Jangan Takut Hidup MENJOMBLO

SENI PIKIR & TULIS

Dari Keluarga menjelma Orang Asing, Fenomena Sosial yang Jamak dan Lumrah

Baru-baru ini penulis menjumpai sebuah pemandangan yang ironis namun cukup menggugah dan memberi inspirasi “insight” sebagaimana buahnya ialah berupa artikel menarik yang sedang para pembaca simak dalam kesempatan berharga ini. Pada suatu hari, tetangga pada kediaman penulis “dikunjungi” oleh anaknya yang telah menikah, anak mana dilahirkan dan diasuh, didik, hingga tumbuh besar selama puluhan tahun pada rumahnya tersebut, hingga akhirnya sang anak menikah dan membangun rumah-tangga sendiri di kediamannya sendiri bersama istri dan anaknya yang masih balita.

Pada malam harinya, anaknya beserta istrinya keluar dari kediaman tetangga penulis, dan sembari masuk ke dalam kendaraannya, memberi salam perpisahan, “Mama dan Papa, kami pulang dulu ya!” Dahulu kala, ketika sang anak masih kecil dan muda, kata-kata “pulang” artinya ketika sang anak kembali ke rumah tersebut (rumah milik tetangga penulis), semisal ketika sehabis pulang sekolah maka artinya pulang ke rumah tersebut. Kini, istilah “pulang” telah berubah makna, menjadi tempat lain, rumah lain, dan kediaman serta rumah-tangga lainnya. Satu keluarga utuh, terdiri dari kedua orangtua dan anak-anaknya, kini terpisah dan terpencar-pencar membangun rumah-tangganya sendiri, masing-masing. Itukah, hasil kerja keras kedua orangtuanya dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya tersebut selama puluhan tahun “membanting tulang” ini?

Tetangga penulis tersebut memiliki dua orang anak pria, dimana saat kini kedua telah membangun rumah-tangga sendiri di luar kediaman tetangga penulis, meski tampaknya (dari kacamata penulis selaku tetangga yang kediamannya saling berseberangan selama hampir empat puluh tahun lamanya) tetangga penulis tersebut mengasuh kedua anaknya secara baik dan penuh kasih-sayang, dapat disebut sebagai keluarga dengan orangtua yang cukup ideal, orangtua dan anak-anaknya yang saling bersikap baik satu sama lainnya.

Pada akhirnya, sebagaimana meminjam kata-kata Ajahn Chah, masa depan berisi hal yang “tidak pasti”, tidak ada yang dapat dipastikan, dan penuh ketidak-pastian itu sendiri. Singkat kata, tiada yang pasti selain ketidak-pastian itu sendiri. Lebih tidak terbayangkan, keluarga-keluarga lainnya yang tergolong “broken home”, dapat dipastikan seluruh anak-anaknya yang sepanjang hidupnya disakiti orangtuanya yang tergolong “egoistic parents” akan memilih hidup dan berkembang di luar rumah dan berjuang meraih “kebebasan” dari kungkungan kedua orangtuanya yang ketika masih muda begitu sewenang-wenang terhadap anak-anaknya yang lemah namun tidak berdaya dan ketika kedua orangtuanya menjadi tua dan lemah akan menampilkan trik berupa memasang wajah “innocent” serta tidak berdaya penuh kealiman, yang tentu saja tidak lagi mampu mengundang simpati anak-anaknya yang telah terlampau banyak merasakan pahitnya hidup disakiti semasa muda dan kecilnya.

Kabar “buruk” bagi kalangan orangtua, keluarga di sebelah kediaman tetangga penulis tersebut, juga mengalami hal serupa, memiliki tiga orang anak, dan ketiganya tinggal di kediaman lain setelah melangsungkan pernikahan, membangun rumah-tangga mereka sendiri masing-masing beserta suami/istri dan anak-anaknya. Jangankan demikian, kondisi pada keluarga orangtua penulis pun, tidak jauh berbeda. Setidaknya, Anda dan penulis tidak seorang diri, namun demikianlah fenomena kekinian sosial masyarakat kita dewasa ini, ditambah kultur bangsa dan watak kalangan orangtua kita di Indonesia yang belum dibekali ilmu dan keterampilan “parenting”—adalah arogansi, ketika kalangan orangtua merasa tidak butuh belajar dan menimba ilmu cara mengasuh dan mendidik anak yang baik dan benar. Menjadi orangtua, tidaklah otomatis seketika dianugerahi pengetahuan perihal “parenting”. Para orangtua kita, lebih banyak menampilkan suatu pola, berupa kekeliru-tahuan, tahu namun keliru.

