(DROP DOWN MENU)

Keberanian untuk Menjalankan Hidup Kita Sendiri. Lebih Baik Disakiti oleh Orang Lain, daripada Membiarkan Diri kita Menyakiti Diri Sendiri

SENI PIKIR & TULIS

Lebih Baik Disakiti oleh Orang Lain, daripada dengan Konyolnya Membiarkan Diri Kita Menderita Sakit maupun Terluka akibat Lalai terlebih Bersikap Bodoh Disebabkan Ketakutan atau ketika Mencoba Berkelit dari Rasa Takut terhadap Ancaman Orang Lain

Bila Kita Disakiti atau Dilukai oleh Orang Lain, Kita bisa Menuntut Tanggung-Jawab dari Mereka. Namun bila Kita Sakit ataupun Terluka akibat Sikap Abai dan Lalai Kita, terlebih Menjebloskan Diri akibat Dikuasai Rasa Takut, Kita bisa Menuntut Siapa untuk Dimintakan Tanggung-Jawab?

Jangan pernah membuat keputusan atas dasar ketakutan, karena itu pasti merugikan kepentingan dan kebaikan diri kita sendiri. Konon, masyarakat Indonesia disebut-sebut sebagai masyarakat yang gemar berdana dan pemurah (“murah hati” serta gemar mengulurkan tangan untuk menolong). Faktanya, untuk hal-hal yang sederhana yang ada di depan mata, seperti bersikap sabar terhadap warga maupun pengguna jalan lainnya, “sumbu” masyarakat kita di Indonesia sungguh pendek dan mudah tersulut—sedikit-sedikit “main kekerasan fisik”, seolah tidak ada cara lain untuk menyelesaikan sengketa tanpa perlu bersengketa.

Bila terdapat kesempatan di depan mata untuk menanam benih-benih Karma Baik, dilewatkan serta disia-siakan begitu saja, yang mana alih-alih menghargai kesempatan berbuat kebajikan demikian, justru yang diumbar serta dipamerkan secara seronok ialah sikap “premanis”, “barbaris”, dan “aroganis” disamping “hewanis”, dimana kekerasan fisik dan arogansi selalu dikedepankan serta dijadikan secara cara untuk menyelesaikan masalah, terlebih diharapkan untuk mampu menanam Karma Baik. Si dungu, akibat kekotoran batin (keserakahan, egoisme, dan kebodohan batin), menjadikan momen berupa kesempatan di keseharian untuk menanam benih Karma Baik, justru menanam Karma Buruk dengan penuh kebanggaan dan kesenangan.

Pengalaman berikut dapat menjadi cerminan sekaligus pembelajaran berharga bagi para pembaca, sebagai bentuk “seni hidup” lewat pengalaman pahit yang perlu diakui serta dipelajari tanpa jatuh ke dalam bentuk mentalitas traumatik maupun mental “korban”. Sebagaimana kata pepatah, “Yang manis jangan langsung ditelan, dan yang pahit jangan langsung dibuang”. Penulis memiliki segudang pengalaman buruk ketika berada di ruang publik yang kondisinya tidak manusiawi di Kota Jakarta, seperti trotoar jalan yang tidak layak bagi pejalan kaki maupun gerbang besi kecil yang cukup berbahaya bagi keselamatan pelintas, mengingat banyaknya pengalaman pribadi penulis yang mengalami kecelakaan akibat warga pengguna jalan lain yang senantiasa egoistik seperti tidak sabaran dan tidak memperdulikan keselamatan orang lain ketika saling berbagi ruang gerak.

Karena itulah, hingga kini penulis menjelma pribadi yang cukup trauma serta fobia pada tempat-tempat ataupun fasilitas umum dan ruang publik yang kondisinya tidak mansuiawi dan berpotensi mengancam keselamatan warga pengguna jalan maupun pelintas. Sejujurnya, bukanlah kondisi jalan maupun ruang publik dan fasilitas umum yang tidak manusiawi itulah yang penulis takutkan, namun trauma lebih kepada sikap sesama warga pelintas dan pengguna jalan lainnya di Indonesia yang memiliki pola sikap egoistik serta tidak memikirkan keselamatan orang lain.

