Maksud MERUGI Tidak Memeluk Agama PENGHAPUSAN DOSA

Agama SUCI, Agama KSATRIA, Vs. Agama DOSA

“Agama DOSA” namun Dilabel Kemasan sebagai “Agama SUCI”

Question: Ada suatu agama tertentu, yang selalu membuat jargon klaim, bahwa adalah “merugi” yang tidak menjadi pemeluk agamanya tersebut. Maksudnya apa itu, kata “merugi” yang selalu mereka dengung-dengungkan kepada publik sebagai alat marketing mereka untuk menghimpun umat?

Brief Answer: “Merugi” yang mereka maksud, tidak lain ialah tidak turut menikmati iming-iming “to good to be true”, berupa ideologi korup bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—dimana kita ketahui bersama, hanya kaum pendosa yang butuh penghapusan dosa. Hanya mereka yang memilih untuk berhalusinasi dalam fatamorgana sikap-sikap tidak bertanggung-jawablah, yang akan tergiur dan menjadi pelanggan tetap ideologi “korup” demikian.

Tentunya kita pernah atau bahkan tidak jarang menghadapi atau berhadapan, dengan orang-orang yang tergolong “agamais”—rajin beribadah, menjadi pemuka agama, menjadi tokoh agama setempat, bahkan kerap berceramah sebagai penceramah / pendakwah, berbusana serba agamawi, memakai istilah-istilah keagamaan (sekalipun lawan bicaranya beragama lain, alias tidak menghormati agama lawan bicara), kerap melontarkan ayat-ayat agama—namun disaat bersamaan justru bukan hanya tidak takut berbuat dosa seperti menyakiti, merugikan, ataupun melukai warga lainnya, dimana diatas kesemua itu ialah sikap mereka yang tidak bertanggung-jawab.

PEMBAHASAN:

Merugi, bila ada dan bisa menikmati iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, namun memilih untuk bertanggung-jawab terhadap korban atau orang-orang yang telah para “pendosa penjilat penuh dosa” tersebut sakiti, rugikan, ataupun lukai—alias rugi, bila bisa lari dari tanggung jawab namun memilih untuk bertanggung-jawab atas perbuatan buruk dan jahat yang telah dilakukannya oleh mereka, baik secara disengaja ataupun akibat kelalaiannya.

Merugi, bila bisa “tabrak lari” bahkan tidak akan dihukum juga tidak akan dilempar ke dalam alam neraka, sekalipun telah menyakiti, merugikan, ataupun melukai warga lainnya, namun masih juga memilih kembali menghadap korbannya untuk dimintai pertanggung-jawaban ataupun untuk bertanggung-jawab, semisal membayar ganti-kerugian ataupun dihukum dengan dijebloskan ke dalam penjara, atau bahkan menyerahkan diri untuk dilempar ke dalam neraka “jahanam”.

Merugi, memilih untuk menjadi umat “Agama SUCI” yang mana para umatnya, para suciwan, penuh pengendalian diri dan ketat dalam membawa diri, berlatih dan terlatih dalam kontrol diri, penuh kewaspadaan terhadap tindak-tanduknya sendiri, penuh kesadaran sehingga tidak akan secara sengaja dan juga tidak karena lalainya mengakibatkan pihak-pihak lainnya menderita luka ataupun kerugian, sehingga para umat “Agama SUCI” sama sekali tidak menikmati juga tidak membutuhkan iming-iming “kabar baik bagi pendosa” berupa ideologi korup bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—“kabar baik” bagi pendosa sama artinya “kabar buruk” bagi korban.

Merugi, memilih untuk menjadi umat pemeluk “Agama KSATRIA”, dimana para umat pemeluknya sekalipun telah pernah dan masih dapat berbuat keliru, baik akibat kesengajaan maupun akibat kurangnya kewaspadaan / kelalaiannya, memilih untuk bertanggung-jawab terhadap kerugian, luka, maupun derita korban-korbannya—dimana bahkan para korbannya tidak perlu menuntut pertanggung-jawaban dari pelakunya (para Ksatria), tidak perlu gugat-menggugat, tidak perlu mengemis-ngemis tanggung-jawab, tidak perlu takut pelakunya akan berkelit dan lari dari tanggung jawab, tidak juga perlu lapor-melapor. Bertanggung-jawab, adalah bentuk atau wujud keberanian mental untuk mengakui perbuatannya, serta keberanian untuk bertanggung-jawab. Hanya seorang pengecut, yang memilih untuk melarikan diri dari tanggung-jawab, bahkan masih juga berdelusi akan masuk surga setelah “tabrak lari”.