Susah payah melahirkan, mengasuh, serta mendidik, pada muaranya semuanya saling merasa asing dan terasingkan satu sama lainnya. Sebagai seorang Konsultan Hukum, penulis kerap mendalami perkara-perkara dan sengketa-sengketa hukum yang terjadi antara “Orangtua Vs. Anak”, atau sebaliknya “Anak Vs. Orangtua”, ataupun semacam “Kakek-Nenek Vs. Cucu” atau sebaliknya. Dari semula orangtua atau anak, kemudian menjadi Penggugat dan Tergugat, saling gugat-menggugat, bahkan lapor-melapor untuk mempidanakan orangtua ataupun anak sendiri. Jika membandingkan dengan kasus-kasus hukum penuh ironi demikian, tampaknya “pisah rumah” secara baik-baik masih lebih baik, setidaknya harmoni “relasi jarak jauh” masih lebih “lumayan” ketimbang perang “berdarah-darah” antara sesama keluarga sedarah.

Banyak yang mengatakan, ketika anggota keluarga atau saudara kandung kita telah menikah, maka relasi dengan kita menjadi renggang, bahkan berubah perangainya secara kontras. Penulis pun memiliki pengalaman pribadi serupa, meski penulis menolong sumber daya ekonomi saudara kandung penulis, faktanya ketika ia menikah belum genap lima tahun usia perkawinannya, kami menjelma saling menyerupai orang asing yang “asing” satu sama lainnya, bahkan sampai pada tahap yang sangat menyakitkan, yakni “membalas air susu dengan air tuba”, seolah-olah fakta relasi “sedarah” sama sekali tidak memiliki ikatan kohesi sosial dan psikologis apapun.

Tidak sedikit pula berita betapa jahatnya orang-orang di Indonesia, dimana bahkan polisi yang seharusnya melindungi dan menjadi tempat berlindung bagi warga, justru lebih jahat ketimbang penjahat (karena melalaikan tugas dan kewajibannya, tidak menghormati rakyat sipil sumber pajak yang membayar gaji mereka, serta melanggar sumpah jabatan). Jika polisi saja bisa sejahat itu terhadap kita, maka bagaimana sikap sesama sipil terhadap warga sipil lainnya? Kita tidak dapat menaruh banyak harapan terhadap sesama warga bernama Bangsa Indonesia, toh faktanya saja polisi bersikap “lebih preman daripada preman”. Maka, menjadi dapat kita maklumi bila sesama warga sipil saling memakan satu sama lainnya, memakan atau dimakan.

Namun, tahukan Anda, sebagaimana pernah penulis utarakan kepada seorang klien yang menjadi korban modus “mafia tanah”, ada yang lebih jahat daripada kesemua itu. Tahukan Anda, siapa gerangan? Yakni, ketika pelaku kejahatan yang telah bersikap jahat terhadap diri kita, notabene ialah orang-orang terdekat dari kita sendiri, dimana selama ini yang bersangkutan kita berikan kebaikan, pengorbanan diri, atau bahkan orangtua yang semestinya melindungi dan mengasihi diri kita, justru berlawanan dan berkebalikan dari itu, menyakiti diri kita secara tidak terperi, bahkan secara melewati batas (secara “kelewatan”). Bila orangtua kita sendiri bisa sejahat dan sekeji itu terhadap diri kita, maka apa yang kita harapkan dari sikap orang lain di luar sana terhadap diri kita?

Sering orang-orang berkata, berkeluarga tujuannya agar ketika kita sudah tua, siapa yang akan merawat kita bila bukan anak-anak kita? Penulis pernah mempunyai dua orang atasan saat penulis masih sebagai pekerja kantoran di sebuah kantor. Kedua atasan penulis memiliki anak-anak yang telah dewasa dan bekerja serta berkeluarga. Atasan pertama, memiliki dua anak pria. Atasan kedua, memiliki dua anak perempuan. Kini, kedua atasan penulis telah sangat lanjut usia, sudah uzur usianya. Namun, kesemua anak mereka kini bertempat-tinggal di kediaman mereka masing-masing secara terpisah dari kediaman orangtua tempat mereka dahulu dilahirkan dan bertumbuh besar bersama orangtua mereka. Pada akhirnya, kedua atasan penulis tersebut hidup di kediamannya sendiri, bersama istrinya yang juga telah uzur, berdua.

