AGAMAIS “Agama DOSA”, Semakin Agamais maka Semakin Menjelma Malapetaka Bagi Dunia

Indonesia adalah Negara Agamais, namun Penjaranya Selalu PENUH, Overcapacity

Question: Indonesia adalah negara agamais, namun mengapa penjaranya selalu penuh sesak oleh kriminil? Apakah negara kita di Indonesia tercinta ini, kekurangan agamais? Negeri kita tidak pernah kekurangan agamais maupun para kriminil. Sebulan berpuasa, konsumsi meningkat drastis saat bulan ramadhan, ajang narsis minta dihormati, kerja malas-malasan dengan alasan berpuasa, menuntut diberikan tunjangan hari raya, lalu mengharap dosa-dosa selama satu tahun dihapuskan. Kalau begitu, untuk apa kita menghormati orang-orang yang berpuasa di bulan ramadhan? Kabar gembira bagi pendosa, sama artinya kabar buruk bagi kalangan korban-korban para pendosa teserbut. Bukankah hanya seorang pendosa, yang butuh penghapusan dosa?

Brief Answer: Masalahnya, agamais dalam hal “agama” macam apakah dulu. Bila “Agama DOSA”, semakin agamais umat pemeluknya, maka akan semakin berbahaya serta fatal dampaknya.

PEMBAHASAN:

Kita buka dengan menguraikan hal yang paling prinsipil terlebih dahulu, yakni kriteria 3 jenis agama yang dapat kita jumpai di lapangan, yakni:

1.) Agama SUCI. Sebagaimana namanya, umat pemeluknya ialah seorang suciwan, yang mana tidak butuh ideologi korup-kotor-tercela-ternoda bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Mengingat para suciwan tidak butuh ideologi ataupun iming-iming korup demikian, maka timbul distingsi pembeda (perbandingan) antara si “suciwan” dan si “pendosa”. Para suciwan memuliakan Tuhan, dengan cara menjadi manusia yang mulia.

Para suciwan disebut demikian, suci dan suciwan, semata karena lebih memilih hidup dalam latihan diri yang ketat dalam praktik kontrol diri dan mawas diri (self-control), dimana mawas diri dan perhatian terhadap perilaku, pikiran, dan ucapan sendiri adalah objek perhatian utamanya, sehingga tiada seorang lainnya pun yang akan disakiti, dirugikan, terlebih dilukai oleh sang suciwan. Mereka memurnikan serta memuliakan dirinya dengan usaha diri mereka sendiri, tanpa noda, dan tidak tersandera, tanpa cela, bebas sempurna, dan tercerahkan—yang dalam bahasa Buddhistik, “break the chain of kamma”;

2.) Agama KSATRIA. Sebagaimana namanya, umat pemeluknya ialah seorang ksatria, yang mana memilih untuk bertanggung-jawab atas setiap perilaku maupun perbuatan buruknya yang telah pernah ataupun masih dapat menyakiti, melukai, dan merugikan pihak-pihak lainnya, baik secara disengaja maupun akibat kelalaiannya, dimana korban-korbannya tidak perlu bersusah-payah menagih tanggung-jawab, bahkan sang ksatria menyadari bahwa sekalipun ia bertanggung-jawab semisal dengan ganti-rugi biaya berobat hingga korbannya sembuh, tetap saja sang korban masih merugi waktu, merugi pikiran, merugi tenaga, belum lagi kenyataan fisiknya tidak dapat pulih sempurna seperti sebelumnya. Singkat kata, para kaum ksatria senantiasa “tahu diri”.

