Sesama Muslim di Indonesia saja Saling Merugikan, Saling Menyakiti, dan Saling Melukai Satu Sama Lainnya, Lalu Sibuk Mengurusi dan Menghakimi Bangsa Asing Jauh di Antah Berantah?

Gajah Persis di Depan Mata, Tidak Tampak. Semut di Seberang Samudera Ditunjuk-Tunjuk. Itulah Pola Tingkah Khas para Muslim dan Muslimah

Baru-baru ini ada sebuah pengalaman pribadi yang penulis alami sendiri secara langsung, dan cukup mencerminkan wajah “muslim sejati”. Suatu sore, penulis dan seorang muslimah cilik tidak dikenal menunggu kedatangan kendaraan umum, dengan berdiri di pinggir jalan, selama lebih dari setengah jam lamanya. Mendadak, datang seorang muslimah remaja yang juga memakai jilbab seperti sang muslimah cilik. Kendaraan umum yang hendak kami tumpangi melintas dalam kondisi selalu penuh penumpang, dimana beberapa waktu kemudian, tiba kendaraan umum dengan rute yang hendak kami tumpangi, akan tetapi hanya menyisakan satu buah kursi kosong, sementara penumpang yang hendak menumpang terdiri dari tiga orang.

Sang muslimah remaja tanpa etika dan tanpa malu-malu juga tanpa rasa bersalah sedikitpun (mungkin sudah terbiasa dan dibiasakan), langsung masuk ke dalam mobil kendaraan umum dimaksud, alias secara tidak tertib menyerobot antrean dengan tidak menghargai hak-hak penumpang lain yang telah terlebih dahulu berlama-lama menunggu berdiri di halte. Padahal, salah satu korbannya ialah sesama muslimah, yakni sang muslimah cilik yang juga memakai jilbab sebagaimana sang muslimah remaja yang serakah alias tidak tahu malu dan tidak takut dosa tersebut—“Buat dosa, siapa takut? Ada PENGHAPUSAN DOSA! Merugi tidak menikmati dan ketagihan PENGHAPUSAN DOSA!

Alih-alih merasa jengkel karena menunggu hampir selama satu jam lamanya, lalu dirampas begitu saja hak untuk menumpang alias diserobot antreannya, justru penulis merasa geli, mengingat sang muslimah remaja juga mengorbankan dan merampas hak-hak sang muslimah cilik, alias sesama muslimah. Beberapa waktu kemudian, kembali melintas kendaraan umum yang hendak kami tumpangi, namun juga hanya menyisakan satu kursi kosong untuk penumpang yang akan naik. Pada saat itu, penulis memberi kesempatan untuk naik ke kendaraan umum, kepada sang muslimah cilik, padahal penulis adalah nonmuslim.

Apakah sang muslimah cilik, berhak dan layak menyumpahi sang muslimah remaja, agar dimasukkan ke neraka karena tidak bermoral dengan seenaknya merampas hak-hak orang lain? Jangan lupa, pelakunya ialah seorang muslimah alias PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA, dimana antara “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN” dan “PENGHAPUSAN DOSA” sifatnya ialah saling komplomenter alias bundling. Maka, itulah kerugian paling utama menjadi seorang muslim, sesama PECANDU PENGHAPUSAN DOSA tidak dapat mengutuk perbuatan buruk satu sama lainnya yang masih tergolong “sesamanya”. iming-iming atau ideologi KORUP bagi KORUPTOR DOSA bernama “PENGAMPUNAN / PENGHAPUSAN DOSA”, menjadi bukti tidak terbantahkan bahwa Allah lebih PRO terhadap kalangan PENDOSAWAN, ketimbang bersikap adil kepada kalangan korban. Tetap saja, muslim dan muslimah di Indonesia lebih sibuk mengutuk, mengurusi, mengatur, mengomentari, serta megnhakimi bangsa laing seperti isu poliitk Palestina Vs. Israel jauh di “sono”.

