(DROP DOWN MENU)

Ibadah Versi Agama Samawi Vs. Agama Buddha, Pilih Ritual ataukah AKSI NYATA?

Ritual SEMBAH SUJUD Ribuan Kali Setiap Hari Sekalipun, KEBODOHAN DIBALIK JIRIH-PAYAH YANG SIA-SIA

Agama Bagi Para Pemalas, SIA-SIA Belaka

Question: Terdapat agama-agama samawi, yang mana keyakinan dogmatisnya mengajarkan kepada para umat pemeluknya bahwa yang disebut beribadah ialah ritual sembah-sujud, dimana semakin banyak dan semakin rajin sang umat melakukan praktik ritual sembah-sujud, maka semakin mereka mendekati akhir dari derita, yang entah mereka sebut dan yakini sebagai surga ataukah akhir dari penderitaan yang final, alias abadi berbahagia di surga sebagai buahnya. Apakah hal demikian logis, atau tidak? Bukankah ketika kita menyeleksi calon pegawai pun, kita justru kian mewaspadai orang-orang (calon pelamar) yang sudah jelas-jelas tidak baik dan tidak jujur, namun pandai dalam berbicara yang manis (bermulut manis), alih-alih memilih mereka sebagai bagian dari perusahaan kita?

Brief Answer: Mereka, yang menganggap dirinya sebagai “agamais” serta paling superior, terlampau pemalas untuk menyingsingkan lengan baju menanam benih-benih Karma Baik untuk mereka petik sendiri di kemudian mendatang, dan disaat bersamaan terlampau pengecut untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri. Mereka, para “dosawan” pemeluk “Agama DOSA” dimana para pendosa menjadi umatnya alias agama bagi para dosawan, hanya sibuk memohon pemberian nikmat dari langit dan disaat bersamaan sibuk mengharap “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—sekalipun seorang orang juga mengetahui, bahwa hanya seorang pendosa yang butuh iming-iming ideologi korup dan korup semacam “penghapusan dosa” (abolition of sins).

Akibatnya, mereka meremehkan perbuatan-perbuatan baik, dan disaat bersamaan mempromosikan praktik ritual sembah-sujud. Terhadap dosa dan maksiat, mereka begitu kompromistik, akan tetapi disaat bersamaan begitu intoleran terhadap kaum yang berbeda keyakinan. Praktik demikian bertolak-belakang dengan ajaran Buddhistik, dimana ibadah Buddhisme terdiri dari tiga hal berikut : menghindari perbuatan buruk, perbanyak perbuatan bajik, dan memurnikan pikiran. Memuliakan Tuhan, adalah dengan menjadi manusia yang mulia, bukan dengan menjadi makhluk “pendosa penjilat penuh dosa”.

Pendosa mana yang berminat pada “Agama SUCI” (tidak melegalkan aksi tercela) maupun “Agama KSATRIA” (penuh tanggung-jawab dan berani bertanggung-jawab) semacam Buddhisme? Para dosawan tersebut, berlomba-lomba dan berbondong-bondong memproduksi dosa, menimbun diri dengan dosa, berkubang dalam dosa, mengoleksi dosa (business as always), akan tetapi disaat bersamaan berdelusi mengharap dapat hidup penuh keberuntungan serta dosa-dosa mereka dihapuskan, masuk surga—pendosa yang berdelusi masuk alam surgawi setelah kematian, versi surga “tong sampah” para pendosa. Sang Buddha tegas menyatakan “truth always bitter”, bahwa pendosa dijamin masuk neraka. Akan tetapi agama-agama samawi justru “too good to be true” mengiming-imingi surga bagi para pendosa dimaksud—sehingga laku keras dan laris-manis, para merketingnya cukup semudah sesumbar iming-iming obral murah alam surgawi bagi para pendosa, sekalipun dunia ini tidak pernah kekurangan para pendosa, seolah-olah Tuhan yang murni tidak akan tercemar karena disatukan dengan para pendosa.

PEMBAHASAN:

Menjadi cukup relevan ketika kita merujuk khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, perihal “suatu perbuatan yang sia-sia, rajin namun sia-sia” dengan kutipan sebagai berikut:

47 (7) Jauh Terpisah

“Para bhikkhu, ada empat pasang hal ini yang sangat jauh terpisah. Apakah empat ini? (1) Langit dan bumi. (2) Pantai sini dan pantai seberang dari samudra. (3) Tempat di mana matahari terbit dan tempat di mana matahari tenggelam. (4) Ajaran yang baik dan ajaran yang buruk. Empat pasang hal ini sangat jauh terpisah.”

