Bangsa yang Gemar Merampas Hak Orang Lain

SENI PIKIR & TULIS

Kultur Egoistik & Tidak Takut Dosa, namun Agamais dan Mengaku ber-Tuhan

Bangga dapat Merapas Hak Warga Lain, alih-alih Merasa Malu dan Takut Dosa, namun Berbusana Agamais dan Rajin Beribadah

Salah seorang klien yang kini berdomisili dan menetap di luar negeri, pernah bercerita, sebuah kisah pengalaman pribadinya yang inspiratif dan cukup menarik untuk disimak, menuturkan bahwa dirinya pernah mengemudikan kendaraan bermotor roda empat di Jakarta, Indonesia, dikarenakan lalu-lintas padat, seorang polisi mengarahkan pengemudi untuk memasuki lajur yang selama ini hanya diperuntukkan khusus bagi bus (transportasi umum). Sang klien pun menuruti arahan polisi berseragam, yang berwenang mengatur serta mengarahkan di jalanan, dengan melajukan kendaraan yang dikemudi olehnya ke dalam lajur khusus bus.

Telah ternyata, setelah beberapa ratus meter melajukan kendaraan yang dikemudian olehnya di lajur khusus bus, di depan telah menunggu polisi lain yang menghentikan kendaraan sang pengemudi, dan memberikan surat tilang. Sang klien yang mengemudikan kendaraannya sesuai arahan polisi sebelumnya di jalan belakang, mengajukan protes dan menyatakan bahwa dirinya hanya mengikuti arahan polisi lain. Sang klien berbalik menghadap ke belakang, dan polisi yang semula memberi arahan pun kini telah sirna, lenyap tanpa jejak. Rupanya, itulah jebakan alias perangkap ala polisi di Indonesia.

Sang klien pulang dalam kondisi pikiran penuh amarah. Marah kepada perilaku polisi di Indonesia, yang semestinya melindungi dan mengayomi masyarakat, namun ternyata menjadi musuh yang diberi kekuasaan menyandang senjata dan kekuasaan monopolisir penegakan hukum pidana untuk melawan kepentingan dan kebaikan rakyat yang tidak berdaya selain hanya dapat pasrah menjadi korban modus persekongkolan antar aparatur penegak hukum yang menyalah-gunakan kewenangannya.

Namun beliau kemudian mendapat suatu pemahaman kontemplatif, bahwa untuk apa marah terhadap polisi-polisi tersebut, bahwa memang itulah “nature” (tabiat atau watak dasariah) dari polisi dan masyarakat Indonesia yang kerap menyalah-gunakan kekuatan maupun kekuasaan yang mereka miliki. Seperti seekor serigala atau harimau, memang “nature” mereka menerkam dan memangsa hewan ataupun makhluk hidup berdaging lainnya, seekor karnivora-predator. Jika kita terkena terkam dan dimangsa oleh sang harimau ketika berada di hutan, apakah artinya kita harus marah terhadap seluruh hewan karnivora dan serigala di hutan ini? Demikianlah “insight” itu diperoleh, sang klien bertekad untuk tidak lagi menaruh amarah terhadap orang-orang yang menjahatinya sekalipun.

Sekalipun terdengar menyerupai kisah yang inspiratif, namun dalam perspektif lain, penulis secara pribadi memiliki pandangan dengan sudut pandang sedikit berlainan. Hewan, merupakan makhluk yang menjadi korban dari insting dan naluri kehewanan mereka sendiri. Makhluk seperti hewan, tidak memiliki apa yang kita sebut sebagai “akal budi”, karenanya mereka bergerak dan bertindak hampir secara mekanistis belaka layaknya pertumbuhan vegetatif pada tumbuhan, tanpa adanya pengaruh yang signifikan semacam “free will” atau “kehendak dan pilihan bebas” untuk menentukan sikap, akan tetapi semata menjadi korban dari kondisi dan bawaan naluri kehewanannya yang diturunkan dari satu induk kepada generasi penerusnya.

