Apakah Rekayasa Genetika Melanggar Etika dan Kode Etik Ilmuan?

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra Menjawab

Apakah Mungkin, Sesuatu dapat Terjadi Tanpa Seizin, Kuasa, maupun Rencana Tuhan? Jika ADA, artinya Tuhan TIDAK Maha Kuasa

Question: Semisal ada peneliti yang buat penemuan ataupun teknologi biomolekuler canggih, yang dapat merancang seseorang calon bayi untuk memeiliki genetik tertentu dan tidak memiliki genetik tertentu lainnya, termasuk isu perihal “cloning”, maka apakah sebenarnya itu melanggar kode etik atau semacam etika manusia? Bukakah itu sama artinya melawan kehendak Tuhan? Bukankah itu sama artinya mencoba mendahului kekuasaan Tuhan sang pencipta?

Brief Answer: Jawabannya terletak pada pertanyaan yang sama seperti mengapa selama ini tidak dianggap bertentangan dengan etika ketika seseorang pasien berpenyakit “usus buntu” maupun kanker dan penyakit lainnya, kesemua itu terjadi atas dasar rencana, kehendak, serta kuasa Tuhan. Maka, mengapa praktik kodekteran berani untuk mengoperasi tubuh pasien (manusia) dan merekayasa keadaan sang pasien dari memiliki “usus buntu” menjadi tiada lagi “usus buntu” serta dari semula memiliki tumor atau sel kanker menjadi tiada lagi sel-sel ganas mematikan demikian?

Bila dikatakan sebagai “melawan kehendak Tuhan”, itu sama seperti seseorang yang membeli polis asuransi, yakni jaga-jaga diri dari masa depan yang penuh ketidakpastian serta penuh resiko, termasuk mengantisipasi “the act of God” seperti terjadinya bencana alam atau bahkan kematian dan jatuh sakit bila berupa asuransi jiwa sebagai proteksi dirinya. Anda membeli dan melindungi diri dengan asuransi, sejatinya sedang mencoba melindungi diri dari apa dan dari siapa?

Bila umat manusia benar-benar yakin, bahwa cobaan dan rencana Tuhan adalah yang terbaik bagi manusia, dalam rangka memuliakan manusia, sebagai “Maha Tahu” dan “Maha Baik nan Penyayang”, maka membeli polis asuransi akan menyerupai upaya membentengi diri dari kuasa dan rencana Tuhan. Sama konyolnya ketika seorang umat justru berdoa memohon ini dan memohon itu, seolah Tuhan butuh diberitahu serta digurui, yang artinya Tuhan tidak benar-benar “Maha Tahu” apa yang betul-betul terbaik bagi kita.

Lalu bila disebut sebagai “mendahului kekuasaan dan rencana Tuhan”, itu pun terdengar tidak kalah spekulatifnya dengan mereka yang berasumsi atau berparadigma berpikir bahwasannya segala penemuan dan pencapaian ilmu pengetahuan oleh para peneliti yang bekerja keras meneliti dan menemukan demikian, adalah memang sudah menjadi “grand design” atau “rencana besar” Tuhan, dimana kesemua penelitian dan hasil penemuan para umat manusia tersebut dapat terjadi berkat atau tidak luput dari kuasa, seizin, serta rencana Tuhan—bila tidak dimaknai demikian, maka sama artinya Anda mengakui bahwa ada berbagai hal atau banyak yang bahkan terjadi diluar kuasa maupun kehendak dan rencana Tuhan, yang artinya Tuhan tidak benar-benar “Maha Kuasa” atas nasib dan hidup umat manusia.

PEMBAHASAN:

Menjadi sebaliknya, bila konteks pembicaraan kita bukanlah kehidupan umat manusia sebagai hasil “pemberian” Tuhan, namun hasil dialektika tarik-menarik ataupun pergulatan sengit kepentingan antar manusia, maka kita mau tidak mau berbicara perihal “moral hazard” (agar sesama manusia tidak meniadakan eksistensinya satu sama lain) suatu kebebasan berekperimen dan memproduksi, yang bisa jadi mengancam peradaban umat manusia itu sendiri. Sebagai contoh, kegilaan dibalik penemuan senjata pemusnah massal berhulu ledak nuklir, senjata kimiawi yang begitu tidak manusiawi, maupun senjata-senjata non-konvensional lainnya yang dapat membumi-hanguskan Planet Bumi ini cukup dengan menekan satu tombol, tentu saja patut dilarang oleh setiap penduduk yang masih hidup di bawah satu atap langit peradaban yang sama.

Sebagai sebuah “global village”, kita semua saling berkepentingan, tanpa terkecuali, apapun warna kulit dan bahasanya. Habibat atau ekosistem tempat kita hidup, dapat terancam kesinambungannya dari praktik-praktik yang berpotensi menimbulkan “moral hazard”, karena itulah sebagai salah seorang individu dan sebagai salah seorang “stakeholder” dunia ini, kita tidak dapat berdiam diri ataupun menyerah pasrah dan pasif terhadap nasib ataupun terhadap “rencana dan kehendak Tuhan”.

Kebebasan, tidak terkecuali demokrasi, tanpa pengaturan dan limitasi dalam suatu atau semacam koridor (berisi kebolehan dan larangan) bernama norma hukum, adalah kekacauan (“chaos”) itu sendiri—semata karena masing-masing dari kita hidup dengan saling berbagi ruang gerak dan ruang nafas, bukan pada ruang hampa. Kita semua memiliki kepentingan yang setara atas kelestarian dan keselamatan planet tempat kita dilahirkan, dibesarkan, serta bertumbuh dan bertahan hidup, bebas dari ancaman kegilaan sesama umat manusia.

Sama halnya seperti orang-orang yang memutuskan untuk melakukan operasi plastik estetik, kerap dinilai bertentangan dengan norma sosial—namun secara timpang sebelah tidak mempertanyakan mengapa orang-orang yang didiagnonis memiliki tumor atau kanker ganas dalam tubuh atau kulitnya, dibolehkan dan dibenarkan untuk menjalani proses operasi? Atau kasus yang lebih kontroversial semacam operasi transgender, dari pria menjadi berjenis kelamin wanita atau sebaliknya, dinilai melanggar kodrat sebagai makhluk ciptaan Tuhan, namun tidak dipertanyakan apakah memang itu kehendak serta rencana Tuhan? Toh, jika Tuhan tidak setuju dan tidak memberi izin, maka itu tidak akan berjalan dengan baik dan tidak akan berhasil (berbuah hasil) sebagaimana mestinya.

Selama ini banyak umat manusia memandang dirinya sebagai “nabi dadakan”, seolah-olah dapat membaca pikiran dan menyuarakan suara Tuhan, dengan berspekulasi bahwa itu bertentangan dengan kehendak Tuhan, melanggar kodrat penciptaan oleh Tuhan, mendahului kehendak dan rencana Tuhan, dan lain sebagainya. Namun disaat bersamaan mereka menerapkan apa yang disebut sebagai ideologi ber-“standar ganda”, dengan berkata atau berceramah bahwa sesuatu terjadi atas dasar seizin, kuasa, serta rencana Tuhan—dan tidak akan terjadi bila tiada izin, kuasa, maupun rencana dari Tuhan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.