Mengapa Orang Baik dan Jujur, Tidak Disukai dan Dibenci? Ini Alasannya

SENI PIKIR & TULIS

Karena Ada Perbedaan, maka Ada Perbandingan. Karena Ada Perbandingan, maka Ada Kontras

Ketika suatu komunitas yang berisi orang-orang baik dan jujur, maka adanya satu orang yang tidak baik ataupun yang tidak jujur, dipandang sebagai sebuah ancaman dan “penyakit” oleh warga komunitas tersebut. Sebaliknya berlaku prinsip serupa, dalam suatu masyarakat yang mayoritasnya berisi penduduk yang kurang baik dan tidak jujur, maka adanya satu orang yang baik dan jujur, akan dinilai secara sentimentil seolah eksistensinya membawa suatu ancaman setidaknya sebuah “tamparan” bagi wajah-wajah yang selama ini bermukim serta menghuni komunitas bersangkutan—mereka menyebutnya sebagai “pembawa aib”. Mengapa hal tersebut dapat terjadi?

Berdasarkan konsep psikologi perilaku dan sosial, disamping pengamatan pribadi penulis selama puluhan tahun hidup dan tumbuh besar di Indonesia, fenomena sosial-kemasyarakatan demikian terjadi akibat terbentuknya suatu “kontras” akibat perbedaan dan perbandingan. Sebagai contoh, bila dalam suatu “sarang penyamun” yang berisi para manusia predator yang “karnivora”, atau dihuni sesama serigala, mereka akan tampak saling rukun dan akur saja. Ketika suatu manusia “herbivora” bak seekor kelinci mencoba untuk turut menghuni “sarang penyamun” tersebut, konflik pun tidak akan terhindarkan, akibat adanya kontras yang bersenjang antara sifat baik sang kelinci dan sifat beringas yang haus darah dari para serigala tersebut.

Dalam sebuah organisasi yang berisi orang-orang yang korup dan tidak jujur, para penghuni dan penggiat dalam organisasi tersebut akan saling mendukung, saling melindungi, dan memiliki semangat “korps”. Mereka tidak merasa terancam sekalipun menghuni satu atap bersama para manusia-manusia korup yang jahat dan serakah, karena memang mereka adalah sesama manusia-manusia korup—kecuali bila kemudian timbul diferensiasi seperti yang “cukup jahat” Vs. “sangat jahat”. Namun ketika mereka mendapati adanya pribadi atau individu yang menampilkan keseharian karakter penuh integritas dan kejujuran, mulai timbul perbedaan dalam bentuk perbandingan, dimana perbandingan karakter itulah yang menjadi pemicu “psikologi kontras” yang disadari maupun yang tidak disadari oleh orang-orang tidak jujur yang selama ini menetap para organisasi tersebut.

Bila semua orang di dunia ini ialah rupawan, maka tiada istilah orang yang “buruk rupa” bahkan tiada istilah “rupawan” itu sendiri. Karena ada satu orang yang buruk rupa, maka ada orang-orang yang disebut sebagai rupawan. Sejak munculnya orang yang rupawan di tengah-tengah orang-orang yang buruk rupa, maka kontras antara rupawan dan buruk rupa itulah yang menjadi perbandingan diantara mereka, maka sejak saat itu jugalah timbul dua istilah atau kutub yang saling bertolak-belakang, yakni “buruk rupa” dan “rupawan”, dimana sang rupawan menjadi ancaman bagi para buruk rupa. Tidaklah mengherankan, bila kemudian sang rupawan dikucilkan dari pergaulan akibat iri hati, dengki, cemburu, dan lain sebagainya, jika perlu dijatuhkan dan dimusnahkan karena eksistensinya dipandang sebagia “ancaman”—bagaimana tidak, para gadis akan senantisa mengerubungi sang rupawan, sementara sang buruk rupa hanya bisa menjadi penonton yang “tidak laku”.

