Agamais namun Suka Main Kekerasan Fisik dalam Menyelesaikan Setiap Masalah

Budaya Kekerasan Fisik dalam Menyelesaikan Setiap Masalah, merupakan Cerminan Mentalitas “Premanis”, alih-alih “Tuhanis” maupun “Humanis”

Jangan Bersikap seolah-olah Tidak Ada Cara yang Lebih Kreatif dalam Menyelesaikan setiap Masalah selain “Main Kekerasan Fisik”

Question: Mengapa juga ya, orang Indonesia identik dengan masyarakat yang “agamais”, dimana Indonesia tidak pernah kekurangan orang-orang yang “agamais” dalam artian mengaku ber-Tuhan serta rajin beribadah bahkan juga menjadi pemuka agama, namun wajah bangsa kita dikeseharian kerap kali menampilkan corak “suka main kekerasan fisik” juga tidak takut berbuat dosa seperti merugikan, melukai, ataupun menyakiti individu lainnya? “Agamais” maka semestinya “humanis”, mengapa ini justru budayanya mirip seperti “hewanis”?

Brief Answer: Karena memang seperti itulah, masyarakat kita di Indonesia kerap dibiasakan dan terbiasa, dimana keyakinan keagamaan yang mereka peluk dan imani penuh kampanye “pertumpahan darah” disamping promosi “penghapusan dosa”—sekalipun kita tahu, bahwa hanya seorang pendosa (kriminil alias penjahat), yang butuh penghapusan dosa. Singkat kata, dalam pandangan iman mereka, menjadi orang baik-baik artinya MERUGI, rugi karena tidak turut menikmati iming-iming janji surgawi bernama penghapusan dosa (abolition of sins) sebagaimana para pendosa lainnya berbondong-bondong serta berlomba-lomba mereproduksi dosa-dosa yang sudah menggunung.

Alhasil, mentalitas seorang penjahat dibentuk serta dilestarikan menjelma budaya bangsa kita itu sendiri, ibadah rutin dan kejahatan pun disaat bersamaan menjadi menu keseharian secara seiring-sejalan. Mereka percaya adanya alam neraka, namun disaat bersamaan mereka merasa memiliki asuransi serta tiket masuk surga lewat memakan dan termakan iming-iming ideologi korup “too good to be true” bagi kalangan penjahat pendosa penuh dosa, bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.

Keyakinan mengenai alam neraka dan keyakinan adanya ideologi korup semacam penghapusan dosa, sejatinya merupakan dua postulat yang saling menegasikan, sehingga menyerupai “pendosa hendak berceramah perihal hidup yang baik, suci, dan mulia”—hal demikian ibarat orang buta hendak menuntut orang-orang buta lainnya, yang ada ialah kesesatan serta penyesatan yang menyesatkan.

PEMBAHASAN:

Kita tentu tahu atau pernah mendengar kisah Sang Buddha dalam menaklukkan Angulimala, si pembunuh berdarah dingin yang mengoleksi seribu jari manusia, akan tetapi bukan dengan cara pertumpahan darah, namun atau melainkan dengan cara memberi inspirasi serta pencerahan sehingga yang bersangkutan menjadi tercerahkan dan terselamatkan—itulah yang tepatnya disebut sebagai “misi misionaris”. Sebaliknya, membunuhi orang-orang yang dinilai sebagai “sampah masyarakat”, sama artinya memakai jalan instan yang jauh dari semangat dan jiwa “misi misionaris”.

“Misi misionaris” ibarat memoles permata yang semula kotor penuh kerak, agar menjadi cerah bebas dari segala kotoran yang selama ini menyelubunginya sehingga tampak seperti batu kali yang kotor dan tidak berharga, namun permata di dalamnya tetaplah berharga dan dapat dibuat menjadi penuh kemilau. Kontras dengan itu, adalah bukan sifat sejatinya Tuhan membunuhi manusia ciptaannya sendiri lengkap dengan segala sifat buruk sang manusia yang diciptakan (juga bukan salah bunda mengandung), sebagaimana ternyata dalam:

Partial Translation of Sunan Abu-Dawud, Book 33: Prescribed Punishments (Kitab Al-Hudud) Book 33, Number 4396:

Narrated Jabir ibn Abdullah:

A thief was brought to the Prophet (peace_be_upon_him). He said: Kill him. The people said: He has committed theft, Apostle of Allah! Then he said: Cut off his hand. So his (right) hand was cut off. He was brought a second time and he said: Kill him. The people said: He has committed theft, Apostle of Allah! Then he said: Cut off his foot.

