Siapakah yang Lebih Bahagia, Singa ataukah seekor Kelinci?

SENI PIKIR & TULIS

Seni Hidup Bahagia, Minimalisir Keinginan Berlebihan dan Lepaskan Kemelekatan

Minim, Sederhana, dan Hening itu Indah, Simple is Beautiful! Keheningan adalah Suara yang Terindah, di Mata Orang-Orang yang Memiliki Kecukupan Hati!

Mari kita sedikit berfalsafah ria, meski tanpa perlu mengerutkan kening. Penulis buka dengan pertanyaan favorit penulis : Bila Anda dapat menerka dan menduga, manakah yang akan Anda pikir serta asumsikan sebagai hewan yang lebih bahagia dalam hidupnya, seekor harimau / singa sang karnivora ataukah seekor kelinci sang herbivora? Banyak orang, yang meremehkan pertanyaan falsafah demikian, bahkan menganggapnya sebagai pertanyaan “konyol”. Sejatinya, bila kita memahami betul makna dibaliknya, praktis kita akan memperoleh “insight” yang akan banyak menolong dan membantu dalam kehidupan kita yang penuh beban suka dan duka ini.

Beberapa saat yang lampau, terjadi sebuah kejadian unik yang amat sangat langka terjadi, seekor beruang alih-alih memanga seekor rusa yang dijadikan mangsa buruan sang beruang, sang beruang justru ditemukan tewas dengan luka bekas tusukan tanduk rusa yang tampaknya hendak menjadi mangsa buruan sang beruang. Calon mangsa yang berbalik menyerang sang pemangsa, berakibat fatal, sang beruang tewas seketika karena tanduk dari sang rusa tepat mengenai organ vital sang beruang—meski menurut sejulah pakar hewan liar, kejadian korban (calon mangsa) yang menumbangkan pemburunya demikian amat sangat langka terjadi bahkan di alam liar sekalipun.

Para hewan karnivora, amat beresiko mengalami gigi yang rusak terutama ketika mangsa buruannya meronta dan berontak ketika dimangsa, maupun terluka ketika berjibaku sengit. Untuk bisa makan dan melangsungkan hidup saja (pangan, kebutuhan pokok), para hewan karnivora tersebut begitu menderita, meski notabene mereka yang memangsa hidup satwa lainnya. Kabar baiknya, seekor singa yang buas sekalipun tidak akan menerkam satwa lainnya ketika perut mereka telah kenyang. Sebaliknya, manusia yang “predatoris” dan “hewanis—karnivoranis” terus saja mengumpulkan dan menimbun keserakahannya, tanpa batas, dan tanpa terpuaskan, mengakibatkan korban-korbannya bertumbangan secara masif.

Secara garis besar, banyak orang yang akan membuat “lompatan logika” dengan mengatakan bahwa seekor singa atau harimau tentu lebih bahagia daripada hidup seekor kelinci yang lemah dan kerap dimangsa, semata karena fakta bahwa selalu seekor kelinci yang akan menjadi korban tanpa daya menghadapi seekor singa ataupun harimau yang akan menjadi predator dan memangsanya. Kini, penulis akan mengajak para pembaca untuk menimbang ulang dan mengevaluasi jawaban Anda sebelumnya, dan pada saat itulah tepatnya terjadi revolusi paradigma berpikir, yakni mencoba menempatkan diri Anda dalam perspektif sudut pandang sang harimau / singa, maupun sebaliknya perspektif sang kelinci.

Untuk bisa makan untuk mengisi perut, sang harimau atau karnivora lainnya harus bersusah-payah mencari mangsa yang tidak mudah ditemukan dan diburu, serta kian langka untuk dapat mereka jumpai di alam liar. Seringkali, seekor singa ataupun harimau dewasa, gagal mengejar mangsanya, dengan resiko tenaga terkuras sementara perut kian terasa sakit karena kelaparan minta diisi. Belum lagi ketika mangsa buruan mereka meronta dan melawan, bisa jadi gigi dari sang harimau / singa akan patah ataupun bahkan tanggal, jadilah sang predator mengalami sakit gigi sepanjang hidupnya. Dengan demikian, para predator tersebut selama ini lebih sering mengalami kelaparan ketimbang dalam kondisi perut kenyang terisi penuh. Mereka harus bekerja demikian keras dan bergumul sengit untuk sekadar dapat mengisi perut.

