Kondisi Pendosa Penghuni ALAM NERAKA, menurut Buddhisme

Makin Banyak Dosa Bertumpuk, Semakin Lama Tersiksa di Alam Neraka

Penghuni Surga dan Neraka, Tidaklah Kekal Abadi di Alam Surga maupun Neraka, Sepanjang Karma Baik ataupun Buruk Mereka Masih Tersisa

Tidak Ada yang dapat Benar-Benar Kita Curangi dalam Hidup Ini. Menyadari Bahaya Dibalik Perbuatan Jahat, agar Kita Tidak Egois terhadap Masa Depan Diri Kita Sendiri

Question: Seperti apa, alam neraka menurut Agama Buddha, apakah sama dengan ajaran agama-agama lainnya?

Brief Answer: JIka menurut agama-agama samawi, penghuni alam neraka adalah kekal abadi tersiksa api neraka, itu merupakan pandangan yang fatalistik-eternalistik. Masih menurut agama-agama samawi, penghuni alam surgawi adalah kekal abadi menikmati kesenangan surgawi, itu merupakan pandangan utopis-eternalistik—kedua pandangan mana ditolak oleh Sang Buddha. Penghuni alam neraka maupun alam surgawi, tidaklah kekal abadi.

Sepanjang masih ada Karma Baik tersisa, para dewata menghuni alam surgawi dan menikmati kesenangan surgawi, dimana jika timbunan Karma Baik mereka habis maka mereka pun akan meninggal dunia dan terlahir kembali di alam lainnya, demikian sabda Sang Buddha yang membuat para dewata pada masa itu menjadi cemas dan ketakutan. Begitupula ketika penghuni neraka tersiksa dan disiksa api neraka, mereka belum akan atau tidak akan dapat meninggal di alam neraka sepanjang Karma Buruk mereka masih tersisa. Adalah tidak adil ketika “maling ayam” maupun “maling sandal” dihukum abadi di alam neraka bersama para “koruptor kelas kakap”. Keadilan bertopang pada prinsip meritokrasi ala egalitarian, ada reward dan ada punishment yang berimbang dan terukur parameter bobot atau derajatnya.

PEMBAHASAN:

Jangan meremehkan perbuatan buruk dan tercela seperti merugikan, melukai, maupun menyakiti orang-orang maupun makhluk hidup lainnya, dengan meremehkan akibat bahaya dibalik perbuatan buruk demikian, semata karena terjebak dan termakan oleh ideologi “Agama DOSA” bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Hanya seorang pendosa yang butuh pengampunan dosa. Pendosa, hendak berceramah perihal hidup jujur, bersih, dan mulia? Itu menyerupai orang buta yang hendak menuntun orang-orang buta lainnya, delusif. Terhadap dosa dan maksiat, demikian kompromistik. Namun terhadap kaum yang berbeda keyakinan, demikian intoleran.

Surga digambarkan dijejali para manusia pendosa yang rajin menyembah dan menjilat (pendosa penjilat penuh dosa) sehingga menyerupai “dunia manusia jilid kedua” (medan tempur), sementara itu alam neraka disesaki orang-orang baik yang hanya saja tidak bersedia menggadaikan jiwa mereka untuk menjadi budak sembah-sujud Tuhan tertentu—alam neraka yang menjadi monumen kegagalan Tuhan, dimana semakin padat sesak maka semakin besar dan tinggi monumen kegagalan Tuhan tersebut. itulah surga dan neraka versi agama samawi, hanya orang-orang ber-IQ rendah yang memeluknya, karena (otak mereka) digadaikan demi iman setebal tembok beton yang tidak tembus oleh cahaya ilahi manapun.

Adapun salah satu penggambaran kondisi alam neraka menurut Agama Buddha, lengkap dengan kondisi para pendosa yang menghuninya, salah satunya dapat kita rujuk langsung kepada khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikut:

36 (6) Utusan-utusan.

“Para bhikkhu, ada tiga utusan surgawi ini. Apakah tiga ini? “Di sini, para bhikkhu, seseorang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka. Di sana para penjaga neraka mencengkeramnya pada kedua lengannya dan membawanya kepada Raja Yama, [dengan berkata]: ‘Orang ini, Baginda, tidak berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayahnya; ia tidak berperilaku selayaknya terhadap para petapa dan brahmana; dan ia tidak menghormati saudara-saudara yang lebih tua dalam keluarga. Silakan Baginda menjatuhkan hukuman kepadanya!’