So his (left) foot was cut off.

He was brought a third time and he said: Kill him.

The people said: He has committed theft, Apostle of Allah!

So he said: Cut off his hand. (So his (left) hand was cut off.)

He was brought a fourth time and he said: Kill him.

The people said: He has committed theft, Apostle of Allah!

So he said: Cut off his foot. So his (right) foot was cut off.

He was brought a fifth time and he said: Kill him.

So we took him away and killed him. We then dragged him and cast him into a well and threw stones over him.

~0~

Narrated Jabir ibn Abdullah: A thief was brought to the Prophet Muhammed (saw). He said: Kill him. The people said: He has committed theft, Messenger of Allah! Then he said: Cut off his hand. So his (right) hand was cut off.

He was brought a second time and he said: Kill him. The people said: He has committed theft, Messenger of Allah! Then he said: Cut off his foot. So his (left) foot was cut off.

He was brought a third time and he said: Kill him. The people said: He has committed theft, Messenger of Allah! So he said: Cut off his hand. (So his (left) hand was cut off.)

He was brought a fourth time and he said: Kill him. The people said: He has committed theft, Messenger of Allah! So he said: Cut off his foot. So his (right) foot was cut off.

He was brought a fifth time and he said: Kill him. So we took him away and killed him. We then dragged him and cast him into a well and threw stones over him. (Abu Dawud: Book 38, Number 4396)

Other sources:

Sunan Abu Dawud, 4410.

Sunan Abu Dawud, Vol. 5, Book of Prescribed Punishments (Kitab Al-Hudud), Hadith 4396.

Sunan Abu Dawud, Book of Prescribed Punishments (Kitab Al-Hudud), Hadith 4396

Pernahkah Anda sadari, para “pendosa penjilat penuh dosa” yang notabene selama ini menjadi umat pemeluk agama “hukum potong tangan bagi pencuri” demikian, sejatinya tidak berbeda dari kalangan pencuri yang mereka kutuk serta tuntut diberi hukuman “potong tangan” bagi pencuri maupun “rajam sampai mati” bagi yang berbuat zina, sebagaimana terlihat jelas kemunafikan ala kaum hipokrit berikut di bawah ini yang semestinya tidak boleh diberlakukan “standar ganda”:

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina?‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

“Kabar gembira” bagi pendosa, selalu merupakan atau menjadi “kabar buruk” bagi kalangan korban dari para pendosa tersebut, seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap pendosa alih-alih bersikap adil selayaknya hakim manusia yang berlaku dan memutus secara adil di persidangan manusia pada berbagai gedung pengadilan yang memvonis penjara para pelaku pencurian dalam rangka melindungi serta menegakkan keadilan bagi para korban dari para pendosa (kriminil) tersebut. Bagaimana mungkin, para pendosa demikian mengklaim dirinya sebagai umat dari “Agama SUCI”? “Kitab SUCI” tidak mempromosikan kejahatan ataupun perbuatan-perbuatan kotor yang dapat dicela oleh para bijaksanawan, itu adalah “Kitab DOSA” dari “Agama DOSA”.

Namun mengapa pula mereka para “agamais” yang berdelusi bahwa agama yang mereka peluk serta yakini sebagai agama yang paling superior, justru bersikap sebaliknya : kompromistik terhadap dosa dan maksiat, akan tetapi disaat bersamaan demikian intoleran terhadap kemajemukan dan pluralitas? Kaum mereka selama ini berkoar-koar perihal Uighur, Rohingya, dan sebagainya, namun sejatinya mereka “berstandar ganda” dengan menutup mata dari praktik intoleransi yang vulgar serta ekstrem diberlakukan di negara “miniatur agama mereka” di Timur Tengah yang menutup rapat-rapat kebebasan beragama bagi penduduknya sendiri maupun bagi pendatang asing.

