(DROP DOWN MENU)

Hidup adalah Perjalanan Mendidik Diri Kita Sendiri, Mengikis Sifat dan Pola Pikir Irasional

SENI PIKIR & TULIS

Akibat Cara Berpikir yang Irasional, Kita Memandang yang Tidak Penting sebagai Penting, dan yang Berharga sebagai Tidak Berharga

Kita Tidak Terlahir dalam Kondisi Rasional, Namun Irasional

Masih jelas dalam ingatan penulis, ketika penulis masih seorang bocah kecil yang bodoh, banyak sekali barang-barang yang penulis “bocah” lekati label sebagai “barang milik aku”, lalu melekat erat terhadapnya sedemikian rupa hingga menyerupai “posesif” yang agresif sifatnya. Ketika barang “milik aku” itu rusak karena suatu hal terutama kerusakan mana diakibatkan oleh perbuatan orang lain, penulis “bocah” menjadi ngambek, marah, hingga mengamuk, seolah-olah ada anggota tubuh penulis yang telah dilukai dan disakiti. Memiliki barang, ibarat membuat diri kita menjadi ringkih dan riskan, ketika barang tersebut rusak atau dirusak oleh orang lain, kita merasa seperti ada anggota tubuh kita yang terluka sehingga kita merasakan sakit dan menderita. Orang-orang yang memiliki banyak kepemilikan tanah tersebar di berbagai kota dan daerah, ketika terdapat satu saja objek tanah miliknya diserobot oleh pihak lain, maka ia akan merasa seolah ada bagian dari tubuhnya yang telah diamputasi, dicuri darinya, dan terluka berdarah.

Semakin banyak barang yang kita sebut sebagai “milik aku”, semakin meluas dan tersebar “anggota tubuh” tambahan kita yang sewaktu-waktu dapat dirusak dan disakiti sehingga kita pun turut merasa seperti terluka karenanya. Pernah suatu ketika penulis “bocah” yang memiliki sebuah majalah anak yang sebetulnya sudah dibaca habis, begitu melekat terhadapnya, namun suatu ketika karena faktor tidak sengaja, adik dari penulis “bocah” (yang namanya juga masih balita, sehingga tidak sengaja menumpahkan air dari dalam gelas adalah hal yang lumrah dan wajar dapat dimaklumi), membuat majalah anak milik penulis “bocah” basah karena tersiram air.

Namun penulis tidak mau memakluminya, akibat melekat pada majalah tersebut, sehingga penulis “bocah” memaki, memarahi, hingga tega melakukan kekerasan fisik kepada adik penulis yang masih balita tersebut, serta menaruh dendam terhadap sang adik yang begitu lugu, polos, dan “innocent” karena tidak pada tempatnya menuntut seorang balita untuk tidak sengaja menumpahkan air dari gelas. Saking benci dan menaruh dendam kepada sang adik, penulis “bocah” meminta sang adik untuk ikut penulis ke sebuah kamar, yang mana sang adik yang menurut dan menaruh praduga baik kepada penulis selaku kakak yang amat dicintai dan dikasihi olehnya, kemudian di dalam sebuah ruangan kamar dimana kami hanya berdua, penulis “bocah” menggigit kepala sang adik hingga ia menangis. Irasional, majalah dianggap lebih penting dan lebih berharga daripada kebahagiaan, kasih sayang, dan keselamatan fisik manusia bahkan adik kandung sendiri yang mencintai kakaknya ini.

Apakah kita kira, dengan seiring berjalannya waktu dan bertambahnya umur, sifat irasional (dan kebodohan, sifat dungu, serta kekotoran batin) yang kita bawa saat kelahiran, akan terkikis dan menjadi rasional ketika kita lebih dewasa dan beranjak dewasa? Kita semua, tidak terlahir dalam kondisi putih polos murni seperti selembar kanvas, namun kita terlahir kembali akibat masih terdapatnya kekotoran batin yang menguasai diri kita. Penulis “bocah”, memiliki banyak barang-barang “milik aku” yang penulis “bocah” YAKINI dan PERCAYA bahwa barang-barang tersebut adalah berharga dan layak untuk dipegang erat, dijaga, dierami, dilekati, dan akan bersedih dan marah ketika rusak atau dirusak.

