Yang Hidup dari Pedang (Ideologi KORUP Bernama “PENGAMPUNAN DOSA”), akan Mati oleh Pedang yang Sama
Vonis dan Nasib Hidup Kaum
KORUPTOR DOSA : Hidup Penuh Penyesalan ketika Pelakunya Belum Dibalas dan Diadili
Selagi Masih Hidup
Question: Mengapa terhadap maling sandal saja, orang Indonesia bisa beramai-ramai mengeroyoki, tidak jarang hingga maling itu tewas di tempat karena dibakar warga? Bukan satu atau dua kejadiannya, dan juga dapat kita temukan fenomena sosial serupa di berbagai wilayah di negeri serba agamais ini. Apa yang sebetulnya dipikirkan oleh mereka sehingga tergerak untuk melakukan aksi “main hakim sendiri” ini?
Brief
Answer: Aktivitas batiniah
yang terjadi dalam diri bangsa “agamais” ini, bukanlah faktor sosiologis, namun
lebih kepada anasir dogma-dogma keagamaan para pemeluk agama samawi itu sendiri
yang “backbone” (pilar utama) ajarannya ialah ideologi “PENGAMPUNAN /
PENGHAPUSAN / PENEBUSAN DOSA”, sehingga ketika umat agama samawi giliran
menjadi korban, mereka tidak bisa menerima kenyataan dijadikan korban dan menjadi
korban—karena selama ini merekalah “PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA” (KORUPTOR
DOSA) yang menikmati iming-iming “too good to be true” semacam “abolition
of sins” demikian.
Karenanya, ketika mereka dijadikan korban atau giliran menjadi korban,
para “PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA” tersebut menyadari betul bahwa
pelakunya yang telah menyakiti, melukai, maupun merugikan diri mereka pada
akhirnya di akherat akan dihapus dosa-dosanya, dimana Allah “maha pemurah”
terhadap PENDOSA alih-alih bermurah-hati kepada Korban, dimana juga Allah merampas
hak keadilan sang korban, dan disaat bersamaan lebih PRO terhadap para KORUPTOR
DOSA.
PEMBAHASAN:
Kita contohkan seorang istri berselingkuh dengan
wanita lain, sang suami menjadi korban dari perselingkuhan sang istri. Namun,
mengingat sang istri merupakan seorang soleha (rajin solat) yang berbusana
agamais dari ujung rambut hingga ujung kaki, begitupula pria selingkuhannya
yang tidak pernah bolos solat Jum’at, juga rajin bolak-balik ke Arab untuk
umroh, akibatnya Allah mengampuni dosa-dosa sang istri maupun pria
selingkuhannya, lalu memasukkan mereka semua ke sorga. Sang suami, untuk kedua
kalinya, menjadi penonton dimana sang istri kini bebas berselingkuh dengan “pria
idamannya” di alam sorga.
Alhasil, sang suami menjadi korban untuk kesekian
kalinya. Tidak terima akan kenyataan menjadi korban, maka sebelum para
pelakunya meninggal dunia dan masuk ke akherat, sang suami perlu “membuat
perhitungan” dengan menggugat, melaporkan ke polisi, atau jika perlu juga
melakukan persekusi (main hakim sendiri). Karenanya, vonis hidup kaum umat agama
samawi ialah dihantui penyesalan untuk seumur hidupnya bila tidak berhasil “BALAS
DENDAM” menuntut keadilan sebelum para KORUPTOR DOSA tersebut meninggal dunia. Tidak
terkecuali dalam dogma nasrani, yesus dikisahkan memasukkan ke sorga dua penjahat
yang turut disalib bersama dengannya, mengakibatkan para umat agama nasrani
justru ter-demotivasi untuk menjadi orang baik-baik.
Sebaliknya, bila Anda bukanlah atau tidak menjadi
bagian dari kaum KORUPTOR DOSA, maka Anda akan bebas dari penyesalan saat menjalani
hidup maupun saat akan meninggal dunia, sebagaimana khotbah Sang Buddha
dalam “Aṅguttara Nikāya :
Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:
54 (1) Tidak Dinyatakan
Seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, [68]
duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, mengapakah keragu-raguan itu tidak
muncul pada siswa mulia yang terpelajar sehubungan dengan hal-hal yang tidak
dinyatakan?”
[Kitab Komentar : Hal-hal yang tidak dinyatakan (abyākatavatthūni)
adalah sepuluh persoalan yang tidak dinyatakan oleh Sang Buddha: apakah dunia adalah
kekal atau tidak kekal, apakah dunia adalah terbatas atau tidak terbatas,
apakah prinsip-kehidupan sama dengan jasmani atau berbeda, dan empat alternatif
sehubungan dengan status Sang Tathāgata setelah kematian.]