[NOTE Kitab Komentar: “Orang (yang) tua, orang sakit (dukkha), dan mayat (kematian) disebut ‘utusan-utusan surgawi’ (devadūta) karena mereka mendorong munculnya rasa keterdesakan, seolah-olah memperingatkan seseorang: ‘Sekarang engkau harus pergi menuju kematian.’”]

[Raja Yama merupakan “Dewa Kematian” legendaris dan hakim bagi takdir masa depan seseorang, dikenal pula sebagai Raja Alam Neraka.]

(1) “Kemudian Raja Yama menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi pertama: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi pertama yang muncul di antara manusia?’ Dan ia menjawab: ‘Tidak, Tuan, aku tidak melihatnya.’ “Kemudian Raja Yama berkata kepadanya: “Tetapi, tidak pernahkah engkau melihat di antara manusia seorang laki-laki atau seorang perempuan, berumur delapan puluh, sembilan puluh, atau seratus tahun, lemah, bungkuk seperti rusuk atap, bungkuk, berjalan terhuyung-huyung dengan ditopang oleh tongkat, menderita penyakit, tiada kemudaan, dengan gigi tanggal, dengan rambut memutih atau botak, dengan kulit keriput, dengan bercak pada bagian-bagian tubuh?’ Dan orang itu menjawab: ‘Pernah, Tuan, aku pernah melihat hal ini.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu, seorang manusia yang cerdas dan dewasa: “Aku juga tunduk pada penuaan, aku tidak terbebas dari penuaan. Biarlah aku sekarang melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ [139] - ‘Tidak, Tuan, aku tidak mampu, aku lalai.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Kamma burukmu ini bukan dilakukan oleh ibu atau ayahmu, juga bukan oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, juga bukan oleh teman-teman dan kerabatmu, juga bukan sanak saudara dan anggota keluargamu, juga bukan oleh para dewa, juga bukan oleh para petapa dan brahmana. Sebaliknya adalah engkau sendiri yang melakukan kamma buruk itu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

(2) “Ketika Raja Yama telah menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi pertama, kemudian ia menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi kedua: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi kedua yang muncul di antara manusia?’ Dan ia menjawab: ‘Tidak, Tuan, aku tidak melihatnya.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di antara manusia seorang laki-laki, atau seorang perempuan, yang sakit, menderita, sakit keras, berbaring di atas kotoran dan air kencingnya sendiri, harus diangkat oleh beberapa orang dan dibaringkan oleh beberapa orang lainnya?’ Dan ia menjawab: ‘Pernah, Tuan, aku pernah melihat hal ini.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu, seorang manusia yang cerdas dan dewasa: “Aku juga tunduk pada penyakit, aku tidak terbebas dari penyakit. Biarlah aku sekarang melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ - ‘Tidak, Tuan, aku tidak mampu, aku lalai.’

“Kemudian Raja Yama berkata: [140] ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Kamma burukmu ini bukan dilakukan oleh ibu atau ayahmu, juga bukan oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, juga bukan oleh teman-teman dan kerabatmu, juga bukan sanak saudara dan anggota keluargamu, juga bukan oleh para dewa, juga bukan oleh para petapa dan brahmana. Sebaliknya adalah engkau sendiri yang melakukan kamma buruk itu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

(3) “Ketika Raja Yama telah menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi kedua, kemudian ia menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi ketiga : ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi ketiga yang muncul di antara manusia?’ Dan ia menjawab: ‘Tidak, Tuan, aku tidak melihatnya.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di antara manusia seorang laki-laki atau seorang perempuan, satu, dua, atau tiga hari setelah mati, membengkak, memucat, dan bernanah?’ Ia berkata: ‘Pernah, Tuan, aku pernah melihat hal ini.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu, seorang manusia yang cerdas dan dewasa: “Aku juga tunduk pada kematian, aku tidak terbebas dari kematian. Biarlah aku sekarang melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ - ‘Tidak, Tuan, aku tidak mampu, aku lalai.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Kamma burukmu ini bukan dilakukan oleh ibu atau ayahmu, juga bukan oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, juga bukan oleh teman-teman dan kerabatmu, juga bukan sanak saudara dan anggota keluargamu, juga bukan oleh para dewa, juga bukan oleh para petapa dan brahmana. Sebaliknya adalah engkau sendiri yang melakukan kamma buruk itu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

“Ketika, para bhikkhu, Raja Yama telah menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya sehubungan dengan utusan surgawi ketiga, ia berdiam diri. [141] Kemudian para penjaga neraka menyiksanya dengan lima tusukan. Mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu tangan, dan menusukkan sebatang pancang besi membara menembus tangan lainnya; mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu kakinya, dan menusukkan sebatang pancang besi membara menembus kaki lainnya; mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus dadanya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk, namun ia tidak mati selama akibat dari kamma buruknya belum habis.

“Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke bawah dan mengulitinya dengan kapak. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk, namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis. Kemudian para penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mengulitinya dengan alat pengukir kayu ... Kemudian para penjaga neraka mengikatnya pada sebuah kereta dan menariknya kesana-kemari di atas tanah yang terbakar, menyala, dan berpijar ... Kemudian para penjaga neraka menyuruhnya memanjat naik dan turun di atas gundukan bara api yang terbakar, menyala, dan berpijar ... Kemudian para penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mencelupkannya ke dalam panci logam panas yang terbakar, menyala, dan berpijar. Ia direbus di sana di dalam pusaran buih. Dan ketika ia direbus di sana di dalam pusaran buih, ia kadang-kadang terhanyut ke atas, kadang-kadang ke bawah, kadang-kadang ke sekeliling. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk, namun ia tidak mati selama akibat dari kamma buruknya belum habis.

“Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke dalam Neraka Besar. Sekarang, para bhikkhu, sehubungan dengan Neraka Besar: “Neraka ini memiliki empat sudut dan empat pintu dan terbagi dalam ruang-ruangan terpisah; dikelilingi oleh dinding besi dan ditutup dengan atap besi. [142]

“Lantainya juga terbuat dari besi dan dipanaskan dengan api hingga berpijar. Luasnya seratus yojana penuh yang mencakup seluruh wilayah itu.

“Suatu ketika, para bhikkhu, di masa lampau Raja Yama berpikir: ‘Mereka yang di dunia melakukan perbuatan-perbuatan jahat sungguh akan mengalami berbagai jenis siksaan. Oh, semoga aku terlahir kembali menjadi manusia! Semoga seorang Tathāgata, Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna muncul di dunia! Semoga aku dapat melayani Sang Bhagavā itu! Semoga Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku, dan semoga aku memahami DhammaNya!’

Para bhikkhu, Aku tidak mengulangi sesuatu yang Kudengar dari petapa atau brahmana lain, tetapi sebaliknya Aku membicarakan tentang sesuatu hal yang benar-benar Kuketahui, Kulihat, dan kupahami oleh diriKu sendiri.”

Walaupun diperingatkan oleh para utusan surgawi, orang-orang itu yang tetap lalai menderita untuk waktu yang lama, setelah mengembara di alam rendah. Tetapi orang-orang baik di sini yang, ketika diperingatkan oleh para utusan surgawi, tidak menjadi lalai sehubungan dengan Dhamma mulia; yang, setelah melihat bahaya dalam kemelekatan sebagai asal-mula kelahiran dan kematian, terbebaskan melalui ketidak-melekatan dalam padamnya kelahiran dan kematian: orang-orang berbahagia itu telah mencapai keamanan; mereka telah mencapai nibbāna dalam kehidupan ini. Setelah mengatasi segala permusuhan dan bahaya, mereka telah melampaui segala penderitaan.

Sang Buddha memiliki berbagai kesaktian buah dari kultivasi level pencapaian tertinggi dari meditasi samantha bhavana, seperti mengembara ke alam surgawi untuk mengajarkan Dhamma kepada almarhum ibu kandungnya, mata dewa untuk menyapa para raja dewa di seluruh penjuru, bahkan pernah muncul-teleportasi diri dan bertarung melawan Brahma di Alam Brahma yang mana sang Brahma memandang dirinya sebagai Tuhan) yang ternyata mampu ditaklukkan oleh Sang Buddha dan murid-murid-Nya), maupun telinga dewa untuk mendengarkan jeritan dan isak tangis para penghuni alam neraka. Hal demikian bertolak-belakang dengan agama-agama samawi dimana sang nabi hanya sekadar mendengarkan dari medium lain yang ia sebut sebagai “malaikat”—sehingga “messenger”-nya bukanlah si nabi, namun si malaikat—yang karenanya kesaksian sang nabi ialah sekadar “katanya, katanya, dan katanya”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.