(DROP DOWN MENU)

Pandangan yang Lebih Objektif Konflik Abadi (yang Dipelihara) HAMAS-PALESTINA Vs. ISRAEL

Isu Konflik Berdarah yang Dipelihara, sebagai Justifikasi untuk Mengobarkan Ideologi Kebencian dan Propaganda Penuh Semangat Permusuhan

Dikeruhkan oleh Sentimen Keagamaan, Manusia menjadi Budak dari Ideologi Bernama Agama

Pernahkah Anda merasa atau setidaknya mengamati, bahwa bangsa kita, Bangsa Indonesia, merupakan bangsa yang tergolong munafik? Justru karena penulis lahir dan tumbuh besar hampir separuh abad lamanya di Indonesia, penulis memahami serta bersentuhan langsung dalam keseharian dengan tabiat, karakter, maupun kebiasaan masyarakat Indonesia, sehingga otokritik ini disusun secara “as it is”. Masyarakat kita di Indonesia, “mendadak humanis” ketika dihadapkan pada isu konflik bersenjata antara Hamas (Palestina) Vs. Israel, dimana dari berbagai pemberitaan yang selama bertahun-tahun ini dapat kita cermati, konflik berdarah selalu terlebih dahulu dipicu oleh provokasi pihak Hamas yang melontarkan roket ke pemukiman warga Israel. Apapun atau siapapun yang menyulut dan menabuh genderang peperangan, selalu saja Israel yang dikritik dan dicela.

Penulis bahkan menilai, isu sensuil perihal sengketa Hamas Vs. Israel, merupakan isu yang memang sengaja dipelihara dan dilestarikan oleh kalangan Muslim itu sendiri (suatu ajang play victim “kami dizolimi”), agar dapat menjadi alibi sempurna atau momentum untuk mengobarkan ideologi kebencian dan semangat antipati penuh permusuhan. Ketika Rusia menyerang Ukraina sejak beberapa tahun lampau, kritik maupun hujatan tidak sehebat dan tidak segencar seperti ketika militer Israel membalas serangan roket Hamas. Ketika genderang peperangan ditabuhkan, maka bersiap-siaplah diluluh-lantakkan, salah siapa jika bukan yang menabuh genderang peperangan tersebut? Ini bukan isu sentimen kemanusiaan, namun murni sentimen keagamaan, itulah kesimpulan yang bahkan dapat dinilai oleh siapapun yang menyikapi konflik abadi Hamas Vs. Isreal secara netral tanpa kepentingan, yang sebetulnya memang “sudah rahasia umum”.

Kini, penulis mencoba mengajak para pembaca untuk memandang secara lebih objektif, bahwa benarkah masyarakat kita di Indonesia, begitu mencintai dan mengasihi warga di Jalur Gaza (Hamas), dan menyuarakan suara kemanusiaan yang universal? Kini kita bercermin ke dalam negeri kita sendiri di Indonesia, bagaimanakah perlakuan masyarakat Muslim kita di Indonesia terhadap sesama warga Muslim sekaligus sesama Warga Negara Indonesia. Seperti yang kerap penulis uraikan, yang disebut dengan “nasionalistik” itu artinya tidak menyakiti, tidak merugikan, juga tidak melukai sesama anak bangsa. Faktanya, selama lebih dari satu dekade penulis berprofesi di bidang hukum juga selama hampir separuh abad tumbuh besar di Indonesia, tidak kurang-kurangnya pemberitaan maupun kasus-kasus di mana Muslim memerkosa sesama Muslim, menipu sesamanya, mencuri dari sesamanya, menganiaya sesamanya, membohongi sesamanya, merampas hak-hak sesama kaumnya, membunuh sesamanya, berkonflik secara fisik antar sesamanya, sakit sikut-menyikut dan saling menikam antar sesama Muslim.

Untuk setiap tahunnya, kita selalu disuguhkan pemberitaan superter (bonek) antara kesebelasan tim sepakbola yang berakhir ricuh, terjadi kerusuhan antar suporter, dipicu oleh kekalahan salah satu kesebelasan yang tim yang mereka dukung, lalu saling melempar batu, yang berakibat kaum sesamanya terluka dan berdarah-darah. Itu baru masalah sepele seputar sepak-bola, kita belum bicara perihal sengketa tanah yang jauh lebih berdarah-darah, meski dari tayangan di berita kerusuhan antar suporter bola tersebut sudah begitu mengerikan dan menakutkan karena berjemaah sifatnya. Itulah perlakuan Muslim terhadap sesama Muslim, maka kemudian kita patut bertanya : bagaimanakah perlakuan kaum Muslim terhadap kaum yang berbeda keyakinan alias kaum “NON”? Bagaimana mungkin, terhadap sesama Muslim di dalam negeri, tidak dihargai bahkan saling melukai dan saling merugikan satu sama lainnya, lantas membuat klaim (sesumbar) penuh kepalsuan, bahwa mereka menaruh simpatik penuh kepedulian terhadap kaum Muslim di Jalur Gaza?