Yang menjadikan “primata” ter-evolusi semacam manusia sang “homo sapiens” dan menjadi berbeda ketika dihadapkan dengan hewan primata lainnya, ialah kemampuan dalam berpikir, memilih sikap, lewat mekanisme berpikir, merenung, instrospektif, dimana “akal budi” menjadi soko-gurunya. Manusia, tidak semata-mata mengikuti dan menuruti apa kata naluri, insting, maupun dorongan hati. Manusia, memiliki kemampuan dalam berkontemplasi, merenung, berpikir, menimbang, menelaah, menyandang moralitas, integritas, sifat luhur, belajar, membangun, serta daya untuk mengarungi “pilihan bebas”, bahkan menembus tataran kesucian.

Sang Buddha membagi tiga golongan besar tipe manusia yang dapat kita jumpai dikeseharian, yakni “manusia hewan”, “manusia manusia”, dan “manusia dewa”. Manusia, bersifat dan bersikap humanis, adalah sudah sepatutnya dan sebagaimana nama maupun wujud fisik mereka. Namun, mereka selaku warga yang kerap menampilkan sikap “aroganis”, “premanis”, “hewanis”, hingga “predatoris” terhadap sesama warga lainnya, sejatinya telah merendahkan harkat dan martabatnya sendiri menjadi terpuruk ke lembah degradasi moralitas menuju “manusia hewan”.

Hewan, hanya mengenal tiga buah aktivitas, yakni makan, tidur, dan bersetubuh. Ketika seorang manusia hanya mengenal tiga buah aktivitas serupa di atas, yakni makan, tidur, dan bersetubuh, maka tiada lagi yang membedakan manusia bersangkutan terhadap seekor hewan, demikian Sang Buddha telah membabarkan. Seorang manusia, disebut sebagai “manusia manusia”, karena potensi diri mereka yang dapat membawa diri dalam latihan menempa keluhuran karakter dan moralitas, etika, aktualisasi diri, sesuatu yang sifatnya melampaui hal-hal yang bersifat dangkal dan serendah hewan yang hanya menuruti insting sebagia motor penggeraknya. Semisal, potensi untuk belajar, bekerja, berlatih, yang karenanya menjadi terampil, berpengetahuan, dan produktif dalam membangun, menciptakan, menemukan, serta berkarya. Daya kemampuan dalam memperbaiki diri dan introspeksi diri, sikap penuh tanggung-jawab, belajar dan menimba ilmu, menempa diri, mewujudkan ide serta gagasan abstrak, serta merealisasinya, senyatanya tidak dimiliki oleh setiap orang.

Tipe pribadi ketiga, disebut oleh Sang Buddha sebagai “manusia dewa”. Tipe manusia semacam ini, bersifat lebih melampaui manusia-manusia rata-rata kebanyakan. Semisal, orang-orang yang gemar berdana, menghindari perbuatan buruk, suka menolong, jujur, berintegritas, penuh tanggung jawab, tidak menyakiti makhluk hidup lainnya, tidak juga merugikan pihak lain, serta tidak melukai individu manapun termasuk tidak melukai dirinya sendiri. Ditambah, kemampuan mereka untuk berkomitmen dalam menempuh jalan kehidupan suci dimana memurnikan dan mensucikan pikiran serta perilaku dijadilan jalan hidup yang mereka tempuh secara konsisten (the way of life). Seorang suciwan, tidak lagi tertarik pada perilaku yang menyerupai seekor hewan. Karenanya, tiada “hewanis” yang suciwan.

Banyak orang, yang melakukan kejahatan dengan mengatas-namakan bahwa diri mereka adalah korban dari keadaan. Faktanya, mereka adalah korban dari keserakahan dan sifat egoisme di dalam diri mereka sendiri, dimana para manusia tersebut menyalah-gunakan keadaan dan menjadikan keadaan yang tidak pernah berjalan secara ideal ini sebagai alibi sempuna bagi mereka untuk melakukan berbagai hal-hal tercela dan buruk, untuk selanjutnya menjadikannya sebagai “alasan pembenar” maupun “alasan pemaaf” ketika dihadapkan pada konflik terhadap warga lain maupun ketika dimintakan pertanggung-jawaban atas perbuatannya yang telah menyakiti, merugikan, maupun melukai individu lainnya. Mengatas-namakan ketimpangan ekonomi, seseorang melakukan aksi perampasan harta milik orang lain, alasan mana justru diperalat demi kepentingan pribadi sang pelaku kejahatan.