Ideologi bertanggung-jawab yang penuh tanggung-jawab kalangan ksatria, dianggap sebagai ancaman maupun musuh terbesar di mata kaum dosawan yang membuat para dosawan tersebut tampak sebagai “manusia sampah” yang selama ini menjadi pecandu tetap iming-iming “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”—sementara kalangan ksatria justru mempromosikan gerakan hidup bertanggung-jawab dan berke-jantan-an alih-alih “cuci tangan” ataupun lari dari tanggung-jawab. Kalangan korban yang telah dirugikan / terluka, tidak perlu sibuk menagih tanggung-jawab—terlebih mengemis-ngemis tanggung-jawab—dari seseorang berjiwa ksatria. Karenanya, seorang ksatria layak menyandang gelar sebagai seseorang yang “jantan”, alias jentelmen, bukan “pengecut” yang lari dari tanggung-jawab maupun “cuci dosa” (sins laundring);

3.) Agama DOSA. Sebagaimana namanya, umat pemeluknya disebut sebagai seorang pendosa, dimana para dosawan menjadi umatnya, yang mana memilih untuk tetap berbuat dosa semata agar dapat menjadi pecandu yang mencandu ideologi korup penuh kecurangan bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (abolition of sins)—masuk ke dalam lingkaran komunitas “pendosa”, memakan dan termakan ideologi korup penuh kecurangan, terjebak untuk selamanya, “point of no return”.

Bagaikan raja yang lalim, yang senang ketika dipuja-puji oleh hamba-hambanya, lalu memberikan hadiah, dan akan murka sejadi-jadinya ketika tidak disembah-sujud sebelum kemudian memberikan hukuman, maka para pendosa yang pandai menyanjung dan “menjilat” (pendosa penjilat penuh dosa) akan dimasukkan ke alam surgawi—alam dimana telah sangat tercemari oleh kekotoran batin para pendosa yang menjadi mayoritas penghuninya jika tidak dapat disebut sebagai satu-satunya penghuni alam surgawi. Dengan kata lain, secara tidak langsung, para dosawan menggambarkan sosok Tuhan tidak ubahnya “raja yang lalim”.

Itulah penjelasan ringkasnya, mengapa berbagai penjara di Indonesia tidak pernah sepi dari para narapidana penghuninya, bahkan sepanjang tahun selalu mengalami fenomena klise “overcapacity” dan “overload” yang konon sepanjang tahunnya hampir mendekati 200% kapasitas maksimum, sekalipun bangsa kita dikenal “agamais” (kurang “agamais” apa, warga di negeri ini?), disamping fakta aktual bahwasannya jauh lebih banyak aduan maupun laporan warga korban pelapor yang diabaikan dan ditelantarkan oleh aparatur penegak hukum. Alam surgawi, karenanya, menjadi menyerupai “dunia manusia jilid kedua”, dimana para pendosa kembali beraksi tanpa “self-control” (menyakiti, merugikan, maupun melukai) orang-orang maupun makhluk-makhluk lainnya.

Bangsa kita memiliki warisan genetik yang buruk, karena itu kita perlu menyadarinya sebagai langkah paling awal, lalu berupaya keras berjuang untuk “melampaui warisan genetik yang mengalir di darah kita”. Dengan cara itulah, genetik tidak lagi dapat menjadi faktor deterministik yang menentukan cara berpikir maupun jalan hidup kita. Kita dapat berjuang mengubah nasib maupun “garis tangan”, begitu pula kita dapat berjuang mengubah warisan genetik kita. Tidak mudah, butuh perjuangan keras, komitmen, dan keseriusan sepenuh hati, namun itulah misi hidup kita yang terlahir dari genetik “Made in Indonesia”.

Sang Buddha menyebutkan, orang jahat mirip orang buta, mereka tidak bisa membedakan antara perbuatan baik dan perbuatan buruk. Alhasil, ketika seorang pendosa (pecandu penghapusan dosa) berceramah perihal kehidupan baik dan suci kepada para penikmat ideologi penghapusan dosa), itu ibarat orang buta (pendosawan) sedang menuntun para butawan (para dosawan) lainnya—“neraka” pun disebut sebagai “surga”, bejemaah digiring ke neraka. Senada dengan itu, dapat kita jumpai khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

78 (8) Mendirikan

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā … Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Ānanda, apakah semua perilaku dan pelaksanaan, gaya hidup [keras], dan kehidupan spiritual menjadi berbuah ketika ditegakkan sebagai intisarinya?”

[Kitab Komentar : Praktik-praktik dengan “cara praktik yang melepuhkan.” Ekstrim lawannya adalah pandangan bahwa tidak ada bahaya dalam kenikmatan indria, yang bersesuaian dengan praktik yang mementingkan kenikmatan indria. “Jalan Tengah” Sang Buddha, menghindari kedua ekstrim ini.]

