Dunia ini Tidak Pernah Kekurangan PLONCO Siswa / Mahasiswa, namun Miskin TELADAN

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra

Plonco Siswa / Mahasiswa, Tidak Berfaedah, mengapa masih Dibudayakan pada Lingkungan Akademik seperti Sekolahan maupun Kampus?

Question: Sebetulnya hal semacam per-plonco-an terhadap siswa maupun mahasiswa di sekolah dan di kampus, apakah ada manfaatnya dan hal positifnya, sehingga dari dulu hingga kini masih saja ada praktik plonco baik di sekolah maupun di kampus yang mana para siswa senior menjadikan plonco sebagai ajang balas-dendam serta pamer kekuasaan akibat relasi yang timpang antara senior dan junior? Mengapa juga pihak sekolah atau kampus, membiarkan praktik primitif kurang beradap semacam itu terus berlangsung?

Brief Answer: “MOS”, atau singkatan dari Masa Orientasi Siswa, sejatinya merupakan tugas aparatus sekolah atau universitas / fakultas itu sendiri untuk memfasilitasi dan memperkenalkan para peserta didik baru mengenai ekosistem dan tata-tertib sekolah / kampus, bukan oleh sesama peserta didik yang telah senior—yang pada gilirannya melahirkan budaya tidak sehat juga kurang mendidik semacam “arogansi senioritas” terhadap mereka yang masih junior, sungguh kontraproduktif terhadap filosofi pendidikan yang semestinya membaskan dan memberdayakan setiap peserta didik tanpa terkecuali, bukan justru berbudaya ala militeristik yang menekankan kepatuhan selayaknya subordinat terhadap atasan dengan ancaman hukuman bagi yang tidak patuh.

Didikan ala rotan untuk menghukum, sudah ketinggalan zaman, terlebih praktik per-plonco-an yang sama sekali tidak masuk kriteria cara untuk mendidik juga tidak pernah diakui sebagai bagian dari pedagogi. Perlu diingat, siswa yang telah membayar  sumber dana untuk menggaji para aparatus sekolah / kampus (seperti para guru / dosen maupun para staf lembaga pendidikan), sehingga sesama siswa adalah sederajat di mata hukum serta pihak tenaga pendidik yang semestinya melayani dengan penuh rasa berterima-kasih kepada para siswa yang telah memberikan mereka gaji sebagai sumber nafkah, bukan justru sebaliknya pamer kekuasaan, dan yang terparah ialah “minta dilayani”. Siswa adalah “bos”, bukan subordinat pihak-pihak sekolah yang sumber dana gaji mereka berasal dari uang sekolah yang dibayarkan para ssiwa.

Yang lebih tua (senior), semestinya memberikan teladan atau contoh mengayomi, bukannya justru mengumbar pamer sok perintah dan sok berkuasa dan sok mengatur-ngatur, semata karena faktor umur lebih tua atau dari segi senioritas tingkat kelas. Dunia ini, terutama Negeri bernama Indonesia, kekurangan teladan konkret, namun tidak pernah kekurangan praktik per-plonco-an yang bisa terjadi di dunia akademik maupun diluar dunia akademik. Disini, telah terjadi pengabaian dan pembiaran oleh pihak sekolah atau kampus itu sendiri, atas praktik per-plonco-an yang semestinya tidak perlu diadakan sama sekali.

Lihatlah para kaum dewasa kita yang duduk di kursi pemerintahan dan kekuasaan, tertangkap tangan melakukan korupsi maupun kolusi penyalahgunaan kekuasaan, sekalipun pada mudanya mereka adalah mahasiswa atau bahkan aktivis kampus yang telah pernah mengeyam praktik per-plonco-an ketika masih sebagai calon mahasiswa baru semasa masih muda, berlanjut sebagai pelaku plonco ketika menjadi senior di sekolah / kampus, sebelum kemudian terjun ke masyarakat sebagai politisi atau penguasa dengan jabatan di pemerintahan. Fakta sudah di depan mata, selalu berulang lewat pemberitaan, namun seolah juga kita senantiasa memungkiri fakta betapa praktik per-plonco-an sama sekali tidak relevan terhadap “character building”.

