AGAMA LIP SERVICE, Agama bagi para PEMALAS dimana Para PEMALAS menjadi Umat Pemeluknya

STANDAR GANDA Umat Kristiani

Orang Kristen “Besar Mulut” dan “Banyak Bicara”, namun NIHIL Tanggung-Jawab ketika Mereka telah Merugikan, Melukai, ataupun Menyakiti Orang Lain

Umat Kristen yang Berhutang Tanpa Bayar (Dosa), namun Kreditor Disuruh Menagih ke Yesus yang Kini Melarikan Diri—Tidak Jelas Ada Dimana Batang Hidungnya karena Disuruh Menebus Hutang-Hutang para Kristen

Ketika seorang pria melamar seorang gadis, ekspresi cinta dan rasa suka disimbolikkan lewat sekuntum ataupun seikat bunga. Mengungkapkan apresiasi dan kebanggaan, diberikanlah medali atau piala. Cincin perkawinan saling diberikan antar mempelai / pasangan sebagai tanda ikatan pernikahan. Menghormati jasa-jasa para pahlawan, kita memberi hormat kepada bendera negara. Untuk memberi apresiasi setinggi-tingginya kepada sang Guru Agung yang menjadi guru para manusia dan para dewa, Buddha Gotama, kita membangun Buddha rupang. Untuk mengekspresikan rasa kasih sayang, kita memberikan dan diberikan coklat yang manis dan indah. Untuk membantu kesembuhan fisik mereka yang kita kasihi, kita memberikan obat tablet ataupun herbal, bukan sekadar ucapan “cepat sembuh”. Seorang majikan, sebagai rasa apresiasinya, tidak sekadar “lip service” berupa ucapan “terimakasih” kepada pegawai maupun pekerja yang telah bekerja padanya—apa susahnya sekadar “lip service”?—namun memberikan mereka upah maupun kompensasi berupa uang secara patut dan layak.

Apa jadinya, ketika seorang pria, yang ketika hendak melamar seorang gadis, namun atas dasar rasa “malas”, merasa cukup dengan berkata, “I love you”, tanpa mau repot-repot mencari dan mencari uang untuk membeli sekuntum bunga bagi sang gadis pujaan? Segala sesuatunya, terkadang, butuh dan penting untuk diekspresikan. Rasa suka dan kesediaan untuk berkomitmen saja, tidaklah cukup. Perlu keberanian diri untuk mengungkapkannya secara verbal, juga butuh pengorbanan—yakni mau repot-repot untuk membeli bunga, menabung untuk biaya pernikahan, bekerja “banting-tulang” mencari nafkah bagi keluarga, dan lain sebagianya.

Budaya Tionghua dalam berekspresi, sebenarnya cukup menarik, akan tetapi sayangnya banyak etnis Tionghua yang di-“cuci otak” oleh dogma-dogma “ala pemalas” oleh agama kristiani. Sebagai contoh, penulis pernah mengenal umat Kristiani yang beretnik Tionghua, menyatakan : “Ah, buat apa persembahkan buah-buahan ke altar almarhum leluhur keluarga kita? REPOT!” JIka Anda tidak mau merepotkan diri dan direpotkan, maka untuk apa juga leluhur kita mau merepotkan diri dan direpotkan bagi kepentingan kita selaku generasi penerusnya? Hanya ingin sekadar “lip service” ala ibadah ritual kaum kristiani? Itu menjadi gaya atau model tipikal para pemalas, namanya—alias “Agama PEMALAS”, agama bagi para pemalas dimana para pemalas menjadi umat pemeluknya.

