Apakah EQ Identik dengan Banyak Teman?

SENI PIKIR & TULIS

EQ, Kecerdasan Emosional (Emotional Quotient), Bermakna Kemampuan Berempati

EQ Tidak Ada Hubungan dengan Kecerdasan Bersosialisasi maupun Kecerdasan Berpolitik dan Beroganisasi

Apakah EQ artinya ialah “banyak teman”? Itulah pertanyaan klasik sekaligus simbolik yang mewakili fenomena kerapnya stigma secara keliru dialamatkan kepada sebagian diantara masyarakat kita yang tergolong sebagai kalangan atau kaum “introvert”, yang memang dasariahnya ialah mengarahkan energi mental secara sentripetal, bertolak-belakang dengan golongan kaum ekstrovert yang mengarahkan energi mental mereka secara sentrifugal, yakni kepada dunia di luar diri mereka.

Terjadilah, kelirumologi yang “mewabah” di tengah masyarakat kita, dimana seseorang disebut sebagai “normal” bilamana memiliki tabiat layaknya seorang ekstrovert (yang bila perlu se-“norak” mungkin agar dianggap “gaul” dan dinilai pandai bersosialisasi)—semata karena mayoritas penduduk kita ialah kaum ekstrovert, dimana introvert tergolong lebih langka dan menjadi minoritas di republik ini (tidak heran orang-orang jenius cukup langka di Indonesia)—dan seketika itu pula menghakimi kalangan introvert lewat stigmatisasi maupun labelisasi sebagai pribadi atau individu yang “tidak normal”. Sekalipun, secara teori psikologi perilaku, kecenderungan menjadi seorang ekstrovert ataupun introvert bukanlah sebentuk anomali terlebih aib ataupun suatu “cacat”, yang masih pula harus menanggung beban moril kerapnya dilecehkan sebagai “orang aneh”, asosial, dan diskedit lain sebagainya.

Satu-satunya definisi EQ (Emotional Quotient) yang lolos “uji moril” dan dapat dipertanggung-jawabkan secara akuntabel dan transparan, ialah : kemampuan untuk berempati dan tidak meremehkan terlebih menyepelekan faktor batin, pikiran, serta perasaan tidak terkecuali aspirasi dan kehendak orang lain tidak terkecuali kepentingan aspirasi dirinya sendiri. Karena itulah, tidak dapat dibenarkan ketika apa yang disebut dengan “EQ” kemudian dicampur-aduk dengan “kecerdasan bersosialisasi” maupun “kecerdasan berpolitik” dan “kecerdasan beroganisasi”—keduanya adalah hal yang saling berdiri sendiri dan terpisahkan.

Dalam kesempatan berharga ini, penulis akan menguraikan perbedaan prinsipil yang tidak memungkinkan praktik percampuran paradigma antara “EQ” dan “kecerdasan bersosialisasi / berpolitik / berorganisasi” lewat contoh-contoh sederhana yang mana dapat kita alami atau amati secara dekat di keseharian (proximity). Kita mulai dari “Kecerdasan Berpolitik” yang kerap disandingkan dan disamakan dengan “EQ”. Sebagaimana kita ketahui lewat pemberitaan, dimana seorang pejabat negara yang bahkan juga merangkap sebagai pemimpin partial politik, tertangkap tangan melakukan korupsi. Sang koruptor yang menjabat pula sebagai pejabat negara, memiliki relasi, rekan, teman, jaringan, kenalan, simpatisan, pendukung, pengikut, anak-buah, namun telah ternyata meng-korupsi uang rakyat, yang sama artinya merampok nasi dari piring rakyat jelata yang lebih miskin daripada dirinya—alias tidak memiliki empati ataupun simpatik kepada jutaan rakyatnya yang lebih miskin daripada dirinya, namun masih juga merampas hak-hak orang yang lebih miskin daripada sang pejabat.

Lalu perihal fenomena “banyak teman” (namun belum tentu memiliki banyak “sahabat sejati”), yang selama ini digadang-gadang sebagai “Kecerdasan Emosional”, telah ternyata tidak menjamin hubungan sosial tersebut dibangun atas dasar empati dan simpati satu sama lain diantara mereka. Contoh yang paling mewakili, ialah pengalaman penulis puluhan tahun lampau ketika masih sebagai seorang siswa pada salah satu Sekolah Menengah di Jakarta. Penulis yang merupakan seorang pribadi yang tergolong “intovert murni tulen”, jelas tidak memiliki modal perihal “kecerdasan bersosialisasi” ataupun “berpolitik”, pada saat itu maupun hingga saat kini.

Namun, ketika salah seorang teman sekelas penulis mengalami kecelakaan fatal yang tidak sepele saat bermain sepak bola dengan teman-temannya di lapangan sepak bola di samping gedung sekolah, kecelakaan mana mengakibatkan tulang lengan tangannya bergeser dari posisi semula, telah ternyata teman-temannya memilih untuk kembali sibuk dan asyik sendiri dengan melanjutkan permainan sepak bola mereka (yang disebut terakhir ini barulah remeh dan sepele). Alhasil, hanya penulis seorang diri yang menemani dan mendampingi teman yang mengalami kecelakaan tersebut ke klinik sekolah, sekalipun demikian banyak teman-temannya yang bermain di lapangan sepak bola dan mengetahui ataupun menyaksikan sendiri kecelakaan yang dialami salah seorang teman sekolahnya saat bermain bersama-sama di lapangan. Itukah, yang Anda sebut sebagai “kecerdasan emosional”? Faktanya, tidak ada relevan antara “kecerdasan bersosialisasi” dan “kecerdasan emosional”.