Ketika siswa atau mahasiswa baru dikenakan plonco, dengan alasan atau dalil agar mereka menjadi “dewasa” karakternya, seolah-olah dunia kerja setelah lulus bukanlah dunia yang kejam dan keras secara arti sesungguhnya, namun faktanya yang kemudian selalu terjadi ialah, ketika beberapa tahun kemudian mereka menjelma siswa / mahasiswa senior, sebelum mereka lulus, mereka terlibat politik praktis di sekolah atau di kampusnya, saling berkubu-kubu, melakukan “kampanye gelap”, praktik ilegal dan “penyelundupan” dana kegiatan siswa / mahasiswa, saling menyikut dan menjatuhkan satu sama lain, yang mana merasa pula berhak untuk memberikan plonco kepada siswa / mahasiswa baru—ibarat orang buta hendak menuntun orang buta lainnya.

Mereka sendiri, para pemberi / pelaku plonco kerapkali merupakan siswa / mahasiswa bermasalah, bengkok dan “bopeng sebelah” karakternya, namun hendak “meluruskan” karakter para calon siswa / mahasiwa baru, ibarat pendosa yang hendak berceramah perihal hidup suci, bersih, dan mulia, alias “jauh panggang dari api”. Pedagogi terhebat dan terpenting dari segala metode pembelajaran, ialah teladan nyata, dimana antara perbuatan dan perkataan saling kongruen dan konsisten, bukan sok kuasa, pamer kekuasaan, senioritas, kepatuhan ala militeristik, ataupun teori penuh jargon. Negeri ini selalu kekurangan teladan nyata, yang otentik, serta “berkarakter”.

Dengan kata lain, praktik per-plonco-an tidak lain bukan adalah budaya “pembodohan” terhadap generasi muda itu sendiri, dimana praktik pendidikan maupun perkuliahan di negara-negara beradab, sebagai contoh di Kanada, tidak mengenal juga tidak menerapkan praktik per-plonco-an seperti di Indonesia selama ini, baik institusi pendidikan negeri yang dikelola pemerintah maupun sekolah swasta.

PEMBAHASAN:

Para pelaku plonco baik dari pihak siswa / mahasiswa ataupun dari pihak sekolah / kampus, beralibi, plonco dilakukan demi membuat seluruh siswa / mahasiswa yang berlainan latar-belakang, berlainan tingkat ekonomi, berlainan strata, dapat hidup berdampingan secara sederajat tanpa memandang perbedaan sebagai sekat sosial, dengan harapan (semu) membentuk “kohesi sosial” yang saling erat—meski buktinya, para siswa / mahasiswa pelaku plonco sendiri di sekolah / kampus melakukan praktik “politik praktis” yang saling terpecah-belah, dimana pengkotak-kotakan demikian kental segregasinya, saling sikut-menyikut dan saling menjungkalkan satu sama lain dalam perebutan kursi kekuasaan atas senat siswa maupun badan eksekutif siswa.

Yang (selama ini) berbeda, biarlah berbeda adanya. Yang sama, biarlah tetap sama. Mengapa harus dipaksakan menjadikan sama terhadap mereka yang berbeda, dan membedakan mereka yang sama? Memaksakan diri ataupun memaksakan orang lain untuk disamaratakan dan menyamaratakan, hanya akan berbuah kontraproduktif, oleh sebab secara ilmu psikologi hal demikian adalah bukan suatu keniscayaan untuk memaksakan apa yang berbeda sebagai sama dan disamaratakan. Yang terjadi kemudian ialah, semangat korps saling melindungi antar anggota kepolisian yang korup, sebagai contoh, bukan lagi semangat kebangsaan sebagai sesama anak bangsa, namun sebagai satu alumni, satu almamater, satu kampus, satu angkatan, satu instansi, dan sebagainya.

Habitat ikan adalah di perairan, habitat burung dan kera adalah di hutan dan pepohonan. Kita tidak bisa membuat mereka untuk saling menyamaratakan. Biarlah kera-kera tersebut tetap memakan buah pisang kesukaannya, bukan dipaksakan untuk memakan makanan ikan berupa plankton di laut ataupun dipaksa untuk pandai berenang. Kluster-kluster siswa ataupun mahasiwa, selalu akan terjadi bila yang ditekankan bukanlah ideologi nasionalistik, namun bersifat kerdil dan sedangkal satu korps maupun satu nasib (senasib) sebagai korban per-plonco-an yang sama.