Selama ini para umat kristiani, hanya bermodalkan “lip service”, merasa tidak mau direpotkan, itu pun hanya satu kali dalam seminggu—selama paling lama dua jam—ke gereja, menghibur diri lewat koor paduan suara, membodohi diri dan menipu diri lewat iming-iming “penebusan dosa”, lalu pulang dan “business as always”. Bagi mereka yang punya watak hanya berminat untuk “lip service”, agama kristiani sangatlah cocok bagi mereka. Ingin hidup nikmat penuh kelimpahan rezeki dan nasib baik? Cukup “lip service” berupa puja-puji Tuhan. ingin hidup lari dari tanggung-jawab meski telah pernah dan sering atau masih sedang menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak lain (berbuat dosa)? Cukup “lip service” untuk “cuci dosa”. Selebihnya, “business as usual” berupa memproduksi dosa, menimbun diri dengan segunung dosa, mengoleksi segudang dosa, bersimbah dosa, dan berkubang dalam dosa-dosa.

Mereka, para umat kristiani, terlampau pemalas untuk menanam benih-benih perbuatan baik (Karma Baik), dan disaat bersamaan terlampau pengecut untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk (dosa atau Karma Buruk) yang selama ini mereka tanam sendiri. Di dunia ini, dengan pertimbangan sosio-empirik sebagaimana telah dibahas di atas, tiada yang lebih curang dan lebih pemalas daripada umat pemeluk agama kristiani. Cukup bermodalkan “lip service” dua jam, sekali dalam seminggu di gereja, para umat kristiani berdelusi dapat masuk surga, hidup makmur berkelimpahan, serta tidak perlu membayar hutang-hutang dosanya maupun hutang-hutang kredit—biarkan Yesus saja yang menebus (membayar) hutang-hutang dosa itu maupun hutang-hutang “kredit macet” sang kristen, pikir orang-orang kristiani tersebut.

Pertanyaannya, sekalipun seorang debitor “kredit macet” bunuh diri akibat malu maupun tertekan akibat tagihan oleh “debt collector” yang ganas dan galak, bisakah hutang-hutangnya ditebus dengan cara bunuh diri? Yesus tidak mati disalib, namun menyerahkan diri untuk mati di atas salib, artinya “Yesus mati karena BUNUH DIRI”. Yesus lahir dari rahim seorang wanita-manusia, artinya Yesus juga membawa “dosa warisan” dari Adam—maka atas dasar delusi apakah, Yesus hendak mati bunuh diri untuk menebus dosa-dosa umat manusia, mengingat ia sendiri adalah seorang manusia yang memikul “dosa warisan”? Lantas pula, “harta-harta warisan” dari Adam, dikorup oleh siapa? Yesus telah mati bunuh diri dua ribu lampau, namun mengapa kini manusia masih membawa dan tersandera oleh “dosa warisan”? Itu saja sudah bukti kekonyolan dogma-dogma Kristiani, ibarat meminta maaf dahulu, baru kemudian berbuat buruk, jahat, dan dosa.

Umat-umat kristiani paling memandang rendah dan jijik budaya Tionghua, sekalipun nenek-moyang dan etnisnya ialah Tionghua, seperti meremehkan dan merendahkan praktik persembahan buah-buahan dan air di altar almarhum, begitu pula ketika sanak-keluarga meninggal maka para Tionghua membakar “uang kertas”—sebenarnya semua orang pun tahu dan sadar, “uang kertas” tersebut tidak akan benar-benar menjadi uang nyata di alam baka bagi almarhum, namun paling tidak almarhum akan melihat ekspresi bakti dan rasa duka sanak-keluargannya yang merasa sedih kehilangan akibat ditinggalkan oleh sosok sang almarhum, juga merindukannya. Artinya, membakar “uang kertas” dan “uang kertas” itu sendiri merupakan simbol untuk mengekspresikan rasa duka dan rindu dari sanak-keluarga yang ditinggalkan oleh kepergian almarhum.

