Belajar Mengenali Kaitan antara KONTEKS dan KONSEKUENSI Dibalik Masing-Masing KONTEKS

Berani Berbuat (Konteks), maka Harus Berani Bertanggung-Jawab (Konsekuensi)

Agama Samawi justru Mengajarkan Umatnya untuk Mencurangi Konsekuensi Atas Perbuatan-Perbuatan Buruk Mereka Sendiri lewat Ideologi KORUP (bagi KORUPTOR DOSA) Bernama “PENGAMPUNAN / PENGHAPUSAN / PENEBUSAN DOSA”

Pisau dapur yang menjadi andalan penulis, bukanlah pisau dapur yang tajam setajam silet, namun pisau yang “tidak terlalu tajam”. Mengapa? Alasannya sederhana, ketika penulis melakukan kekeliruan dalam memotong sayur ataupun buah, tidak berakibat fatal melukai tangan. Pisau dengan bilah besi yang cukup tebal dan tidak terlampau tajam, paling ideal untuk memotong buah, karena resiko tangan terluka sayatan menjadi cukup kecil. Entah sudah untuk keberapa kalinya penulis tertolong oleh pisau yang kondisinya “tidak terlampau tajam”. Pisau yang tajam yang pisau yang tidak terlampau tajam, adalah konteks. Masing-masing konteks, memiliki konsekuensinya sendiri.

Anda bisa membeli kendaraan bermotor, namun konsekuensinya ialah Anda harus secara rutin meluangkan waktu serta mengeluarkan biaya untuk merawatnya. Bila Anda tidak memiliki kendaraan bermotor, Anda tidak direpotkan seperti kerepotan pemilik kendaraan, namun Anda menjadi kurang leluasa dalam mobilisasi disamping alokasi biaya transportasi yang bisa cukup besar. Sebuah negara bisa memiliki reaktor nuklir ataupun bom nuklir, namun mereka harus berhadapan dengan isu kebocoran reaktor nuklir serta limbah nuklir disamping paparan radioaktif yang mencemari lingkungan hidup sumber pangan. Ketika negara tersebut mengambil pilihan untuk membangun reaktor nuklir, maka ia tidak dapat mengeluh ketika terjadi insiden pada reaktor tersebut. Negara lain yang bertetangga yang berdiam diri atas pembangunan reaktor nuklir negara tetangganya, tidak dapat komplain ketika radiasi menjalar ke sang negara tetangga lewat paparan pada hewan-hewan laut yang menjadi konsumsi manusia ataupun limbah nuklir yang terbawa arus air laut.

Kini, mari kita implementasikan pemahaman demikian, dalam pengalaman sehari-hari. Pada suatu siang, penulis menumpang sebuah kendaraan umum yang kondisinya penuh oleh penumpang. Salah seorang penumpang yang masih muda tiba-tiba berteriak : “SAYA TURUN DI DEPAN!”, dan tidak lama setelah kendaraan berhenti dan penumpang tersebut turun, penumpang lain menggerutu (penumpang ini sudah mencapai paruh baya), bahwa penumpang yang turun tersebut tadi berteriak membuatnya terkejut. Menurut Anda, siapakah yang tidak arif dan bijaksana dalam kejadian di atas, sang penumpang tua ataukah yang muda?

Ketika Anda naik kendaraan umum, yang artinya sama-sama menjadi penumpang bersama dengan penumpang lain, maka Anda artinya harus siap untuk tiba-tiba ada penumpang yang berteriak pada supir, memberitahu bahwa ia hendak turun atau sudah sampai pada lokasi ia ingin turun dari kendaraan. Kecuali, Anda men-carter atau menyewa kendaraan pribadi, menjadi penumpang privat, maka dapatlah Anda berharap tidak mendengar teriakan penumpang lain. Itulah yang disebut, konsekuensi dibalik konteks. Kecerdasan dalam mengenali dan menyadari konteks serta konsekuensi yang mendampinginya, serta memahami dalam konteks manakah ia berada, telah ternyata tidak secara sendirinya dikuasai oleh seesorang warga, sekalipun usianya terus bertambah dan rambutnya kian memutih.

Pernah pada suatu siang, penulis mengikuti sebuah seminar. Dua orang ibu-ibu yang saling berteman, duduk tepat di samping penulis. Sepanjang jalannya sesi seminar, kedua ibu-ibu tersebut berisik mengobrol berdua, membuat penulis sebetulnya merasa terganggu namun tidak menegur perilaku mereka yang mengganggu peserta lainnya untuk menyimak. Beberapa waktu kemudian, penulis yang sejak awal “membisu”, mencoba berinteraksi dengan pembawa acara, akan tetapi kedua ibu-ibu yang duduk di samping penulis menghardik penulis sebagai telah mengagetkan mereka.

