(DROP DOWN MENU)

Kiat Membangun Rumah Tangga yang Awet dan Langgeng

SENI PIKIR & TULIS

Kesiap-Sediaan Menikahi Calon Nenek-Nenek dan Kakek-Kakek

Tidak sedikit terjadi fenomena di tengah masyarakat, pada mulanya sepasang calon suami dan istri memutuskan untuk menikah dan membangun rumah-tangga. Ketika sang calon istri melihat postur tubuh calon suaminya tampak tampan dan bertubuh atletis bahkan juga produktif mencetak berbagai prestasi, maupun ketika sang calon suami melihat paras sang calon istri yang tampak cantik dan semampai, mereka pun saling menyatakan komitmen untuk membangun hubungan pernikahan sebagai suami-istri. Namun, perihal kecantikan wajah maupun bentuk tubuh, tidak akan berlangsung permanen.

Seberapa keras pun seseorang berupaya, lewat olahraga, konsumsi rendah lemak, diet, bahkan hingga operasi medik dalam rangka koreksi estetik, cepat atau lambat postur tubuh akan berubah, rambut memutih atau bahkan rontok, tubuh yang menggelembung atau bahkan membungkuk, stamina yang kian lemah, tidak lagi produktif dan menjadi pensiunan, kulit berkeriput, gigi yang tanggal, tulang yang mengeropos, penyakit yang mulai timbul, mata yang rabun, pikiran yang dan daya ingat yang menurun (pikun), tidak lagi saling bergairah satu sama lain antar pasangan, romantisme yang kian hambar, dan segala derita pasangan suami-istri lainnya sebagaimana pada umumnya.

“Efek bulan madu” (honeymoon effect), konon hanya berlangsung beberapa bulan sejak pernikahan terjadi, sebagaimana “efek euforia” yang konon dialami oleh orang-orang “kaya baru” (dari segi kepemilikan materi) hanya bertahan untuk sekian bulan lamanya sebelum kemudian kembali berganti memasuki fase kebosanan, kejemuan, ketidak-puasan, serta derita “orang kaya” akan menjangkiti seperti ketakutan akan kehilangan harta milik, semakin serakah, dan lain sebagainya. Yang tersisa, karenanya, ialah perihal komitmen menjalani rumah-tangga bersama sekalipun menghadapi suka dan duka “derita” maupun fenomena serangkaian ketidakpuasan baru yang mendera.

Komitmen, artinya Anda selaku suami atau selaku istri, harus tetap menjadi suami ataupun istri yang saling baik dan saling setia sekalipun rumah-tangga tidak lagi diwarnai percintaan dan romantisme sebagaimana masa muda Anda karena telah lewat “efek bulan madu”. Konon, para pendahulu kita saling menikah dan membangun rumah-tangga tanpa dibangun dari fondasi awal berupa percintaan, yang bisa jadi akibat perjodohan semata. Namun, hubungan mereka bisa jadi lebih langgeng ketimbang pasangan di era modern ini yang dibangun dari relasi percintaan dan romantisme yang menyerupai sinema-sinema drama yang dramatis dan penuh pesona percintaan yang “meriah”. Fenomena kawin-cerai, kian mengkhawatirkan dewasa ini, komitmen hanya sebatas di bibir selagi sang pasangan masih segar dan menarik, sebelum kemudian “berpindah hati”. Komitmen, semestinya bukan hanya sekadar di bibir, namun juga di mata (bentuk tubuh dan wajah) juga di kantung saku (dana).

Fenomena unik lainnya ialah timbul dan lahirnya apa yang disebut sebagai “ego”. Contoh, orang-orang yang tidak memiliki kendaraan bermotor, tidak akan memusingkan ketika terjadi pencurian kendaraan bermotor (curanmor) di lingkungan pemukiman kita, dimana pelakunya bagi bergentayangan dan berkeliaran mencari korban-korban baru. Sebaliknya, mereka dengan “derita orang kaya”, akan menjadi pusing serta direpotkan dan marah, ketika kendaraan bermotor milik mereka hilang dicuri pencuri ataupun rusak karena ditabrak kendaraan lainnya. Mereka pun harus rutin merawat kendaraan milik mereka. Mobil mewah penyok akibat terbentur, atau bahkan sekadar tergores, pemiliknya “naik pitam”, seolah-olah anggota tubuh pemiliknya turut terluka. Memiliki, artinya semakin meluas bidang anggota tubuh kita, dimana ketika kepemilikan kita dirusak atau hilang, kita pun merasa seolah bagian tubuh kita turut hilang atau terluka sehingga merasakan rasa “sakit”.