Ajaran dogma Kristen-Protestan bahkan lebih ekstrem, menyatakan bendera negara adalah “berhala” sehingga tidak boleh diberi hormat. Tidak perlu minum obat ataupun memberikan obat, namun cukup berdoa. Umat kristiani juga sekaligus sebagai umat yang “berstandar ganda”. Bagaimana tidak, mereka menyatakan anti terhadap secara budaya Tionghua demikian, namun disaat bersamaan menghamba dan diperbudak oleh apa yang namanya “uang” (money). “Uang”, merupakan simbol itu sendiri, yakni kapasitor berisi jirih-payah seseorang, dimana pembeli bersedia merepotkan diri untuk mencari uang, karenanya pihak penjual bersedia melepaskan barangnya untuk dibeli oleh pihak pembeli yang bersedia membayar sejumlah uang pembelian. Namun, sang penjual tidak akan bersedia menjual dan melepaskan barang jualannya, bilamana sang kristen tidak ingin direpotkan membayar dengan “uang”, akan tetapi hanya ingin sekadar—seperti biasa—“lip service” dengan sebatas mengucapkan “terimakasih”.

 “Standar ganda” kedua dari umat kristiani ialah, ketika mereka bekerja dan/atau menjual barang, mereka menuntut diberikan penghargaan ataupun apresiasi dan kompensasi sebentuk “ekspresi” berupa “uang”, bukan sekadar ucapan “terimakasih”. Aneh bin ajaib, terhadap Tuhan, umat kristiani merasa cukup memberikan kompensasi berupa “lip service”, lantas mereka mengharap dapat hidup nikmat penuh nasib baik dan disaat bersamaan dosa-dosanya terhapuskan, juga masuk surga setelah ajal mereka tiba. Mereka, para umat kristiani, menolak dan keberatan sekadar diberi “lip service”, namun disaat bersamaan mereka sekadar cukup “lip service” kepada almarhum leluhurnya maupun kepada Tuhan—ini konyol sekali, dan hanya orang-orang konyol yang memeluk “agama konyol” semacam demikian, pemalas sekaligus konyol.

Untuk apa juga Tuhan mau direpotkan oleh para manusia-manusia pemalas yang tidak mau merepotkan diri dan direpotkan ini? Bila kita saja tidak mau, merepotkan dan direpotkan oleh manusia-manusia konyol yang hanya maunya sekadar “lip service” demikian, (maka) bagaimana dengan Tuhan terhadap para kaum konyol tersebut? Sebagai perbandingan, tepat kiranya kita merujuk langsung apa yang menjadi khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikutt:

48 (8) Gunung

“Para bhikkhu, berdasarkan pada pegunungan Himalaya, raja pegunungan, pepohonan sal besar tumbuh dalam tiga cara. Apakah tiga ini? Pepohonan itu menumbuhkan dahan-dahan, dedaunan, dan kerimbunan; (2) pepohonan itu menumbuhkan kulit pohon dan tunas-tunas; dan (3) pepohonan itu menumbuhkan kayu lunak dan inti kayu. Berdasarkan pada pegunungan Himalaya, raja pegunungan. pepohonan sal besar tumbuh dalam tiga cara ini.

“Demikian pula, ketika kepala keluarga memiliki keyakinan, maka orang-orang dalam keluarga yang bergantung padanya tumbuh dalam tiga cara. Apakah tiga ini? (1) Mereka menumbuhkan keyakinan; (2) mereka menumbuhkan perilaku bermoral; dan (3) mereka menumbuhkan kebijaksanaan. Ketika kepala keluarga memiliki keyakinan, maka orang-orang dalam keluarga yang bergantung padanya tumbuh dalam tiga cara ini.

Seperti halnya pepohonan yang tumbuh dengan bergantung pada pegunungan berbatu dalam hutan belantara yang luas akan menjadi “raja hutan kayu,” demikian pula, ketika kepala keluarga di sini memiliki keyakinan dan moralitas, istri, anak-anak, dan sanak-saudaranya semuanya tumbuh dengan bergantung padanya; demikian pula teman-teman, lingkaran keluarganya, dan mereka yang bergantung padanya. [153]

Mereka yang memiliki kearifan, melihat perilaku baik orang bermoral itu, kedermawanan dan perbuatan-perbuatan baiknya, akan meniru teladannya. Setelah hidup di sini sesuai Dhamma, jalan yang menuju alam tujuan yang baik, mereka yang menginginkan kenikmatan indria akan bergembira, bersenang-senang di alam deva.

