Orang Baik bagai Tidak Kasat Mata sehingga Tidak Dihargai oleh Masyarakat, mengapa? Ini Penyebabnya

“Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang jahat. Juga adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang baik. Adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang baik. Juga adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang jahat.” [Sang Buddha]

Orang Baik Tidak Dihargai karena Orang Jahat Tidak Mampu Melihat Kebaikan akibat Buta Hati

Question: Mengapa ya, orang baik (justru) “sama sekali tidak dihargai”, bukan lagi sekadar “kurang dihargai” oleh orang lain?

Brief Answer: Orang baik, selalu memandang bahwa kehidupannya yang sedang ia jalani ini adalah sebuah “retret”, sekalipun secara fisik atau jasmaniah harus “tersandera” pada kegiatan sehari-harinya sebagai pekerja, sebagai ibu rumah tangga, sebagai pelajar yang harus bersekolah, sebagai pegawai yang bertugas, dan lain sebagainya, termasuk kepada mereka yang mengabdi sebagai seorang “civil servant”, apapun itu peranan kita ditengah-tengah masyarakat. Menjadi absurd, bila seseorang baru bertingkah-laku baik dikala retret yang hanya hitungan beberapa hari, dan pada hari selebihnya bersikap “tidak terkendali”.

Masalahnya dan yang selama ini menjadi akar penyebab ketidak-cocokan antara orang-orang baik dan yang tidak baik, yakni ada semacam “gab” atau kesenjangan / disparitas paradigma berpikir dan cara memandang terhadap kehidupan antara orang-orang baik dan orang-orang yang tidak baik (orang jahat)—karenanya jelas menjadi “tidak nyambung” satu sama lainnya, yang mana dalam bahasa komunikasi diibaratkan sebagai “tidak ter-connect” juga “tidak tune-in”, semata karena memang frekuensi berpikir orang-orang baik saling berbeda gelombang dengan cara berpikir orang-orang yang tergolong jahat.

PEMBAHASAN:

Secara lebih relevan, berikut kita dapat merujuk khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, perihal orang baik dan orang jahat, dengan kutipan sebagai berikut:

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian Brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau … Kemudian, sambil duduk di satu sisi, ia berkata kepada Sang Bhagavā:

(1) “Guru Gotama, dapatkah seorang yang jahat mengenali seorang yang jahat: ‘Orang ini adalah seorang yang jahat’?

“Adalah, brahmana, tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang jahat: ‘Orang ini adalah seorang yang jahat.’”

(2) “Dapatkah seorang yang jahat mengenali seorang yang baik: ‘Orang ini adalah seorang yang baik’?

Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang baik: ‘Orang ini adalah seorang baik.’”

(3) “Dapatkah seorang yang baik mengenali seorang yang baik: ‘Orang ini adalah seorang yang baik’?

Adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang baik: ‘Orang ini adalah seorang yang baik.’”

(4) “Dapatkah seorang yang baik mengenali seorang yang jahat: ‘Orang ini adalah seorang yang jahat’?

Adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang jahat: ‘Orang ini adalah seorang yang jahat.’”

“Menakjubkan dan mengagumkan, Guru Gotama, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Guru Gotama: ‘Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang jahat … [seperti di atas] … Adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang jahat: “Orang ini adalah seorang yang jahat.”

“Pada suatu ketika, Guru Gotama, para anggota kelompok Brahmana Todeyya sedang mencari-cari kesalahan satu sama lain, [dengan berkata]: ‘Raja Eleyya ini dungu, karena ia memiliki keyakinan penuh pada Petapa Rāmaputta dan menunjukkan penghormatan tertinggi dengan menyembahnya, bangkit untuknya, memberi salam dengan hormat padanya, dan melakukan etiket selayaknya terhadapnya. Para bawahan Raja Eleyya ini – Yamaka, Moggalla, Ugga, Nāvindakī, Gandhabba, dan Aggivessa – juga dungu, karena mereka juga memiliki keyakinan penuh pada Petapa Rāmaputta dan menunjukkan penghormatan tertinggi dengan menyembahnya, bangkit untuknya, memberi salam dengan hormat padanya, dan melakukan etiket selayaknya terhadapnya.’

Kemudian Brahmana Todeyya menggiring mereka dengan menggunakan metodenya: ‘Bagaimana menurut kalian, Tuan-tuan, dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, bukankah Raja Eleyya bijaksana dan lebih cerdik daripada mereka yang sangat cerdik?’

“[Mereka menjawab:] ‘Benar, Tuan, dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, Raja Eleyya memang bijaksana dan lebih cerdik daripada mereka yang sangat cerdik.’

“‘Tetapi, Tuan-Tuan,’ [ia berkata,] ‘adalah karena Petapa Rāmaputta lebih bijaksana daripada Raja Eleyya, lebih cerdik daripada [raja yang] cerdik ini dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, maka Raja Eleyya memiliki keyakinan penuh pada Petapa Rāmaputta dan menunjukkan penghormatan tertinggi dengan menyembahnya, bangkit untuknya, memberi salam dengan hormat padanya, dan melakukan etiket selayaknya terhadapnya.