Sama halnya, seorang suami atau seorang istri, mendapati suami atau istrinya bermain mata dengan pria atau wanita lain, atau bahkan sampai berzinah dan berselingkuh, maka pasangannya akan merasa telah dikhianati, terluka, sakit hati, dan kecewa. Sementara itu mereka yang termasuk golongan “derita orang lajang”, sekalipun tidak pernah menikmati “efek bulan madu”, tidak pernah ambil pusing ataupun perduli bilamana disiarkan kabar berita si anu berselingkuh ataupun si anu berzinah. Itu bukan urusan kita. Menikah, artinya ikatan, terikat, dan saling mengikatkan diri dalam simpul ikatan komitmen, itulah “derita orang menikah”. Kebebasan, menjadi “reward” bagi mereka para “derita orang lajang”—istilah-istilah yang penulis pinjam dari Ajahn Brahmavangso.

Banyak kita jumpai maupun baca lewat pemberitaan, para pria menikahi lebih dari satu istri, memadu istrinya, ataupun kawin-cerai dalam rangka mencari wanita muda untuk dijadikan istri muda, dimana seolah-olah terdapat “syarat batal” terhadap kata-kata “cinta” bilamana sang istri tidak lagi cantik, tidak lagi langsing semampai, tidak lagi awet muda, tidak lagi menarik hati, tidak lagi menawan, tidak lagi memikat, tidak lagi sedap dipandang. Itulah, sebuah kondisi yang para pria “hidung belang” sebut sebagai cinta (yang) “penuh syarat”. Bahkan, belum apa-apa sudah berselingkuh dalam alam pikiran lewat fantasi perihal alam surgawi yang digambarkan penuh dengan puluhan bidadari berdada montok untuk digauli—ironis, maksiat di dunia manusia dinista dan di-“haram”-kan namun di alam surgawi justru dipromosikan sebagai iming-iming yang di-“halal”-kan. Kebahagiaan di alam surgawi mengapa berwujud dangkal sedangkal kesenangan duniawi, bahkan memakai persepsi fantasi seorang pria “hidung belang”?

Namun janganlah kita terburu-buru mem-vonis dan menghakimi para pria yang “penuh syarat” demikian, ketika mereka membangun percintaan dan rumah tangga. Contoh, seorang istri, semata karena telah mengikat suaminya dengan akta nikah, tidak lagi merawat penampilan ataupun menjaga berat badan dan bentuk tubuh, sehingga sang suami ketika pulang kerja dari luar, pulang mendapati keletihannya kian bertambah keruh ketika sang istri menampilkan sikap dan tubuh yang “tidak sedap dipandang” bahkan “tidak sedap di telinga”. Sebaliknya, sang suami mungkin akan memberikan penghargaan bilamana sang istri bersusah-payah menjaga bentuk tubuh serta merawat penampilan dirinya dengan baik agar sang suami kembali “jatuh cinta” untuk kesekian kalinya, dan tidak pernah merasa bosan ataupun selalu menunggu-nunggu agar dapat cepat pulang ke rumah agar dapat berjumpa dengan sang istri tercinta sekalipun usia pernikahan mereka telah puluhan tahun lamanya.

Seorang istri pun bisa jadi “penuh syarat” terhadap sang suami, sebagaimana anekdot klasik yang tampaknya cukup relevan hingga saat kini, “Abang disayang bila ada uang, namun Abang ditendang bila tidak ada uang.” Bila berpacaran membutuhkan “modal” yang tidak pernah sedikit, maka menikah dan membangun rumah-tangga serta memeliharanya juga perlu sejumlah “modal” yang mahal harganya, tidak cukup cinta. Konon, meski tidak dapat dibenarkan, seorang suami terdesak untuk melakukan korupsi, akibat tekanan kebutuhan rumah-tangga, terutama ketika tuntutan sang istri ialah berupa pemenuhan dana untuk gaya hidup mewah. Wahai para istri, hiduplah secara bersahaja, tidak merepotkan, mudah dirawat, itu sudah sangat cukup membantu meringankan beban di pundak suami Anda.