Sebaliknya, meski rawan menjadi mangsa yang diburu oleh hewan karnivora, setidaknya para herbivora yang kecil-mungil seperti kelinci yang lemah sekalipun, tidak sering bahkan mungkin tidak akan pernah mengalami kelaparan, semata karena mereka dapat menemukan sumber makanan dengan mudah, seperti tumbuhan dan rumput-rumputan ataupun buah-buahan dan umbi-umbian yang melimpah, dan kabar baiknya ialah : kesemuanya NIKMAT serta dapat dimakan!

Sangat melimpah dan dapat mereka jumpai kemana pun mereka berpetualang dan berpergiaan tanpa kesukaran berarti. Tidak pernah atau jarang terancam kelaparan, dan sudah cukup berpuas diri dengan memakan sekadar tumbuh-tumbuhan atau buah-buahan, bahkan memakan rumput-rumputan sudah membuat mereka cukup antusias menjalani hidup secara bahagia—dan yang tidak kalah penting, tanpa menyakiti ataupun merugikan satwa lainnya. Mereka pun dapat bersahabat dengan hewan-hewan jinak lainnya secara harmonis. Coba saja Anda memelihara seekor harimau, apakah hidup Anda akan merasa tenteram dan damai?

Bila seekor singa ketakutan lapar, maka itulah duka para hewan karnivora. Ketakutan dijadikan mangsa yang dimangsa dan diterkam, adalah duka para hewan herbivora. Bila seekor singa dapat mati kelaparan, maka seekor herbivora dapat mati diterkam / dimangsa. Keduanya, memang memiliki ketakutan dan kecemasan dalam hidup mereka masing-masing, yang satu ketakutan dan cemas tidak berhasil menangkap mangsa buruan dan tersiksa berhari-hari akibat kelaparan serta terancam mati lemas kehabisan energi, maka sang mangsa merasa ketakutan akan dapat sewaktu-waktu tertangkap, diterkam, dan dimangsa oleh predator yang mengendap-endap dibalik semak-belukar.

Setidaknya, kecemasan seekor herbivora ialah dimangsa hewan karnivora lainnya. berlainan dengan para hewan karnivora yang dirudung ketakutan kelaparan dan kecemasan tidak berhasil mencari dan mendapatkan mangsa buruan, hingga ancaman mati karena kelaparan. Mati karena kelaparan, merupakan siksaan itu sendiri. Jangan samakan antara kita dan para satwa karnivora sehingga kita tidak dapat dibenarkan menjadikan itu sebagai “alasan pembenar” perilaku “predatoris” kita, dimana ketika kita kelaparan tanpa tenaga tetap saja kita memiliki stok makanan instan untuk dimasak dan dimakan seketika itu juga tanpa kesukaran berarti. Ketika para satwa karnivora yang harus berenergi prima untuk mengejar dan berjibaku dengan mangsanya, kelaparan, maka energinya lemah, dimana mangsanya bisa jadi akan mampu berlari lebih cepat (karena selalu dalam kondisi kenyang), yang artinya sang predator akan menemui ajal kehabisan energi ketika kelaparan mendera sang predator.

Sama halnya atau tidak ubahnya dengan para “manusia predator” Vs. “manusia ahimsa”, manakah yang hidupnya lebih bahagia? Orang-orang baik, kerap menjadi “mangsa empuk” (sasaran empuk) para “manusia predator” yang bersikap seolah-olah tidak bisa melangsungkan kehidupan tanpa memangsa sesama manusia lainnya. Para “manusia predator”, karenanya setiap harinya harus berkeliaran di luar dan di tengah masyarakat, jungkir-balik mencari serta memangsa korban-korban baru lainnya, dengan segala resiko dibalik upaya tipu-daya, merampok, mencuri, menggelapkan, berhutang namun ingkar janji melunasi, dan perilaku tidak etis lain sebagainya seperti kartel harga, monopoli usaha, rentenir, dan lain sebagainya. Semakin merampas, semakin keserakahan dan menguasai dan memperbudak diri mereka.