~0~

49 (9) Semangat

“Para bhikkhu, dalam tiga kasus semangat harus dikerahkan. Apakah tiga ini? (1) Semangat harus dikerahkan untuk tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul. (2) Semangat harus dikerahkan untuk memunculkan kualitas-kualitas yang bermanfaat yang belum muncul. (3) Semangat harus dikerahkan untuk menahankan perasaan-perasaan jasmani yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang. Dalam ketiga kasus ini semangat harus dikerahkan.

“Ketika seorang bhikkhu mengerahkan semangat untuk tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul, untuk memunculkan kualitas-kualitas yang bermanfaat yang belum muncul, dan untuk menahankan perasaan-perasaan jasmani yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang, maka ia disebut seorang bhikkhu yang tekun, awas, dan penuh perhatian untuk mengakhiri penderitaan sepenuhnya.”

~0~

50 (10) Pencuri Ulung

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga faktor, seorang pencuri ulung menerobos masuk ke dalam rumah-rumah, merampas harta kekayaan, melakukan kejahatan, dan menyerang di jalan-jalan raya. Apakah tiga ini? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada permukaan yang tidak rata, pada belantara, dan pada orang-orang berkuasa.

(1) “Dan bagaimanakah seorang pencuri ulung bergantung pada permukaan yang tidak rata? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada sungai-sungai yang sulit diseberangi dan pegunungan bergelombang. Dengan cara inilah seorang pencuri ulung bergantung pada permukaan yang tidak rata.

(2) “Dan bagaimanakah seorang pencuri ulung bergantung pada belantara? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada hutan rotan, [154] belantara pepohonan, semak belukar, atau hutan lebat. Dengan cara inilah seorang pencuri ulung bergantung pada belantara.

(3) “Dan bagaimanakah seorang pencuri ulung bergantung pada orang-orang berkuasa? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada raja-raja atau para menteri kerajaan. Ia berpikir: ‘Jika siapa pun menuduhku melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu.’ Jika siapa pun menuduhnya melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu. Dengan cara inilah seorang pencuri ulung bergantung pada orang-orang berkuasa.

Adalah dengan memiliki ketiga faktor ini, seorang pencuri ulung menerobos masuk ke dalam rumah-rumah, merampas harta kekayaan, melakukan kejahatan, dan menyerang di jalan-jalan raya.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka, tercela dan dicela oleh para bijaksana, dan menghasilkan banyak keburukan. Apakah tiga ini? Di sini, seorang bhikkhu jahat bergantung pada permukaan yang tidak rata, pada belantara, dan pada orang-orang berkuasa.

(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu jahat bergantung pada permukaan yang tidak rata? Di sini, seorang bhikkhu jahat terlibat dalam perbuatan tidak baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Dengan cara inilah seorang bhikkhu jahat bergantung pada permukaan yang tidak rata.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu jahat bergantung pada belantara? Di sini, seorang bhikkhu jahat menganut pandangan salah, mengadopsi pandangan ekstrim. Dengan cara inilah seorang bhikkhu jahat bergantung pada belantara.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu jahat bergantung pada orang-orang berkuasa? Di sini, seorang bhikkhu jahat bergantung pada raja-raja atau para menteri kerajaan. Ia berpikir: ‘Jika siapa pun menuduhku melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu.’ Jika siapa pun menuduhnya melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu. Dengan cara inilah seorang bhikkhu jahat bergantung pada orang-orang berkuasa. [155]

Adalah dengan memiliki ketiga kualitas ini, seorang bhikkhu jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka, tercela dan dicela oleh para bijaksana, dan menghasilkan banyak keburukan.”