Terkadang, obat dari ketakutan dan fobia kita, ialah dengan menghadapinya, alih-alih memilih bersembunyi, melarikan diri, dan membiarkan ketakutan itu mengusai diri, melumpuhkan, serta membuat kita “berjalan di tempat” untuk seumur hidup kita. Kita tahu, dan sudah rahasia umum, orang “Made in Indonesia” dikenal sebagai pribadi dengan karakter yang egoistik serta gemar merampas hak orang lain.

Namun, apakah artinya kita hanya akan bersembunyi di dalam rumah kita untuk seumur hidup kita, menderita, dan menjadi tidak produktif? Tidak selamanya kita dapat menghindar. Ketika kita harus menghadapi, maka hadapilah. Mereka memang merupakan “serigala bagi sesama manusia”, namun mengapa kita biarkan mereka membuat kita terkunci dan terkungkung atas hidup kita sendiri? Pikiran yang jernih dan keberanian dalam menjalankan hidup kita sendiri, memberi kita kekuatan untuk membebaskan diri kita.

Belum lama ini, ketika penulis berjalan kaki dan baru tiba di sebuah portal berupa gerbang besi penuh kawat berduri di kawasan pemukiman pada kota penulis berdomisili di Jakarta, penulis perlu belajar dari pengalaman-pengalaman buruk yang telah pernah menimpa penulis, dengan mengamati secara cermat apakah terdapat bahaya celah bagi pejalan kaki untuk melintasi portal berupa gerbang besi tersebut, semisal kondisi lantainya agar tidak jatuh akibat lubang atau terpeleset, apakah terdapat kawat berduri yang bisa saja mendadak baru dipasang atau mencuat oleh suatu sebab sehingga berpotensi mengundang bahaya dari pelintas, ataupun tinggi dari portal besi tersebut atas tidak menghantam tempurung tengkorak kepala penulis yang berpostur cukup tinggi (dan benar pernah penulis alami), terlebih kondisi penglihatan penulis yang tinggi minus serta silinder kacamatanya sehingga perlu ekstra cermat sebelum benar-benar melintas dan melewatinya.

Tidak sampai tiga detik lamanya penulis tiba dan berdiri di depan portal gerbang besi untuk mengamati kondisi dan situasi keadaan portal gerbang besi yang hendak penulis lintasi tersebut, mendadak muncul warga lain yang menegur penulis dari arah belakang, entah pengguna sepeda maupun pengguna sepeda motor roda dua, baik berupa perintah, teguran, seruan, hingga klakson, dengan maksud untuk mendesak penulis agar menerjang maju seolah hanya mereka yang berhak melintasi tempat tersebut. Penulis juga memiliki hak untuk melintasi ruang publik tersebut, karenanya penulis tidak dapat disebut telah menghalangi jalan mereka.

Ironisnya, bila yang melintasi portal gerbang besi tersebut ialah pengendara kendaraan bermotor roda dua, para pelintas lainnya dengan sabar menunggu antrian karena pengendara yang melintasinya harus berhati-hati agar tidak terperosok masuk selokan di samping portal gerbang besi. Namun, para warga tersebut lebih tidak sabar terhadap penulis selaku manusia pejalan kaki yang lebih susah-payah untuk melintas dan sampai ke tujuan. Itu sama irasionalnya ketika para pengendara mengklakson penulis yang berjalan di tepi jalan yang kadang sempit dan kondisi tidak manusiawi penuh ranting pohon menjulur ke tengah jalan yang mengancam keselamatan mata penulis yang melintas, namun mereka akan bersikap sangat sabar dan rela menunggu ketika badan jalan dipersempit “bottlenect” akibat kendaraan roda dua maupun roda empat ter-parkir di bahu maupun separuh badan jalan sehingga hanya menyisakan satu lajur untuk akses pengguna jalan dari kedua arah.