Saat beranjak sedikit lebih besar, memasuki usia Sekolah Dasar, penulis “bocah” untuk pertama kalinya mulai berubah pemikiran dan pandangan. Barang-barang “milik aku” yang semula penulis “bocah” lekati dan YAKINI sebagai harta paling berhaga, mulai tampak lebih menyerupai sampah-sampah tidak berfaedah, yang lebih cocok menempati bak sampah dan memang pada akhirnya dicampakkan ke tong sampah. Masih ingat cerita tentang majalah anak yang telah pernah dijadikan basah akibat terkena tumpahan air oleh adik balita? Telah ternyata majalah tersebut selamat meski kondisinya tidak lagi tampak baru, namun tidak pernah penulis “bocah” baca lagi isinya, dan tidak lama kemudian hanya bernasib menjadi tumpukan kertas-kertas yang diloakkan sebagai barang bekas yang tidak berharga. Namun, luka dan trauma yang dialami sang adik akibat sikap galak dan tiada welas asih maupun belas kasih penulis “bocah” sebagai kakaknya, tetap membekas.

Jebakan mental irasional serupa kembali menjangkiti penulis usia Sekolah Dasar, yang melekat pada barang-barang semacam kartu bergambar tokoh-tokoh kartun, mainan-mainan plastik, dan lain sebagainya yang mati-matian berupaya dikejar dan diperoleh untuk dikoleksi serta ditimbun bak harta paling berharga yang mana penulis usia Sekolah Dasar YAKINI dan PERCAYAI demikian. Saking YAKIN-nya, bahkan penulis saat itu pernah mencuri uang milik orangtua untuk membeli mainan yang membosankan dan tidak lama kemudian menjadi sampah.

Kini Anda paham, mengapa ada orang-orang yang secara radikal begitu YAKIN-nya bahwa menegakkan kerajaan Tuhan adalah dengan cara merampas hak hidup orang lain, bahkan rela mengorbankan hidup sendiri lewat aksi ekstremisme penuh pertumpahan darah, PERCAYA secara membuta, demi “termakan” iming-iming bidadari “montok” di surga, adalah cerminan watak “kekanakan” para manusia dewasa yang tebal sifat irasional-nya (mereka menamainya sebagai “iman yang tebal”). Ketika penulis memasuki usia remaja di Sekolah Menengah, preferensi dan selera pun turut berubah, dimana barang-barang yang dahulu saat di Sekolah Dasar dipandang dan DIYAKINI sebagai harga “milik aku” yang paling berharga, kini tampak menyerupai sampah dalam arti yang sebenarnya, dan itu pun kembali bernasib sama, dicampakkan masuk tong sampah.

Sebagaimana para remaja lainnya, penulis “remaja” mengoleksi dan menghimpun barang-barang semacam cakram berisi lagu, video game, poster-poster bergambar animasi, bahkan berburu dan mengejar-ngejar gadis yang menurut kita (saat itu) disebut sebagai “cantik”. Namun lagi-lagi, irasionalitas terus terbawa ketika kita memasuki usia sedikit lebih dewasa, tepatnya ketika kita memasuki usia pra dewasa dimana penulis menjadi seorang anak perkuliahan. Apa yang sebelumnya kita PERCAYAI dan YAKINI sebagai hal-hal ataupun barang-barang “milik aku”, termasuk “pacar cantik milik aku”, kini mulai tampak seperti onggokan sampah yang harus secepatnya dievakuasi ke tong sampah agar tidak lebih lama lagi dibiarkan “membusuk” dan memadati kamar di rumah kita. Kita tidak menyadari, sifat irasional tetap menjangkiti kita, dan terus terbawa sekalipun usia terus bertambah, hanya saja tetap tersamarkan dari pandangan mata kita sendiri akibat kegelapan batin.

Sebagai anak kuliahan, tentu kita mengoleksi banyak buku-buku yang menurut kita menarik, seperti novel, komik, film-film, alat-alat perkakas permainan dan olahraga, sepeda, dan lain sebagainya, tidak terkecuali “mainan” semacam mengejar-ngejar gadis kuliahan yang dinilai sebagai “cantik” oleh para anak-anak perkuliahan, pada saat itu, tentunya. Selepas kita diwisuda, dan mulai memasuki dunia kerja serta lebih beranjak dewasa, kita mulai mengenal dunia orang dewasa, dan mulai memiliki KEYAKINAN maupun KEPERCAYAAN baru mengenai apa itu harta paling berharga untuk kita kejar-kejar dan peroleh bagaimana pun caranya, bahkan tidak jarang “menghalalkan” segala cara—dan disaat bersamaan kita melepaskan dan menanggalkan berbagai KEYAKINAN dan KEPERCAYAAN lama kita. Kita telah berubah, tubuh berubah, pikiran berubah, preferensi dan selera juga berubah, namun tidak terhadap faktor-faktor mental laten tersamarkan semacam sifat irasional yang tetap mencengkeram erat cara berpikir kita.