Disebut sebagai “Agama DOSA”, semata karena keyakinan keagamaan bersangkutan mempromosikan serta mengkampanyekan ideologi korup bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—alih-alih mengajarkan dan memberikan teladan berupa sikap penuh mawas diri, sikap eling, dan sikap penuh tanggung-jawab. Adalah UNTUNG serta KEUNTUNGAN, bilamana korban-korban para “pendosa penjilat penuh dosa” tersebut tidak berhasil dituntut tanggung-jawab oleh para korban-korbannya, bahkan para korbannya tidak menyadari telah dijadikan korban oleh “kejahatan secara terselubung lewat modus” sang pelaku, ataupun ketika korbannya bersikap sabar dengan tidak menuntut tanggung-jawab kepada pelakunya.

Karenanya, sikap penuh tanggung-jawab bukanlah belum menjadi gaya hidup bagi para umat pemeluk “Agama DOSA”, namun justru dijauhi dan ditolak oleh para “pendosa penjilat penuh dosa” yang memilih untuk menjadi penjilat—praktik sembah sujud dan puji puji, seolah-olah Tuhan butuh “pendosa”, seolah-olah yang kotor dan tercemar dapat bersatu dengan yang murni dan suci, dan seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap pelaku / pendosa ketimbang kepada para korban—alih-alih merepotkan diri untuk menanam banyak perbuatan baik (Karma Baik), menghindari diri dari perbuatan buruk yang tercela (Karma Buruk), terlebih diharapkan dapat mensucikan hati dan pikiran mereka.

Para pendosa tersebut merasa alergik terhadap sikap penuh tanggung-jawab, sementara itu para suciwan merasa jijik terhadap para pendosa tersebut. Persoalan makanan di-“haram-halal”-kan, namun perihal perbuatan dan ucapan begitu kompromistik terhadap dosa dan maksiat. Demikianlah, yang dimaksud sebagai “RUGI” atau “MERUGI” di mata para “pendosa penjilat penuh dosa”, yang mana dosa-dosanya telah menumpuk hingga menggunung akibat setiap harinya mengoleksi dosa, memproduksi dosa, berkubang dalam dosa, menimbun diri dengan dosa, menikmati dosa, bersekutu dengan dosa—kompromistis terhadap dosa dan maksiat, namun disaat bersamaan begitu intoleran terhadap kaum yang berbeda keyakinan bahkan terhadap yang berbeda mazhab sekte—yang membuat mereka mati-matian memeluk, membela, dan meyakini ideologi korup bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.

Kita analogikan seperti kasus pada tahun 202, “obat” berbentuk sirup untuk penurun demam pada anak, parasetamol bentuk kemasan botol sirup, meski diberi label “obat” serta mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan, telah ternyata berdasarkan penelitian lebih lanjut, terkandung zat atau kandungan yang dapat memicu gagal ginjal anak-anak dibawah umur yang mengonsumsi “obat” tersebut—disebut sebagai “obat”, namun memicu kematian pasien gagal ginjal akut—sehingga tidak mengherankan pula bila ada “Agama DOSA” yang diberi label kemasan sebagai “obat” alias “SUCI”. Kitab yang mengajarkan bahkan memberi perintah untuk membunuh dan menghapus dosa, namun diberi judul “Kitab SUCI”.

Bagi orang jujur, baik, dan mulia, bahkan di mata orang suci, tiada yang lebih kotor, jorok, busuk, tercela, menjijikkan, daripada dogma korup semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” tidak terkecuali para pemeluknya yang menjadi pelanggan tetap dalam keseharian memohon dan mengharapkan “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, setiap tahunnya saat hari raya keagamaan tiba pun masih juga harapan atau doanya ialah “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, bahkan saat meninggal dunia pun sang sanak saudara para pendosa tersebut mengharapkan serta melantunkan doa “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Mereka tidak pernah mau bertanya ataupun diajarkan, bagaimana dengan nasib para korban-korban mereka? Dimanakan-kah keadilan bagi para korban-korban mereka?