Rupanya, budaya di Indonesia, pejalan kaki selaku manusia diperlakukan tidak lebih manusiawi daripada sikap bangsa ini terhadap kendaraan bermotor (benda mati) yang diparkir di bahu hingga di badan jalan. Mereka lebih kompromistis dan toleran serta lebih bersabar terhadap benda mati, ketimbang terhadap manusia yang akan semudah mereka klakson, intimidasi, maki, bully, lewat deru kendaraan besi yang melaju kencang, hingga makian dan tendangan kaki.

Perhatikanlah, di setiap ruas jalan, para pengendara akan dengan penuh kesabaran menghentikan atau memperlambat laju kendaraannya bila terdapat kendaraan (benda mati) dalam kondisi ter-parkir di badan jalan, namun pengendara yang sama akan seketika mengklakson seorang pejalan kaki yang dianggap tidak punya hak untuk menggunakan jalan dan hanya menghalangi kendaraannya untuk melaju dengan kencang. Benda mati, berupa mobil yang ter-parkir, tidak dapat mereka “bully”, karenanya mereka bersabar, namun manusia dapat mereka jadikan objek “bully”. Manusia Indonesia, adalah makhluk yang irasional serta tidak logis, dimana yang berlaku ialah “akal sakit milik orang sakit”. Mereka lebih toleran dan lebih kompromistis terhadap benda mati, ketimbang terhadap seorang pejalan kaki selaku sesama manusia dan sesama pengguna jalan dan fasilitas publik.

Akal sehat yang tidak membutuhkan tingkat inteligensi tinggi sekalipun, mengetahui bahwa yang berada pada baris paling terdepan selalu lebih keras terkena terpaan angin, hingga segala resiko. Mendesak yang berada di baris terdepan untuk menerjang dengan gegabah, sama artinya memaksa mereka mencelakai diri (mencelakakan, cerminan sikap egoistik yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa menghormati hak atas keselamatan orang lain). Yang mengekor di belakang, selalu lebih aman dari ancaman kecelamaan maupun musibah. Sehingga, menjadi pertanyaan besar kita bersama, bagaimana mungkin bangsa ini mengklaim sebagai memiliki SQ yang tinggi, sementara empati yang merupakan pilar EQ, demikian tiarap dan memprihatinkan? Empati bermakna, kemampuan menempatkan diri kita pada posisi orang lain, lengkap dengan segala kondisi dan situasinya.

Kembali pada contoh pengalaman penulis di atas, bisa jadi mendadak saja atau baru-baru saja dipasang hal-hal berbahaya lainnya di portal gerbang besi yang hendak penulis lintasi. Bilamana penulis tidak menaruh kewaspadaan dan dengan membiarkan kebiasaan mengusai diri dengan melintas begitu saja tanpa menaruh waspada pada kekinian, maka potensi resiko ada di depan mata pun menjadi tidak kasat mata. Terjadilah, petaka dan bencana. Yang mengekor di belakang, tidak mengalami kondisi potensi resiko serupa, dan tidak akan bertanggung-jawab bila yang berada di baris terdepan mengalami musibah akibat kondisi ruang publik kita di Indonesia yang jauh dari kondisi manusiawi.

Dengan mudahnya mereka menyuruh dan memerintahkan penulis bak sikap seorang penjajah, untuk maju menerjang tanpa perlu menaruh waspada ataupun mencermati keadaan, menakut-nakuti penulis dengan klakson maupun teguran hingga makian. Pertanyaannya, bilamana terjadi petaka pada penulis, karena takut pada ancaman maupun intimidasi mereka, apakah mereka hendak bertanggung-jawab serta mempertanggung-jawabankan sikap mereka selain sekadar “omong kosong”? Bila mereka jelas-jelas tidak akan bertanggung-jawab selain sekadar “gimmick”, maka perintah, ancaman, makian, teguran, hingga pemaksaan dan pendiktean orang lain terhadap kita, tidak perlu kita indahkan. Dengan pikiran yang jernih, kita akan mendahulukan prioritas, yakni : keselamatan, kesehatan, serta kebaikan diri kita. Jika bukan kita yang bertanggung-jawab atas hidup kita sendiri, maka siapakah?

