Semakin AGAMAIS maka Semakin MEROSOT MORALNYA, Ada PENGHAPUSAN DOSA!

Se-Ideal dan Se-Baik Apapun Aturan Hukum Dibentuk, menjadi Percuma Bila Pejabatnya (masih) Agamais Pemeluk AGAMA DOSA

Dogma KORUP Bernama “PENGHAPUSAN DOSA” Selalu Bundling dengan “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN”. Buat Dosa, Siapa Takut? Ada “PENGHAPUSAN DOSA”!

Question: Yang namanya prosedur, pastinya sejak semula dirancang dan dibuat untuk suatu tujuan tertentu yang memiliki dasar pemikiran yang baik, seperti untuk melindungi rakyat maupun warga sekitar, sehingga harus ada semacam AMDAl (analisis mengenai dampak lingkungan), izin mendirikan bangunan, izin penyedotan air tanah, izin tambang, izin gangguan, dan lain sebagainya. Namun mengapa ujung-ujungnya justru kesemua aturan yang baik itu menjelma bumerang dimana warga harus membayar sejumlah uang “pungli” (pungutan liar), kepada oknum-oknum yang memperkaya dirinya sendiri dengan cara memperjual-belikan izin-izin tersebut?

Brief Answer: Hampir seluruh ketentuan hukum perihal prosedur, dijadikan ajang atau kesempatan bagi para pejabat pemerintahan untuk memeras ataupun mengambil keuntungan dari warga masyarakat. Eksesnya terbagi menjadi dua bentuk pola ragam : Pertama, warga atau pengusaha yang memang tidak mau patuh terhadap hukum, suka menabrak / menyerempet hukum, yang memang sedari awal memiliki niat tidak baik, membayar sejumlah dana agar “oknum” (namun “berjemaah”) pejabat pemerintahan agar diterbitkan izin sekalipun yang bersangkutan tidak layak mendapatkan izin, dimana prosedur hanya menjadi sekadar formalitas atau seremoninal belaka.

Kedua, prosedur dijadikan “law as a tool crime” dimana “jika bisa dipersulit, maka untuk apa dipermudah?”—semisal izin rencana menggunakan tenaga kerja asing yang prosedurnya dibentuk dalam rangka melindungi kepentingan tenaga kerja lokal, justru diulur-ulur oleh pejabat di Kementerian Ketenagakerjaan, dalam rangka memancing / menggiring pemohon izin untuk memberikan sejumlah “upeti” (uang pelicin) agar tidak dipersulit serta dipermudah.

Begitupula sebaliknya, bila warga yang diatur juga memiliki “standar moral” yang bobrok, alhasil antara sang warga dan sang pejabat pemerintahan akan ber-“simbiosis mutualisme” saling bermufakat atau bersekutu untuk menyimpangi / mencurangi aturan-aturan hukum yang ada. Hanya ketika baik warga masyarakat maupun aparatur sipil negara sama-sama beritikat baik dengan patuh dan menghormati aturan hukum yang ada, maka aturan hukum maupun prosedur barulah dapat berfungsi sebagaimana mestinya, yakni untuk kepentingan dan kemakmuran segenap rakyat.

PEMBAHASAN:

Bercermin dari fakta realita dan fenomena yang “berjemaah” demikian, maka kita sampai pada satu kesimpulan bahwa aturan hukum yang baik sekalipun, yang dibentuk dengan niat baik pemerintah demi kepentingan atau dalam rangka melindungi warga masyarakat, namun bila implementasi atau eksekutornya ialah manusia-manusia “agamais” pemeluk “Agama DOSA” yang semboyan hidupnya ialah “BUAT DOSA, SIAPA TAKUT?! ADA PENGHAPUSAN DOSA!”, maka pada muaranya tetap saja menjelma “as a tool of crime” (alat kejahatan). Serupa dengan pisau, bisa digunakan untuk kebaikan namun juga bisa disalahgunakan untuk kejahatan. “The man behind the gun”, begitu kata pepatah.