“Tidak harus demikian, Bhante.”

“Kalau begitu, Ānanda, jelaskanlah perbedaan [di antaranya].”

“Bhante, misalkan seseorang melatih perilaku dan pelaksanaan, suatu gaya hidup [keras], dan kehidupan spiritual, mendirikannya seolah-olah itu adalah intisarinya. Jika kualitas-kualitas tidak bermanfaat kemudian bertambah dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang, maka perilaku dan pelaksanaan, gaya hidup [keras], dan kehidupan spiritual demikian, yang didirikan sebagai intisarinya, adalah tidak berbuah. Tetapi jika kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah, maka perilaku dan pelaksanaan, gaya hidup [keras], dan kehidupan spiritual demikian, yang didirikan sebagai intisarinya, adalah berbuah.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Ānanda. Sang Guru menyetujuinya. Kemudian Yang Mulia Ānanda, dengan berpikir, “Sang Guru telah menyetujui,” bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi.

Kemudian, tidak lama setelah Yang Mulia Ānanda pergi, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, Ānanda adalah seorang yang masih berlatih, tetapi tidaklah mudah untuk menemukan seseorang yang setara dengannya dalam hal kebijaksanaan.”

~0~

79 (9) Keharuman

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, ada tiga keharuman ini yang menyebar bersama angin tetapi tidak melawan angin. Apakah tiga ini? Keharuman akar-akaran, keharuman inti kayu, dan keharuman bunga. Ketiga keharuman ini yang menyebar bersama angin tetapi tidak melawan angin. Adakah keharuman yang menyebar bersama angin, melawan angin, dan bersama angin sekaligus melawan angin?

“Ada, Ānanda, suatu keharuman yang menyebar bersama angin, [226] melawan angin, dan bersama angin sekaligus melawan angin.”

“Tetapi, Bhante, keharuman apakah itu?”

“Di sini, Ānanda, di desa atau pemukiman mana pun seorang laki-laki atau perempuan yang telah berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sagha; ia bermoral dan berkarakter baik, menghindari pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku seksual yang salah, menghindari kebohongan, dan menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan; dan ia berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam melepas, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi – dalam kasus demikian, para petapa dan brahmana di [segala] penjuru memuji, dengan mengatakan: ‘Di desa atau pemukiman itu seorang laki-laki atau perempuan yang telah berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sagha … bersenang dalam memberi dan berbagi.

“Para dewa dan makhluk-makhluk halus, juga memuji dengan mengatakan: ‘Di desa atau pemukiman itu seorang laki-laki atau perempuan yang telah berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sagha … bermoral dan berkarakter baik … bersenang dalam memberi dan berbagi.’

“Ini, Ānanda, adalah keharuman yang menyebar bersama angin, melawan angin, dan bersama angin sekaligus melawan angin.” Keharuman bunga tidak menyebar melawan angin, keharuman cendana, tagara [Semak belukar yang darinya bubuk harum dihasilkan], atau melati juga tidak. Tetapi keharuman orang-orang baik menyebar melawan angin: keharuman orang baik menyebar ke segala penjuru.”

Bagaimana mungkin, Tuhan memuji seorang pendosa? Bagaimana mungkin, Tuhan bersedia disatukan (baca : dicemarkan) oleh para pendosa? Sang Buddha telah berpesan, ritual tidak dapat mensucikan diri seseorang. Para pendosa tersebut begitu pengecutnya untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka, dan disaat bersamaan terlampau pemalas menyingsingkan lengan baju untuk menanam benih-benih karma baik. Apakah Tuhan betul-betul membutuhkan, para penjilat-pendosa-penuh dosa demikian? Tidak butuh IQ ataupun SQ tinggi untuk menjawabnya, cukup bersikap jujur dan terbuka terhadap diri Anda sendiri masing-masing. Sayangnya, para pendosawan berkedok “agamais” tersebut telah membutakan hati dan pikiran mereka sendiri, digadaikan demi iman setebal tembok betok yang tidak tembus oleh cahaya apapun.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.