Yang Menista Agama ialah Umat Bersangkutan Itu Sendiri, telaah Ritual dengan Menimbulkan Polusi Suara

SENI PIKIR & TULIS

Ketika masih Minoritas, Cinta Damai sembari Menikmati Toleransi. Ketika telah menjadi Mayoritas, Mendadak Menjelma Radikal dan Mematikan Toleransi

Disebut-sebut dan mengaku-ngaku sebagai agama damai, cinta perdamaian, toleran, baik, mulia, namun bila sikap rata-rata umatnya (secara berjemaah) justru beringas, radikal, intoleran, haus darah, mudah tersinggung, mudah naik pitam, mudah “kesetanan”, suka bermain kekerasan fisik, sedikit-sedikit menganiaya dan membakar bahkan tidak segan membunuh dengan mengatas-namakan agama, maka pembuktian yang sebenarnya terjadi ialah lewat teladan serta sikap nyata, bukan sekadar klaim atau jargon semata.

Sikap umat merupakan cerminan dari ajaran agamanya itu sendiri. Mereka gagal untuk membuktikan bahwa mereka cinta damai, sebagaimana sejarah yang terus berulang. Suatu keyakinan keagamaan, dipromosikan dan didemosikan oleh perbuatan konkret para umatnya itu sendiri, bukan oleh semudah ucapan penuh klaim, jargon, yang mana lebih ironis bila bertolak-belakang dengan realita yang terjadi di lapangan selama ini. Kita tidak membutuhkan orang lain ataupun mereka untuk mengatakan pada kita betapa radikal atau tidak radikalnya mereka, kita punya pikiran untuk menilai dan memutuskannya sendiri suatu ajaran sebagai damai atau sebaliknya, menyesatkan dan intoleran. Kita tidak tuli dan kita punya pikiran untuk melihat serta mendengar dan membuat penilaian sendiri disamping perasaan milik kita sendiri yagn tidak berhak dihakimi oleh orang lain.

Beberapa tahun lampau, sempat dihebohkan (meski sebetulnya bukanlah yang heboh-heboh amat), ditemukan lembaran kerta Al-Quran ditemukan di dalam kloset dan ditengarai pelakunya ialah seorang serdadu. Tentu, para umat muslim menyebutnya sebagai penistaan terhadap agama Islam dan pelakunya dikutuk sebagai penista agama Islam. Al-Quran adalah sebuah buku, sebagaimana kitab-kitab agama lainnya, hanyalah lembaran-lembaran kertas yang dijadikan satu, benda mati.

Cepat atau lambat ia akan lapuk dimakan kutu buku ataupun rayap. Bagaimana mungkin, benda menjadi suci karena dicetak ayat-ayat di atasnya, sebagaimana mesin pencetaknya dapat disebut memproduksi benda suci secara masal dan masif sekalipun mesin pencetaknya sendiri tidaklah suci? Bagaimana mungkin, benda mati disebut sebagai “suci”, bahkan dapat dilipat-gandakan semudah mencetak buku? Benda “suci” yang semurah harga buku, “suci” yang murahan dan gampangan.

Jika perlu, pelakunya dibakar secara beramai-ramai oleh umat muslim, sebagaimana perilaku mereka yang mendapatkan teguran warga di Tanjung Balai pada medio tahun 2017 yang terganggu oleh “polusi suara” para muslim ketika beribadah, agar sekadar mengecilkan volume speaker eksternal masjid, yang secara serampangan (mau menang sendiri) dimaknai sebagai “melarang adzan” (meski ribuan tahun lampau belum dikenal listrik, dan besar kemungkinan speaker merupakan ciptaan seorang “kafir” yang selama ini sangat dibenci dan penuh permusuhan oleh umat muslim), bermuara pada berjemaahnya para muslim membakar belasan Vihara dan merusak rumah sang warga yang beretnik minoritas di Indonesia tersebut.

Sejatinya, para muslim itu sendiri yang telah menista dan mencoreng agamanya sendiri. Simak betapa ayat-ayat dari kitab agama Islam diumbar lewat pengeras suara eksternal yang menghasilkan desibel suara yang menggaung dan mengudara demikian kerasnya membahana hingga radius kiloan meter jauh dan jaraknya. Betapa tidak, apapun mediumnya, ayat-ayat dapat dituangkan ke dalam bentuk tertulis seperti kertas, media digital seperti internet, maupun secara lisan seperti penuturan lisan, rekaman suara yang dapat di-“playback” (kaset untuk diputar ulang), ataupun melalui speaker pengeras suara.

Bila para muslim tersinggung bilamana lembaran kertas berisi ayat-ayat Al-Quran yang dimasukkan oleh seseorang ke dalam kloset dinilai dan dipandang sebagai penistaan terhadap agama Islam, maka apalah bedanya terhadap ulah para jutaan hingga miliaran muslim di seluruh dunia, yang justru melecehkan dan menista ayat-ayat kitab agamanya dengan medium speaker pengeras suara, dimana ayat-ayat agamanya lebih banyak berserakan di jalan-jalan seperti sampah-sampah lembaran leaflet iklan yang kemudian diinjak-injak dan digilas laju kendaraan maupun memenuhi tong sampah sebagai muaranya, hingga bahkan menerobos masuk ke dalam toilet dimana getaran gelombang suaranya menyentuh masuk ke dalam lubang jamban / kloset rumah-rumah warga.

