Lebih Hina daripada Pengemis, Pengemis Saja Mencari Makan Tanpa Merampas Nasi dari Piring Milik Orang Lain
Lebih Hina daripada Wanita Tunasusila, Wanita Tuna Susila
Saja Mencari Makan Tanpa Merampas Nasi dari Piring Milik Profesi Orang Lain
Question: Tidak sedikit orang-orang yang sudah punya banyak rumah, banyak tabungan, banyak kendaraan, banyak harta, namun masih juga bersikap seperti pengemis, meminta-minta dari orang yang sejatinya lebih kurang secara ekonomi daripada diri mereka. Bahkan, ada juga orang-orang yang sekalipun tergolong milioner, namun masih juga tanpa malu merampas hak-hak ekonomi orang lain yang sedang mencari nafkah, sehingga terkesan seolah hanya dirinya seorang saja yang berhak mencari nafkah tanpa mau menghargai hak orang lain untuk juga mencari nafkah. Mengapa bisa ada orang yang begitu tidak punya malu dan “sudah putus urat malunya” seperti itu?
Brief Answer: Seringkali, faktor keserakahan membuat seseorang
yang sejatinya jauh lebih berpunya secara materi, berkecukupan, bahkan
berlebihan, namun bersikap “lebih hina daripada pengemis” karena merampas hak-hak
maupun nasi yang ada di atas piring milik profesi orang lain. Seorang pengemis,
mencari sesuap nasi tanpa merampas nasi di atas piring milik orang lain. Menjadi
tidak mengherankan ketika Sang Buddha membabarkan sabda berupa kutipan berikut:
“Jika anggota keluarga ini
memiliki pendapatan yang kecil namun hidup mewah, orang lain akan berkata
tentangnya: ‘Anggota keluarga ini memakan hartanya bagaikan pemakan buah ara.’
Tetapi jika ia memiliki pendapatan besar namun hidup hemat, orang lain akan
berkata tentangnya: ‘Anggota keluarga ini bahkan bisa kelaparan.’
Tetapi ini disebut kehidupan
seimbang ketika seorang anggota keluarga mengetahui pendapatan dan
pengeluarannya dan menjalani hidup seimbang, tidak terlalu boros juga tidak
terlalu hemat, [dengan memahami]: ‘Dengan cara ini pendapatanku akan melebihi
pengeluaranku dan bukan sebaliknya.’”
PEMBAHASAN:
Orang-orang dengan watak serakah, cenderung “kikir”
dalam membelanjakan harta-hartanya yang tidak akan habis untuk membeli makanan
untuk seumur hidupnya, sehingga cenderung untuk merampas hak-hak orang lain, sebagaimana
dapat kita rujuk khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom
Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta
Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:
54 (4) Dīghajāṇu
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang menetap di antara penduduk Koliya di dekat pemukiman Koliya bernama Kakkarapatta.
Di sana pemuda Koliya Dīghajāṇu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi,
dan berkata kepada Beliau:
“Bhante, kami adalah para umat
awam yang menikmati kenikmatan-kenikmatan indria, menetap di rumah yang penuh dengan
anak-anak. Kami menggunakan kayu cendana dari Kāsi; kami memakai kalung bunga,
wewangian, dan salep; kami menerima emas dan perak. Sudilah Sang Bhagavā
mengajarkan Dhamma kepada kami dalam suatu cara yang dapat mengarah pada
kesejahteraan dan kebahagiaan kami dalam kehidupan ini dan kehidupan mendatang.”
“Ada, Byagghapajja, empat hal
ini yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan seorang anggota keluarga
dalam kehidupan ini. Apakah empat ini? Kesempurnaan dalam inisiatif, kesempurnaan
dalam perlindungan, pertemanan yang baik, dan kehidupan yang seimbang.
(1) “Dan apakah kesempurnaan
dalam inisiatif? Di sini, cara apa pun yang dengannya seorang anggota
keluarga mencari penghidupannya – apakah dengan bertani, berdagang, beternak,
keterampilan memanah, pelayanan pemerintahan, atau keterampilan-keterampilan
lainnya – ia terampil dan rajin; ia memiliki penilaian yang baik atasnya agar
dapat melaksanakan dan mengaturnya dengan benar. Ini disebut kesempurnaan
dalam inisiatif.
(2) “Dan apakah kesempurnaan
dalam perlindungan? Di sini, seorang anggota keluarga mendirikan perlindungan
dan penjagaan atas kekayaan yang telah ia [282] peroleh melalui inisiatif dan kegigihan,
yang dikumpulkan dengan kekuatan lengannya, yang diusahakan dengan keringat di
dahinya, kekayaan yang benar yang diperoleh dengan benar, dengan
berpikir: ‘Bagaimanakah aku dapat mencegah raja-raja dan para pencuri merampasnya,
api membakarnya, banjir menghanyutkannya, dan para pewaris yang tidak disukai
mengambilnya?’ Ini disebut kesempurnaan dalam perlindungan.