~0~

I. Brahmana

51 (1) Dua Brahmana (1)

Dua brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, lanjut usia, sampai pada tahap akhir, berusia seratus dua puluh tahun, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, mereka duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Kami adalah para brahmana, Guru Gotama, sudah sepuh, tua … berusia seratus dua puluh tahun. Tetapi kami belum pernah melakukan apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kami tidak membuat naungan untuk diri kami sendiri. Sudilah Guru Gotama mendorong kami dan memberikan instruksi kepada kami yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan kami untuk waktu yang lama!”

“Memang benar, para brahmana, kalian sudah sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir, berusia seratus dua puluh tahun, tetapi kalian belum pernah melakukan apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kalian tidak membuat naungan untuk diri kalian sendiri. Sesungguhnya, dunia ini terhanyutkan oleh usia tua, penyakit, dan kematian. Tetapi walaupun dunia ini terhanyutkan oleh usia tua, penyakit, dan kematian, ketika seseorang meninggal dunia maka pengendalian diri atas jasmani, ucapan, dan pikiran akan memberikan naungan, pelabuhan, pulau, perlindungan, dan penyokong.”

Kehidupan terhanyutkan, umur kehidupan adalah singkat, tidak ada naungan bagi seorang yang telah berusia tua. Melihat dengan jelas bahaya dalam kematian ini, seseorang harus melakukan perbuatan-perbuatan berjasa yang membawa kebahagiaan.

Ketika seseorang meninggalkan [kehidupan ini], pengendalian diri atas jasmani, ucapan, dan pikiran, dan perbuatan-perbuatan berjasa yang ia lakukan selagi hidup, mengarahkannya pada kebahagiaannya. [156]

~0~

52 (2) Dua Brahmana (2)

Dua brahmana yang sepuh, tua, terbebani dengan tahun demi tahun, lanjut usia, sampai pada tahap akhir, berusia seratus dua puluh tahun, mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Kami adalah para brahmana, Guru Gotama, sudah sepuh, tua … berusia seratus dua puluh tahun. Tetapi kami belum pernah melakukan apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kami tidak membuat naungan untuk diri kami sendiri. Sudilah Guru Gotama mendorong kami dan memberikan instruksi kepada kami yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan kami untuk waktu yang lama!”

“Memang benar, para brahmana, kalian sudah sepuh, tua, terbebani dengan tahun demi tahun, lanjut usia, sampai pada tahap akhir, berusia seratus dua puluh tahun, tetapi kalian belum pernah melakukan apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kalian tidak membuat naungan untuk diri kalian sendiri. Sesungguhnya, dunia ini terbakar oleh usia tua, penyakit, dan kematian. Tetapi walaupun dunia ini terbakar oleh usia tua, penyakit, dan kematian, ketika seseorang meninggal dunia maka pengendalian-diri atas jasmani, ucapan, dan pikiran akan memberikan naungan, pelabuhan, pulau, perlindungan, dan penyokong.”

Ketika rumah seseorang terbakar perlengkapan yang dibawa keluar adalah yang berguna bagi kalian, bukan yang terbakar di dalam.

Oleh karena itu karena dunia ini terbakar oleh usia tua dan kematian, seseorang harus mengeluarkan dengan cara memberi: apa yang diberikan akan dibawa keluar dengan selamat.

Ketika seseorang meninggalkan [kehidupan ini], pengendalian diri atas jasmani, ucapan, dan pikiran, dan perbuatan-perbuatan berjasa yang ia lakukan selagi hidup, mengarahkannya pada kebahagiaannya.

~0~

54 (4) Seorang Pengembara

Seorang brahmana tertentu mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Guru Gotama, dikatakan: ‘Suatu Dhamma yang terlihat secara langsung, suatu Dhamma yang terlihat secara langsung.’ Dengan cara bagaimanakah Dhamma itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana?”

(1) “Brahmana, seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan.

[158] Seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, tidak memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Dengan cara inilah Dhamma itu terlihat secara langsung … untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.

(2) “Seseorang yang penuh kebencian, dikendalikan oleh kebencian … (3) “Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, tidak memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya.

Dengan cara ini juga, bahwa Dhamma itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Sagha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”