Karenanya pula, adalah MERUGI menjadi korban, dan adalah UNTUNG menjadi pelaku kejahatan—tentunya, di mata para “pendosa penjilat penuh dosa tersebut”. Dosa-dosa mereka telah begitu menumpuk, akibat kebiasaan serta terbiasa menabung dosa setiap hari dan sepanjang tahunnya, sehingga dosa-dosa tersebut menjelma “too big to be fall”, sehingga mereka tidak punya pilihan lain selain secara membuta memeluk dan meyakini ideologi korup bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Terbukti, sang pemuka “Agama DOSA” dalam mimbarnya berceramah lewat pengeras suara eksternal tempat ibadah mereka (tempat para “pendosa penjilat penuh dosa” berkumpul):

Orang baik-baik bila tidak menjadi penyembah dan penjilat seperti kita yang setiap harinya harus menyembah-sujud serta menggadaikan jiwa kita demi menjadi budak Tuhan yang mengiming-imingi kita dengan penghapusan / pengampunan / penebusan dosa, akan masuk neraka jahanam. Jika orang baik-baik namun tidak menjadi budak Tuhan yang sama seperti kita, bisa juga masuk surga setelah kematiannya, lalu untuk apa kita harus repot-repot sembah-sujud setiap harinya?—(namun tidak mau merepotkan diri menanam benih Karma Baik, akan tetapi disaat bersamaan bersedia dan bersenang-hati merepotkan diri untuk berbuat jahat / dosa / Karma Buruk).

Dapatlah kita bayangkan sendiri, seperti apakah kondisi di alam “surgawi” setelah mereka meninggal dunia, dijejali dan penuh sesak oleh para PENDOSA yang penuh dosa, yang bahkan tidak takut berbuat dosa—menyerupai “alam manusia jilid kedua”, dimana para pendosa akan saling “clash”, saling berkonflik, saling bersengketa, saling menipu satu sama lainnya, saling merampok satu sama lainnya, saling membunuh satu sama lainnya, suatu alam yang bahkan jauh lebih parah kondisinya daripada dunia manusia dimana dunia manusia masih mengenal adanya polisi ataupun semacam penjara bagi para penjahat. Di “surga” (versi para pendosa tersebut, tentunya), tiada polisi dan tiada penjara, semata karena mereka semua adalah pelanggan setia dan sekaligus konsumen tetap ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.

Setelah membunuh atau mencuri dan merampok, mereka memohon “penghapusan / pengampunan dosa”. Bahkan, sebelum berbuat dosa, mereka telah minta “penebusan dosa” terlebih dahulu, ibarat “minta maaf” terlebih dahulu sebelum mencuri dan menipu. Besar kemungkinan, bila benar demikian adanya, bisa jadi alam “neraka” jauh lebih damai dan dihuni oleh orang-orang yang toleran dan penuh sikap ksatria, yang dicampakkan ke neraka semata kerena mereka bukanlah tergolong sebagai kaum “pendosa penjilat penuh dosa”. Bagi umat manusia yang masih menghargai “otak”, anugerah terbesar pemberian Tuhan, yang akan menyadari bahaya dibalik ideologi pengampunan / penghapusan / penebusan dosa.

Contoh, seorang umat agama Kristiani mengklaim : “Belas Kasih Yesus Terwujud dalam Pengampunan Dosa”—sebenarnya Nasrani tidak mengenal istilah “pengampunan”, namun “penebusan dosa”—namun mereka lupa, atau tidak mau tahu dan menutup mata, bahwa disaat bersamaan Yesus bersikap sadistik dengan melempar orang-orang baik namun semata karena NON-Kristen, ke alam neraka. Cinta kasih yang penuh syarat, penuh motif atau agenda terselubung, dan mahal harganya—karena harus dibayar oleh para umat pemeluknya dengan menggadaikan jiwa mereka menjadi “penjilat” praktik sembah-sujud dan puja-puji, semudah datang satu kali dalam seminggu setelah enam hari dalam satu minggu menimbun diri dengan dosa, tidak mau direpotkan merawat altar persembahan buah-buahan (karenanya, dewa mana yang mau merepotkan diri menolong umat Kristiani?), namun ingin semudah duduk santai lalu koor menyanyikan paduan suara, seperti datang ke konser dangdut untuk menghibur diri.