Banyak penipu, dengan modus-modus manipulasi (manipulasi merupakan rumusan perpaduan antara pencurian dan penipuan), selalu memakai modus dengan pola klasik berikut, yakni berpura-pura baik, berpura-pura perduli, berpura-pura penuh perhatian, berpura-pura ramah, lengkap dengan segala “mulut manis”, embel-embel, iming-iming, janji-janji, dengan tujuan untuk membuat calon korban lengah, memberi kepercayaan, membuka diri dan menaruh “defence mechanism” dirinya, disamping menjadi lebih dekat serta percaya, lantas sepakat atau memberikan sesuatu sebagaimana keinginan sang pelaku modus penipuan. Lantas, apakah semua penipu dan manipulator ulung tersebut, yang berhasil menipu dan memanipulasi korban-korbannya, layak disebut sebagai memiliki “kecerdasan emosional”? Itu namanya “licik”, bukan “cerdas”. Orang “cerdas” adalah orang yang “kreatif”, dimana orang kreatif tidak pernah membutuhkan cara-cara curang untuk hidup dan melangsungkan kehidupan.

Contoh kejadian berikut, mencerminkan pula dangkalnya EQ seorang pelaku usaha kuliner bakmie yang berdampak pada minim atau sepinya pelanggan, dimana sang pelaku usaha tidak pernah mencuci tangan sekalipun keadaan lokal dan global sedang dilanda wabah virus menular yang dapat juga menular lewat makanan, mengelap tangan ke celana sekalipun sehabis bermain handphone (handphone merupakan benda yang sering dipegang namun disaat bersamaan juga paling penuh oleh bakteri kuman serta virus disamping gagang toilet), memegang mie dan bahan masakan, hingga memegang kemasan, dimana kesemuanya terjadi secara tidak higienis—sekalipun prinsip paling penting dari bisnis kuliner ialah higienis—mengakibatkan tidak ada lagi konsumen yang berani kembali berkunjung untuk membeli.

Dapat para pembaca bayangkan, bahan bakmie yang dijualnya untuk seporsi hanya seukuran sekepal tangan anak balita, dimana bahan tambahannya berupa sayur bagian bonggolnya, dengan harga yang tidak tergolong murah, siapa yang berminat untuk kembali membeli? Sang pelaku usaha kuliner itu sendiri pun, bila mendapati dirinya menjadi konsumen rumah makan dengan kelakuan serupa, bukankah dapat dipastikan tidak akan menaruh minat untuk kembali membeli? Ia bersikap seolah-olah konsumennya adalah “buta”, dan objek untuk dibodohi.

Sang pelaku usaha kuliner pada contoh kasus di atas, tidak menghargai kesehatan pembelinya. Pernah juga terjadi, pada Bank BCA kantor cabang Bojong Indah, Cengkareng, Jakarta Barat, per tanggal 30 Desember 2021, sekalipun kondisi sedang wabah Corona Viruse Disease 2019 (COVID-19) sedang merebak, disamping kondisi dalam ruangan kantor bank tersebut yang pada tengah siang hari itu padat oleh pengunjung, disamping tertutup sama sekali tanpa ventilasi, ber-AC, pihak “customer service” Bank BCA tersebut saat memproses permohonan ganti kartu ATM magnenik menjadi kartu ATM Chip, justru meminta (mewajibkan) penulis untuk melepas masker untuk difoto dengan alasan sebagai data bagi sistem mereka.

Sekalipun pada saat itu, penulis membawa dokumen lengkap mulai dari Kartu Tanda Penduduk, kartu ATM magnetik lama, buku tabungan, serta mampu memasukkan PIN kartu ATM, sehingga tidaklah ada urgensi untuk meminta (mewajibkan) penulis selaku nasabah untuk melepas masker, mengingat wajah dan semua dokumentasi perihal identitas penulis telah ada di sistem milik Bank BCA selaku nasabah lama. Jika memang Bank BCA hendak memaksakan menerapkan prosedur demikian bagi setiap nasabahnya, maka mengapa tidak setidaknya mitigasi resiko dengan membuat ventilasi yang cukup untuk keluar dan masuknya udara dari dan ke dalam ruangan agar terjadi sirkulasi yang dapat menekan potensi resiko penularan “mikro droplet” dan “bioaerosol-airborne” yang dapat beterbangan melayang-layang dan bertahan lama di ruangan tertutup sehingga potensi resiko tertularnya jauh lebih tinggi berkali-kali lipat.

Telah ternyata, Bank BCA tidak menghargai kesehatan maupun keselamatan nasabahnya. Dari tampak lahiriah, para petugas dan pegawai Bank BCA tampak ramah dan bersahabat penuh pengertian kepada pengunjung dan nasabah. Namun, sejatinya demi alasan dokumentasi di sistem yang dapat dilakukan saat wabah berakhir disamping penulis merupakan nasabah lama yang telah pernah didokumentasi foto wajah maupun identitas diri, mereka meremehkan serta menyepelekan kesehatan dan keselamatan nasabahnya, dimana menjadi besar kemungkinan nasabah tertular virus penyebab pandemik, lalu menulari anggota keluarga nasabah setibanya kembali pulang ke rumah.

Jika “the worst case scenario” tersebut benar-benar sampai terjadi, maka apa yang menjadi tanggung jawab Bank BCA yang telah ternyata sangat tidak arif serta tidak bijaksana menerapkan prosedur secara “membuta” yang tidak bijaksana? Konsumen memiliki kekuatan untuk melakukan pembalasan serta “punishment”, dimana kini penulis bertekad untuk tidak lagi menabung ataupun memakai jasa-jasa Bank BCA. Saatnya konsumen berdaya menghadapi arogansi dan tekanan raksasa sebesar dan seangkuh Bank BCA yang diluar tampak bersahabat dengan senyum dan kehangatannya namun telah ternyata tidak menghargai keselamatan nasabah lamanya sendiri.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.