SELF-CONTROL, Itulah Sumber SURGA DUNIA

Contoh dan Makna NERAKA DUNIA

Manusia yang Seakan Terbakar Api Neraka (NAFSU TIDAK TERKONTROL, Ibarat Api yang Disiram Bensin)

Terhadap Dosa dan Maksiat, demikian Kompromistik. Namun mengapa terhadap Pluralisme dan Kemajemukan Umat Beragama, demikian Intoleran?

Question: Maksudnya apa, ada yang bilang “mirip neraka dunia”?

Brief Answer: Ketika seseorang individu gagal mengendalikan dirinya sendiri, bahkan menjadi budak dari nafsu dan impuls dari dalam kekotoran batinnya sendiri, maka itu ibarat sedang terbakar oleh api nafsu, yang mana menggambarkan kondisi dimana seseorang dikuasai oleh berbagai ketidakpuasan yang tiada habisnya.

PEMBAHASAN:

Terbakar oleh api nafsu, terbakar oleh api keserakahan, terbakar oleh api kejahatan, terbakar oleh api kebodohan, terbakar oleh api libido, terbakar oleh berbagai api yang bersumber dari tiadanya kebiasaan untuk melakukan praktik latihan kontrol-diri (self control), salah satunya dapat kita lihat dan temukan dalam ajaran-ajaran berikut ini:

- QS An-Nissa 25 : ‘Dan (diharamkan bagi kamu mengawini) wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari Isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.’

- “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. an-Nisa` [4]: 3).

- Shahih Bukhari 6933 : “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina.”

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan 'TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH', menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.”

Ingin membesarkan hegemoni agamanya, namun lewat ancaman pedang serta pertumpahan darah, apakah itu yang patut disebut sebagai “misi misionaris”? Misi misionaris, adalah dalam rangka demi kebaikan seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. Namun, ketika misi misionaris tersebut justru melahirkan penderitaan serta pertumpahan darah bagi umat manusia, maka itu menjadi kutukan bagi peradaban serta bagi kemanusiaan, alias ancaman bagi eksistensi umat manusia itu sendiri. Itulah yang menjadi salah satu contoh “neraka dunia”, dapat kita lihat aksi-aksi semacam teror!sme, dimana pelakunya bahkan tega membunuh dan meledakkan baik dirinya sendiri maupun orang lain, semata demi memuaskan ego yang delusif sang pelaku.

Ketika mencuri maupun berzina justru diberikan “reward” maupun “insentif” berupa surga lengkap dengan pelayanan sensuil puluhan bidadari—seolah-olah alam surga dan kerajaan Tuhan menyerupai “rumah bord!l”—maka para umat pemeluknya sama sekali tidak terlatih juga tidak terbiasa berlatih apa yang disebut sebagai “self control”, semata tidak terkendali sehingga tidak terkendalikan bahkan oleh dirinya sendiri yang inkompeten, produktif dalam mencetak berbagai dosa, berkubang dalam dosa, menimbun diri dengan dosa, memproduksi dosa, mengoleksi dosa, lalu tergila-gila dan berbondong-bondong mencari “escape clause” berupa iming-iming ideologi korup “too good to be true” bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, sekalipun kita ketahui bahwa hanya seorang pendosa yang butuh penghapusan dosa. Terhadap dosa dan maksiat, demikian kompromistik. Namun terhadap kemajemukan, demikian intoleran.

Tidak terkecuali ketika seseorang dikuasai oleh api sepanas libido atau birahi yang menyengsarakan pikiran orang tersebut sehingga menjelma obsesif, ketika ia yang terbakar itu kemudian disiram oleh bensin, maka apa jadinya bila bukan terbakar habat? Itulah tepatnya kondisi menyerupai “terbakar oleh api neraka”. Alih-alih mengajarkan, mengkampanyekan, dan mempromosikan praktik latihan pengendalian diri, sekalipun harus berjuang keras “melawan arus” dalam rangka menaklukkan diri sendiri, termasuk menaklukkan kekotoran batin maupun kemelekatan / keserakahan diri sang umat, justru yang di-“halal”-kan ialah praktik “budak seksuil”—bukan sekadar budak dan perbudakan biasa ala kerja rodi, namun “budak seksuil” alias ekploitasi seksuil yang sangat biadab serta tidak berperikemanusiaan.

Bila satu istri tidak cukup, dua istri juga tidak cukup, siapa yang akan menjamin bila memiliki empat istri maka keserakahan dan ketidakpuasan tidak akan kembali menguasai dan bersarang dalam diri kita? Akar masalahnya bukanlah terletak pada memiliki sedikit ataukah memiliki banyak istri, namun kemampuan atau tidak mampunya seseorang mengendalikan dirinya sendiri dan keterpuasan hati. Lihatlah para bhikkhu, hidup selibat namun sangat bahagia dalam hidupnya, puas meski lebih banyak bermeditasi dalam keseharian alih-alih bersenggama. Belum cukup juga empat istri, masih juga dipromosikan “budak seksuil” yang tiada batas jumlahnya.

Sehingga, delusi dari manakah bila sang umat berpikir dan berdelusi bahwa dirinya akan terpuaskan oleh pelayanan seksuil oleh 72 bidadari “berdada montok” di kerajaan (versi) “Tuhan” yang mereka sembah, yang bahkan secara penuh fantasi disebutkan bahwa selaput daranya dapat kembali utuh setelah digauli, sementara itu istrinya hanya menjadi penonton yang menyaksikan suaminya asyik mesum dengan puluhan bidadari yang lebih “montok” dari sang istri? Katanya menikah tujuannya untuk melangsungkan keturunan, namun mengapa memiliki empat orang istri belum juga mencukupi, namun masih juga menginginkan hubungan seksuil dengan “budak seksuil”? Disebutkan pula bahwa menikah adalah ibadah, bekerja adalah ibadah, lalu apa yang bukan ibadah? Bukankah kaum “non” juga setiap harinya menikah dan bekerja sehingga sejatinya kaum “non” juga sedang beribadah? Ketika sang istri menolak digauli setiap harinya, meski sedang “datang bulan”, sang suami menuding : “Kamu melarang saya beribadah (dengan melarang menggauli kamu)?!

Menjadi kontras dengan khotbah Sang Buddha sebagaimana dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, yang tidak kompromistik terhadap segala bentuk kekotoran batin juga tidak memandang remeh kekotoran batin yang bersarang dalam pikiran kita, MENYELIDIKI & MENGATASI ALIH-ALIH MELAMPIASKAN, dengan kutipan:

135 (6) 324

“Para bhikkhu, dengan memiliki dua kualitas, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah dua ini? Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang manfaatnya mencurigakan. Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang manfaatnya terpercaya. Dengan memiliki dua kualitas ini, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan.

“Para bhikkhu, dengan memiliki dua kualitas, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak celaka dan tidak terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah dua ini? Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang manfaatnya mencurigakan. Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang manfaatnya terpercaya. Dengan memiliki dua kualitas ini, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak celaka dan tidak terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa.”

138 (9)

“Para bhikkhu, ada dua hal ini. Apakah dua ini? Membersihkan pikiran sendiri dan tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Ini adalah kedua hal itu.”

139 (10)

“Para bhikkhu, ada dua hal ini. Apakah dua ini? Kemarahan dan permusuhan. Ini adalah kedua hal itu.”

140 (11)

“Para bhikkhu, ada dua hal ini. Apakah dua ini? Pelenyapan kemarahan dan pelenyapan permusuhan. Ini adalah kedua hal itu.”