Pada saat itulah, lagi-lagi kita sebagai seorang dewasa membuang semua yang dahulu kita saat masih remaja anggap dan YAKINI sebagai barang paling berharga “milik aku”, termasuk pacar sesama perkuliahan pun turut kita campakkan, karena setelah menjadi dewasa biasanya selera kita pun turut berubah. Tentu para pembaca pun sering berkata dalam hati sebagai berikut, seperti semisal menyaksikan penampilan bintang film yang satu dekade lampau menjadi idola kita yang membuat kita tergila-gila padanya sampai mengoleksi berbagai cinderamata terkait sang artis, namun saat kini tampaknya tidak lagi menjadi idola di mata kita, “Dulu sih iya, saya suka dia. Namun sekarang sudah beda, saya sudah tidak suka lagi dengan dia. Sekarang ini saya ada orang lain yang lebih saya suka, untuk saat kini.” Jangan terlampau cepat memutuskan, karena preferensi kita pasti akan berubah tidak lama kemudian, cepat atau lambat. Karenanya, KEYAKINAN dan KEPERCAYAAN seringkali bersifat delusif akibat irasionalitas.

Lantas, apa yang menjadi “mainan” baru para orang dewasa untuk mereka koleksi, raih, kejar-kejar, dan lekati sebagai barang “milik aku” yang mana mereka dan kita YAKINI serta PERCAYAI sebagai hal-hal atau barang-barang yang memang amat sangat berharga dan bernilai bagi kita sehingga kita rela memperjuangkannya dengan segala pengorbanan apapun harga yang harus kita bayarkan? Apa lagi selain uang, aset properti, saham, emas, istri baru (istri lama sudah bosan, diceraikan atau menikah dengan istri kedua), mobil, motor, perusahaan raksasa, dan segala hal materialistis lainnya. Segala yang dahulu kita punya, termasuk sifat naif, kepolosan, keluguan, hingga idealisme, kini ditanggalkan, dicampakkan, serta dibuang jauh-jauh seolah-olah sampah yang tidak berguna sama sekali.

Manusia sungguh “makhluk irasional” yang tidak pernah menyadari betapa irasional diri mereka, tidak terkecuali ketika seseorang telah memasuki usia paruh daya dan rambut mulai rontok maupun memutih. Mereka kini betul-betul MEYAKINI (delusi yang DIYAKINI), bahwa apa yang ia dan para orang dewasa kejar-kejar, dan bila perlu dengan cara sikut-menyikut, modus-modus, rampas-merampas, tipi-menipu, hingga saling makan-memakan, berupa uang, kepemilikan aset properti dan tanah, ataupun wanita, adalah harta paling berharga untuk dijadikan “milik aku”. Mereka rela banting tulang dalam arti harfiah, rela mencurahkan seluruh waktu hidup dan umurnya untuk bekerja meraih semua itu, jatuh-bangun dan pontang-panting dengan penuh emosi yang naik dan turun, dalam rangka menebus kesemua yang mereka YAKINI layak untuk dikejar, diperoleh, dan dikumpulkan untuk digenggam erat-erat hingga tutup usia.

Namun tahukah Anda, apa yang dikatakan oleh Sang Buddha? Di mata orang-orang kebanyakan, apa yang dipandang, dipercaya, dan diyakini sebagai kesenangan, merupakan dukkha di mata seorang Buddha. Di mata orang-orang kebanyakan, apa yang dipandang, dipercaya, dan diyakini sebagai berharga, merupakan kesia-siaan dan delusi di mata seorang Buddha. Sang Buddha, diberi julukan juga sebagai “yang telah sadar, bangun, dan tercerahkan”, karena telah menyadari delusi KEYAKINAN dan karenanya menanggalkan KEPERCAYAAN semu sebagaimana menjangkiti umat manusia sejak mereka lahir bahkan hingga mereka beranjak dewasa, menua, bahkan hingga diambang kematian masih juga melekati apa yang mereka YAKINI dan PERCAYAI sebagai layak untuk dilekati dan dipegang erat sebagai “milik aku”, termasuk tubuh dan pikiran kita ini sendiri.