Di mata mereka, para pendosa tersebut, rajin menanam Karma Baik adalah merepotkan. Di mata mereka pula, bertanggung-jawab atas perbuatan buruk (dosa-dosa) mereka adalah terlampau menakutkan, alias mental pengecut, bukan hanya penjilat penuh dosa. Bagaimana mungkin, seorang pendosa hendak mengajarkan atau berceramah perihal hidup mulia, suci, maupun memberi teladan perihal budi pekerti? Tidaklah salah ketika umat / pemuka “Agama DOSA” melakukan praktik penjualan surat pengampunan dosa, namun barulah keliru ketika ada umat mereka yang meninggal dunia, mereka merasa berduka meski mereka yakin dan diberi iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—semestinya, sanak saudara almarhum “pendosa” tersebut berpesta semalam-suntuk, bukan justru bersedih ataupun meratap, karena sang almarhum kini tengah asyik berjimak dengan puluhan bidadari berdada “montok” di kerajaan Tuhan.

Sang umat banyak berhutang tanpa membayar kembali pinjamannya, hingga menumpuk, bahkan membawa lari dan menggelapkan dana-dana pinjaman tersebut, lalu sang nabi yang ia sembah yang kemudian mereka tuntut untuk melunasi hutang-hutangnya tersebut. Ingat, hutang adalah dosa. Menebus dosa artinya sang nabi junjungan yang akan membayari hutang-hutang sang pendosa, para debitor nakal penuh dosa tersebut. Mereka, umat agama Kristiani, saat datang berkumpul di Gereja, memakai busana maupun jas seperti orang hendak pergi mengunjungi pesta perkawinan. Mereka berkata, ketika mendatangi presiden saja, kita harus rapih dan berjas bahkan berdasi, maka terlebih ketika kita menghadap kepada Tuhan.

Namun, mereka lupa, yang lebih penting ialah kemurnian dan kebersihan hati, bukan isinya penuh delusi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (penuh kekotoran batin). Lihatlah Pangeran Siddhatta Gotama, menanggalkan jubah kerajaannya, dan pergi bertapa bahkan memakai kain bekas, mensucikan hati dan pikiran-Nya di bawah Pohon Bodhi, sebelum kemudian merealisasi pencerahan sempurna, dan menjadi guru bagi para dewa dan para manusia. Para dewata bahkan raja dewa, bersujud di hadapan Sang Buddha, yang suci murni dan bersih sempurna hati-Nya.

Sementara itu para dewata tidak pernah mau mendekati manusia, Anda tahu mengapa? Karena di hidung para makhluk dewata, manusia sangat berbau busuk baunya, akibat penuh kekotoran batin. Terlebih berdelusi, sang “kotor” hendak mencemari Tuhan dengan mengharap dapat bersatu dengan Tuhan yang bersih dan murni—karenanya, para pendosa ialah para “pencemar dunia” maupun “pencemar Tuhan”. Untuk memuliakan Tuhan, tiada cara lain selain menjadi manusia yang mulia, bukan dengan menjadi “pendosa penjilat penuh dosa”.

Alkisah, seorang petapa berbaju lusuh, Dewa Sakka—raja dari para dewa—yang kebetulan melintas di atas langit, mendatangi sang petapa sebelum kemudian bersujud di hadapannya. Pengawal sang Dewa Sakka menjadi bingung, mengapa Dewa Sakka bersujud di hadapan petapa berbaju lusuh? Dewa Sakka adalah dewa yang agung, raja dari para kaum dewata. Dewa Sakka pun menjelaskan, petapa tersebut telah berjuang mengikis kekotoran batinnya sehingga menjadi bersih dan murni, karenanya menjadi layak untuk mendapatkan penghormatan.