dunia ini, meski kita tahu fakta tidak terhindarkan bahwa anak tersebut kelak akan menjadi tua, sakit, dan mati. Ketika seseorang meninggal dunia, kita berduka, meski almarhum yang kita tangisi dan sesali kepergiannya tersebut kini telah terlahir kembali lengkap dengan gigi barunya daripada tetap dengan gigi ompong sang almarhum yang meninggal dunia—sehingga semestinya sanak-keluarga almarhum berpesta karena almarhum kini dalam tubuh baru yang kembali belia.

Buddhisme bukanlah agama yang mengobral murah alam surgawi selayaknya keyakinan lainnya yang mengilustrasikan bahwa para pendosa dapat menghuni alam surga—surga “murahan”—dimana Buddhisme lebih menekankan pada “merit system” ala egalitarianisme, dimana penerapan “reward and punishment” serta pertanggung-jawaban perbuatan diri sendiri diberlakukan tanpa pandang bulu serta tanpa tawar-menawar. Selengkapnya dapat kita jumpai lewat khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, perihal penghuni surga dan neraka, dengan kutipan sebagai berikut:

239 (8) Tercela

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Perbuatan jasmani yang tercela, perbuatan ucapan yang tercela, perbuatan pikiran yang tercela, dan pandangan yang tercela. Seorang yang memiliki keempat kualitas ini akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Perbuatan jasmani yang tanpa cela, perbuatan ucapan yang tanpa cela, perbuatan pikiran yang tanpa cela, dan pandangan yang tanpa cela. Seorang yang memiliki keempat kualitas ini akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

240 (9) Tidak-Menyakitkan

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Perbuatan jasmani yang menyakitkan, perbuatan ucapan yang menyakitkan, perbuatan pikiran yang menyakitkan, dan pandangan yang menyakitkan. Seorang yang memiliki keempat kualitas ini akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Perbuatan jasmani yang tidak-menyakitkan, perbuatan ucapan yang tidak-menyakitkan, perbuatan pikiran yang tidak-menyakitkan, dan pandangan yang tidak-menyakitkan. Seorang yang memiliki keempat kualitas ini akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.