Ilustrasi sederhana berikut, yang sangat sering penulis hadapi dan jumpai ketika lahir dan tumbuh besar hampir separuh abad lamanya di Kota Jakarta, Indonesia, bersifat meluas serta membentuk suatu pola watak yang dapat kita jumpai di setiap ruas dan sudut kota ini, sehingga dapat kita sebut sebagai kultur Bangsa Indonesia. Pada suatu siang, dalam perjalanan pulang dari kegiatan di luar rumah, dengan berjalan kaki berjalan di sisi paling terkiri di suatu ruas jalan raya, mendadak seorang pengendara kendaraan bermotor roda dua malajukan kendaraannya secara melawan arus, dan merampas hak penulis untuk melintas.

Sekalipun telah menghalangi jalan penulis, sang pengendara tidak bersedia mengalah meski dirinya jelas-jelas salah. Masih pula beradu tatapan mata dan tampaknya siap menggunakan cara khas Bangsa Indonesia, yakni “menyelesaikan segala masalah dengan cara kekerasan fisik”, bilamana penulis tidak bersedia mengalah dengan menjadikan diri penulis beresiko tertabrak oleh kendaraan bermotor dari arah belakang karena bergeser ke badan jalan agar dapat melewati sang pengendara bermotor roda dua. Dirinya dapat melihat dan mengamati kondisi arus lalu-lintas di belakang tubuh penulis, namun resiko masih pula ia bebankan kepada penulis dengan tidak mau bergeser agar tidak menghalangi jalan penulis.

Sang pengendara yang melajukan kendaraannya secara melawan arus dan merampas hak pejalan kaki tersebut, sudah cukup dimanjakan dengan kendaraan bermotor, namun masih pula tanpa malu merampas hak seorang pejalan kaki. Dirinya dapat saja mengikuti aturan dengan berjalan di lajur kiri, dan mencari “U turn” untuk berputar ke arah lain. Namun, mengatas-namakan “malas” (ego), dirinya tanpa takut dan tanpa rasa malu, bahkan dengan bangga serta arogan, memilih untuk merampas hak-hak pejalan kaki. Daripada tanggung-tanggung, mengapa tidak dirinya sekalian saja menabrak diri penulis?

Pernah pula terjadi dan bukan satu atau dua kali kejadian, serangkaian pengendara kendaraan bermotor roda dua mengebut di atas Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) pada salah satu ruas jalan protokol di Kota Jakarta, sehingga penulis harus seketika itu juga berkelit agar tidak tertabrak oleh “kuda besi” yang dilajukan oleh sang pengendara yang “kesetanan bak setan” tersebut. Beruntung kini hampir setiap JPO telah dipasang pancang tiang untuk mencegah kendaraan bermotor masuk. Belum lagi kita bicara kondisi trotoar kita, yang dirampas oleh para pedagang “kaki lima”, pengendara yang memarkir kendaraan bermotornya, hingga kondisi yang tidak layak dan tidak manusiawi bagi pejalan kaki, resiko ditabrak hingga ditendang oleh pengendara kendaraan bermotor, sungguh tidak bersahabat dan tidak ramah bagi pejalan kaki.

Betapa tidak humanisnya bangsa ini, baru memiliki dan mengendarai benda semacam kendaraan bermotor roda dua, sudah berperilaku bak “setan yang kesetanan” bak raja pemilik jalanan (mental penjajah). Bagaimana bila bangsa ini diberi kekuasaan yang lebih besar, seperti memegang senjata nuklir atau senjata pemusnah massal lainnya? Lihatlah arogansi para pengendara yang mengendarai kendaraan bermotor roda empat besar yang menyerupai tank yang dapat melindas siapapun di depannya maupun pengendara kendaraan bermotor roda empat besar (moge, motor gede), mereka besikap seakan pejalan kaki tidak berhak menggunakan jalan milik umum.

