Nilai 100 apakah Hanya Milik Tuhan? Apakah Salah, Manusia Berjuang mencapai Kesempurnaan?

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra Menjawab

Yang Buruk / Tidak Sempurna, mengapa Dipertahankan dan Dilestarikan, bahkan Dibanggakan, alih-alih Ditabukan?

Apakah Kesempurnaan hanya Monopoli Tuhan? JIka Manusia Tidak Bisa dan Tidak Boleh Sempurna, artinya Manusia Tidak Mungkin Ciptaan Tuhan dan Tidak dapat Bersatu dengan Tuhan

Question: Guru di sekolah maupun dosen di kampus, sering berkata, nilai ujian 100 itu hanya boleh untuk Tuhan, hanya Tuhan yang sempurna. Kalau begitu, untuk apa kita belajar moralitas agar memiliki watak yang luhur, dan kini kita cukupkan saja berbangga diri pada cacat-cela karakter kita sebagai alibi ketika berbuat salah ataupun sebagai alasan pembenar maupun alasan pemaaf untuk berkelit dari tanggung-jawab? Lantas, apa bedanya kita dengan hewan, yang hanya bisa menyerah pasrah pada keadaan dirinya tanpa daya dan tanpa akal budi, tidak boleh dan tidak dapat berjuang untuk menjadi lebih baik dan mencapai kesempurnaan?

Brief Answer: Untuk menjawabnya, mungkin pertanyaannya perlu dibalik dengan pertanyaan introspektif berikut yang cukup kita jawab sendiri : Mungkinkah yang tidak sempurna, bahkan yang kotor, tercela, cacat karakter, bernoda, dan hitam, untuk bersatu dengan yang mulia, luhur, murni, bersih, dan sempurna? Terlebih, atas dasar delusi apakah, yang berdosa (para pendosa) hendak bersatu dengan yang suci (Tuhan)? Bukankah itu sama artinya, yang bernoda hendak mencemari yang suci-murni? Ingatkah kita kepada pepatah klise : nila setitip rusak susu sebelanga? Apakah Tuhan yang suci-murni, sebodoh itu hendak menyatukan diri dengan para pendosa yang penuh cacat moralitas?

Adalah delusi, seorang pendosa hendak berceramah perihal hidup suci, luhur, mulia, dan bersih—terlebih delusif, ketika seorang pendosa hendak bersatu dengan Tuhan. Untuk memuliakan Tuhan, tiada jalan lain selain dengan menjadi manusia yang sempurna, bukan dengan membanggakan cacat cela watak dalam diri dan melestarikannya. Untuk bersatu dengan Tuhan, tiada jalan lain selain dengan menjadi manusia yang suci dan sempurna, bukan dengan mengikuti praktik ritual sembah-sujud ataupun puja-puji seorang pendosa—itu ibarat orang buta hendak menuntun orang buta lainnya.

Dengan kata lain, yang dibutuhkan ialah nilai luhur serta penting dibalik perjuangan sebagai seorang anak manusia untuk mencapai puncak tertinggi kemurnian pikiran maupun perilaku sebagai prestasi utamanya—sebagai suatu keniscayaan—bukan sebagai seorang penjilat yang rajin memuja-muji dan sembah-sujud yang tidak dibutuhkan oleh siapapun. Bila seorang presiden hanya menyukai “kabinet KERJA”, alias tidak membutuhkan “kabinet ABS (Asal Bapak Senang)” berisi para menteri “penjilat” serta “korup” (pendosa dan pemalas), maka terlebih sosok sepenuh dan seutuh Tuhan?

PEMBAHASAN:

Cobalah tanyakan pertanyaan berikut kepada diri kita sendiri, dengan cara apakah kita berbakti pada kedua orangtua yang telah melahirkan, mengasuh, mendidik, dan membesarkan kita dengan baik? Tentu dengan menjadi manusia dewasa yang baik dan berguna, bukan dengan menjadi anak yang pandai “menjilat”. Saat kini bisa jadi kita jauh dari kesempurnaan, namun bukan artinya tertutup jalan bagi kita mencapai dan menuju kesempurnaan dan menjadi “sempurna”.

