Sesama Pendosa / Penjahat Biasanya Saling Kompromistis

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi

Question: Mengapa ada orang, yang mengakunya orang baik, tapi kok suka marah-marah?

Brief Answer: Jangan gunakan perspektif orang jahat untuk menilai dan mencoba memahami sudut pandang orang baik, namun gunakan perspektif orang baik untuk memahami cara berpikir dan memandang kalangan orang-orang baik. Orang-orang baik, selama ini telah banyak berjuang keras serta berkorban mengendalikan diri serta mengekang berbagai niat buruk dalam dirinya, sehingga ia kerap “tersisihkan”, karenanya ia merasa berhak untuk tidak disakiti, dilukai, maupun dirugikan oleh orang lain semata karena ia pun tidak pernah menyakiti, melukai, ataupun merugikan orang lain.

Memakai sudut pandang orang jahat untuk menilai respons orang baik ketika dilukai ataupun dirugikan, itu merupakan “penghakiman” yang salah alamat. Karena sebab itulah, ketika orang baik-baik disakiti ataupun dirugikan, ia dapat menjadi begitu murka akibat perasaan “kecewa”—bahwa betapa ia merasa diperlakukan tidak adil dan tidak sepatutnya, dimana ia tidak pernah melukai ataupun merugikan pihak lain, namun telah ternyata ia diperlakukan tidak patut oleh pihak lainnya semata karena sifat irasional masyarakat kita yang kerap menjadikan orang-orang baik sebagai sasaran “mangsa empuk”. Sehingga, jangan tanyakan mengapa sikap respons orang baik dapat demikian reaktif, namun tanyakanlah bagaimana perlakuan Anda terhadap orang-orang baik tersebut, apakah sudah layak dan adil kepada mereka yang selama ini tidak pernah menyakiti maupun merugikan pihak manapun?

PEMBAHASAN:

Secara psiko-sosiologis, terdapat norma sosial tidak tertulis yang kurang sehat di tengah masyarakat kita, berbunyi sebagai berikut : sesama orang jahat saling cenderung memaklumi perbuatan-perbuatan jahat para penjahat lainnya. Ini ibarat anekdot yang pernah diutarakan oleh Sang Buddha, bahwa sesama serigala dapat hidup rukun, namun tidak terhadap seekor kelinci mencoba bersahabat dan hidup berdampingan dengan seekor ataupun kawanan serigala. Menjadi dapat kita maklumi, hakim yang “korup” akan cenderung menjatuhkan vonis hukuman yang ringan atau bahkan vonis bebas kepada para koruptor—sesama koruptor, jangan saling “meledek” ataupun menggurui terlebih saling menghukum.

Sebagai contoh, mungkin selama ini “alam sadar” Anda bertanya-tanya, mengapa para Partai Politik yang sudah dikenal pernah melahirkan kalangan birokrat hingga pejabat sekelas Kepala Negara yang otoriter serta korup, masih juga dipilih dari banyaknya peserta Partai Politik yang sepanjang tahunnya keluar sebagai Partai Politik dengan jumlah pendukung dan pemilih terbanyak dalam Pemilihan Umum Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat dan Kepala Daerah?

Sebenarnya “alam bawah sadar” sebagian diantara kita sudah mengetahui akar penyebab serta penjelasannya, bahwa sebagian besar rakyat kita sendiri dalam keseharian pun bersikap “korup”, sehingga sesama “korup” janganlah saling mengkritik. Para oknum Ketua Rukun Tetangga maupun Rukun Warga, sudah dikenal kerap menyunat bantuan sosial pemerintah untuk rakyat miskin. Para preman berbaju lusuh berkedok Organisasi Masyarakat, hanya lebih sibuk memeras rakyat jelata. Bahkan sekelas “office boy” di perkantoran, kerap mengorupsi dana sesama karyawan maupun keuangan kantor. Bahkan para Aparatur Sipil Negara yang semestinya melayani masyarakat, justru menyalah-gunakan kekuasaan wewenang monopolistiknya untuk memeras rakyat yang semestinya ia layani, bahkan minta dilayani—kolusi.