Mengandalkan dan mengharap anak-anak untuk mengurus mereka, bagaimana mungkin, bila orangtua dan anak-anak kini bertempat-tinggal di kediaman berbeda satu sama lain, bahkan jaraknya saling tergolong berjauhan. Itulah pelajarannya, tiada jaminan serta tiada yang pasti dalam kehidupan ini. Antara harapan dan realita, dapat demikian berjarak. Nasib mereka, para tokoh yang penulis bahas di atas, benasib tidak ubahnya mereka yang selama ini hidup selibat, menjomblo, dan memilih untuk tidak berumah-tangga. Kita, hidup dan mati hanya membawa diri kita sendiri. Kita dapat hidup atau mati tanpa membawa serta anak atau istri kita, sebaliknya juga mereka hidup atau mati tanpa membawa serta diri kita.

Anda merawat mereka selama puluhan tahun, namun anak Anda justru kemudian lebih sibuk merawat orang lain yang menjadi suami/istri mereka, maupun anak-anak mereka (cucu Anda), namun bukan Anda. Itu adalah fakta realita lapangan, dimana seorang anak kemudian tidak mau direpotkan merawat orangtua mereka yang telah tua, meski orangtuanya masih sehat dan belum benar-benar berjalan dengan bantuan tongkat, namun begitu rela disibukkan dan direpotkan oleh suami / istri dan anak-anaknya sendiri. Bila Anda memiliki pengalaman serupa di dalam internal keluarga Anda, maka Anda tidak seorang diri.

Karenanya, menjadi naif bila Anda mengharap anak Anda akan merawat dan mengasuh Anda ketika Anda menjadi seorang lansia (“lanjut usia”), sebagaimana Anda selama puluhan tahun mengasuh dan merawat mereka dengan penuh pengorbanan, dedikasi, serta cinta kasih sayang. Pada akhirnya, kesemuanya menjadi “asing” serta terasingkan satu sama lainnya, tidak ubahnya kerabat jauh lainnya, yang hanya datang “berkunjung” (bukan lagi “pulang ke rumah”) sesekali setiap minggu atau setiap bulan atau bahkan setiap tahun sekali. Mereka, hanya semudah sesumbar “Aku sayang Mama dan Papa”, lalu memberikan uang “sogokan” sebagai uang belanja, namun tidak bersedia direpotkan lebih dari itu, terlebih komitmen waktu dan lainnya. Mereka tidak akan selalu berada di sisi dan disamping Anda, mereka sibuk dengan urusan dan rumah-tangga mereka sendiri masing-masing.

Terserah Anda dan silakan bagi Anda yang bersikukuh untuk membantah pernyataan Sang Buddha tentang hidup dan kehidupan ini ialah anicca (tidak kekal), dukkha (penuh ketidakpuasan serta mengecewakan), serta anatta (tanpa diri). Ataupun bilamana Anda hendak menipu diri Anda sendiri, seolah-olah Anda berbahagia dan bergembira sepanjang hari dan untuk sepanjang hayat hidup Anda, dengan meyakini ideologi yang berkebalikan dari fakta, bahwa “hidup ini adalah nikmat”. Justru dengan keberanian untuk mengakui bahwa hidup ini adalah tidak memuaskan serta mengecewakan, kita tidak lagi perlu merasa iri terhadap keluarga maupun “rumput di halaman depan milik rumah orang lain”.

Pernah pada satu hari saat penulis masih sebagai seorang mahasiswa di bangku perguruan tinggi di Indonesia, dimana puluhan mahasiswa dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, maupun agama, duduk di satu ruang kelas yang sama, penulis dimintakan pendapat oleh dosen di depan kelas, dan penulis sampaikan bahwa Sang Buddha mengatakan bahwa hidup ini adalah mengecewakan dan penuh dengan ketidakpuasan, derita itu sendiri. Uniknya, tiada mahasiswa lain yang membantah ataupun berkeberatan, termasuk sang dosen, sekalipun penulis yakin bahwa bisa jadi hanya penulis seorang yang berlatar-belakang Buddhisme di ruangan kelas tersebut.