Jika yang “baik” hanya milik Tuhan, maka manusia dieliminir dari kebebasan pikiran dan kemampuan juangnya untuk mencapai suatu prestasi tertinggi berupa “kebaikan”. Justru karena manusia mampu dan dapat menjadi “anak yang baik”, maka sejatinya kita mampu menjadi anak yang berbakti. Karena kita sejatinya mampu, namun dihambat oleh ketidakmauan dengan seribu satu dalil dan alibi, jadilah kita berakhir dan bernasib sebagai seorang pemalas dan pendosa, yang bahkan gagal mengawasi dan mengendalikan perilaku kita sendiri. Daya juang perlu dibangkitkan, dihidupkan, dan ditumbuhkan, bukan justru dimatikan bahkan sebelum sempat mekar secara sempurna.

Sama halnya, untuk menghormati dan memualiakan nama Tuhan, atau bahkan untuk menghormati dan mengagungkan nama Sang Buddha, umat Buddhist perlu serta memiliki kewajiban moril untuk menjaga setiap perilakunya tanpa banyak alasan, agar tidak menyakiti, melukai, ataupun merugikan umat beragama lain maupun sesama umat. Sebagai seorang umat, kita mengharumkan atau bahkan sebaliknya, mencoreng, nama agama kita sendiri lewat perbuatan kita—bukan atas dasar menyembah atau tidaknya, juga bukan dengan disembah atau tidaknya suatu sosok yang disembah menjadi mulia atau tidaknya.

Sang Buddha pernah berpesan kepada para siswa-siswi dan para murid-murid-Nya, bahwa untuk menghormati jasa-jasa Beliau dalam membabarkan Dhamma dengan penuh cinta kasih dan welas asih selama 45 tahun hingga akhir hayat hidup Sang Buddha, maka para murid perlu melaksanakan Dhamma, bukan dengan praktik puja-puji ataupun ritual sembah-sujud yang sama sekali tidak menuntun kearah pembebasan ataupun kesucian sebanyak apapun ritual maupun seremonial diadakan. Menghormati guru Anda, dengan cara menjadi manusia dewasa yang luhur serta arif-bijaksana. Sama juga, atas dasar apa Tuhan butuh diakui, dipuja-puji, maupun disembah-sujud?

Ada atau tidak ada umat, diakui maupun tidak diakui, Sang Buddha telah dan tetap sempurna adanya, tanpa kekurangan setitik pun keagungannya. Sama halnya, Tuhan bila memang telah sempurna dan penuh serta utuh, maka ada atau tidak ada umat, diakui maupun tidak diakui, disembah maupun tidak disembah, dipuja-puji maupun tidak dipuja-puji, tidak berkurang ataupun bertambah sejengkal pun kesempurnaan, kemurnian, keagungan, maupun ke-Esa-annya.

Karenanya, Sang Buddha tidak butuh umat pengikut, dimana Sang Buddha membabarkan Dhamma kepada umat manusia atas dasar permohonan makhluk dari alam Brahma, dimana sebanyak apapun umat-Nya kemudian, tetap saja Sang Buddha sempurna, utuh, dan telah penuh adanya—hanya makan satu kali sehari, hanya tidur di alas yang sederhana, tidak memiliki harta selain jubah yang dikenakan dan bowl untuk berpindapatta, hidup selibat.

