Hargai serta Optimalkan Potensi dan Bakat Diri Kita Sendiri, dengan Tetap Berwelas-Kasih terhadap Kekurangan dan Kelemahan Diri Kita

SENI SOSIAL

Berfokus pada Kelebihan dan Keunggulan Diri alih-alih Berjibaku pada Kekurangan dan Kelemahan

Prestasi-Prestasi yang Dimiliki Orang-Orang Besar, mampu Menutupi Berbagai Kekurangan Dirinya. Karenanya, Optimalkanlah Berbagai Keunggulan, Bakat, dan Potensi Diri Kita—alih-alih Bergelut dan Berjibaku pada Kelemahan Diri Kita

Question: Sebagai angkatan kerja yang tergolong masih sangat muda, mengapa saya merasa adanya ketidak-cocokan dengan berbagai pemilik perusahaan tempat saya mengajukan lamaran kerja? Mereka lebih banyak mencoba menggali kelemahan-kelemahan dan kekurangan saya ketimbang lebih ingin mengetahui maupun mengeksplorasi apa yang menjadi keunggulan dan kelebihan-kelebihan saya. Apa hanya saya sendiri saja yang “aneh” dengan perasaan semacam ini, atau memang lazim adanya dijumpai orang-orang seusia saya?

Brief Answer: Di lapangan dunia kerja, setidaknya dapat kita jumpai dua variasi jenis karakter pemberi kerja, yakni : Pertama, pemberi kerja atau atasan yang lebih banyak berfokus pada kelemahan-kelemahan pegawai ataupun karyawannya, karenanya lebih mengedepankan “punishment”, namun seolah gagal melihat dan menemukan kelebihan-kelebihan karyawannya untuk diberi apresiasi. Kedua, berkebalikan dengan tipe pertama, pemberi kerja atau atasan yang lebih berfokus memberdayakan dan mengoptimalkan pada aspek-aspek yang menjadi kelebihan maupun keunggulan / talenta pribadi individu masing-masing karyawannya, sehingga lebih mengedepanjan “reward” untuk mendorong budaya meritokrasi dan egaliter didalam organisasi, komunitas, maupun perusahaan yang dipimpin, dimanajerial, serta dikelola oleh sang pemberi kerja.

PEMBAHASAN:

Pernah dirilis sebuah kajian, yang memetakan perubahan paradigma kalangan era dekade sebelumnya dan gaya berpikir para anak muda (kaum “milenial”) yang akan memasuki dunia kerja, dimana saat kini telah terjadi disrupsi atau gap perspektif antara pemberi kerja berlatar belakang usia paruh baya dan penerima kerja muda masa kini. Para generasi sebelumnya, lebih berfokus pada upaya meminimalisir berbagai faktor yang menjadi kekurangan maupun kelemahan dari setiap anak buah maupun pegawainya, dimana kekurangan dianggap sebagai faktor “cost” bagi perusahaan. Sementara itu, tuntutan para pencari kerja yang berlatar-belakang anak generasi muda saat kni, lebih memilih untuk berfokus pada kelebihan-kelebihan internal dirinya untuk diberdayakan dan diberi kebebasan serta kepercayaan berupa ruang wadah untuk berkembang, daripada sibuk berjibaku dengan berbagai kelemahan maupun kekurangannya.

Karenanya, menjadi tidak mengherankan bila tren angkata kerja muda saat kini kerap mengalami fenomena “keluar dan masuk perusahaan” dengan masa kerja yang minim hanya hitungan tahun, semata karena tidak terjadi konsensus antara “demand” alias tuntutan pemberi kerja yang berfokus pada meminimalisir kekurangan maupun kelemahan pegawai atau karyawannya, sementara itu “supply” berupa angkatan kerja dari generasi muda ialah hanya bersedia untuk bekerja bila diri mereka dihargai sebagaimana keunggulan-keunggulan maupun kelebihan dirinya diakomodir untuk berkembang serta diberi apresiasi.