Lihatlah para pengungsi dari konflik berkepanjangan kutukan “sesama saudara seagama saling bunuh” di Timur Tengah, justru mengungsi ke negara-negara yang notabene “NON” yang selama ini mereka “kafir-kafirkan” alih-alih mengungsi ke negara seagama dengan agama para pengungsi tersebut. Etnik Rohingya bahkan tidak mau mengungsi ke Indonesia, dan menyebut Indonesia sebagai negara miskin sebelum kemudian membuat kenonaran seperti kasus di Aceh, mereka hanya mau mengungsi ke Australia dan Amerika Serikat. Tanya mengapa?

Bahkan, para “pendosa penjilat penuh dosa” yang “agamais” tersebut lebih buruk dan lebih tercela daripada sekadar sebagai seorang kriminil sekelas pencuri ataupun penzina, tampak secara eksplisit dalam: [bila ajaran atau dogma berikut ini disebut sebagai “cinta damai”, maka yang disebut “cinta pertumpahan darah” akan menjadi seperti apakah? Tuhan yang telah menciptakan sang manusia lengkap dengan sikap pembangkannya ataupun watak “kafir”-nya. Bagaimana mungkin, manusia lainnya yang menghakimi sesama “manusia ciptaan Tuhan”?]

Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]

Ketika korbannya melakukan perlawanan dalam rangka “bela diri”, para “haus darah” ini kemudian mengklaim telah “dizolimi”—alias menzolimi teriak dizolimi, zolim teriak zolim—sebelum kemudian menurunkan perintah-perintah “haus darah” berikut tanpa tedeng aling-aling, yang mana jua mereka klaim sebagai ajaran “cinta damai” (lantas, sekali lagi, yang “cinta pertumpahan darah” seperti apakah?):

- QS 9:14. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman,

- QS 66:9. Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.

- QS 2:191. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. [NOTE : Balas dizolimi dengan pembunuhan, kapan konflik akan berakhir dan apakah proporsional? Apakah itu bukan merupakan “alasan pembenar” alias alibi atau justifikasi diri seolah berhak untuk merampas hidup orang lain?]

- QS 5:33. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. [NOTE : Maha Pengasih juga Maha Pengampun. Yang “Maha Pemurka” akan seperti apa perintahnya?]

- QS 8:12. Ingatlah, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman”. Kelak aku akan jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka PENGGALLAH KEPALA MEREKA dan PANCUNGLAH TIAP-TIAP UJUNG JARI MEREKA.

- QS 9:5. Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. [NOTE: sekaligus sebagai bukti, selama ini siapa yang menyerang dan siapa yang terlebih dahulu diserang. Mengaku “dizolimi”, namun mengapa justru mengintai dan mengepung? Bagaimana mungkin, mengaku diserang, namun yang diserang yang justru mengintai dan mengepung yang menyerang?]

Kini menjadi jelas dan terang-benderang, alam neraka merupakan MONUMEN KEGAGALAN Tuhan, Tuhan mana tidak benar-benar berkuasa atas manusia, bahkan terkesan frustasi atas ciptaannya sendiri seolah-olah tidak “Maha Kuasa”. Karena itulah, Tuhan hendak “cuci tangan” dengan mencampakkan kegagalan proses penciptaannya (para kelinci percobaan Tuhan) ke dalam tong sampah raksasa bernama “neraka”, yang tampaknya sejak awal memang sengaja diciptakan Tuhan untuk mencuci semua rekam jejak kegagalan eksperimental Tuhan yang tidak benar-benar “Maha Tahu”. Sekalipun, iklan pariwara obat cacing beberapa dekade lampau telah pernah berpesan, “Untuk anak sendiri kok, dicoba-coba?!

Ketika seseorang dianiaya semata karena perbedaan warna kulit, etnik, maupun agama (SARA), inilah yang dikatakan oleh pelakunya yang telah dibiasakan serta terbiasa “haus darah” berkat tontongan “pertumpahan darah” serta kultur “selesaikan setiap masalah dengan cara-cara kekerasan fisik” : “Masih untung kamu hanya sekadar kami aniaya hingga babak-belur, tidak sampai kami BUNUH dan SEMBELIH!” Mantan Kepala Badan Penanggulanan Terorisme, Arsyad Mbai, pernah menyebutkan bahwa ciri-ciri warga yang terjangkit mentalitas teror!sme ialah, gemar “mengkafir-kafirkan”.