Mengapa banyak orang, yang tampaknya mendiskreditkan keunggulan dibalik IQ yang tergolong jenius? Karena orang-orang jenius adalah langka, mengakibatkan timbulnya kesenjangan intelektual antara di dungu dan sang jenius, jarak yang demikian senjang tersebut melahirkan perbandingan, dimana perbandingan mencetuskan kontras antara keduanya. Apalah jahat atau buruknya IQ yang jenius? Jawabannya sama seperti mengapa begitu banyaknya orang-orang yang membuat stigma betapa jahatnya “uang”, semata karena tidak semua orang yang tergolong berpunya. Faktanya, tingkat IQ cenderung menentukan tingkat EQ—IQ yang rendah cenderung memiliki EQ yang sama rendahnya secara linear, kita tidak akan pernah menemukan contoh kasus yang sebaliknya. Faktanya, siapa diantara kita yang tidak menginginkan memiliki anak dan cucu yang jenius, serta makmur bebas secara finansial?

Sama halnya, karena ada orang yang baik, maka ada orang yang jahat. Orang-orang jahat tersebut, ketika belum “terkontaminasi” komunitasnya oleh kemunculan seorang baik yang berhati mulia dan jujur penuh keadilan, akan merasa nyaman dan tenteram hidupnya, karena mereka tidak mengenal istilah “baik” ataupun “jahat”—semata karena mereka belum memiliki cermin untuk membandingkan diri dan menyadari betapa jahat diri mereka. Namun sejak munculnya orang yang “baik”, maka mereka mulai mengenal apa itu yang dimaksud dengan istilah orang yang “jahat”, berkat kontras yang ditimbulkan oleh perbandingan yang lahir dari perbedaan.

Semakin besar jarak kontras yang ada, semakin besar rasa terancam itu muncul pada batin para orang-orang yang jahat, dan tampaklah orang baik seperti sebuah ancaman yang secara menyentak baru membangunkan mimpi panjang penuh delusif para orang-orang jahat yang selama ini menguasai dan hidup di tempat tersebut, bagai sebuah tamparan keras di wajah mereka, dan barulah mereka menyadari betapa kotor dan jorok serta bau-nya diri mereka. Tanpa adanya kemunculan orang suci di dunia ini, yang bebas dari noda dosa sekecil apapun, ataupun para kaum ksatria yang memilih untuk bertanggung-jawab kepada korban yang telah pernah dilukai ataupun dirugikan olehnya alih-alih melarikan diri kepada pelarian bernama “penghapusan dosa”, maka para orang jahat akan berharap dan yakin akan masuk alam surgawi setelah ajal menjelang.

Ada orang yang kaya, maka ada orang yang miskin. Semakin bersenjang jaraknya, semisal antara si milioner dan sang penghuni pemikiman kumuh, maka kontras akan kian kentara dan antipati serta sinisme pun akan tercipta dengan demikian hebatnya, yang kita sebut sebagai kecemburuan sosial atau kesenjangan ekonomi, sehingga tidak mengherankan pula kemudian terbit kisah semacam “Robinhood” yang mengklaim dirinya sebagai pahlawan karena mencuri dari orang-orang kaya-raya demi didistribusikan kekayaannya kepada orang-orang “melarat”.

Kemunculan orang suci, di tengah-tengah suatu bangsa yang berisi orang-orang kotor penuh lumuran dosa yang selama ini hidup dari berkubang dosa, akan membawa istilah baru yang saat kini baru mereka kenal, yakni kontras akibat perbedaan dan perbandingan antara yang “suci Vs. pendosa”. Agar para pendosa tidak hidup dalam ketakutan akibat menyadari istilah baru ini, yakni pendosa yang berdosa penuh dosa, maka sang pembawa “ancaman” harus dieliminir, dengan cara membungkam untuk selama-lamanya sang suci, dimusnahkan tanpa jejak, dikubur sedalam-dalamnya agar tidak pernah lagi menampakkan wajahnya di hadapan mereka, serta dihapus dari sejarah. Bila itu terjadi, maka tiada lagi istilah “suci” maupun “berdosa”, karena memang tiada lagi sang pembawa ancaman tersebut yang eksis di tengah-tengah mereka.