Ini adalah hidup kita sendiri, kita sendiri yang menjalani hidup kita, bertanggung-jawab atas hidup kita, serta yang akan menanggung konsekuensi atas hidup kita sendiri. Karena itulah, kita tidak pernah butuh izin maupun komentar orang lain atas hidup yang kita jalani dan atas hidup milik kita sendiri. Urusan kita, ialah semata mengurus urusan diri kita sendiri. Itulah yang disebut sebagai bersikap profesional terhadap diri kita sendiri, yakni sikap dapat diandalkan oleh diri kita sendiri, menyadari dan memahami kepentingan diri kita, tidak mengkhianati kepentingan dan kebaikan bagi diri kita, serta tidak mengambil opsi yang akan kita sesali sendiri dikemudian hari.

Singkatnya ialah, latih serta milikilah keberanian untuk menjalankan hidup kita sendiri. Itulah kata kuncinya. Ini hidup kita sendiri, kita sendiri yang paling bertanggung-jawab atas hidup kita sendiri, serta jangan biarkan siapapun merampas “pilihan dan kehendak bebas” yang menjadikan diri kita sebagai pribadi yang bebas dan merdeka (sebagai pembeda dari bangsa terjajah oleh penjajahan). Bila orang lain tidak bersedia bertanggung-jawab atas hidup kita, maka jangan biarkan mereka menguasai fisik maupun batin personal kita yang harus berdikari (berdiri di atas kaki dan pikiran kita sendiri), terlebih membiarkan mereka merampas “pilihan dan kehendak bebas” kita.

Bila rasa takut masih menguasai diri kita, membuat kita “paralyze” (terlumpuhkan dan terbekukan), berjalan di tempat, serta terbelenggu rasa frustasi maupun trauma, maka cobalah untuk tetap fokus pada momen kekinian (current moment, present moment), dengan melepas kecemasan akan masa lampau (pengalaman traumatik) maupun kecemasan akan masa depan (ketakutan kembali dijadikan korban serupa seperti pengalaman buruk sebelumnya). Hidup pada kekinian, sungguh membebaskan, dan dapat menjadi sumber kekuatan kita untuk menjadi berani ketika menjalankan hidup kita sendiri di tengah kondisi mental masyarakat kita yang tidak humanis dan tidak manusiawi seperti kondisi di Kota Jakarta, Indonesia.

Terkadang, upaya perenungan dengan objek berupa keadaan yang ekstrim, dapat menyadarkan kita. Kontemplasikan pertanyaan berikut ke dalam benak Anda yang terdalam, dan jawablah dengan tegas dan berani dari lubuk hati yang bersemayam pada pikiran jernih Anda : Bila ada yang menyuruh Anda untuk melompat ke jurang yang dalam dan berbahaya, apakah Anda akan menuruti perintahnya, semata karena rasa takut pada ancaman sang pemberi perintah? TIDAK!”, itulah jawabannya, tentu saja. Kita ingin tetap hidup, dan bebas dari derita maupun bencana dan petaka “konyol”.

Kesadaran berupa “keinginan untuk tetap hidup” itulah, yang dapat menjadi sumber oase kekuatan kita untuk berani dan bersikap tidak gentar, kokoh bak batu karang yang tidak goyah meski dihempas ombak dan badai. Ingatlah selalu pertanyaan tersebut, dan ingatkanlah diri Anda akan jawabannya, setiap kali jiwa atau batin kita terguncang akibat sikap tidak bersabahat, tidak patut, dan tidak humanis yang dilakukan oleh warga lain terhadap kita. Semangat untuk tetap hidup, membuat kita tidak membiarkan siapapun merampas “pilihan dan kehendak bebas” kita sebagai harta yang membuat kita sanggup dan berani untuk berjuang, melawan, dan berperang sekalipun, jika perlu “melawan arus” mainstream.