Sehingga, mentalitas dan perilaku rakyat jelata maupun rakyat elit kita sendiri tidak lebih lurus, tidak lebih mulia, tidak lebih suci, tidak lebih bersih, dan tidak lebih jujur daripada para pejabat negara yang menerima suap (gratifikasi) maupun mengorupsi keuangan negara (uang milik hak rakyat). Tendensi demikian dapat kita jumpai sehari-hari apapun lapisan strata sosialnya, dari kelas bawah, menengah, maupun yang tinggi. Sebagaimana kita ketahui, pejabat negara dipilih dari tengah-tengah masyarakat. Bila masyarakat kita sendiri tidak bermoral adanya, penuh cela, “standar moralitas” yang rusak, maka kualitas semacam apakah para pemimpin dan pejabat negara yang kita harapkan untuk dapat kita pilih, harapkan, dan andalkan untuk melayani masyarakat dan betul-betul berdedikasi?

Bukan satu atau dua kali terjadi, mantan Kepala Daerah semisal Bupati, Gubernur, maupun Kepala Desa, yang telah pernah tertangkap aparatur penegak hukum dan divonis pidana penjara akibat aksi korupsi maupun kolusi, telah ternyata setelah bebas dari hukuman penjara, terpilih kembali dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah oleh rakyat yang dahulu dikorupsi hak-haknya oleh sang Kepala Daerah, sebelum kemudian kembali tertangkap oleh aparatur penegak hukum untuk kedua kalinya akibat kasus korupsi maupun kolusi yang sama. Fenomena demikian bukanlah lagi hal asing di Indonesia, “pesta demokrasi” yang tidak mendidik, memboroskan sumber daya, serta tidak tepat sasaran.

Sebagai ilustrasi, ayah dari seorang pemimpin Partai Politik PDIP, merupakan otoriter yang berkuasa bak dinasti pada era Orde Lama yang harus digulingkan lewat “people power” pada era 1965-an, apakah kita sudah lupa sehingga beberapa dasawarsa terakhir ini Partai Politik PDIP selalu menjadi Partai Politik dengan peringkat tertinggi dalam Pemilihan Umum Kepala Negara maupun Kepala Daerah. Banyak pakar politik yang menengarai mentalitas “bangsa pelupa dan pemaaf” sebagai akar penyebabnya, analisa mana menyimpang dari realita dan salah diagnosis. Yang sebetulnya terjadi di lapangan ialah, rakyat kita itu sendiri tidak “bersih-bersih amat” hidupnya selama berkegiatan usaha maupun berpolitik ria di tengah-tengah masyarakat. Rakyat yang “korup” akan lebih cenderung mendukung dan memilih pemimpin negara maupun Partai Politik yang juga sesama “korup”.

Begitupula kita masih ingat rezim Orde Baru dibawah dinasti presiden otoriter bernama Suharto, yang juga digulingkan lewat “people power” yang menuntut reformasi Kepala Pemerintahan, merupakan sosok yang diusung oleh Partai Politik Golkar, yang memonopolisir haluan politik pada masa itu, juga menjadi Partai Politik yang menjadikan Setya Novanto, Mega Koruptor e-KTP, sebagai Ketua Partai, telah ternyata Partai Politik Golkar selalu menduduki “runner up” dalam setiap Pemilihan Umum Kepala Negara hingga era reformasi ini telah berjalan beberapa dekade lamanya—seolah rakyat kita tidak pernah jera ataupun trauma terhadap Partai Politik yang pernah menimbulkan “perang dingin” di dalam negeri.