Misi misionaris agama yang otentik, yakni meluhurkan dan memanusiakan manusia (agar humanis), alih-alih “menghewankan” (hewanis, predatoris, premanis, aroganis, barbariknis), dicirikan oleh ajaran yang bersifat pendekatan edukatif alih-alih kekerasan fisik—“ahimsa”, alias tanpa kekerasan—sebagaimana dapat kita rujuk langsung khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikut:

Kesi si pelatih kuda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Kesi, engkau adalah seorang pelatih kuda yang memiliki reputasi baik. Bagaimanakah engkau mendisiplinkan seekor kuda yang harus dijinakkan?”

“Bhante, aku mendisiplinkan sejenis kuda dengan cara lembut, jenis lainnya dengan cara keras, dan jenis lainnya lagi dengan cara lembut dan keras.”

“Tetapi, Kesi, jika seekor kuda yang harus dijinakkan olehmu tidak mau menurut pada pendisiplinan melalui salah satu metode ini, apakah yang engkau lakukan terhadapnya?”

“Bhante, jika seekor kuda yang harus dijinakkan olehku tidak mau menurut pada pendisiplinan melalui salah satu metode ini, maka aku membunuhnya. Karena alasan apakah? Agar tidak mempermalukan perkumpulan guruku. Tetapi, Bhante, Sang Bhagavā adalah pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan. Bagaimanakah Sang Bhagavā mendisiplinkan seorang yang harus dijinakkan?

Aku mendisiplinkan sejenis orang dengan cara lembut, jenis lainnya dengan cara keras, dan jenis lainnya lagi dengan cara lembut dan keras.

(1) Ini, Kesi, adalah metode lembut: ‘Demikianlah perbuatan baik melalui jasmani, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui jasmani; demikianlah perbuatan baik melalui ucapan, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui ucapan; demikianlah perbuatan baik melalui pikiran, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui pikiran; demikianlah para deva, demikianlah umat manusia.’

(2) Ini adalah metode keras: ‘Demikianlah perbuatan buruk melalui jasmani, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui jasmani; demikianlah perbuatan buruk melalui ucapan, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui ucapan; demikianlah perbuatan buruk melalui pikiran, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui pikiran; demikianlah neraka, demikianlah alam binatang, demikianlah alam hantu menderita.’

(3) Ini adalah metode lembut dan keras: ‘Demikianlah perbuatan baik melalui jasmani, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui jasmani; demikianlah perbuatan buruk melalui jasmani, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui jasmani; demikianlah perbuatan baik melalui ucapan, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui ucapan; demikianlah perbuatan buruk melalui ucapan, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui ucapan; demikianlah perbuatan baik melalui pikiran, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui pikiran; demikianlah perbuatan buruk melalui pikiran, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui pikiran; demikianlah para deva, demikianlah umat manusia; demikianlah neraka, demikianlah alam binatang, demikianlah alam hantu menderita.’”

“Tetapi, Bhante, jika orang yang harus dijinakkan olehMu tidak mau menurut pada pendisiplinan melalui salah satu metode ini, apakah yang Engkau lakukan terhadapnya?”

(4) “Jika orang yang harus dijinakkan olehKu tidak mau menurut pada pendisiplinan melalui salah satu metode ini, maka Aku membunuhnya.”

“Tetapi, Bhante, adalah tidak diperbolehkan bagi Sang Bhagavā untuk membunuh. Namun Beliau mengatakan, ‘Maka Aku membunuhnya.’”

“Benar, Kesi, adalah tidak diperbolehkan bagi Sang Bhagavā untuk membunuh. Akan tetapi, jika orang yang harus dijinakkan olehKu tidak mau menurut pada pendisiplinan melalui metode lembut, metode keras, atau metode lembut dan keras, maka Sang Tathāgata berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan tidak diajari, dan teman-temannya para bhikkhu, juga berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan tidak diajari. Karena ini, Kesi, adalah ‘pembunuhan’ dalam disiplin Yang Mulia: Sang Tathāgata berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan tidak diajari, dan teman-temannya para bhikkhu, juga berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan tidak diajari.”

“Ia memang telah dibunuh dengan benar, Bhante, ketika Sang Tathāgata berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan tidak diajari, dan teman-temannya para bhikkhu, juga berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan tidak diajari.

“Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Sagha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”