Babi, disebut “haram”. Namun ironisnya, ideologi KORUP semacam “PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN DOSA” (abolition of sins)—sekalipun hanya seorang PENDOSA yang butuh iming-iming KORUP semacam “PENGHAPUSAN DOSA”—justru diklaim dan dipromosikan sebagai “halal” alih-alih mengkampanyekan gaya hidup higienis dari dosa-dosa. Anda akan mulai mengetahui perbedaan kontras antara “Agama SUCI yang bersumber dari Kitab SUCI” dan “Agama DOSA yang bersumber dari Kitab DOSA”, lewat khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:

11 (1) Verañjā

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Verañjā di bawah pohon mimba Naeru. Kemudian Brahmana Verañjā [173] mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ia telah mengakhiri ramah-tamah ini, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Aku telah mendengar, Guru Gotama: ‘Petapa Gotama tidak menghormat para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir; Beliau juga tidak bangkit untuk mereka atau menawarkan tempat duduk kepada mereka.’ Hal ini memang benar, karena Guru Gotama tidak menghormat para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir; Beliau juga tidak bangkit untuk mereka atau menawarkan tempat duduk kepada mereka. Hal ini tidak selayaknya, Guru Gotama.”

“Brahmana, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, Aku tidak melihat seorang yang padanya Aku harus memberi hormat, atau yang padanya Aku harus berdiri, atau yang padanya Aku harus menawarkan tempat duduk. Karena jika Sang Tathāgata memberi hormat kepada siapa pun, atau berdiri untuknya, atau menawarkan tempat duduk kepadanya, maka kepala orang itu akan pecah.”

“Guru Gotama tidak memiliki rasa.”

[Kitab Komentar : Arasarūpo bhava Gotamo. Brahmana itu, karena kurangnya kebijaksanaan, tidak mengenali Sang Buddha sebagai yang tertua di dunia. Sama sekali tidak ingin menerima pernyataan Sang Buddha, ia berkata demikian, dengan merujuk pada ‘rasa kerukunan’ (sāmaggirasa), yang di dunia ini berarti memberi hormat, berdiri dengan hormat, salam hormat, dan perilaku sopan. Untuk melunakkan pikirannya, Sang Buddha menghindari secara langsung membantahnya; sebaliknya Beliau mengatakan bahwa sebutan itu berlaku untuk Beliau, tetapi dalam makna berbeda. Sang Buddha mengatakan tentang ‘rasa’ sebagai kepuasan dalam kenikmatan indria yang muncul pada kaum duniawi—bahkan pada mereka yang dianggap terbaik dalam hal kasta atau kelahiran kembali—yang menyukai, menyambut, dan bernafsu pada objek-objek seperti bentuk, dan sebagainya.]

“Ada, Brahmana, satu cara yang dengannya seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama tidak memiliki rasa.’ Sang Tathāgata telah meninggalkan rasaNya pada bentuk-bentuk, suara-suara, bau-bauan, rasa-rasa kecapan, dan objek-objek sentuhan; Beliau telah memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Adalah dengan cara ini seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama tidak memiliki rasa.’ Tetapi engkau tidak mengatakan sehubungan dengan ini.” [174]

(2) “Guru Gotama tidak ramah.”

[Kitab Komentar : Nibbhogo bhava Gotamo. Brahmana itu bermaksud mengatakan ini dalam makna bahwa Sang Buddha tidak memiliki “kenikmatan kerukunan” (sāmaggiparibhogo, kebersamaan), yang dengannya sekali lagi ia merujuk pada isyarat hormat seperti memberi hormat kepada sesepuh, dan sebagainya. Tetapi Sang Buddha menjawab dengan merujuk pada kenikmatan indriawi yang muncul pada makhluk-makhluk biasa.]

“Ada, Brahmana, satu cara yang dengannya seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama tidak ramah.’ Sang Tathāgata telah meninggalkan keramahan pada bentuk-bentuk, suara-suara, bau-bauan, rasa-rasa kecapan, dan objek-objek sentuhan; Beliau telah memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Adalah dengan cara ini seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama tidak ramah.’ Tetapi engkau tidak mengatakan sehubungan dengan ini.”