Sebaliknya, kontras dengan kalangan “manusia predator”, para “manusia ahimsa” yang hidup secara baik-baik tanpa menyakiti, tanpa melukai, serta tanpa merugikan manusia / makhluk hidup lainnya, dapat melangsungkan hidup tanpa memangsa manusia lainnya. Karenanya, para “manusia ahimsa” lebih cenderung berparadigma berpikir moralis, kreatif (karena dapat mencari makan dengan tidak merugikan ataupun menyakiti manusia lainnya), cukup berpuas hati, memberi dan melepaskan alih-alih merampas, tidak banyak menuntut dalam hidupnya, tidak merepotkan, tenang inderanya, terkendali tindak-tanduknya,

Memang, manusia yang baik ibarat satwa herbivora yang mencari makan dan melangsungkan hidup tanpa menyakiti dan tanpa merugikan makhluk hidup lain maupun sesamanya, membuat mereka rentan menjadi sasaran sekaligus “mangsa empuk” para hewan karnivora maupun para “manusia predator”. Namun, apapun itu resikonya, mereka hidup lebih bahagia semata kerena bebas dari perbudakan nafsu dan keserakahan. Mereka penuh keterpuasan hati, hidup senang dan matipun damai-tenang. Mereka lahir dengan indah, dan pergi dari dunia ini secara indah. Mereka bahkan dapat menjadi pencipta kehidupan atau pelestari kehidupan, alih-alih menjadi perusak dan pemusnah kehidupan. Mereka telah damai, tenang, hening, dan karenanya lebih bahagia daripada jenis-jenis tipikal manusia lainnya yang setiap hari dibakar dan terbakar oleh keserakahan dalam hidupnya. Bebas artinya bahagia, terjajah artinya menderita. Penjajahnya bukanlah serdadu bangsa asing maupun penjajahan oleh bangsa sendiri, namun oleh keserakahan di dalam diri masing-masing individu.

Ajahn Brahm, murid dari Ajahn Chah, memperkenalkan kontras antara “bebas dari keinginan” Vs. “bebas untuk menginginkan” (“freedom from wanting” Vs. “freedom to wanting”). Para “manusia predator”, memiliki paradigma berpikir dan memandang “bebas untuk menginginkan”, karenanya mereka menjadi budak dari keinginan mereka sendiri yang tidak akan pernah terpuaskan dan tidak akan ada kata cukup, semakin terikat dan semakin terjerat, direpotkan dan merepotkan. Karena dibakar oleh perbudakan nafsu yang membakar, mereka memaksakan diri dan memaksakan orang lain serta memaksakan keadaan, agar memenuhi dan sesuai dengan segala kehendaknya yang tidak pernah terpuaskan serta menuntut lebih banyak dan lebih banyak lagi. Itulah sebabnya, seorang “manusia karnivora-predatoris” lebih berbahaya daripada hewan karnivora manapun.

Sebaliknya, individu yang tidak merepotkan dirinya sendiri dan juga tidak merepotkan orang lain, hidup secara lebih bahagia (merdeka atas dirinya sendiri, bebas dari perbudakan nafsu keinginan), lebih memilih untuk “melepaskan” alih-alih “merampas”, sudah memiliki keterpenuhan dan ketercukupan hati, disamping memiliki falsafah “sudah cukup lumayan”, karenanya mereka tenang inderanya, damai, sedikit keinginan duniawi, tidak menyakiti, tidak juga melukai, serta tidak pula merugikan pihak-pihak lainnya. Mereka sudah cukup dengan diri mereka sendiri dan “apa yang ada”, tanpa memaksakan diri, tanpa memaksakan orang lain, serta tanpa memaksakan keadaan. Bila dapat meningkatkan taraf hidup tanpa merugikan orang lain maupun diri sendiri, mereka akan berjuang. Bila tidak, maka mereka tidak akan mencari dan menggunakan jalan pintas dengan merampas hak-hak terlebih kebahagiaan hidup orang lain.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.