Logika “tidak logis” yang bekerja dibaliknya sangat sederhana, yakni satu orang jujur dan bersih muncul ditengah-tengah komunitas masyarakat yang korup dan kotor, maka eksistensi orang yang jujur dan bersih tersebut akan menjadi sebentuk ancaman nyata di mata orang-orang yang korup dan kotor, karenanya perlu disingkirkan semata agar mereka tidak lagi tampak korup ataupun kotor. Psikologi “kontras” bermain disini, ketika ada istilah “bersih” maka kita mengenal frasa dan apa itu yang disebut sebagai “kotor” sebagai perbandingan yang menimbulkan kontras diantara keduanya. Ketika eksis apa yang “jujur”, maka kita mengenal perbandingannya yakni kontras dengan mereka yang disebut sebagai “korup”.

Agar kontras tidak terjadi, maka orang-orang “korup” akan lebih cenderung memilih orang atau partai yang juga “korup”. Alasan irasional kedua, dengan menjelek-jelekkan koruptor yang kerap diberitakan di media massa, masyarakat kita yang sejatinya tidak kalah korup dan tidak lebih bersih, sedang “bermunafik-diri ria”, seolah-olah diri mereka dengan demikian akan tampak lebih bersih di mata orang lain maupun dirinya sendiri—alias ajang menipu diri sendiri sekaligus membohongi orang lain. Karena itulah, bagi mereka tertangkap dan diberitakan tertangkap-tangannya koruptor, menjadi berita yang menggembirakan sebagai momen atau ajang untuk “bermunafik-diri ria” seolah-olah bisa menjelek-jelekkan dan mengutuk koruptor tersebut dapat membuat mereka tampak lebih suci.

Sudah begitu banyak kita dapat menjumpai kasus-kasus konkret, dimana seseorang atau sekumpulan orang saling menghardik koruptor yang diberitakan tertangkap oleh aparatur penegak hukum, namun disaat bersamaan masyarakat kita itu sendiri gagal mengawasi dan mengamati ataupun mengendalikan perilaku mereka dari aksi-aksi korupsi di tengah masyarakat. Lantas, setelah berpesta “munafik-diri ria”, maka “business as usual”, yakni korup dalam keseharian.

Mungkin memang benar, ketika ditengarai bahwa bangsa kita adalah “bangsa pelupa dan pemaaf”. Namun mengapa, bangsa kita menjadi demikian “pelupa dan pemaaf” terhadap koruptor? Itu semata karena rata-rata masyarakat kita itu sendiri hendak serta mengharap agar orang lain melupakan perbuatan-perbuatan korup dirinya serta memaafkannya. Sesama koruptor, jelas tidak akan segan saling melupakan dan memaafkan—alias saling kompromistis satu sama lainnya.

Terbukti pada lingkungan tempat penulis bermukim, terdapat beberapa Aparatur Sipil Negara yang sudah dikenal masyarakat setempat sebagai koruptor pada instantsi tempatnya menjabat atau sebagai pegawai, namun tiada “sanksi sosial” sama sekali, bahkan sebaliknya, menjadi tokoh masyarakat dan pemuka agama. Bukankah irasional, ketika masyarakat kita mengklaim mendukung lembaga semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan meneriakkan yel-yel dalam demonstrasi “save KPK”, namun disaat bersamaan masih tetap saja memilih Partai-Partai Politik yang selama ini mengusung pejabat-pejabat korup yang ditangkap KPK dan dihukum pengadilan karena aksi korupsi maupun kolusi?

Memasang spanduk “anti korupsi”, namun berkorupsi ria dengan alibi boleh korupsi sepanjang tiada yang mengetahui, seolah bila tiada orang lain yang mengetahui aksi korupnya maka korupsi dirinya tidak pernah terjadi. Dirinya sendiri mengetahui perilaku korupnya, sehingga akar penyebabnya memang ialah minimnya rasa malu ataupun rasa takut berbuat korup. Dengan tidak lagi memilih Partai Politik yang kerap korup kadernya ketika menjabat, maka otomatis masyarakat kita telah mendukung program kerja KPK memberantas aksi korupsi maupun kolusi, sehingga antara perbuatan dan perkataan lewat klaim-klaim maupun jargon-jargon, tidak saling konsisten. Dengan menjadi anggota masyarakat yang betul-betul steril dari perilaku korup, maka kita telah menjadi pahlawan-pahlawan bangsa.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.