(DROP DOWN MENU)

Akar Penyebab Kejahatan dan Kriminalitas, Cara Berpikir IRASIONAL

LEGAL OPINION

Kedepankan AKAL SEHAT MILIK ORANG SEHAT, alih-alih AKAL SAKIT MILIK ORANG SAKIT

Question: Secara sosiologi maupun antropologi, sebenarnya apa yang menjadi akar penyebab kejahatan sehingga dapat dan kerap dilakukan oleh banyak manusia, sesama warga, sesama anak bangsa, bahkan oleh sesama anggota keluarga, dan sebagainya? Semisal, mengapa pergaulan dan pertemanan, cenderung ke arah negatif, pengaruh negatif, hingga merusak?

Contoh, pengedar obat-obatan terlarang dilarang mempromosikan produk narkot!k yang mereka produksi, edarkan, dan jual, karenanya ruang geraknya untuk berpromosi telah terminimalisir sedemikian rupa. Namun, mengapa prevalensi angka pemakai aktif zat adiktif terlarang tersebut tumbuh subur sepanjang tahun di Indonesia, tanpa tren menurun? Tentu, semua itu akibat faktor pengaruh lingkungan dan pergaulan. Akan tetapi, tetap belum menjawab pertanyaan utamanya, apa yang mendasari fenomena “anomali sosial” demikian?

Brief Answer: Segala perbuatan yang buruk dan tercela, termasuk pelanggaran dan kejahatan paling primitif hingga kejahatan paling modern dan canggih sekalipun, baik kejahatan “preman pasar” maupun penjahat “kerah putih”, berakar-sebab dari cara berpikir yang belum matang, parsial, delusif, egosentris, membuta, hingga tidak logis, bias perspektif, sepihak, bertendensi, asumtif, yang dapat kita sebut sebagai gaya berpikir “irasional” (akal sakit milik orang sakit)

Berbagai teori telah dicetuskan para tokoh, pemerhati sosial, maupun akademisi, dalam rangka untuk menjelaskan sikap dan sifat banyak manusia maupun individu yang dinilai tidak logis dan tidak pula rasional, meski teori-teori tersebut tidak pernah memuaskan, cenderung dipaksakan, namun setidaknya berbagai kajian selalu kembali pada postulat awal bahwasannya pandangan seseorang yang diperkeruh oleh segala kekotoran batin yang menutupi kejernihan mata batin yang bersangkutan, menjadikan penglihatan maupun daya pikirnya menjadi keruh dan kotor.

Kejahatan, tidak pernah logis. Kejahatan yang dibangun dengan dalil-dalil alibi yang tampak logis, telah ternyata seringkali dibiaskan oleh delusi mengenai fakta maupun apa yang “benar dan apa yang keliru”, maupun antara yang “patut dicela dan yang dapat dibanggakan”. Karena itulah, kejahatan sifatnya selalu berbahaya dan sukar diberantas, bahkan pelakunya kerap demikian melekat pada perangai dan kebiasaannya tersebut dan memandangnya sebagai sudah benar secara bersikukuh. Sebagaimana ekstremis yang memiliki keyakinan mutlak bahwa merampas hak hidup kaum yang berbeda keyakinan, merupakan perintah Tuhan, sekalipun Tuhan yang memberikan kehidupan setiap makhluk, sehingga tidak logis bila merampas hidup kaum lain menjadi perintah suci dari Tuhan.

Tetap saja, aksi-aksi intoleran dan radikalisme demikian, tumbuh subur. Kemajemukan, merupakan “kerajaan Tuhan” yang telah dibangun dan dirancang oleh Tuhan dengan tangan Tuhan sendiri, sejak tahap rencana awal penciptaan Bumi beserta segenap penghuninya sebagai “grand design” sang Maha Pencipta, sehingga ketika umat manusia hendak memberangus kemajemukan, menjadi bertentangan dengan kehendak Tuhan ketika membentuk dunia dan kehidupan yang mengisinya.

PEMBAHASAN:

Irasional pertama yang paling mencolok dan dapat kita jumpai secara vulgar dan masif, ialah ketika masyarakat kita meyakini bahwa jika pandai berkelit atau bila pihak korban tidak sadar telah dijadikan korban, maka dirinya dikategorikan sebagai tidak telah pernah berbuat jahat atau dosa apapun, ataupun bila tiada yang tahu dan memerhatikan. Meski, dirinya sendiri tahu isi pikirannya dan memerhatikan perilaku jahatnya. Si pengetahu perbuatan jahat, adalah sang pembuat kejahatan itu sendiri, sehingga perilaku yang mengandalkan aksi berkelit, ber-alibi, berkilah, mendebat, ataupun aksi-aksi lepas tanggung-jawab, akrobatik kata-kata (bersilat lidah), dan ketidakjujuran lainnya, sejatinya hanyalah “wasting time” mengingat benih Karma Buruk telah ditanam olehnya di ladang yang subur akibat tiadanya penyesalan lewat sikap yang berbelit-belit dan tidak jujur apa adanya.