Agama semestinya membuat umat manusia tidak merepotkan umat manusia lainnya, serta tidak banyak mau ataupun ulahnya. Sebagai contoh, sebagaimana diberitakan oleh radio Jepang NHK versi bahasa Indonesia, disebutkan bahwa Jepang memiliki teritori yang terbatas luasnya, namun para muslim bersikukuh memakamkan jenasah muslim dengan cara dikubur di dalam tanah. Para muslim membeli sebidang tanah, dengan maksud dijadikan pemakaman umum bagi para umat muslim yang tinggal di Jepang untuk tujuan bekerja atau sebagainya.

Para warga Jepang mengajukan komplain dan keluhan kepada pihak walikota setempat, khawatir bila terjadi pencemaran terhadap sumber mata air bilamana terjadi pemakanan mayat pada lahan tersebut oleh muslim yang meninggal dunia, sekalipun telah terdapat fasilitas krematorium untuk tujuan kremasi jenasah yang pastinya memadai untuk ukuran Jepang. Lagipula, praktik menguburkan mayat di Indonesia cenderung mengundang niat-niat jahat suatu pihak yang tidak jelas maksud dan tujuannya, seperti kanibalisasi, dan segala sesuatu yang tidak logis lainnya, dimana roh almarhum akan dapat melekat pada tubuh fisik jenasah miliknya yang dimakamkan. Abu kremasi, dapat dilarungkan, setidaknya kemelekatan sang jiwa almarhum dapat lebih diminimalisir dan melepaskan keduniawian sepenuhnya seperti tiada lagi tubuh fisik berupa jenasah yang dimakamkan dalam lokasi perkuburan. Itulah sebabnya, berbagai lokasi tempat pemakaman menjadi “angker”, akibat kelekatan sang “roh penunggu” terhadap tubuh fisiknya yang telah mati.

Sudah miliaran orang meninggal dunia, bahkan tidak terhitung lagi jumlahnya sejak dunia ini terbentuk, sehingga seluruh permukaan bumi ini akan tertutup tulang-belulang bila praktik penguburan jenasah masih dibiarkan berlangsung dan umat muslim bersikukuh “ngotot” atas pendirian dan segala kemauan mereka yang irasional serta merepotkan, bahkan tidak jarang memaksakan kehendaknya tanpa mau memahami peribahasa “dimana bumi dipijak, disanalah langit dijunjung”.

Toh praktik selama ini di Indonesia, tempat pemakaman umum (TPU) terbatas jumlah bidang tanahnya, terutama di kota semacam Jakarta, sehingga praktis praktik penguburan yang selama ini terjadi ialah “gali lubang tutup lubang”, dimana mayat yang satu ditimpa mayat yang lainnya. Pertanyaannya, dikemanakan segala tulang belulang tersebut dari mayat yang sebelumnya dikuburkan sebelum kemudian jenasah lain antri untuk menunggu dikuburkan pada bidang tanah yang sama? Besar kecurigaan penulis, tulang-belulang jenasah sebelumnya diangkat, sebelum kemudian diangkut oleh pemerintah daerah untuk dikremasikan. Jika seperti itu halnya, maka mengapa tidak sejak awal setiap jenasah warga dikremasikan, toh pada akhirnya bermuara pada kremasi, jauh lebih simpel serta sederhana disamping menimalisir praktik-praktik anomali sosial yang kerap terjadi terutama praktik klenik yang marak terjadi di Indonesia.

Masih di Jepang, radio NHK versi Indonesia juga melansir berita, bahwa praktik ibadah para muslim di Jepang mengundang kritik dan keluhan oleh warga Jepang, karena kegaduhannya menggunakan speaker atau pengeras suara eksternal Masjid yang dirasa dan dinilai mengganggu ketenangan hidup warga dan pemeluk agama lainnya. Disini, terjadilah “standar ganda”. Di Jepang, para muslim yang masih minoritas, memainkan strategi “mendadak alim” dan “cinta damai”, sembari tetap menikmati toleransi yang diberikan masyarakat Jepang. Jadilah, Masjid di Jepang kini tidak lagi menggunakan pengeras suara eksternal.

Dalam kasus di Tanjung Balai, pada tahun 2017, sekalipun agama nenek moyang Bangsa Indonesia sejak abad ke-5 sampai dengan abad ke-15 ialah agama Buddha yang telah menyuburkan dan memakmurkan Nusantara, dimana masuknya agama Islam ialah berkat toleransi raja Kerajaan Majapahit yang berhaluan Buddhist pada masa itu, dimana para ulama agama Islam menikmati toleransi dalam menyiarkan agama Islam di Nusantara, membalas budi baik dan hutang budi dengan melakukan aksi intoleransi serta radikalisme—semata karena umat muslim telah menjadi mayoritas di negeri ini. Myanmar, China, Filipina, dan negara-negara lainnya, belajar dari pengalaman sejarah di Indonesia, dan menaruh waspada agar tidak menjadi “Nusantara Versi Kedua”, dimana toleransi dibalas dengan intoleransi.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.