Karenanya, sistem barometer prestasi pada suatu tempat kerja menjadi saling tidak kongruen, sang anak muda yang bekerja berasumsi bahwa dengan mengoptimalkan keunggulan dan kelebihannya bagi perusahaan tempatnya bekerja, merupakan prestasi serta kontribusi itu sendiri yang layak dan patut dihargai dan diberi penghargaan oleh atasan tempatnya bekerja. Sementara itu, sang pemberi kerja baru memandang karyawannya (pekerja dari generasi muda) sebagai telah berprestasi bilamana indikatornya berupa telah berhasil ditekannya kekurangan maupun kelemahan dari sang karyawan hingga ke titik “nihil”.

Dapat mulai kita pahami, bahwa miskomunikasi dan misperspektif kerap timbul dari kedua belah pihak, antara pemberi kerja dari generasi tua dan pekerja dari generasi muda. Namun, penulis memiliki sebuah contoh nyata seorang pekerja bernama Eddy Santoso Tjahja yang telah pernah dipecat secara tidak hormat, telah ternyata tidak membuatnya menaruh simpati ataupun empati kepada kalangan pekerja, dimana paska pemecatan secara tidak hormat terhadap dirinya, Eddy Santoso Tjahja membuka perusahaan miliknya sendiri bernama PT. AUDITSI, perusahaan yang bergerak dibidang eksploitasi (perbudakan dan kerja rodi, dipekerjakan namun tidak dibayar upah sebagaimana diiming-imingi dan diperjanjikan oleh Eddy Santoso Tjahja sekalipun dirinya adalah seorang mantan pekerja) tenaga manusia berkedok rekruitmen, Eddy Santoso Tjahja lebih banyak menuntut agar para pekerja yang ia rekrut untuk ia “outsource”-kan ke perusahaan lainnya, tidak memiliki kekurangan dan kelemahan sama sekali, tanpa menghargai bakat, talenta, maupun keunikan dan berbagai keunggulan pekerja yang ia seleksi dan rekrut.

Latar belakang profil Eddy Santoso Tjahja sendiri penuh cacat karakter dan cela moralitas, sehingga berujung pada dipecatnya Eddy Santoso Tjahja secara tidak hormat oleh perusahaan tempatnya dahulu bekerja, namun ketika membuka perusahaan dibidang rekruitmen tenaga manusia, Eddy Santoso Tjahja menuntut agar tenaga kerja yang ia rekrut untuk bersih dari segala kekurangan maupun kelemahan—sikap “berstandar ganda” bila tidak dapat disebut sebagai “berwajah ganda”. Eddy Santoso Tjahja tidak akan bersedia merekrut pekerja yang telah pernah dipecat secara tidak hormat oleh perusahaan tempatnya dahulu bekerja, namun Eddy Santoso Tjahja sendiri telah pernah mengalami dipecat secara tidak hormat.

Adapun profil Eddy Santoso Tjahja, seorang penipu dibalik perusahaan penipuan berkedok rekruitmen bernama PT. AUDITSI, dapat kita simak dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa pemecatan secara tidak hormat seorang direksi, sebagaimana dapat penulis cerminkan salah satunya dalam register Nomor 496 K/Pdt/2012 tanggal 22 Januari 2013 (maupun fakta-fakta hukum dalam nomor perkara terpisah, dimana pihak Tergugat yang justru menggugat pihak Penggugat karena menyalah-gunakan wewenangnya selama menjabat sebagai direksi), antara:

- EDDY SANTOSO TJAHYA / EDDY SANTOSO TJAHJA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan

1. PERSEROAN TERBATAS (PT) JOBS DB INDONESIA, 2. SUNG SAMUEL HAM WING (Komisaris pada PT. Jobs DB Indonesia); 3. ELVIE SAHDALENA, S.H.,M.H. (Notaris), selaku Para Termohon Kasasi, semula selaku para Tergugat I, II, III.