Masyarakat kita di Indonesia, faktanya tidak benar-benar memandang kaum Muslim-Hamas sebagai kaum sesamanya, namun mereka sekadar memandang isu sentimentil bernama : Muslim Vs. Yahudi. Sering penulis cermati, sedang ada atau tidaknya konflik militer antara Hamas Vs. Yahudi, pihak penceramah (khotib) pada Masjid lewat pengeras suara eksternal (toa) Masjid, mengumandang provokasi (propaganda) penuh kebencian terhadap Yahudi serta Nasrani, maupun seruan penuh permusuhan terhadap terhadap kaum “NON” yang mereka sebut sebagai kaum “kafir” (bahkan mengutuk kaum “NON” agar masuk neraka, agama yang lebih sibuk mengurusi keyakinan orang lain daripada agamanya sendiri)—paham “tafkiri”, alias paham yang mengkafir-kafirkan, ciri khas kaum radikal yang terpapar ideologi teror!sme, demikian disebutkan oleh Arsyad Mbai, seorang mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Satu dekade lampau, ketika isu Rohingya sedang hangat-hangatnya, warga Muslim di Aceh menyambut dengan tangan terbuka kedatangan pengungsi Rohingya, dengan perspektif : Muslim Vs. Buddhist. Apa yang kemudian terjadi? Etnik Rohingya kemudian membuat keonaran di Aceh, alias Muslim meng-onar-i sesama kaumnya sendiri. Rohingya tersebut, membuat kegaduhan yang membuat warga (Muslim) Aceh menjadi berang, ditambah oleh komentar Rohingya bahwa “Indonesia negara miskin, kami maunya menjadi pengungsi Australia dan Amerika.”—negara-negara yang notabene mereka sebut sebagai “kafir”. Kini, warga Aceh tidak lagi menaruh simpatik terhadap isu Rohingya, bahkan mulai menaruh antipati serta kecurigaan, belajar dari pengalaman buruk mereka sebelumnya. Berangkat dari ilustrasi nyata di atas sebagaimana pernah penulis baca dari sebuah media massa, maka penulis pun menjadi membayangkan, apakah jadinya, bila warga Muslim di Jalur Gaza, kemudian menjadi pengungsi ke Indonesia, maka bagaimanakah perlakuan Muslim Indonesia terhadap Muslim Hamas, pun sebaliknya, bagaimanakah perlakuan Muslim Hamas terhadap Muslim Indonesia?

Ini seperti pepatah klasik yang klise namun tetap relevan hingga saat kini : Gajah di pelupuk mata, tidak tampak. Namun semut di ujung samudera, tampak oleh mata penglihatannya. Terhadap sesama Muslim yang notabene sesama anak bangsa di Indonesia, kalangan Muslim kita demikian predatoris dan kanibalistik, alias saling memakan satu sama lainnya, menjadi simbol sempurna “homo homini lupus”, menjadi serigala bagi sesamanya. Lantas, empati-delusif semacam apakah, yang ditampilkan oleh kalangan Muslim di Indonesia terhadap nasib dan kehidupan kaum Muslim lainnya di benua lain seperti di Palestina? Dari pengamatan pribadi penulis, isu sensuil Hamas Vs. Israel, semata merupakan momentum atau wadah untuk menyalurkan (libido) hasrat kebencian dan permusuhan sebagaimana kerap mereka kampanyekan, untuk selanjutnya melampiaskan dan meluapkannya lewat demonstrasi ataupun gerakan mengutuk secara berjemaah, mempersulit produk-produk asal israel untuk dapat terjual (gerakan “boikot”), jika perlu melakukan “jihad” dengan menyalurkan dana-dana bagi kegiatan aksi radikalisme ke berbagai negara rawan konflik yang dikotominya terbagi antara “Muslim” Vs. “NON”.

Kita masih ingat, bagaimana presiden Ri pada masa Orde Lama maupun sebagian masyarakat kita di Indonesia hingga saat kini, masih kerap menyebut-nyebut “ganyang Malaysia”, yang notabene negara keduanya adalah negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Kita juga masih mengingat fakta sejarah betapa perang Irak Vs. Iran juga adalah bersifat abadi, meski sama-sama tergolong Negara Islam di Timur Tengah. Arab Saudi, dengan sengitnya meluluh-lantakkan negara Yaman, dengan bombardir senjata tempur yang dibeli dari uang biaya Haji dan Umroh senilai puluhan juta rupiah per kepala. Timur-Tengah, miniatur “Dunia Islam”, namun penuh konflik bersenjata dan berdarah antar sesama Muslim.