Karenanya, se-ideal apapun aturan hukum dirancang, disusun, dibentuk, disahkan, serta diterbikan oleh negara, akan tetapi ketika realitanya melibatkan tangan-tangan manusia “agamais”, akibatnya aturan-aturan hukum hanya sekadar “macan kertas”, ditutup rapat lembar-lembar halaman berisi aturan hukum tersebut, serta aparatur akan “tutup mata”, disaat bersamaan pihak sipil yang memiliki itikad tidak baik akan dengan leluasa “mengangkangi” serta “menabrak” aturan-aturan hukum yang ada, cukup dengan membayar sejumlah “upeti”. Singkat kata, bongkar-pasang aturan hukum, berupaya menyempurnakan aturan hukum, merevisi aturan hukum, memperketat aturan hukum, menjadi sia-sia bila praktik implementasinya masih melibatkan tangan-tangan “agamais” pemeluk “Agama DOSA”. Hukum tidak akan pernah sempurna, di tangan manusia-manusia “agamais”.

Untuk gambaran nyatanya, sejak era digital segala bentuk permohonan izin dirancang agar mulai tidak lagi bersentuhan langsung dengan aparatur (manusia), dimana warga sipil dapat mengakses permohonan izin maupun pelayanan publik secara elektronik medium daring (“online”)—dari semula konvensional luring tatap-muka dengan pejabat (manusia)—maka warga terhindar dari beragam bentuk praktik pemerasan terselubung, sekalipun aparatur-aparatur tersebut dapat dipastikan seorang “agamais” yang rajin beribadah, mengaku ber-Tuhan, dan percaya akan adanya “neraka” disamping juga yakin akan adanya “PENGHAPUSAN DOSA” (bagi PENDOSA, tentunya), dimana dogma KORUP tersebut sifatnya bundling / komplomenter dengan “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN”.

Kita pun, selaku warga sipil, akan lebih senang berurusan dengan sistem robotik “online” dalam setiap penyelenggaraan perizinan maupun pelayanan publik, daripada berurusan ataupun berhadapan dengan pejabat-pejabat (manusia) yang “agamais” demikian. Bukankah fakta tersebut terdengar “ironis”, kita lebih alergik terhadap “manusia agamais” (para PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA), dan patut untuk mulai bertanya-tanya : mungkinkah Tuhan akan bersedia disatukan dengan para PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA tersebut, alih-alih merasa alergi sebagaimana kita merasa alergi terhadap manusia-manusia “agamais” yang “terhadap dosa dan maksiat begitu kompromistik, namun terhadap kaum yang berbeda keyakinan demikian intoleran” tersebut?

Agama samawi, merupakan “Agama DOSA”—disebut demikian karena dogma-dogma ajaran keyakinannya justru KORUP, mempromosikan “PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN DOSA” maupun “PENEBUSAN DOSA” alih-alih mengkampanyekan gaya hidup higienis dari dosa. Karenanya, umat pemeluknya ialah para pendosawan dimana para pendosa dan “KORUPTOR DOSA” menjadi pengikutnya. “Standar moral” para pemeluk agama samawi (kaum “agamais”), karenanya, merosot menjelma “manusia-hewan” yang sama sekali tidak takut berbuat jahat namun masih juga berdelusi yakin seyakin-yakinnya akan masuk alam surgawi setelah ajal menjemputnya.

Semakin seseorang “agamais” mendalami dan menekuni ataupun tenggelam dalam agama samawi, semakin moralitasnya mengalami kemunduran dan kemerosotan. Berlomba-lomba para “agamais” tersebut menenggelamkan diri ke dalam kubangan samudera dosa, memproduksi segunung dosa, mengoleksi segudang dosa, bersimbah dosa, dan menimbun diri ke dalam jurang dosa. Untuk itu kita dapat membandingkannya dengan khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:

29 (9) Kemunduran

“Para bhikkhu, tujuh hal ini mengarah pada kemunduran seorang umat awam. Apakah tujuh ini?

(1) Ia berhenti menemui para bhikkhu;

(2) ia mengabaikan mendengarkan Dhamma sejati;

(3) ia tidak berlatih dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi;

(4) ia penuh kecurigaan terhadap para bhikkhu, apakah para bhikkhu senior, bhikkhu junior, atau menengah;

(5) ia mendengarkan Dhamma dengan pikiran yang berniat untuk mengkritik, mencari celah kesalahan;

(6) ia mencari orang yang layak menerima persembahan di antara pihak luar;

(7) ia pertama-tama melakukan perbuatan [berjasa] di sana.