Terkadang, relasi rumah-tangga ibarat “sogok-menyogok” (mohon maaf bila penulis mengutarakan apa-adanya), suami “menyogok” istrinya dengan uang belanja dan kemewahan, dan sang istri “menyogok” suaminya dengan penampilan feminim untuk memuaskan “kejantanan” mata dan biologis suaminya. Keberadaan dan kelahiran seorang anak, juga merupakan bentuk “politis” seorang istri untuk “menjerat” suaminya agar tidak berpindah hati ke lain wanita, secara permanen. Sebagaimana pernah dituturkan oleh Sang Buddha, ikatan yang paling kuat mampu mengikat seseorang, ialah keberadaan istri dan anak.

Singkatnya, bila Anda hendak memiliki rumah-tangga yang ajeg dan langgeng hingga tua dan hingga ajal memisahkan Anda dari istri ataupun suami Anda, maka ingatlah pesan berikut dari penulis. Saat Anda mengungkapkan perasaan suka dan cinta Anda kepada calon istri yang Anda tawarkan untuk membangun rumah-tangga dan menjalin ikatan pernikahan dengan Anda, maka saat upacara pernikahan, tepatnya saat mengucapkan sumpah komitmen sebagai seorang suami ataupun seorang istri, ingatlah serta pandanglah calon suami ataupun calon istri Anda yang ada di hadapan Anda, tersenyum mengenakan setelan jas maupun gaun pengantin, adalah seorang calon kakek-kakek ataupun calon nenek-nenek.

Ketika Anda sedari sejak awal menyadari dan mengetahui serta berkomitmen, bahwa calon suami ataupun calon istri Anda ialah seorang calon kakek-kakek maupun calon nenek-nenek, maka mental dan batin Anda menjadi siap, mengantisipasi, memprogram pikiran untuk tetap berkomitmen, serta tidak akan terkejut ketika suami ataupun istri Anda tidak lagi “berbunga mekar dengan indah dan semerbak”, namun secara gradual dan berangsur-angsur mulai menunjukkan gejala me-“layu”, sebelum kemudian kelopak bunganya mulai berguguran satu demi satu pesonanya, dimana tiada lagi lebah yang tertarik untuk hinggap di atasnya. Ketika Anda menyatakan “cinta” terhadap seseorang, maka Anda tidak dapat bersikap dualistis dengan tidak menyatakan “cinta” yang sama terhadap sang calon nenek-nenek ataupun calon kakek-kakek, Anda pun harus mampu mencintainya, karena penuaan sifatnya laten dalam diri setiap individu, tanpa terkecuali, termasuk diri kita sendiri.

Demikianlah, kiat saling membangun komitmen, bukan hanya terhadap istri Anda, namun juga terhadap istri Anda di masa depan, sang calon nenek-nenek maupun calon kakek-kakek. Bila Anda tidak siap untuk cepat atau lambat menemukan fakta realita tidak terbantahkan demikian, maka janganlah bersikap seolah-olah tidak ada opsi lain untuk dipilih sebagai pilihan bebas Anda, yakni hidup sebagai seorang lajang hingga tua. Menjadi lajang, merupakan pilihan hidup, bukanlah sebuah dosa.

Kita tidak perlu menghakimi mereka yang memilih “derita orang menikah”, namun mereka yang menikah pun tidak perlu menghakimi mereka yang memilih “derita orang lajang”. Cukup saling menghormati dan saling menghargai pilihan satu sama lainnya, sebagai sesama anggota warga dan bangsa. Baru menjadi keliru, ketika seseorang yang telah menikah bersikap selayaknya seseorang yang masih lajang seperti berkeluyuran sepanjang malam, dan yang lajang bersikap bak orang yang menikah dengan melakukan hubungan intim layaknya suami-istri tanpa ikatan perkawinan yang sah dan legal.

Bagi Anda yang telah menikah dan telah memasuki usia paruh baya, satu-satunya yang tersisa di mata pasangan Anda ialah memori atau ingatan tentang jasa-jasa pengabdian Anda sebagai pasangan, kesetiaan, kejujuran, pengabdian, perjuangan, pengorbanan, integritas, keluhuran karakter, standar moral yang dikagumi, kebijaksanaan berpikir dan bersikap, dapat dipercaya, dapat diandalkan, dan betapa Anda mampu hidup secara saling toleran dan saling kompromistis terhadap pasangan Anda sekalipun berbeda latar belakang dan cara hidup, sosok dimana Anda dapat berbagi suka dan duka bersama-sama. Demikianlah sebuah rumah-tangga patut dibangun, dibina, dipupuk, serta diisi dan dilestarikan antar pasangan secara kedua belah pihak, tidak secara “bertepuk sebelah tangan”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.