Sama halnya, apa yang telah utuh, penuh, dan penuh sempurna, menjadi tidak penting lagi ada atau tidaknya umat pengikut, ataupun ada atau tidaknya penyembah, tidak bertambah ataupun berkurang pada faktor kondisional semacam ada atau tidaknya umat pengikut. Sekalipun tidak diakui, Sang Buddha tetap solid seperti batu karang yang kokoh sekalipun diterpa badai dan ombak—itu terjadi semata karena bukan Sang Buddha yang membutuhkan umat, namun sebaliknya, sehingga Sang Buddha tidak pernah mengancam umat manusia bila tidak menyembahnya maka akan dilempar ke “neraka jahanam”, ataupun memberi iming-iming janji-janji surgawi semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” bagi yang mengakui dan menyembahnya.

Yang “minyak”, bersatu dengan “minyak”. Yang “air” bersatu dengan “air”. Nila yang bercampur dengan susu, sama artinya setitik nila rusak susu sebelanga. Air tidak dapat bersenyawa dengan api, maka janganlah siram tabung gas LPG Anda yang terbakar dengan api (namun tutupi dengan kain basah jika terjadi kebakaran tabung gas LPG). Sama halnya, bagaimana mungkin seorang pendosa yang penuh noda dan cela perilaku, hendak bersatu dan bersenyawa dengan Tuhan? Itu sama artinya hendak menodai dan mencemari apa yang suci dan bersih, yakni kemurnian dan kesucian Tuhan.

Ada satu “agama samawi”, yang mana citra sosok nabi-nya justru dikultuskan oleh umatnya seolah-olah telah sempurna, sehingga menjadi kompetitor paling utama dari sosok kesempurnaan Tuhan yang mereka sembah itu sendiri—dimana sang nabi digambarkan atau disebut-sebut sebagai begitu baik, luhur, agung, dermawan, suci, bersih, murni, tanpa noda atau cela apapun. Bahkan, para ibu-ibu lewat speaker pengeras suara eksternal tempat ibadahnya, menyanyikan lagu bahwa “nabi yang merupakan PACAR Tuhan”. Itu sama artinya men-Tuhan-kan seorang manusia, seolah-olah sang nabi bebas dari cacat cela perilaku apapun dan mendapat nilai “100” (sempurna), dengan cara perilaku para umatnya membela mati-matian segala perbuatan tercela sang nabi seolah-olah itu dilakukan demi misi kebaikan dan keagunan nama agama—mencari muka, dan disaat bersamaan menampar muka Tuhan.

Sang Buddha, sebaliknya, bukanlah Tuhan juga bukan nabi. Sang Buddha, mencapai kesempurnaan murni berkat usaha sendiri selama berkalpa-kalpa menanam parami—bukan pemberian, bukan permintaan, bukan rencana makhluk adikodrati, bukan atas seizin Tuhan, juga bukan atas dasar perjuangan maupun pengorbanan pihak lain, terlebih mengorbankan pihak lain. Bila Tuhan digambarkan berhutang budi kepada “messenger”, seolah-olah Tuhan tidak benar-benar “Maha Kuasa” sekadar untuk berbicara kepada manusia meski gadget kita saat kini mampu broadcasting massal, maka Sang Buddha tidak memiliki beban hutang budi semacam itu. Sang Buddha, merupakan mercusuar yang menunjukkan kepada kita, bahwa seorang anak manusia telah ternyata bisa, dapat, mampu, serta boleh menjadi makhluk yang sempurna, sempurna pengetahuan maupun tindak-tanduknya.

Bila ada “Tuhan” yang melarang umat manusia untuk menjadi sempurna atau untuk berjuang menjadi sempurna, maka itu adalah Tuhan yang penuh iri hati dan dengki (masih memiliki noda), tentu bukanlah “Tuhan” yang sejati dan sempurna untuk dapat kita muliakan dan junjung, terlebih “Tuhan” yang mengambil keuntungan dari umat ataupun yang mengatas-namakan agama. Terlebih absurd, bilamana disebutkan bahwa “Tuhan ber-agama”, ataupun memiliki ketergantungan pada sesosok semacam “nabi” yang kemudian lebih dikultuskan oleh para umatnya itu sendiri.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.