(3) “Dan apakah pertemanan yang
baik? Di sini, di desa atau pemukiman mana pun seorang anggota keluarga
menetap, ia bergaul dengan para perumah tangga atau para putra mereka – apakah
yang masih muda dengan moralitas yang matang, atau yang sudah tua dengan
moralitas yang matang – yang sempurna dalam keyakinan, perilaku bermoral,
kedermawanan, dan kebijaksanaan; ia berbincang-bincang dengan mereka dan
terlibat dalam diskusi dengan mereka. Sejauh apa pun mereka sempurna dalam
keyakinan, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan keyakinan; sejauh apa pun
mereka sempurna dalam perilaku bermoral, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan
perilaku bermoral; sejauh apa pun mereka sempurna dalam kedermawanan, ia meniru
mereka dalam hal kesempurnaan kedermawanan; sejauh apa pun mereka sempurna
dalam kebijaksanaan, ia meniru mereka dalam hal kesempurnaan kebijaksanaan.
Ini disebut pertemanan yang baik.
(4) “Dan apakah kehidupan yang
seimbang? Di sini, seorang anggota keluarga mengetahui pendapatan dan
pengeluarannya dan menjalani kehidupan seimbang, tidak terlalu boros juga
tidak terlalu berhemat, [dengan memahami]: ‘Dengan cara ini pendapatanku akan
melebihi pengeluaranku dan bukan sebaliknya.’ Bagaikan seorang petugas
penimbang atau pembantunya, dengan memegang timbangan, mengetahui: ‘Dengan
sebanyak ini timbangan akan turun, dengan sebanyak ini timbangan akan naik,’ demikian
pula seorang anggota keluarga mengetahui pendapatan dan pengeluarannya dan
menjalani hidup seimbang, tidak terlalu boros juga tidak terlalu hemat, [dengan
memahami]: ‘Dengan cara ini pendapatanku akan melebihi pengeluaranku [283] dan
bukan sebaliknya.’
“Jika anggota keluarga ini memiliki pendapatan yang kecil
namun hidup mewah, orang lain akan berkata tentangnya: ‘Anggota keluarga ini
memakan hartanya bagaikan pemakan buah ara.’ Tetapi jika ia memiliki
pendapatan besar namun hidup hemat, orang lain akan berkata tentangnya:
‘Anggota keluarga ini bahkan bisa kelaparan.’ Tetapi ini disebut kehidupan
seimbang ketika seorang anggota keluarga mengetahui pendapatan dan
pengeluarannya dan menjalani hidup seimbang, tidak terlalu boros juga tidak
terlalu hemat, [dengan memahami]: ‘Dengan cara ini pendapatanku akan
melebihi pengeluaranku dan bukan sebaliknya.’
[Kitab Komentar : “Seseorang
yang ingin memakan buah ara akan mengguncang sebatang pohon ara yang sudah
matang dan dengan usahanya ia meruntuhkan banyak buah. Ia akan memakan buah
yang matang dan pergi, meninggalkan sisanya di belakang; demikian pula,
seseorang yang menghabiskan sebagian besar dari pendapatannya menikmati
kekayaannya dengan menghamburkannya, sehingga dikatakan: ‘Orang ini memakan kekayaannya
bagaikan si pemakan buah ara.’” Paralel sutta terjemahan versi China
menyebutkan “Semua orang menyebutnya sebutir
ara tanpa benih. Seorang dungu, mangsa bagi ketagihan, tidak
mempertimbangkan siapa yang akan datang setelahnya.”
“Kekayaan yang dikumpulkan
demikian memiliki empat sumber pemborosan: bermain perempuan, bermabuk-mabukan,
berjudi, dan pertemanan yang buruk, pergaulan yang buruk, persahabatan yang
buruk. Seperti halnya ada sebuah waduk besar dengan empat saluran masuk dan
empat saluran keluar, dan seseorang menutup saluran-saluran masuk dan membuka
saluran-saluran keluar, dan tidak ada turun hujan, maka ia dapat berharap air
dalam waduk tersebut menjadi berkurang dan bukan bertambah; demikian pula, kekayaan
yang dikumpulkan demikian memiliki empat sumber pemborosan: bermain perempuan …
persahabatan yang buruk.
“Kekayaan yang dikumpulkan
demikian memiliki empat sumber penambahan: ia menghindari bermain perempuan,
menghindari bermabuk-mabukan, dan [284] menghindari berjudi, dan mengembangkan
pertemanan yang baik, pergaulan yang baik, persahabatan yang baik. Seperti
halnya ada sebuah waduk besar dengan empat saluran masuk dan empat saluran
keluar, dan seseorang membuka saluran-saluran masuk dan menutup saluran-saluran
keluar, dan hujan turun dengan cukup, maka seseorang dapat berharap air dalam
waduk tersebut menjadi bertambah dan bukan berkurang; demikian pula, kekayaan
yang dikumpulkan demikian memiliki empat sumber penambahan: ia menghindari bermain
perempuan … dan mengembangkan persahabatan yang baik.