Bila terjadi kebohongan berjemaah, dan penulis memiliki pengalaman pribadi puluhan tahun lampau ketika mengikuti ujian “kesetaraan Paket C” (setara Sekolah Menengah Atas) pada salah satu ibukota di Indonesia, seluruh peserta ujian hanya mengikuti formalitas ujian, dimana sebelumnya pihak Kepala Sekolah dibawah naungan dinas pendidikan setempat telah membekali mereka dengan jawaban ujian (bocoran). Hanya penulis seorang diri yang menolak diberikan bocoran disamping menolak dipungut pungutan liar terkait bocoran yang memang tidak penulis butuhkan (alih-alih dipuji, penulis justru dibenci oleh sang Kepala Sekolah yang memakai seragam Pegawai Negeri Sipil), dan mengikuti ujian secara jujur dengan resiko dan konsekuensi yang secara pribadi alami karena “melawan arus” (tampil beda seorang diri). Pihak guru pengawas ujian, justru menekan dan mengintimidasi penulis, disebut sebagai “peserta ujian yang lamban”, “jangan pakai lama-lama”, menuntut untuk mengerjakan ujian cukup selama setengah jam dari total waktu ujian selama dua jam, sekalipun itu menjadi penentu kelulusan penulis untuk dapat menempuh jenjang pendidikan lebih tinggi (terkait masa depan penulis).

Pihak dinas pendidikan setempat, mengetahui hal tersebut, namun mereka mendiamkan, dan semua ketidak-jujuran tersebut terjadi secara berjemaah. Dalam setiap mata pelajaran yang diujikan, seluruh peserta mengerjakan ujian kurang dari setengah jam lalu pulang, dan seluruh guru pengawas melakukan intimidasi terhadap penulis. Bahkan pihak dinas pendidikan tidak memberikan perlindungan bagi penulis sekalipun mereka mengetahui dan turut mengawasi seluruh kejadian “korup” demikian.

Alhasil, hasil ujian penulis penuh “tinta merah”, meski tetap lulus dengan nilai diambang batas kelulusan, namun setidaknya hasil keringat sendiri—peserta ujian satu-satunya yang jujur, namun ternyata dibenci dan tidak disukai para guru pendidik “korup” maupun dinas pendidikan yang menjadi fasilitatornya, alih-alih diberi apresiasi dan medali kehormatan. Bagaimana tidak, eksistensi penulis yang “tampil beda” telah menampar wajah hipokrit mereka yang penuh kemunafikan berlumuran noda dan cela.

Beberapa waktu kemudian, dengan itikad baik, disamping merepotkan waktu belum lagi mengeluarkan (merugi) ongkos perjalanan, tenaga, serta waktu, penulis mendatangi otoritas dibidang dinas pendidikan di kompleks gedung Walikota Jakarta Barat, yang manaungi ujian tersebut, untuk melaporkan kejadian ketidak-jujuran berjemaah yang terjadi secara masif dan tercela. Apa yang kemudian terjadi? Alih-alih menghargai dan terkejut atas laporan yang tidak sepele dari penulis, yakni kebocoran jawaban ujian penentu kelulusan sekolah, yang dilakukan dan difasilitasi oleh para tenaga pendidik dan pihak dinas pendidikan setempat, penulis segera diusir secara halus dengan tidak mencatat laporan penulis, tidak menanyakan detail peristiwa, tidak membuatkan tanda terima laporan, tidak menampakkan keseriusan untuk menindak-lanjuti laporan, bahkan sama sekali tidak mengapresiasi berita besar yang mengejutkan tersebut—alias disepelekan segala perjuangan dan pengorbanan penulis tersebut, dimana alhasil penulis menjadi “korban perasaan” untuk kedua kalinya karena yang diberi laporan ternyata sama korupnya dengan yang penulis laporkan.