[51] Langit dan bumi adalah jauh terpisah, pantai seberang samudra dikatakan sebagai jauh, dan demikian pula tempat di mana matahari terbit dari tempat di mana matahari terbenam.

Tetapi yang lebih jauh terpisah lagi, mereka mengatakan, adalah ajaran yang baik dan yang buruk. Teman-teman yang baik adalah konstan; selama pertemanan itu bertahan, pertemanan itu tetap sama. Tetapi teman-teman yang buruk adalah tidak tetap; demikianlah ajaran yang baik jauh dari ajaran yang buruk.

[Kitab Komentar : Ajaran yang baik adalah tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan. Ajaran yang buruk adalah enam puluh dua pandangan spekulatif.]

~0~

45 (5) Rohitassa (1)

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, ketika malam telah larut, deva muda Rohitassa, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā. Ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan berkata:

“Mungkinkah, Bhante, dengan melakukan perjalanan untuk mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia, di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, [48] tidak meninggal dunia dan terlahir kembali?”

“Aku katakan, teman, bahwa dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali.”

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, Bhante, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Sang Bhagavā: ‘Aku katakan, teman, bahwa dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali.’

“Di masa lampau, Bhante, aku adalah seorang petapa bernama Rohitassa, putra Bhoja, seorang yang memiliki kekuatan batin, mampu melakukan perjalanan di angkasa. Kecepatanku adalah bagaikan sebatang anak panah ringan yang dengan mudah ditembakkan oleh seorang pemanah berbusur kokoh - seorang yang terlatih, terampil, dan berpengalaman108 - melintasi bayangan pohon lontar. Langkahku adalah sedemikian sehingga dapat mencapai dari samudra timur hingga samudra barat. Kemudian, ketika aku memiliki kecepatan dan langkah demikian, suatu keinginan muncul padaku: ‘Aku akan mencapai akhir dunia dengan melakukan perjalanan.’ Dengan memiliki umur kehidupan selama seratus tahun, hidup selama seratus tahun, Aku melakukan perjalanan selama seratus tahun tanpa henti kecuali untuk makan, minum, mengunyah, dan mengecap, untuk buang air besar dan air kecil, dan untuk menghalau kelelahan dengan tidur; namun aku mati dalam perjalanan itu tanpa mencapai akhir dunia.

[Kitab Komentar menjelaskan : dhanuggaho sebagai seorang guru memanah, sikkhito sebagai seorang yang terlatih dalam memanah selama dua belas tahun, katahattho sebagai seorang yang cukup mahir untuk membelah ujung rambut dari jarak satu usabha, dan katūpasāno sebagai seorang yang berpengalaman dalam menembakkan anak panah yang telah memperlihatkan keahliannya.]

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, Bhante, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Sang Bhagavā: ‘Aku katakan, teman, bahwa dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali.’”

“Aku katakan, teman, bahwa dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali. Namun Aku katakan bahwa tanpa mencapai akhir dunia maka tidak bisa mengakhiri penderitaan. Adalah dalam tubuh yang sedepa ini dengan persepsi dan pikiran, Aku nyatakan (1) dunia, (2) asal-mula dunia, (3) lenyapnya dunia, dan (4) jalan menuju lenyapnya dunia.”

[49] Akhir dunia tidak dapat dicapai dengan melakukan perjalanan [melintasi dunia]; namun tanpa mencapai akhir dunia tidak ada kebebasan dari penderitaan. Karena itu Sang Bijaksana, Pengenal-dunia, yang telah mencapai akhir dunia dan telah menjalani kehidupan spiritual, setelah mengetahui akhir dunia, menjadi damai, tidak menginginkan dunia ini atau dunia lainnya.

46 (6) Rohitassa (2)

Ketika malam itu telah berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, tadi malam, ketika malam telah larut, deva muda Rohitassa, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangiKu, memberi hormat kepadaKu, dan berkata:

“‘Mungkinkah, Bhante, dengan melakukan perjalanan untuk mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia, di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali?’”