“‘Bagaimana menurut kalian, Tuan-tuan, dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, bukankah para bawahan Raja Eleyya – Yamaka, Moggalla, Ugga, Nāvindakī, Gandhabba, dan Aggivessa – adalah bijaksana dan lebih cerdik daripada mereka yang sangat cerdik?’

“‘Benar, Tuan, dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, para bawahan Raja Eleyya – Yamaka … Aggivessa -memang bijaksana dan lebih cerdik daripada mereka yang sangat cerdik.’

“‘Tetapi, Tuan-tuan, adalah karena Petapa Rāmaputta lebih bijaksana daripada para bawahan Raja Eleyya, lebih cerdik daripada [para bawahan raja] yang cerdik ini dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, maka para bawahan Raja Eleyya memiliki keyakinan penuh pada Petapa Rāmaputta dan menunjukkan penghormatan tertinggi dengan menyembahnya, bangkit untuknya, memberi salam dengan hormat padanya, dan melakukan etiket selayaknya terhadapnya.’”

[Kitab Komentar menjelaskan: Uddaka Rāmaputta, salah satu guru Sang Buddha sebelum pencerahanNya.

“Sang brahmana, sebagai seorang yang baik, memuji Raja Eleyya, kelompoknya, dan Uddaka Rāmaputta. Karena orang jahat adalah bagaikan seorang buta, dan orang baik bagaikan seorang yang memiliki penglihatan yang baik. Seperti halnya orang buta tidak dapat melihat orang lain baik yang buta maupun yang memiliki penglihatan, demikian pula orang jahat tidak dapat mengenali baik orang baik maupun orang jahat. Tetapi seperti halnya seorang yang memiliki penglihatan baik dapat melihat baik orang buta maupun orang yang berpenglihatan baik, demikian pula seorang yang baik dapat mengenali baik orang baik maupun orang jahat. Brahmana [Vassakāra], berpikir: ‘Bahkan Todeyya, sebagai seorang yang baik, mengenali siapa yang orang jahat,’ merasa senang karena hal ini dan berkata: ‘Menakjubkan, Guru Gotama!’”]

“Menakjubkan dan mengagumkan, Guru Gotama, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Guru Gotama: ‘Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang jahat: “Orang ini adalah seorang jahat.” Juga adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang baik: “Orang ini adalah seorang baik.” Adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang baik: “Orang ini adalah seorang yang baik.” Juga adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang jahat: “Orang ini adalah seorang yang jahat.” Dan sekarang, Guru Gotama, kami harus pergi. Kami sibuk dan banyak yang harus dikerjakan.”

“Silakan engkau pergi, Brahmana.”

Kemudian Brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya dan pergi.

~0~

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Seorang yang melakukan retret melalui jasmani tetapi tidak melakukan retret melalui pikiran; seorang yang tidak melakukan retret melalui jasmani tetapi melakukan retret melalui pikiran; seorang yang tidak melakukan retret baik melalui jasmani mau pun melalui pikiran; dan seorang yang melakukan retret baik melalui jasmani mau pun melalui pikiran.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang melakukan retret melalui jasmani tetapi tidak melakukan retret melalui pikiran? Di sini, seseorang mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara, tetapi di sana ia memikirkan pikiran-pikiran indriawi, pikiran-pikiran berniat buruk, dan pikiran-pikiran mencelakai. Dengan cara inilah seseorang melakukan retret melalui jasmani tetapi tidak melakukan retret melalui pikiran.

(2) “Dan bagaimanakah seorang yang tidak melakukan retret melalui jasmani tetapi melakukan retret melalui pikiran? Di sini, seseorang tidak mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara, tetapi ia memikirkan pikiran-pikiran melepaskan keduniawian, pikiran-pikiran berniat baik, dan pikiran-pikiran tidak mencelakai. Dengan cara inilah seseorang tidak melakukan retret melalui jasmani tetapi melakukan retret melalui pikiran.

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang tidak melakukan retret baik melalui jasmani maupun melalui pikiran? Di sini, seseorang tidak mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara, dan ia memikirkan pikiran-pikiran indriawi, pikiran-pikiran berniat buruk, dan pikiran-pikiran mencelakai. Dengan cara inilah seseorang tidak melakukan retret baik melalui jasmani maupun melalui pikiran.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang melakukan retret baik melalui jasmani maupun melalui pikiran? Di sini, seseorang mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara, dan di sana ia memikirkan pikiran-pikiran melepaskan keduniawian, pikiran-pikiran berniat baik, dan pikiran-pikiran tidak-mencelakai. Dengan cara inilah seseorang melakukan retret baik melalui jasmani maupun melalui pikiran.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.