Yang berlatar-belakang ekonomi mapan, biarlah bergaul dengan sesama “borju”. Memaksakan yang berlatar-belakang ekonomi kurang mampu untuk bergaul dan berbaur dengan siswa yang berlatar-belakang ekonomi mapan, yang terjadi ialah praktik pelecehan secara implisit maupun eksplisit terhadap yang berekonomi kurang mampu—kecuali pertemanan terjadi secara alamiah dan natural saja sifatnya, tanpa paksaan pihak manapun. Ekosistem manusia di sekolah maupun kampus, berbeda dengan ekosistem dunia kerja dimana seseorang dinilai dari prestasinya bukan dari tingkat ekonomi orangtuanya sebagaimana praktik selama ini di dunia persekolahan maupun kampus.

Ekosistem dunia kerja menekankan meritokrasi dan semangat egaliter, dimana subordinat terjadi sebagai bagian dari pilihan hidup seorang pekerja yang melamar pekerjaan, dengan imbalan berupa upah—sangat bertolak-belakang dengan kontrasnya praktik dunia pendidikan, siswa yang membayar mahal iuran sekolah, namun siswa juga yang diperlakukan bak “buruh” untuk diperintah-perintah pihak sekolah oleh pihak yang diberi “upah”. Pihak sekolah ataupun universitas, secara logis maupun etika moralitas, semestinya memandang dan memperlakukan setiap siswanya sebagai seorang “bos”, dimana juga antar siswa adalah “sesama bos”.

Bila seorang siswa / mahasiswa memang berbeda, maka biarkanlah dan berikan “encourage” bagi siswa / mahasiswa bersangkutan untuk berani mengekspresikan suara atau aspirasinya untuk berkata tegas : “Saya memang beda dari mereka,” atau “Saya memang berbeda dan akan tetap memilih untuk berbeda dari mereka!”—mengapa hal demikian menjadi penting, yakni pengakuan dan penghormatan terhadap kemajemukan serta perbedaan adalah bagian dari sistem pendidikan itu sendiri yang menekankan pentingnya talenta yang beragam antar siswa. Karena salah satu falsafah terpenting Republik Indonesia didirikan, ialah sila “Bhinneka Tunggal Ika”, yang bermakna kemajemukan bukanlah alasan pecah-belah bangsa. Apapun seleranya, kita masih bisa sama-sama membangun republik ini, sekalipun dengan cara dan selera masing-masing.

Biarkanlah yang berbeda sebagai berbeda adanya, tidak homogen, tidak disamaratakan terlebih dipaksakan untuk saling seragam, namun perlu ada kiat atau strategi persuasif yang inspiratif agar bangsa yang majemuk ini tetap bersatu dan “Tunggal Ika”, dengan harapan yang berbeda bukan menjadi alasan untuk saling menyerang dan saling meniadakan satu sama lainnya, namun saling menghormati satu sama lain dan bersama-sama saling membangun republik ini dengan cara mereka masing-masing dan berangkat dari kemajemukan talenta mereka masing-masing. Itulah falsafah terpenting dibalik konsep sila “Bhinneka Tunggal Ika” maupun ilmu pedagogi yang kita bicarakan di atas.

Konsep semacam itu lebih indah serta lebih ideal, disamping lebih humanis, memberdayakan, dan memanusiakan manusia, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang bebas dan merdeka dari penjajahan maupun dari praktik per-plonco-an (menghayati dan menghargai kebebasan serta kemerdekaan untuk berpikir dan membuat keputusan pribadi, jauh lebih mendewasakan karakter seorang peserta didik), ketimbang bentuk-bentuk atau cara-cara dangkal yang kerdil sifatnya semacam per-plonco-an yang mana hasilnya dapat kita lihat pada wajah dunia para manusia dewasa di republik ini, serba penuh ketidak-jujuran, saling memakan satu sama lainnya, saling merampas, saling repersif, “bopeng” wajahnya, dan saling menjatuhkan.

Orientasi para manusia tua atau orang-orang dewasa di republik ini, bukanlah dalam rangka kepentingan bangsa bersama, namun lebih kepada ego sektoral dan bernuansa oligarkhi. Daripada plonco, mengapa kita tidak memperlakukan anak-anak generasi muda sebagai aset berharga bangsa alih-alih sebagai objek plonco untuk diperlakukan seperti kasta buruh yang harus diberi perintah dan disuruh-suruh ataupun diancam-ancam oleh mereka yang memandang dirinya lebih senior ataupun memegang kekuasaan? Abuse of power yang bersumber dari ketimpangan relasi sosial semacam budaya senioritas, bukanlah untuk dipertontonkan, namun untuk di-tabu-kan.