Sebagai penutup, berikut penulis sajikan kredo-kredo yang penulis ciptakan sendiri, sebagai metode untuk menguatkan batin kita agar tidak mudah didikte, dimanipulasi, diatur, dijajah, dipaksa, diancam, maupun ditakut-takuti oleh pihak lain yang tidak jelas itikad dan niatnya terhadap kita, kredo-kredo mana dapat menjadi “sugesti diri” yang perlu kita ingatkan secara berulang-kali ke dalam bendak internal diri kita, antara lain:

- Jangan bersikap seolah-olah kita tidak punya HAK (jangan bersikap seolah-olah hanya orang lain yang berhak, sementara diri kita seakan secara tidak adil, tidak memiliki hak serupa);

- Jangan bersikap seolah-olah diri kita tidak punya pikiran untuk menilai dan memutuskan sendiri (apapun pendapat ataupun komentar orang lain, yang artinya kita pun sejatinya tidak membutuhkan izin ataupun komentar orang lain atas hidup kita sendiri. Pendirian ini pun bermanfaat agar kita tidak menjadi korban manipulasi pikiran maupun eksploitasi);

- Jangan bersikap seolah-olah tidak punya daya tawar serta pilihan bebas (kita selalu punya opsi lain untuk dipilih dan ditempuh, kita hanya perlu menyadarinya dengan pikiran yang jernih bebas dari kungkungan ketakutan);

- Jangan bersikap seolah-olah diri kita bukanlah pribadi / individu yang bebas dan merdeka (dari penjajah asing maupun penjajah sesama anak bangsa, kecuali yang mendikte hidup kita mengaku sebagai seorang penjajah).

Bila rasa takut masih juga menguasai diri kita, maka solusi alternatif lainnya ialah “jadilah orang SUCI”. Banyak-banyak perbuatan bajik, hindari perbuatan buruk, sehingga kita akan terlindungi oleh buah Karma Baik kita, dimana orang-orang jahat yang berniat ataupun bersikap jahat terhadap kita akan seketika menjadi bumerang bagi diri si pelaku kejahatan itu sendiri. Hanya si dungu, yang berani menyakiti dan melukai seorang Buddha yang suci dan agung. Semakin baik dan suci moralitas diri seseorang yang disakiti, dirugikan, maupun dilukai, maka semakin besar pula Karma Buruk yang ditanam oleh sang pelaku kejahatan. Semakin besar benih Karma Buruk yang ditanam olehnya, maka semakin besar pula buah Karma Buruk yang akan dipetik oleh sang pelaku. Sebaliknya, berbuat baik kepada seorang suciwan, tentu lebih besar buah Karma Baik yang akan kita petik, ketimbang berdana kepada orang tidak bermoral.

Karena itulah, Sang Buddha tidak pernah mengemis-ngemis kepada orang lain yang berniat jahat kepada Beliau, dengan mengatakan bahwa Beliau takut dilukai, takut dirugikan, ataupun takut disakiti. Sang Buddha pun tidak pernah mengemis-ngemis kepada siapapun agar tidak disakiti, agar tidak dilukai, maupun agar tidak dirugikan. Tidak terkecuali, Sang Buddha pun tidak pernah mengemis-ngemis agar sang pelaku kejahatan yang melukai, merugikan, ataupun menyakiti Beliau untuk bertanggung-jawab. Si dungu merasa telah “menang” serta “bangga” ketika berhasil melukai dan menyakiti seorang Buddha, sampai buah Karma Buruknya matang untuk ia petik sendiri.

Keberanian untuk menjalankan hidup kita sendiri, memberikan kita sumber kekuatan yang bersumber dari internal diri. Sebagai contoh, suatu pagi penulis hendak keluar dari suatu perkantoran, dan petugas satpam menyetop kendaraan sebuah minibus yang melintas di jalanan agar kendaraan roda dua yang penulis kendarai dapat keluar dari halaman kantor tersebut, sembari memberi perintah kepada penulis agar melaju keluar dari halaman kantor. Namun, yang di-stop oleh sang satpam ialah minibus yang merupakan transportasi umum yang dikenal ugal-ugalan di jalanan, yang bahkan ketika penumpangnya hendak turun pun pengemudinya tidak benar-benar menghentikan laju kendaraannya.