Anak Anda bukanlah dilahirkan ke dunia ini untuk menjadi “babysitter” Anda. Orangtua yang baik memberikan kehidupan bagi anak-anak mereka, bukan sebaliknya secara egoistik merampas kehidupan mereka. Mereka punya kehidupan serta tujuan disamping tanggung-jawab atas hidup mereka sendiri. Mereka berhak untuk hidup bebas sesuai aspirasi serta impian mereka sendiri, karena setiap pribadi dan individu memang dilahirkan untuk “born to be FREE”, Freedom, itulah yang dikejar oleh setiap insan, termasuk bebas dari segi finansial, dari segi sosial, maupun dari segi berkeluarga untuk membangun rumah-tangga yang ideal menurut hemat mereka masing-masing, bebas dari kungkungan budaya keluarganya semasa kecil.

Ingatlah, anak-anak kita tidak pernah meminta dilahirkan. Anda, selaku orangtua, yang melahirkan mereka. Karenanya, Anda selaku orangtua memiliki tanggung jawab terhadap anak-anak yang telah Anda lahirkan sebagai konsekuensi berumah-tangga. Itulah sebabnya, orangtua yang bercerai sekalipun, sang ayah tetap wajib membayar biaya hidup serta biaya pendidikan anak-anaknya secara rutin. Orangtua yang memasung anaknya dari kebebasan itu, bahkan membonsai mereka hingga mereka tidak mampu hidup mandiri, dengan tidak membekali mereka modal berupa keterampilan dasar hidup, adalah orangtua yang “egois” serta tidak bertanggung-jawab—kesemua itu, adalah kewajiban dasar setiap orangtua, demikian tutur Sang Buddha. Bukan hanya anak yang dapat “durhaka” terhadap orangtua, namun juga berlaku prinsip sebaliknya agar tidak terjadi “standar berganda”.

Terdapat pengalaman menarik berikut yang penulis dapatkan ketika memberikan konseling seputar hukum kepada seorang klien yang memiliki masalah hukum seputar sengketa antar saudara kandung terkait harta orangtuanya yang diperebutkan oleh salah seorang saudara kandung. Penulis menyampaikan, tiada yang pasti, mengapa menyebut para anak sebagai “ahli waris”, sementara itu orangtua mereka masih hidup meski sudah lanjut usia. Bisa jadi saja, tidak lama setelah ini, sang anak yang meninggal dunia terlebih dahulu ketimbang orangtuanya, sehingga yang menjadi “ahli waris” justru ialah orangtuanya.

Bagi orangtua yang memiliki keluarga dimana anak-anaknya tetap bertempat-tinggal pada kediaman yang sama dengan orangtuanya sekalipun sang anak telah mampu dari segi finansial dan telah memiliki istri / suami, sang orangtua jangan terlebih dahulu bersenang hati, karena bisa jadi bukanlah anak Anda yang disibukkan merawat Anda tatkala telah tua, namun Anda yang harus kembali merawat anak-anak Anda yang sibuk berkarir di luar rumah, serta masih harus pula mengurus dan mengasuh cucu-cucu Anda di masa pensiun Anda—pekerjaan itu sendiri, menjadi “babysitter murah (karena cukup digaji dengan makan tiga kali sehari serta uang jajan namun tanpa upah)”.

Menjomblo, bukan artinya tidak memiliki seorang pun, kita memiliki diri kita sendiri sebagai kawan terbaik, sebagai keluarga terbaik, dan sebagai andalan yang paling dapat kita andalkan sebagai tempat bertumpu. Himpunlah keterampilan dan finansial yang dapat kita andalkan disaat tua nanti. Jangan pernah mengharapkan terlebih mengandalkan sanak keluarga ataupun saudara kandung sekalipun, karena darah tetap saja akan encer serta mencair ketika berjumpa air, demikian pula pertalian sedarah. Menjomblo, artinya hanya mengalami “derita jomblo”. Sementara itu para kalangan orangtua harus mengalami apa yang disebut sebagai “derita orangtua”, masih harus pula mengalami “derita kakek-nenek”—sebuah “never ending stories”. Rasanya, kita sudah cukup repot dan sibuk disibukkan oleh diri kita sendiri.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.