Dalam perspektif sosiologi, banyak anak muda yang terjerumus dalam pergaulan keliru, sekalipun semula merupakan anak yang baik, dapat bermuara dalam tempo yang singkat berubah seratus delapan puluh derajat menjelma pribadi yang berbeda, akibat lingkungan pergaulan yang merusak dan tidak sehat. Mengapa hal demikian, dapat terjadi? Ilmu psikologi mampu menjawabnya secara gamblang dan lugas saja, oleh sebab ia tidak dibiasakan memiliki keberanian untuk berkata “saya berbeda dengan mereka, dan saya berhak untuk menjadi berbeda dengan mereka”, dan berbeda adalah hal yang sah-sah saja sebagai bagian dari pola didik dan asuh yang memberdayakan.

Menjadi berbeda merupakan hak asasi manusia, tanpa terkecuali. Sehingga, seseorang tidak perlu memaksakan diri semata dapat diterima lingkungan pergaulan ataupun suatu organisasi maupun komunitas sosial lainnya, dengan melepas jatidirinya yang semula anak yang baik, menjelma sebagai anak yang nakal dan negatif akibat pengaruh lingkunagn pertemanan yang “toxic”. Apa jadinya bila seekor anjing kemudian “mengembik” demi dapat diterima oleh komunitas kambing di sebuah ladang peternakan; atau sebaliknya, seekor tupai mencoba terampil berenang demi dapat diterima dan dipuji oleh sekumpulan ikan di sebuah danau atau sungai. Suruh saja ikan tersebut untuk mampu berlari di daratan, agar dapat diterima oleh lingkungan pergaulan para serigala.

Biarkanlah yang berbeda untuk diakui sebagai berbeda, maka kekuatan “gravitasi” berupa ikatan-ikatan atau medan daya tarik berupa “kemandirian berpikir” tidak kasat-mata yang akan menuntun mereka untuk menjadi diri mereka sendiri, berpikir diatas kaki sendiri (berdikari), tanpa terpengaruh lingkungan pergaulan yang dewasa kini trennya kian buruk budaya dan pola pergaulan anak mudanya. Sah-sah saja menjadi berbeda, dan tidak perlu gusar ataupun merasa terancam karenanya. Keberanian untuk menyatakan sebagai berbeda, berbeda pendapat, berbeda orientasi keyakinan keagamaan, berbeda cara / metode, berbeda misi dan visi, berbeda ideologi, berbeda haluan, sah-sah sepanjang tidak saling merugikan satu sama lainnya. Menjadi dan tampil beda, bukanlah aib ataupun tabu. Namun lembaga pendidikan formil manakah yang mengajarkan prinsip pemberdayaan manusia independen sebagaimana ulasan di atas? Para siswa dan mahasiswa hasil per-plonco-an, masih juga harus tergopoh-gopoh dan terkaget-kaget mendapati independensi ternyata sebagai faktor penentu berhasil “survive” atau tidaknya mereka setelah kelulusan dan terpencar-pencar antar sesama teman sekolah, sebelum memasuki dunia kompetisi antar pekerja ataupun antar pengusaha.

Itulah yang disebut sebagai seorang nasionalis sejati, yakni meski berbeda, namun tidak merusak kemajemukan, berani untuk “tampil beda”, serta tidak merugikan, tidak melukai, serta tidak menyakiti sesama anak bangsa—bukan lagi sesempit semangat korps. Oleh sebab itulah, praktik per-plonco-an sama sekali tidak memiliki dasar validitas dari segi akademik, falsafah, pedagogi, maupun psiko-sosiologis, dan sudah saatnya dipunahkan dan dimasukkan ke museum untuk menjadi bagian dari sejarah masa lampau tanpa perlu lagi direproduksi, tanpa perlu lagi dilestarikan terlebih dijadikan budaya kampus / sekolah yang semestinya menggunakan waktu yang ada secara lebih produktif dan lebih “mencerdaskan” disamping mencerahkan lewat berbagai inspirasi yang mereka hadirkan bagi para peserta didik yang baru akan bergabung masuk maupun yang akan menjelang kelulusannya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.