Manusia-manusia yang masih diliputi kekotoran batin, memandang dan MEYAKINI bahwa hidup ini adalah “nikmat”, karenanya seolah-olah layak untuk dilekati dan digenggam erat. Sebaliknya, Sang Buddha memandang bahwa hidup ini adalah “dukkha”, yang bermakna tidak akan pernah terpuaskan, mengecewakan, mengandung bahaya dibalik setiap kesenangan duniawi, dan derita yang laten. Sementara kita yang masih penuh kegelapan batin memandang dan MEYAKINI bahwa apa yang menjadi selera kita saat kini adalah sudah pamuncaknya, tidak lagi akan lagi pernah berubah. Sang Buddha menyatakan sebaliknya, tiada yang kekal, semua selalu berubah, dan tiada yang pasti selain ketidak-pastian itu sendiri, “anicca”. Orang-orang yang diliputi kebodohan batin memandang dan MEYAKINI bahwa ada yang namanya “aku” maupun “milik aku”, sementara itu Sang Buddha menemukan bahwa tiada entitas yang dapat disebut sebagai “aku” maupun “milik aku” untuk dapat dipegang erat, “anatta”, sebagai penjelasan mengapa kita bisa memiliki kecenderungan dan kesenangan untuk menyakiti diri kita sendiri disamping menyakiti makhluk hidup lainnya.

Kita kita mulai paham dan sedikit-banyaknya mulai memahami, mengapa Pangeran Siddharta Gotama memilih untuk melepas tahkta, singgasana, harta, rumah, istri dan anak, maupun kekuasaan, hingga gelimang emas, kesemua itu ditanggalkan, membebaskan diri untuk meraih sesuatu yang lebih berharga, yakni jalan menuju “terputusnya belenggu rantai karma”, sebelum kemudian membawa permata yang ditemukan oleh Sang Buddha dan memperkenalkan / menawarkan permata bernama Dhamma tersebut kepada ayah, istri, dan anak dari Pangeran Siddhatta Gotama maupun para umat perumah tangga lainnya.

Mungkin pada saat kita dan mereka telah meninggal dunia, barulah kita menyadari, bahwa apa yang dahulu saat masih hidup di dunia manusia sebagai orang dewasa kita BERASUMSI dan MEYAKINI dengan PENUH KEPERCAYAAN bahwa harta dan kepemilikan seperti istri, anak, kendaraan bermotor, uang di tabungan, aset properti, saham, perusahaan, kekuasaan, hak paten, pengikut, ketenaran, semua itu tidak terbawa saat ajal menjelang. Harta, yang menikmati ialah orang lain yang menjadi anak dan cucu, dimana yang kerap terjadi ialah “kutukan harta warisan” dimana para ahli waris meski sesama saudara kandung saling terpecah bahkan saling berperang akibat memperebutkan harta, satu sama lainnya.

Anak-anak, lebih sibuk dengan pekerjaan, istri dan anak-anaknya serta membangun keluarganya sendiri, tidak bisa kita bawa serta saat kita meninggal dunia. Begitupula kita istri yang kita cintai, semakin kita melekat pada perasaan cinta kepada pasangan hidup Anda, semakin kita merasa kehilangan dan tidak rela meninggalkannya. Barulah saat kita meninggal dunia, sesaat setelah hembusan nafas terakhir, kita baru mulai bersedia untuk membuka mata dan bersikap jujur untuk menyadari serta mengakui, bahwa kesemua itu sama sekali tidak penting, tidak berharga, dan tidak layak untuk dilekati, dan bukanlah itu tujuan ataupun misi hidup kita.

Satu buah kehidupan di alam manusia, hanyalah sebuah “persinggahan” sementara dalam siklus roda samsara yang tidak kunjung usai dan tidak jelas pangkal mula maupun ujung akhirnya. Kita semua, tanpa terkecuali, telah pernah terlahir sebagai seorang hartawan, sebagai seorang miskin-melarat, sebagai pemimpin, sebagai rakyat jelata, sebagai rupawan, sebagai buruk rupa, sebagai penguasa, sebagai hamba, sebagai tokoh termasyur, sebagai pemeran figuran, sebagai pemenang, sebagai yang tersisihkan, dan akan terus mengulangi siklus naik dan turun bagaikan roda yang terus berputar akibat bahan bakar Karma sebagai “sebab” yang memicu terciptanya “akibat”—dimana kita masih memiliki banyak timbunan tabungan maupun hutang dalam “gudang Karma”, yang terus terakumulasi dari berbagai kelahiran kembali yang tidak lagi terhitung jumlahnya, dimana Sang Buddha membabarkan bahwa jumlah tulang-belulang kita dari kehidupan sebelumnya ketika ditimbun menjadi satu adalah tetap lebih banyak daripada gunung tertinggi serta akumulasi air mata yang telah pernah kita teteskan jauh lebih banyak daripada jumlah air di seluruh samudera yang dijadikan satu.