Artinya, pihak otoritas dinas pendidikan yang penulis datangi untuk penulis berikan laporan, adalah salah satu aktor intelektual dibalik pencorengan intelektual secara berjemaah tempo hari pada hari ujian. Sehingga, tidaklah mengherankan bila standar moral dan moralitas bangsa Indonesia tergolong rapuh, karena sejak dini para generasi muda di negeri kita telah dibiasakan teladan dan gaya hidup penuh ketidak-jujuran, korup, serta yang jujur diberi dis-insentif serta “punishment” sementara yang hidup secara tidak jujur justru seolah-olah diberi “reward”. Kejujuran penulis, dianggap sebagai ancaman bagi mereka, dipandang sebelah mata, dilecehkan, ditindas, didiskriminasi, disisihkan, dan tidak dihargai—bahkan direpresi, ditentang, diintimidasi, serta diancam.

Sungguh berat hidup sebagai orang jujur, orang baik, orang suci, orang mulia, orang berintegritas, orang adil, orang berjiwa ksatria, orang penuh tanggung jawab, orang yang budiman, orang yang berhati lembut, orang yang agung, dan orang-orang yang positif (ber-“positive thinking”) di tengah-tengah orang-orang yang berwatak karakter sebaliknya, bernama Republik Indonesia, dimana orang-orang baik dan jujur menjadi demikian termarjinalisasi semata karena jumlahnya yang bahkan hanya dapat dihitung dengan hitungan jari. Beruntunglah orang-orang yang minoritas ini tidak punah sepenuhnya, karenanya perlu bersama-sama kita lestarikan dan lindungi serta hargai.

Di alam surgawi, yang mana dihuni oleh para manusia baik yang karena Karma Baiknya selama dikehidupan lampau mereka selama hidup sebagai manusia, sehingga terlahir kembali di alam dewata sebagai dewa dan dewi, barulah kita dapat hidup secara “positive thinking”—namun jangan pernah coba-coba ber-“positive thinking” hidup sebagai bagian dari anggota masyarakat di Indonesia, bila Anda tidak ingin ditipu dan terkena tipu sebagai korban penipuan. Kita justru perlu mengantisipasi “prepare for the worst case”, sebagai nasehat terbaik, seperti hanya percaya ucapan seseorang bila dituangkan “hitam di atas putih” atau pinjam-meminjam hutang dengan disertai agunan sebagai jaminan pelunasannya.

Di alam surgawi, kemunculan suatu makhluk yang tidak jujur dan jahat, seperti Mara, maka sang Mara akan dianggap sebagai ancaman di mata para dewa dan dewi penghuni alam surgawi. Sebaliknya, di alam neraka, yang mayoritas penghuninya ialah makhluk jahat dan buas, sebagai akibat buah dari Karma Buruk perbuatan lampaunya sebagai manusia yang tidak jujur dan jahat karakter perilakunya, kemunculan seorang mulia yang murni dari noda di alam mereka (seperti untuk bertamasya dan memotret pada makhluk jelek penghuni neraka), akan tampak sebagai ancaman, karena mengingatkan betapa tercela dan buruknya mereka, betapa kontras jorok bau-nya mereka dibanding sang mulia—akibat perbandingan dan perbedaan, semakin kontras semakin kentara.

Itulah sebabnya, tidak mengherakan dan menjadi dapat kita maklumi, terdapat orang-orang yang ketika berkarir sebagai pegawai pada suatu perusahaan ataupun instansi pemerintahan, telah ternyata perusahaan atau instansi tersebut dipenuhi oleh budaya karakter sumber daya manusia yang korup, tidak jujur, tidak adil, dan jahat, mulai dari atasan hingga pegawainya, pilihannya hanya ada dua, yakni : turut berubah menjadi seperti mereka secara gradual dan berangsur-angsur akibat faktor pergaulan ataupun pembiasaan, atau memilih untuk keluar (resign) dan mencari tempat berkarya lainnya yang lebih kondusif bagi pertumbuhan kembang jiwa dan mental pikirannya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.