Faktor irasional kedua, ialah sikap tidak logis dan tidak berakal orang-orang yang bertubuh dan berusia dewasa, bahkan sekalipun rambut mereka telah memutih namun “kopong” dari segi hati dan pikiran. Yang dikedepankan dalam faktor irasional kedua ini, ialah semata “akal sakit milik orang sakit”. Mungkin, untuk memudahkan pemahaman, contoh konkret yang sering kita alami di keseharian berikut, dapat lebih mengena pada pokok esensi pembicaraan kita, sebagaimana kerap penulis hadapi dan alami dalam keseharian lahir dan bertumbuh di Kota Jakarta, Indonesia.

Sikap irasional bukan hanya berbahaya dan mengancam bagi diri sendiri maupun orang lain, namun juga mengiritasi karena hanya dapat kita sadari lewat jiwa keadilan dan nurani yang murni serta jernih, yang mana tidak mereka miliki. Ketika berjalan kaki pada suatu ruas jalan umum, dengan segala resiko seperti disengat serangga, tergores ranting tumbuhan yang dibiarkan tumbuh menjulur ke bahu ataupun badan jalan, terkena semburan asap knalpot kendaraan roda dua yang menyembur ke arah mata pengguna jalan di belakangnya, terkena cipratan genangan air yang terlindas roda kendaraan yang melintas, terkena guyuran hujan, terik matahari menyengat, debu dan asap berterbangan membuat mata perih dan terhirup pernafasan, jalan berlubang yang berbahaya, disamping betapa meletihkan dan butuh waktu cukup lama untuk sampai pada tujuan, terutama ketika menyandang beban di pundak atau punggung.

Sekalipun demikian, telah ternyata para pengendara kendaraan bermotor kita di Indonesia demikian tidak toleran terhadap para pejalan kaki, demikian tidak kompromistis terhadap segala kesukaran yang dihadapi seorang pejalan kaki—tidak humanis terlebih manusiawi. Betapa tidak, para pengendara roda dua maupun roda empat tersebut (meski tidak semua pengendara kerap merampas hak pejalan kaki), dengan gagah perkasa mem-bully pejalan kaki dengan membunyikan klakson maupun mengancam akan menabrak bila pejalan kaki tidak segera menyingkir dan mencari tempat aman untuk menepi.

Setelah melintas, tidak jauh di depan, pengendara yang mengklakson penulis tersebut kemudian menghadapi kenyataan adanya sebuah kendaraan roda empat (benda mati) yang diparkir di badan jalan dengan memakan satu lajur, sehingga jalan umum ini hanya menyisakan satu lajur dari lebar dua lajur (arus lalu-lintas jadi menyerupai bottleneck). Namun, sang pengendara tersebut tidak mengklakson benda mati yang diparkir dengan memakan separuh lebar badan jalan umum tersebut, dengan sabar berhenti dan berjalan secara merayap untuk melewatinya. Artinya, sang pengemudi lebih humanis serta lebih toleran kepada benda mati dan disaat bersamaan tidak kompromistis terhadap pejalan kaki yang notabene makhluk hidup!

Sikap irasional ketiga, delusi paling delusif (lawan kata pikiran yang jernih) penuh destorsi mental yang sangat berbahaya dan mengandung degradasi hingga pengeroposan standar moral” dibaliknya, bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Disebut sebagai ideologi irasional, mengingat hanya seorang pendosa yang membutuhkan ideologi “korup” semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Seorang suciwan, tidak pernah membutuhkan cara-cara curang semacam iming-iming “too good to be true” bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Yang mana, menjadi lebih irasional ketika seorang pendosa hendak berceramah perihal hidup suci dan mulia—ia lebih baik menceramai dirinya sendiri ketimbang mengajari pihak lain perihal hidup secara suci dan luhur.

Semakin seseorang berkubang dalam kubangan dosa, menimbun diri dengan segunung dosa, mengoleksi segudang dosa, bahkan hidup dari dosa, maka semakin dirinya mengharapkan serta mengandalkan ideologi “korup” semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” sebagai wadah aksi “cuci tangan”, seolah-olah para korbannya tidak punya hak untuk bersuara dan menuntut keadilan. Alhasil, akibat dosa yang telah menjelma “too big to fall”, tiada pilihan lain selain secara “membuta” memeluk dan meyakini ideologi “cuci dosa” semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, apapun harga yang harus dibayarkan.

Bila hutang tidak dapat dihapus, sejarah tidak dapat dieliminir, dan hukum harus ditegakkan, maka bagaimana mungkin seseorang secara delusif mengharap agar segala perbuatan jahatnya, baik yang kecil maupun yang besar, dihapuskan? Ketika seseorang umat manusia bersikap kompromistis terhadap maksiat dan dosa, namun disaat bersamaan demikian intoleran terhadap kaum yang berbeda keyakinan, maka itulah yang disebut “agama sebagai musuh bagi peradaban”. Cobalah para pembaca jawab sejujur mungkin pertanyaan berikut : Apakah yang membuat Anda meyakini dan memeluk “agama samawi”, jika bukan karena iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”? Jika tiada iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, apakah Anda masih akan juga tertarik dan berminat memeluk agama tersebut?

Iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, merupakan cara “Tuhan” menyogok umat manusia agar menyembah diri-Nya yang digambarkan atau dicitrakan dengan disetarakan personifikasi seorang raja yang lalim karena senang ketika dipuja-puji dan akan murka ketika tidak disembah-sujud yang mengakibatkan dirinya lantas memamerkan kekuasannya serta betapa berkuasa dirinya dengan membuat rakyat jelata hidup menderita. Dengan demikian, ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” merupakan “sogokan” dari “Tuhan” ketika ancaman akan diberi derita hidup oleh “Tuhan” telah ternyata tidak efektif membuat umat manusia menjadi takluk dan tunduk menjadi “budak” yang bersujud di hadapannya serta menciumi kaki sang raja lalim.

Bila kita menarik ke belakang, tepatnya pada sejarah kelahiran “agama samawi”, sebelum itu tiada satupun keyakinan keagamaan yang memberi iming-iming kepada para “bajingan” (pendosa, penjahat, kriminil, penipu, pemeras, perampok, penganiaya, atau apapun sebutannya) bahwa dirinya akan masuk surga setelah ajal menjelang, ataupun eksistensi “surga bagi para pendosa”—bayangkan, surga bagi para pendosa! Oleh sebab itulah, pra kelahiran “agama samawi”, dicirikan oleh tiadanya pendosa yang yakin akan masuk surga setelah kematian dirinya menjelang.

Kini, setelah lahirnya “agama samawi” yang dicirikan dengan ideologi ataupun iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, umat manusia tidak lagi takut berbuat dosa, bahkan berbondong-bondong dan berlomba-lomba berbuat dosa, bangga berbuat dosa, mengoleksi dosa, produktif mencetak dosa, tanpa rasa malu terlebih rasa takut berbuat dosa, bahkan disebut sebagai merugi bila tidak membuat dosa sebanyak yang ia mampu semata agar iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” tidak mubazir.

Bila seorang suciwan, menghindari betul perbuatan buruk yang dapat dicela oleh para bijaksanawan, maka tidak pernah merasa membutuhkan terlebih menjual diri menjadi budak dari sosok yang mengiming-imingi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Seorang suciwan, karenanya, demikian soliter dan independen atas hidupnya sendiri, penuh harga diri, jiwa yang utuh dan penuh, luhur, mulia, dan agung. Mungkin karena itulah, Tuhan tidak menyukai seorang suciwan, dan seorang suciwan berdaya maupun berdikari atas nasib dan hidupnya sendiri.

Disamping para suciwan, terdapat dan bersanding pula para ksatria. Para ksatria, disebut sebagai berjiwa ksatria, semata karena tidak pernah berkelit terlebih bersembunyi ataupun lari dari tanggung jawab dan siap sedia untuk bertanggung-jawab ataupun dimintakan pertanggung-jawaban. Seorang ksatria, telah pernah berbuat kesalahan, baik atas dasar kesengajaan maupun kelalaian. Namun, para ksatria memilih untuk menebus kesalahannya lewat upaya konkret bagi pemulihan kerugian ataupun derita korban, dengan cara bertanggung-jawab, meminta dihukum dan mengambil hukuman itu untuk dijalani, mengganti kerugian, dan lain sebagainya.

Menjadi pertanyaan yang lebih rasional bagi kita, bagaimana mungkin, para pendosa yang notabene bak para “penjilat” rendahan, dimasukkan ke alam surgawi alih-alih para manusia agung dan mulia seperti para suciwan dan para ksatria yang jelas-jelas lebih layak menjadi para dewata di alam surgawi ketimbang dikotori para manusia “kotor” yang hanya pandai “menjilat” demikian. Bila para pendosa diberi “karpet merah” menuju alam surgawi, bahkan terjamin tiket masuk ke alam surgawi, maka alam surgawi akan menyerupai “dunia manusia jilid kedua”, dimana peperangan, kejahatan, penjarahan, penganiayaan, penipuan, perampokan, korupsi, perjud!an, dan segala kelakuan negatif serta jahat lainnya, akan diumbar dimana korban akan menjadi korban untuk kedua kalinya. Maksiat, dilarang. Berbuat maksiat, artinya berbuat dosa. Namun, dosa dihapus dan diampuni. Artinya, lampu hijau bagi maksiat.

Yang terburuk ialah, para pendosa yang kembali membuat ulah di alam surgawi, tidak dapat dihukum terlebih dipidana, semata karena memiliki imunitas berkat ideologi iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Bila seorang hakim di pengadilan dunia manusia, menghukum seorang penjahat secara tegas dan tanpa kenal kompromi, demi keadilan bagi pihak korban, serta demi terciptanya “efek jera” bagi sang pelaku maupun bagi para calon penjahat lainnya demi melindungi masyarakat luas agar tidak menjadi korban serupa dikemudian hari, maka bagaimana mungkin sosok seagung Tuhan bisa kalah adil dibanding para hakim di pengadilan?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.