“Ini adalah keempat hal itu
yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan seorang anggota keluarga dalam
kehidupan ini.
“Ada, Byagghapajja, empat hal
[lainnya] yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan seorang anggota
keluarga dalam kehidupan mendatang. Apakah empat ini? Kesempurnaan dalam keyakinan,
kesempurnaan dalam perilaku bermoral, kesempurnaan dalam kedermawanan, dan
kesempurnaan dalam kebijaksanaan.
(5) “Dan apakah kesempurnaan
dalam keyakinan? Di sini, seorang anggota keluarga memiliki keyakinan. Ia
berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah
seorang Arahant … guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ini
disebut kesempurnaan dalam keyakinan.
(6) “Dan apakah kesempurnaan
dalam perilaku bermoral? Di sini, seorang anggota keluarga menghindari
pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari
hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, dan menghindari meminum
minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi
kelengahan. Ini disebut kesempurnaan dalam perilaku bermoral.
(7) “Dan apakah kesempurnaan
dalam kedermawanan? Di sini, seorang anggota keluarga berdiam di rumah
dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan
terbuka, bersenang dalam melepaskan, menekuni derma, bersenang dalam memberi
dan berbagi. Ini disebut kesempurnaan kedermawanan.
(8) “Dan apakah kesempurnaan
dalam kebijaksanaan? [285] Di sini, seorang anggota keluarga bijaksana, ia
memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan
menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini disebut kesempurnaan
dalam kebijaksanaan.
“Ini adalah keempat hal
[lainnya] yang mengarah kesejahteraan dan kebahagiaan seorang anggota keluarga
dalam kehidupan mendatang.”
Berusaha dalam pekerjaannya,
cermat dalam pengaturannya,
seimbang dalam gaya hidupnya,
ia menjaga kekayaan yang ia peroleh.
Dengan memiliki keyakinan,
sempurna dalam moralitas,
dermawan dan hampa dari kekikiran,
ia terus-menerus memurnikan sang jalan
yang mengarah pada keamanan dalam kehidupan mendatang.
Demikianlah kedelapan kualitas ini
dari seorang pencari kehidupan rumah tangga yang berkeyakinan
dikatakan oleh Ia yang dinamai dengan benar
[Kitab Komentar : Akkhātā saccanāmena. Seorang “yang
dinamai dengan benar” adalah Sang Buddha, karena nama “Buddha” sesuai dengan statusNya
yang sebenarnya sebagai seorang yang tercerahkan.]
mengarah pada kebahagiaan di kedua keadaan:
kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan ini,
dan kebahagiaan dalam kehidupan mendatang.
Demikianlah bagi mereka yang berdiam di rumah,
kedermawanan dan jasa mereka bertambah.
~0~
55 (5) Ujjaya
Brahmana Ujjaya mendatangi Sang
Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri
ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:
“Guru Gotama, aku hendak pergi
ke luar negeri. Sudilah Guru Gotama mengajarkan Dhamma kepadaku tentang hal-hal
yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaanku dalam kehidupan ini dan
kehidupan mendatang.”
[Berikutnya identik dengan
8:54, termasuk syairnya, tetapi dibabarkan kepada sang Brahmana.] [286-89].”
“Agama DOSA” berikut ini
pun akan membuat umat pemeluknya senantiasa dikuasai oleh HAUS, MABUK, serta
KELAPARAN hingga KECANDUAN DOSA—ingat, ideologi KORUP bernama “PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN
DOSA” maupun “PENEBUSAN DOSA”, selalu bundling alias komplomenter dengan “DOSA-DOSA
UNTUK DIHAPUSKAN”—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:
- No.
4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi
bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebesar itu pula.”
- No.
4857 : “Barang siapa membaca
Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus
kali dalam sehari, maka dosanya akan
dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
- No.
4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a;
Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No.
4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk
Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian
disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini
warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku
rizki).”
- No.
4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya
saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha
Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu
memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
selamatkanlah aku,”
- Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja
yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya,
‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah
ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap
kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi.
Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai
setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi
ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan
sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan
sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No.
3540]
Bung,
hanya seorang PENDOSA yang butuh PENGHAPUSAN DOSA, alias kaum atau kasta paling
rendah, hina, kotor, tercela, nista, serta dangkal—juga masih dikutip dari
Hadis Muslim:
- No.
4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah
tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah
menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa
sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan
yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang
do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia
menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku
lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukkan
sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku
lakukan.’”
- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan
perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah
bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya
bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu
maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi
seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR
Bukhari Muslim]