Penulis melihat ada bahaya dibalik menyetop kendaraan besar maupun minibus yang sudah dikenal ugal-ugalan semacam itu, membuat penilaian atas dasar pikiran sendiri bahwasannya sang satpam sangat tidak bijaksana dan menilai ada potensi resiko bahaya yang tidak perlu dicari ataupun dibuat, yang karenanya memutuskan untuk tidak melajukan kendaraan roda dua yang penulis kendarai. Sang satpam, kemudian memaki diri penulis karena tidak melaku keluar dari halaman kantor—itulah, salah satu wujud “manipulasi pikiran”, seolah-olah kita tidak punya pilihan bebas dan daya tawar, serta tidak punya hak untuk mengambil keputusan dan menilai sendiri, lantas dipersalahkan tanpa dilandasi kebijaksanaan. Biarlah orang dungu mencela diri kita, kita hanya perlu perduli pada komentar dan cela dari orang-orang bijaksanawan.

Kita perlu tetap berpikiran jernih, berdikari dalam pikiran (pikiran adalah pelopor dari segalanya), dan menyadari bahwa diri kita adalah pribadi yang bebas dan merdeka dari penjajahan siapapun. Daripada menyakiti diri sendiri dengan menjebloskan diri ke dalam bahaya yang tidak perlu, lebih baik disakiti berupa makian sang satpam yang tidak memiliki kebijaksanaan. Kesadaran kedua yang perlu kita latih serta biasakan ialah, kesadaran bahwa ini adalah hidup dan kehidupan kita sendiri, karenanya kita tidak pernah butuh komentar ataupun izin orang lain untuk menjalani hidup kita sendiri.

Kesadaran itulah, yang menjadi pangkal dari “keberanian untuk menjalankan hidup kita sendiri”. Kita tidak perlu gentar ketika orang lain memaki ataupun menghakimi diri kita, serta tidak perlu tunduk pada “manipulasi pikiran” ataupun “putar-balik logika moril”. Jangankan itu, bahkan ketika kita tidak menyakiti ataupun merugikan orang lain, orang lain senantiasa melukai perasaan kita dengan segala ledekan, ejekan, olokan, pelecehan, hingga “verbal bullying”, seolah-olah mereka berhak untuk melukai perasaan kita—kesadaran itulah, bahwa sekalipun kita tidak menyakiti, tidak merugikan ataupun melukai orang lain, tetap saja orang-orang di luar sana dengan mudahnya menghakimi kita lewat ucapan maupun perbuatannya, seolah-olah mereka memiliki hak untuk menghakimi hidup milik orang lain.

Karenanya, kita tidak perlu menyalahkan diri kita ataupun berkecil hati atas perilaku orang lain terhadap diri kita. Kita cukup menyadari, bahwa bangsa Indonesia memiliki budaya atau kultur yang tidak sehat serta tidak manusiawi, yakni gemar menghakimi serta secara tidak adil menyakiti fisik ataupun perasaan orang lain. Semisal kebiasaan atau kegemaran untuk melontarkan “ejekan” (oral bullying) maupun sikap arogansi yang memamerkan kebanggaan “menyelesaikan setiap masalah dengan cara kekerasan fisik”, secara tidak proporsional dan tidak patut.

Bila semua individu tunduk pada Hukum Karma (all human being are subject of karmic law), dimana tidak ada yang benar-benar dapat mereka curangi dalam hidup ini, maka apa lagi yang perlu kita gentarkan dari mereka yang bersikap tidak patut terhadap diri kita? Si dungu, merasa bangga dan menang saat menanam Karma Buruk, semata karena buah Karma Buruknya belum matang untuk beruah. Latih, serta biasakanlah, sikap penuh keberanian dalam menjalankan hidup kita sendiri, apapun pengalaman-pengalaman buruk kita di masa lampau.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.