Perhatikan ilustrasi nyata yang lebih tidak irasional berikut, dimana kerapkali penulis hadapi selama hidup dan bertumbuh di Kota Jakarta. Ketika berjalan kaki pada suatu ruas jalan umum, dengan segala resiko seperti disengat serangga, tergores ranting tumbuhan yang dibiarkan tumbuh menjulur ke bahu ataupun badan jalan, terkena semburan asap knalpot kendaraan roda dua yang menyembur ke arah mata pengguna jalan di belakangnya, terkena cipratan genangan air yang terlindas roda kendaraan yang melintas, terkena guyuran hujan, terik matahari menyengat, debu dan asap berterbangan membuat mata perih dan terhirup pernafasan, jalan berlubang yang berbahaya, disamping betapa meletihkan dan butuh waktu cukup lama untuk sampai pada tujuan, terutama ketika menyandang beban di pundak atau punggung.

Sekalipun demikian, telah ternyata para pengendara kendaraan bermotor kita di Indonesia demikian tidak toleran terhadap para pejalan kaki, demikian tidak kompromistis terhadap segala kesukaran yang dihadapi seorang pejalan kaki—tidak humanis terlebih manusiawi. Betapa tidak, para pengendara roda dua maupun roda empat tersebut (meski tidak semua pengendara kerap merampas hak pejalan kaki), dengan gagah perkasa mem-bully pejalan kaki dengan membunyikan klakson maupun mengancam akan menabrak bila pejalan kaki tidak segera menyingkir dan mencari tempat aman untuk menepi.

Setelah melintas, tidak jauh di depan, pengendara yang mengklakson penulis tersebut kemudian menghadapi kenyataan adanya sebuah kendaraan roda empat (benda mati) yang diparkir di badan jalan dengan memakan satu lajur, sehingga jalan umum ini hanya menyisakan satu lajur dari lebar dua lajur (arus lalu-lintas jadi menyerupai bottleneck). Namun, sang pengendara tersebut tidak mengklakson benda mati yang diparkir dengan memakan separuh lebar badan jalan umum tersebut, dengan sabar berhenti dan berjalan secara merayap untuk melewatinya. Artinya, sang pengemudi lebih humanis serta lebih toleran kepada benda mati dan disaat bersamaan tidak kompromistis terhadap pejalan kaki yang notabene makhluk hidup!

Karena adanya “akal budi” yang bersemayam dalam pikiran dan jiwa seorang manusia, maka ada “pilihan serta kehendak bebas”. Karena adanya “pilihan serta kehendak bebas”, maka ada tanggung jawab dan dapat dimintakan pertanggung-jawabkan. Karena ada tanggung jawab dan dapat dimintakan pertanggung-jawabkan, maka ada konsekuensi yang harus ditanggung sebagai akibat perbuatan seseorang. Karena ada konsekuensi, maka ada Karma Baik maupun Karma Buruk (dosa) yang ditanam saat perbuatan tersebut dilakukan oleh seorang individu.

Berbeda halnya dengan seekor hewan, yang karena tidak memiliki “akal budi”, karenanya tidak memiliki “pilihan serta kehendak bebas”. Karena tiadanya “pilihan serta kehendak bebas”, maka tiada tanggung jawab dan tidak dapat dimintakan pertanggung-jawabkan. Karena tiada tanggung jawab dan tidak dapat dimintakan pertanggung-jawabkan, maka tidak ada konsekuensi yang harus ditanggung sebagai akibat perbuatan seekor hewan. Karena tiada konsekuensi, maka tiada Karma Baik maupun Karma Buruk (dosa) yang ditanam saat perbuatan tersebut dilakukan oleh seekor hewan. Sebagai penutup, sudahkah kita bersikap dan berperilaku sebagai seorang “manusia sejati” pada hari ini? Apapun itu, jangan rendahkan martabat kita dengan berperilaku bak “hewanis”, namun “humanis” dan manusiawi.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.