Adapun yang menjadi fokus objek pokok sengketa, ialah Akta Keputusan Rapat Perseroan tertanggal 27 Mei 2008, oleh Tergugat III selaku notaris telah diperbaiki dan direvisi sebagaimana dalam Akta 9 tertanggal 30 Mei 2008, yang diantaranya berbunyi:

“Menyetujui untuk memberhentikan dengan tidak hormat Tuan Eddy Santoso Tjahja selaku direktur dalam perseroan sejak ditandatangani keputusan rapat tersebut tanpa memberikan tanda bebas dan lunas (no acquit at decharge).”

Demi menjaga “gengsi”, EDDY SANTOSO TJAHYA mengklaim bahwa dirinya tidak telah pernah “dipecat secara tidak hormat”, namun justru sebaliknya, sekadar “mengundurkan diri” (namun menuntut pesangon?). Pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) memiliki kewenangan prerogatif untuk sewaktu-waktu mengangkat dan memberhentikan direksi maupun jajaran dewan komisarisnya, hak mana tidak dapat diganggu-gugat serta tanpa memerlukan izin persetujuan yang dicopot jabatannya sebagai salah satu organ pengurus perseroan, dan adalah wajar saja sifatnya dalam dunia korporasi pejabat direksi dan komisaris yang silih-berganti diangkat dan diberhentikan oleh RUPS.

Namun ketika pihak perusahaan mendapati kenyataan bahwa EDDY SANTOSO TJAHYA telah menyalah-gunakan wewenangnya dengan melakukan praktik ilegal yang sangat tidak manusiawi seperti eksploitasi hingga manipulasi tenaga manusia, maka pihak pemegang saham mayoritas lewat keputusannya baik diluar ataupun didalam forum “RUPS tatap muka”, memutuskan untuk mengubah keputusannya dari “diberhentikan secara hormat” menjadi “diberhentikan secara TIDAK HORMAT”, sehingga membuat EDDY SANTOSO TJAHYA melayangkan gugatan ini, dengan harapan dapat memancing di air keruh berupa tuntutan diberikan hal-hal semacam “pesangon” layaknya buruh atau seorang pekerja yang di-PHK (putus hubungan kerjanya).

Sementara itu pihak Tergugat dalam jawabannya menerangkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini karena terkait “kompetensi absolut” kewenangan peradilan dalam memutuskan, karena Penggugat dalam gugatan ini justru menuntut Honorarium, THR, Tunjangan Kesehatan, Biaya Transportasi, Cuti Tahunan, Bonus Tahunan dan hak-hak lain selama bekerja pada Tergugat I dan Tergugat II, sebesar Rp2.964.000.000,00—akan tetap disaat besamaan, Eddy Santoso Tjahja justru memperbudak dan mengeksploitasi keringat serta darah para pegawai untuk kepentingan pribadinya hingga ratusan jam, bahkan dengan modal kerja yang dikeluarkan dari kantung saku pegawainya sendiri, tanpa diberi kompensasi imbalan SEPERAK PUN dengan melanggar apa yang telah dijanjikan oleh Eddy Santoso Tjahja (modus penipuan Eddy Santoso Tjahja dengan kedok rekruitmen).

Terhadap gugatan sang mantan direksi yang dipecat secara tidak hormat demikian, Pengadilan Negeri Jakarta Barat telah mengambil putusan, lewat putusan Nomor 451/Pdt.G/2008/PN.JKT.BAR.,tanggal 10 Desember 2009 yang amarnya sebagai berikut:

MENGADILI :

Dalam Pokok Perkara

1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;

2. Menyatakan pemecatan terhadap Penggugat Konvensi dari kedudukannya sebagai Direktur oleh Tergugat I dan Tergugat II adalah tidak sah dan merupakan perbuatan melawan hukum;

3. Menyatakan RUPSLB beserta agenda yang tidak sesuai dengan undangan RUPSLB yang diselenggarakan pada tanggal 26 Mei 2008 tidak sah;

4. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II serta Tergugat III untuk membayar ganti kerugian materiil secara tanggung renteng kepada Penggugat sebesar Rp2.964.000.000,00 (dua miliar sembilan ratus enam puluh empat juta Rupiah) dengan perincian sebagai berikut: ...;

6. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.”