Atas dasar pertimbangan itulah, dapat kita tarik sebuah hipotesis : Sekalipun seluruh penduduk dunia ini dipaksa masuk memeluk Islam, ataupun menjadi seorang Muslim atas kemauan pilihannya sendiri, dan menjadi seorang Muslim, adalah delusi bahwa kedamaian dan keharmonisan dunia-semesta dapat tercipta. Itulah sebabnya kerap penulis sebut bahwa surganya kaum Muslim ialah “dunia manusia jilid kedua”, dimana sesama Muslim (para pendosa, mengingat hanya pendosa yang butuh ideologi korup bernama “penghapusan dosa”) akan kembali dengan tabiat lamanya di dunia manusia : saling menyakiti, melukai, maupun merugikan sesama Muslim lainnya.

Kebiasaan lama, sulit diubah, demikian anekdot pernah menyebutkan. Mereka mengklaim bahwa mereka diajarkan untuk menjauhi larangan Tuhan, namun disaat bersamaan untuk setiap harinya maupun setiap tahunnya saat hari raya Ramadhan (puasa sebulan untuk menghapus dosa-dosa setahun penuh), mereka memohon “penghapusan dosa”, dosa-dosa mana timbul dari melanggar larangan-larangan tersebut—keduanya saling menegasikan, menjauhi larangan, namun iming-iming “penghapusan dosa” menjadi mubazir bilamana tidak melakukan dosa maupun maksiat sebagaimana dilarang oleh Tuhan mereka. Terhadap dosa dan maksiat, demikian kompromistik. Namun terhadap kaum yang berbeda keyakinan, para Muslim tersebut demikian intoleran dan “haus darah” (gemar “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik”).

Faktanya, ada atau tidaknya konflik berdarah yang mendarah-daging antara Hamas Vs. Israel, tetap saja kaum muslim membenci dan memusuhi kaum “NON”, yang termaduk di dalamnya ialah Yahudi dan Nasrani, yang kerap disebut-sebut oleh penceramah kaum Muslim di Masjid, dengan nada bicara yang mendiskreditkan dan melecehkan kaum-kaum di luar Islam. Disebutkan, bahwa kaum Muslim harus (wajib hukumnya) menjalankan apa yang diperintahkan oleh Tuhan (versi mereka), dimana setitik saja keraguan atas perintah sang Tuhan, maka itu artinya ke-iman-an sang Muslim luntur sepenuhnya—disamping makna atau definisi dari Islam sebagai “kepatuhan MUTLAK”. Inilah ideologi kebencian dan permusuhan yang dipromosikan dan dikampanyekan oleh Islam, dimana bentuknya ialah “PERINTAH” (wajib hukumnya untuk dilaksanakan oleh para Muslim):

Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]

Ketika korbannya, yakni kaum Yahudi di Israel melakukan perlawanan dalam rangka “bela diri”, para “haus darah” yang pada mulanya hendak “menumpahkan darah dan merampas harta kaum NON” kemudian mengklaim telah “dizolimi”—alias menzolimi teriak dizolimi, zolim teriak zolim—sebelum kemudian turunlah perintah-perintah (wahyu alias dogma) “haus darah” berikut tanpa tedeng aling-aling, yang mana jua mereka klaim sebagai ajaran “cinta damai” (lantas, yang mereka sebut sebagai “cinta pertumpahan darah” seperti apakah?):

- QS 9:14. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman,

- QS 66:9. Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.

- QS 2:191. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. [NOTE : Balas dizolimi dengan pembunuhan, kapan konflik akan berakhir dan apakah proporsional? Apakah itu bukan merupakan “alasan pembenar” alias alibi atau justifikasi diri seolah berhak untuk merampas hidup orang lain?]

- QS 5:33. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. [NOTE : Maha Pengasih juga Maha Pengampun. Yang “Maha Pemurka” akan seperti apa perintahnya?]

- QS 8:12. Ingatlah, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman”. Kelak aku akan jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka PENGGALLAH KEPALA MEREKA dan PANCUNGLAH TIAP-TIAP UJUNG JARI MEREKA.

- QS 9:5. Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. [NOTE: sekaligus sebagai bukti, selama ini siapa yang menyerang dan siapa yang terlebih dahulu diserang. Mengaku “dizolimi”, namun mengapa justru mengintai dan mengepung? Bagaimana mungkin, mengaku diserang, namun yang diserang yang justru mengintai dan mengepung yang menyerang?]