“Dengan lenyapnya pandangan-pandangan, bhikkhu, keragu-raguan tidak
muncul pada siswa mulia yang terpelajar sehubungan dengan hal-hal yang tidak
dinyatakan.
(1) “‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’: ini melibatkan pandangan;
‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’: ini melibatkan pandangan;
‘Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah kematian’: ini melibatkan
pandangan; ‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah
kematian’: ini melibatkan pandangan.
“Bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar tidak memahami pandangan-pandangan,
asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Baginya, pandangan itu
meningkat. Ia tidak terbebas dari kelahiran, dari usia tua dan kematian,
dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia tidak
terbebas dari penderitaan, Aku katakan.
“Tetapi, siswa
mulia yang terpelajar memahami pandangan-pandangan, asal-mulanya, lenyapnya,
dan jalan menuju lenyapnya. Baginya, pandangan itu berkurang. Ia terbebas dari kelahiran,
dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan
kesengsaraan; ia terbebas dari penderitaan, Aku katakan.
“Mengetahui demikian, melihat demikian, siswa mulia yang terpelajar tidak
menyatakan: ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’; atau: ‘Sang Tathāgata tidak
ada setelah kematian’; atau: ‘Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah
kematian’; atau: ‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian.’
Mengetahui demikian, melihat demikian, siswa mulia yang terpelajar tidak
membuat pernyataan sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan.
“Mengetahui demikian, bhikkhu, melihat demikian, siswa mulia yang
terpelajar tidak gemetar, tidak goyah, tidak bimbang, dan tidak takut
sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan.
(2) “‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’: ini melibatkan ketagihan
… (3) … ini [69] melibatkan persepsi … (4) … suatu anggapan … (5)
… proliferasi … (6) melibatkan kemelekatan … (7) … [landasan
bagi] penyesalan; ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’: ini
adalah [landasan bagi] penyesalan; ‘Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada
setelah kematian’: ini adalah [landasan bagi] penyesalan; atau ‘Sang
Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian’: ini adalah
[landasan bagi] penyesalan.
“Bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar tidak memahami penyesalan,
asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Baginya, penyesalan itu
meningkat. Ia tidak terbebas dari kelahiran, dari usia tua dan kematian,
dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia tidak
terbebas dari penderitaan, Aku katakan.
“Tetapi, siswa
mulia yang terpelajar memahami penyesalan, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan
menuju lenyapnya. Baginya, penyesalan itu berkurang. Ia terbebas dari kelahiran,
dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan;
ia terbebas dari penderitaan, Aku katakan.
“Mengetahui demikian, melihat demikian, siswa mulia yang terpelajar tidak
menyatakan: ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’; atau: ‘Sang Tathāgata tidak
ada setelah kematian’; atau: ‘Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah
kematian’; atau: ‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian.’
Mengetahui demikian, melihat demikian, siswa mulia yang terpelajar tidak
membuat pernyataan sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan.
“Mengetahui demikian, melihat demikian, siswa mulia yang terpelajar tidak
gemetar, tidak goyah, tidak bimbang, dan tidak takut sehubungan dengan hal-hal
yang tidak dinyatakan. [70]
“Bhikkhu, ini adalah mengapa keragu-raguan tidak muncul pada siswa mulia
yang terpelajar sehubungan dengan hal-hal yang tidak dinyatakan.”
Berikut inilah, dogma-dogma yang membuat para umat
agama samawi terobsesi untuk membalas dendam kepada para KORUPTOR DOSA sebelum
mereka meninggal dunia, dimana tidak berhasil menuntut keadilan saat kini juga
maka itu artinya kerugian besar—kesemuanya dikutip
dari Hadis Sahih Muslim:
-
No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi
bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebesar itu pula.”
-
No. 4857 : “Barang siapa membaca
Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus
kali dalam sehari, maka dosanya akan
dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
-
No. 4863 : “Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a;
Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
-
No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang
masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat
kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii
wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah
aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah
aku rizki).”
-
No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang
sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan
Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika
kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
selamatkanlah aku,”
- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar
gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan
Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk
surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi
menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga
berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]
-
Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah
ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap
kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi.
Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai
setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi
ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan
sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan
sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No.
3540]
Cobalah
Anda tanyakan kepada diri Anda sendiri, apa yang akan Anda lakukan, bila seandainya
kalangan korbannya ialah Anda dimana pihak pelakunya ialah sang “nabi rasul Allah”
berikut—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:
-
No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada
Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
-
No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah
tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia
menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku
lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
-
No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukkan
sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku
lakukan.’”
-
No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan
perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa
suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni
dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah
menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”
[HR Bukhari Muslim]