[Selanjutnya adalah identik dengan 4:45, termasuk syairnya, tetapi disampaikan dalam narasi orang pertama.] [50]

Tidak mengherankan bila kemudian timbul kesan di benak publik, Rafael Alun dan Andhi diproses KPK sebagai dampak memamerkan harta yang dilakukan oleh keluarganya, kemudian dilihat dari gaya hidupnya, yang mana secara tidak langsung mengindikasikan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan internal di kedua institusi yang sangat “seksi” (“basah”), yakni Ditjen Pajak dan Bea-cukai. Sejatinya aparatur penegak hukum dapat memanafatkan kecanggihan Kecerdasan Buatan (artificial intelligence) untuk menjadi pengawas terhadap aksi-aksi korupsi—kolusi Aparatur Sipil Negara, semisal dengan menciptakan bot yang mampu menganalisa pesan tertulis maupun komunikasi lisan dengan melakukan penyadapan secara meluas dan tersistematis terhadap seluruh nomor seluler aktif yang beredar di masyarakat, bukan hanya menyadap kalangan aparatur negara maupun yang menyandang jabatan politis di birokrasi pemerintahan.

Sebetulnya sudah sejak lama, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengembangkan sistem “bot” untuk menganalisa laporan arus lalu-lintas transaksi keuangan yang diinput oleh berbagai lembaga keuangan maupun lembaga pembiayaan di Indonesia. Mayoritas atau sebagian besar SDM (sumber daya manusia) PPATK dialokasikan untuk membangun sistem ini, yakni kemampuan “perangkat lunak” canggih yang secara cerdas mampu mengendus, melacak, serta menganalisa adanya transaksi yang mencurigakan dan patut diwaspadai. Semisal, ketika terjadi kenaikan grafik pendapatan seseorang Pegawai Negeri Sipil, dari sebelumnya rata-rata pendapatannya dalam sebulan ialah hanya hitungan jutaan Rupiah, namun mendadak pada satu bulan tertentu mendapat pemasukan senilai miliaran Rupiah alias terjadi kenaikan kurva persentase mencapai ribuan persen, maka sistem akan secara otomatis mendeteksinya sebagai “tidak wajar” dan memberi “alert” rambu kuning yang meminta perhatian ekstra dari para penyidik di PPATK untuk diperhatikan dan dipantau terus.

Selebihnya, hanya persoalan “political will” pemerintah,  serius atau tidak memberantas aksi-aksi korupsi, mengingat dalam kasus Rafael Alun, PPATK telah memberikan data laporan adanya transaksi mencurigakan sejak satu dasawarsa lampau, namun tidak pernah ditindak-lanjuti oleh Kementerian Keuangan, sebelum kemudian viral aksi “pamer harta” oleh pejabat Kementerian Keuangan pada Kantor Pajak tersebut, barulah diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Sama seperti kasus korupsi oleh sipil, yakni Yayasan Aksi Cepat Tanggap (YACT), dimana PPATK telah melaporkan lama sebelum kasus korupsi oleh para pengurus YACT mencuat ke publik dan menimbulkan kegaduhan sosial di tengah masyarakat, namun tidak pernah ditindak-lanjuti oleh Kementerian Sosial.

Barulah ketika viral dan ditetapkan sebagai tersangka, Kementerian Sosial mencabut izin operasional YACT—untuk urusan sosial saja, terjadi korupsi berjemaah yang bernilai fantastis, bagaimana untuk urusan yang bukan sosial? Juliari Batubara, Menteri Sosial yang melakukan aksi korupsi terhadap dana bantuan sosial bagi masyarakat yang terdampak wabah pandemik, dengan nilai yang bombastis—juga mencuat ke publik akibat keserakahan (gaya hidup mewah) para pengurusnya, serta baru diperiksa oleh aparatur penegak hukum setelah viral di publik—merupakan cerminan konkret budaya atau mental-karakter masyarakat kita : korup, namun secara lantang berteriak “anti korupsi”, alias bobrok dari atas hingga ke bawah, dan dari bawah ke atas. Merujuk kembali sabda Sang Buddha, pilihan ada di tangan Anda, ingin mengikuti arus kebodohan mental-karakter masyarakat kita, atau “melawan arus”, dengan kutipan sebagai berikut:

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

(1) “Dan apakah orang yang mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.

(2) “Dan apakah orang yang melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.