[Kitab Komentar : Tattha ca pubbakāra karoti. “Ia pertama-tama memberikan kepada mereka yang mengikuti kepercayaan lain dan setelah itu kepada para bhikkhu.”]

Ketujuh hal ini mengarah pada kemunduran seorang umat awam.

“Para bhikkhu, tujuh hal ini mengarah pada ketidak-munduran seorang umat awam. Apakah tujuh ini?

(1) Ia tidak berhenti menemui para bhikkhu;

(2) ia tidak mengabaikan mendengarkan Dhamma sejati;

(3) ia berlatih dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi;

(4) ia penuh keyakinan terhadap para bhikkhu, apakah para bhikkhu senior, bhikkhu junior, atau menengah;

(5) ia mendengarkan Dhamma dengan pikiran yang tidak berniat untuk mengkritik, tidak mencari celah kesalahan;

(6) ia tidak mencari orang yang layak menerima persembahan di antara pihak luar;

(7) ia pertama-tama melakukan perbuatan [berjasa] di sini.

Ketujuh hal ini mengarah pada ketidak-munduran seorang umat awam.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Sempurna Menempuh Sang Jalan, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan sebagai berikut.”

Seorang umat awam yang berhenti menemui

[para bhikkhu] yang telah mengembangkan diri mereka,

[yang berhenti] mendengarkan ajaran-ajaran para mulia,

dan tidak berlatih dalam moralitas yang lebih tinggi;

yang kecurigaannya terhadap para bhikkhu senantiasa meningkat;

yang ingin mendengarkan Dhamma sejati

dengan pikiran untuk mengkritik;

umat awam yang mencari seorang yang layak menerima persembahan di antara pihak luar

dan pertama-tama melakukan perbuatan berjasa kepada mereka:

ketujuh prinsip yang telah diajarkan dengan baik ini

menggambarkan apa yang mengarah menuju kemunduran.

Seorang umat awam yang mendekati ketujuh prinsip ini

jatuh dari Dhamma sejati.

Seorang umat awam yang tidak berhenti menemui

[para bhikkhu] yang telah mengembangkan diri mereka,

yang mendengarkan ajaran-ajaran para mulia,

dan berlatih dalam moralitas yang lebih tinggi;

yang keyakinannya terhadap para bhikkhu

senantiasa meningkat;

yang ingin mendengarkan Dhamma sejati

dengan pikiran tidak untuk mengkritik;

umat awam yang tidak mencari seorang yang layak menerima persembahan di antara pihak luar

melainkan yang pertama-tama melakukan perbuatan berjasa di sini:

ketujuh prinsip yang telah diajarkan dengan baik ini

menggambarkan apa yang mengarah menuju ketidakmunduran.

Seorang umat awam yang mendekati ketujuh prinsip ini

tidak jatuh dari Dhamma sejati.

Dunia ini tidak pernah kekurangan kaum “agamais”. Bukankah menjadi lucu disamping absurd, Anda maupun kita semua lebih suka berurusan dengan sistem digital elektronik (“online”) dalam setiap proses pengurusan izin maupun pelayanan publik daripada berhadapan dengan aparatur (manusia) yang gajinya dibayar dari pajak yang dibayar oleh kita selaku masyarakat? Apakah ada diantara Anda, yang merasa aman, damai, tenteram, terlindungi, terjamin, senang, suka, tidak alergik, mau memberikan kepercayaan, ataupun sejumlah uang pinjaman, kepada kaum “agamais” berikut—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]

Babi, disebut “haram”. namun, dogma-dogma KORUP semacam “PENGHAPUSAN DOSA” disebut “halal” serta dijadikan “halal lifestyle”—sekalipun hanya seorang PENDOSA yang butuh “PENGHAPUSAN DOSA”. PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, hidup suci, baik, mulia, lurus, adil, luhur, serta agung? Itu menyerupai ORANG BUTA yang hendak menuntun para butawan lainnya, neraka pun dipandang sebagai surga, berlomba-lomba dan berbondong-bondong dengan bangga penuh percaya-diri mereka terperosok menuju lembah-jurang-nista yang begitu kotor dan kelam. Tidak ada yang lebih mengerikan, hewanis, premanis, mafianis, kriminalis dan lebih jahat daripada cara hidup maupun gaya hidup kalangan umat agama samawi—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]