Dalam tingkat banding atas permohonan para Tergugat Putusan Pengadilan Negeri di atas, telah ternyata dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta sebagaimana putusan Nomor 550/PDT/2010/PT.DKI. tanggal 30 Juni 2011, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

- Menerima permohonan banding dari Pembanding I semula Tergugat II dan Pembanding II semula Tergugat I;

- Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta barat Nomor: 451/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Bar. tanggal 10 Desember 2009, yang dimohonkan banding tersebut;

MENGADILI SENDIRI:

DALAM POKOK PERKARA:

- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”

EDDY SANTOSO TJAHYA mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa dirinya merasa telah diperlakukan secara tidak adil dan dieksploitasi (meski dirinya sendiri melakukan perbuatan tidak beradab yang jauh lebih tidak adil dan ekploitatif, sehingga menjadi rancu bila dirinya menolak menjadi korban sementara itu disaat bersamaan mengorbankan tenaga manusia lainnya yang lebih lemah), menuntut upah miliaran rupiah namun memperbudak manusia tanpa dibayar SEPESER PUN, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

- Bahwa, alasan-alasan kasasi ini tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, karena alasan –alasan kasasi ini pada hakekatnya mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi, karena pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam pelaksanaan hukum;

- Bahwa, tata cara dan prosedur untuk pemanggilan RUPS kepada Pegawai adalah sah dan RUPS – LB (Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa) yang diselenggarakan pada tanggal 26 Mei 2008 adalah sah, karena itu tindakan Tergugat I dan Tergugat II terhadap Pegawai adalah sah pula;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: Eddy Santoso Tjahya, tersebut harus ditolak;

M E N G A D I L I :

Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: EDDY SANTOSO TJAHYA, tersebut.”

CATATAN PENUTUP:

Eddy Santoso Tjahja setelah dipecat secara tidak hormat, kemudian mendirikan perusahaan penipuan berkedok rekruitmen bernama AUDITSI, mengharap dapat merekrut dan menjadikan pegawai-pegawai yang ia rekrut sebagai tenaga outsource ke berbagai perusahaan. Ironisnya, para perusahaan pengguna jasa outsource yang dikelola dan dipimpin oleh Eddy Santoso Tjahja tidak mengetahui bahwa Eddy Santoso Tjahja merupakan mantan pegawai yang pernah dipecat secara tidak hormat oleh perusahaan tempatnya dahulu bekerja dan memiliki rekam jejak memperbudak dan praktik eksploitasi tenaga manusia secara tidak beradab.

Ironi kedua, Eddy Santoso Tjahja yang mengaku pernah mencicipi getirnya perlakuan jahat perusahaan, justru setelah dipecat secara tidak hormat kemudian melakukan praktik perbudakan dan eksploitasi yang lebih jahat hingga menjadi pelaku kerja rodi dengan tidak membayar sepeser pun upah orang-orang yang ia rekrut untuk bekerja demi kepentingan Eddy Santoso Tjahja, praktik menghisap keringat hingga darah orang-orang yang dimanipulasi dan dieskploitasi oleh Eddy Santoso Tjahja.

Dapat kita simpulkan, perusahaan telah benar memecat secara tidak hormat Eddy Santoso Tjahja, karena Eddy Santoso Tjahja sendiri telah membuktikan bahwa dirinya merupakan seorang penipu dan manipulator yang bahkan tega merampas nasi dari piring milik orang-orang yang ia pekerjakan, memperbudak kerja rodi tanpa dibayar seperak pun, dan tidak dapat dipercaya karena dapat semudah itu melanggar dan mengingkari janji yang telah ia buat dan iming-imingi sendiri—modus manipulasi lewat iming-iming yang kemudian akan ia ingkari sendiri menjadi ciri khas penipu bernama Eddy Santoso Tjahja.