Mereka, kedua ibu-ibu tersebut, bersikap seolah-olah penulis hanya boleh menjadi menjelma patung atau sebalok kayu ataupun sebongkah batu yang hanya bisa membisu-bungkam (karena sejak semula memang “mematung-membisu”), semata karena sejak awal penulis memang “hening” tanpa bicara sepatah katapun. Namun mereka tidak mau memahami, bahwa mereka berada dalam ruang seminar dimana setiap peserta berhak berinteraksi dengan pembaca acara serta berbicara sebagai seorang manusia, karenanya jangan pernah menuntut hal yang tidak realistis. Bila mereka menginginkan “hening” dari orang lain sementara mereka sendiri bebas mengobrol dan berisik sendiri sejak awal jalannya acara, mereka semestinya tinggal dan bermukim di hutan bersama kera dan simpanse. By the way, ibu-ibu semacam itu sejujurnya memang tampak tidak ubahnya kawanan monyet yang berisik.

Ketika Anda memilih untuk berkendara di jalan umum, maka Anda harus siap mental untuk dikejutkan oleh klakson pengendara lain, ataupun disalib. Sejatinya, bila kita telah menyiapkan mental, siap secara mental, kita tidak akan terkejut ketika benar-benar diklakson di tengah jalan. Ketika Anda membuka usaha, maka Anda akan berhadapan dengan resiko usaha, bisa untung namun juga bisa buntung. Menyadari hal tersebut, maka Anda tidak akan terlampau terpukul ketika mengalami kesulitan dalam menjalankan usaha, Anda telah siap secara mental untuk terjadinya hal-hal yang berhubungan dengan suatu resiko dibalik membuka usaha.

Bila konteksnya ialah Anda memilih untuk menikah, konsekuensinya Anda harus merawat dan membiayai istri maupun anak-anak Anda, juga tidak bisa berbas melirik wanita lainnya, itulah “derita orang menikah”. Sementara bila konteksnya ialah Anda memilih untuk melajang untuk seumur hidup Anda, maka Anda pun akan menghadapi “derita orang yang melajang”. Kabar baiknya, hidup adalah pilihan, dimana kita memiliki kebebasan untuk memilih beragam konteks lengkap dengan konsekuensinya masing-masing. Bila Anda menikahi seorang wanita muda, karena penampilannya menawan dan cantik, maka Anda harus siap atas konsekuensinya bila istri Anda menjelma tidak lagi menarik saat bertambahnya usia. Bila Anda menceraikan istri Anda, karena tubuhnya tidak lagi menarik bagi Anda, itu artinya Anda adalah pria yang tidak bertanggung-jawab atas pilihan serta konsekuensi dibaliknya yang telah Anda pilih sendiri.

Pernah terjadi pada suatu siang di suatu jalan perumahan yang sempit, seorang pengemudi mengendarai kendaraan bermotor roda empat menghentikan laju mobil yang dikendarai olehnya, lalu dari balik jendela mobil asyik mengobrol dengan warga yang memakai busana agamais berdiri di pinggir jalan, tanpa memerdulikan pengendara / pengguna jalan lain di belakangnya. Ketika akhirnya penulis tidak lagi dapat bersabar, lalu membunyikan klakson, warga berbusana agamais tersebut justru memaki penulis : “ORANG LAGI NGOBROL, KAMU KLAKSON, TIDAK SOPAN!

Tidak ada yang melarang mereka mengobrol, namun mengapa merampas hak pengguna jalan lainnya seolah tidak ada tempat lain yang lebih layak untuk mengobrol? Bila konteksnya ialah jalan umum, maka konsekuensinya ialah kita tidak bisa berperilaku sebagaimana kita sedang berada di dalam pekarangan rumah kita sendiri, namun kita harus menghargai pengguna jalan lain yang saling berbagi ruang bernama sumber daya jalan yang terbatas dan milik publik sifatnya. Sebaliknya, ketika kita bertamu, konsekuensinya ialah kita harus menghormati dan patuh pada aturan tuan rumah. Itulah gambaran, konteks menentukan konsekuensi, dimana setiap konteks memiliki konsekuensi masing-masing dibaliknya.

Bila Anda memilih untuk menjelma menjadi seorang PECANDU PENGHAPUSAN DOSA, akibatnya ketika dikemudian hari giliran Anda yang menjadi korban akibat perbuatan PECANDU PENGHAPUSAN DOSA lainnya, maka pelakunya akan dihapus dosa-dosanya dan percuma saja sekalipun Anda melapor ataupun mengadu kepada Allah sebagai konsekuensinya—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]

PENDOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, moral, hidup suci, luhur, adil, jujur, mulia, agung, lurus, bertanggung-jawab, berjiwa ksatria, dan bersih? Itu menyerupai ORANG BUTA yang hendak membimbing para BUTAWAN lainnya, berbondong-bondong secara deras menuju jurang-lembah nista, dimana neraka pun diyakini sebagai surga. Ketika konteks sang penceramah adalah seorang PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA, maka yang bersangkutan tidak memiliki integritas maupun kapasitas untuk menceramahi pihak lain untuk berbuat kebaikan dan tidak melakukan keburukan, mengingat dirinya sendiri gagal mendidik dirinya sendiri. Menjadi seorang PENDOSAWAN, hanya bisa memberi teladan keburukan bagi lingkungan di sekelilingnya—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]