Kehidupan dan roda samsara, merupakan serangkaian episode yang tidak berkesudahan, yang ditutup dengan keterangan di layar “to be continue...”, serangkaian “never ending stories” yang menjemukan penuh repetisi tanpa makna. Karena itulah, ketika kita mampu melihat bahaya dibalik siklus tumimbal lahir, betapa penuh ketidakpuasan, kekecewaan, dukkha senantiasa membayangi, kita menjadi jera dan jemu akan siklus tumimbal lahir. Hanyalah modal berupa benih Karma Baik dan “parami” yang layak untuk dipupuk dan dikumpulkan, agar kita memiliki modal berupa “jalan bebas hambatan” untuk berjuang memutus belenggu rantai Karma (break the chain / shackle of karmic law).

Anda mungkin BERASUMSI, BERKEYAKINAN, dan PERCAYA bahwa kelahiran dan kelahiran kembali merupakan berharga dan layak untuk dilekati sebagai “diri aku”, “kehidupan aku”, “kelahiran aku”, namun di mata seseorang yang telah mencapai paling tidak tataran kesucian Sotapanna, Sakadagami, Anagami, dan Arahant, kesemua itu serta pernak-pernik kehidupan dibaliknya sama sekali tidak berharga, tidak layak untuk dilekati, tidak layak untuk disebut sebagai “milik aku”, “diri aku”, “kehidupan aku”, maupun “kelahiran aku”. Kita tahu bahwa kelahiran seorang anak sama artinya menunggu penyakit, usia tua, dan kematian cepat atau lambat akan dialami oleh sang anak, namun dengan bodohnya kita justru merasa bergembira dan berbahagia mendapati kelahiran seorang anak alih-alih bersedih mendapati vonis nasib sang anak, maupun anak-anak lainnya, tidak terkecuali nasib diri kita sendiri.

Mereka, para manusia yang masih terbelenggu pandangan keliru akibat kekotoran batin yang menutupi pandangan mata, berdelusi bahwa terlahir dan terlahir kembali merupakan anugerah, kenikmatan, berkah, dan segala delusi “harapan semu” lainnya. Kecuali mereka yang menjadikan kelahiran kembalinya sebagai seorang manusia, sebagai kesempatan berharga untuk berjuang “memutus belenggu rantai Karma”, bertekad sebagai kelahirannya yang terakhir, agar tidak lagi terjebak dalam lingkaran samsara, yang paling berharga dan layak untuk diperjuangkan dengan berkorban dengan melepas segala keduniawian jika perlu.

Derajat yang lebih akut dari sekadar irasional, ialah “maniak”, dimana sifat melekatnya demikian posesif serta tidak logis juga tidak masuk akal sehat, namun “akal sakit milik orang sakit”. Ketika seseorang bocah Sekolah Dasar masih juga melekat pada benda-benda “milik aku” semasa ia balita maupun yang ia kumpulkan semasa usia Taman Kanak-Kanak, maka itulah gejala “maniak”. Ketika seorang remaja masih juga melekat pada benda-benda “milik aku” yang dikumpulkan olehnya semasa ia Sekolah Dasar, maka itulah yang disebut sebagai seorang “maniak”. Ketika seseorang berkuliah namun masih juga melekat pada benda-benda “milik aku” yang dikumpulkan olehnya semasa ia remaja, maka itulah yang disebut sebagai seorang “maniak”.

Ketika seorang dewasa masih juga melekat pada benda-benda “milik aku” yang dikumpulkan olehnya semasa ia berkuliah, maka itulah yang disebut sebagai seorang “maniak”. Ketika seorang telah lanjut usia namun masih juga melekat pada benda-benda “milik aku” yang dikumpulkan olehnya semasa ia masih muda, maka itulah yang disebut sebagai seorang “maniak”. Ketika seorang telah meninggal dunia, menjadi almarhum, namun masih juga melekat pada benda-benda “milik aku” yang dikumpulkan olehnya semasa ia masih hidup, ataupun melekat terhadap istri dan anak, maka itulah yang disebut sebagai seorang “maniak” serta “hantu penasaran”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.