(3) “Guru Gotama adalah seorang penganut tidak-berbuat.”

[Kitab Komentar : Akiriyavādo bhava Gotamo. Doktrin tidak-berbuat, seperti yang diungkapkan oleh para penganutnya, menyangkal adanya perbedaan antara baik dan buruk. Brahmana itu mengatakan ini dengan maksud bahwa Sang Buddha tidak berbuat sesuai kebiasaan, seperti memberi hormat kepada sesepuh, dan sebagainya. Tetapi Sang Buddha menjawab dengan merujuk pada tidak-berbuat perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran.]

“Ada, Brahmana, satu cara yang dengannya seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama adalah seorang penganut tidak-berbuat.’ Karena Aku mengajarkan tidak-berbuat buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran; Aku mengajarkan tidak-berbuat berbagai jenis perbuatan buruk yang tidak bermanfaat. Adalah dengan cara ini seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama adalah seorang penganut tidak-berbuat.’ Tetapi engkau tidak mengatakan sehubungan dengan ini.”

(4) “Guru Gotama adalah seorang penganut pemusnahan.”

[Kitab Komentar : Ucchedavādo bhava Gotamo. Para penganut pemusnahan menyatakan “pemusnahan, kehancuran, dan pembinasaan” atas seorang yang benar-benar ada pada saat kematian. Brahmana itu bermaksud untuk menuduh bahwa Sang Buddha berusaha memusnahkan kebiasaan menghormati para sesepuh, dan sebagainya yang telah lama ada, tetapi Sang Buddha menjawab dengan merujuk pada pemusnahan segala kekotoran dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat melalui empat jalan mulia.

“Ada, Brahmana, satu cara yang dengannya seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama adalah seorang penganut pemusnahan.’ Karena Aku mengajarkan pemusnahan nafsu, kebencian, dan delusi; Aku mengajarkan pemusnahan berbagai jenis kualitas buruk yang tidak bermanfaat. Adalah dengan cara ini seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama adalah seorang penganut pemusnahan.’ Tetapi engkau tidak mengatakan sehubungan dengan ini.”

(5) “Guru Gotama adalah seorang penolak.”

[Kitab Komentar : Jegucchī bhava Gotamo. Brahmana itu menyebut Sang Bhagavā seorang ‘penolak’ (jegucchī); ia berpikir bahwa karena Sang Buddha menolak (jigucchati) perilaku sopan seperti menghormati para sesepuh, maka Beliau tidak melakukan perbuatan demikian. Tetapi Sang Bhagavā mengakui hal ini dalam makna metafora. Beliau menolak perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran dan berbagai kualitas buruk yang tidak bermanfaat, seperti halnya seseorang yang menyukai perhiasan akan menolak dan jijik pada kotoran tinja.]

“Ada, Brahmana, satu cara yang dengannya seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama adalah seorang penolak.’ Karena Aku menolak perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran; Aku menolak berbagai jenis kualitas buruk [175] yang tidak bermanfaat. Adalah dengan cara ini seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama adalah seorang penolak.’ Tetapi engkau tidak mengatakan sehubungan dengan ini.”

(6) “Guru Gotama adalah seorang pembasmi.”

[Kitab Komentar : Venayiko bhava Gotamo. Venayika, dari kata kerja vineti (mendisiplinkan, melenyapkan), dapat berarti “seorang yang menjatuhkan disiplin, seorang yang melatih orang lain.” Tetapi pada masa Sang Buddha kata venayika tampaknya juga bermakna “seorang yang menyesatkan,” yang mengarahkan seseorang menuju kehancuran. Dalam pandangan si brahmana, sebagai vināseti, “menghancurkan.” Tetapi Sang Buddha menegaskan hal ini dalam makna bahwa Beliau mengajarkan Dhamma untuk pelenyapan nafsu dan kekotoran lainnya (rāgādīnavinayāya).]

“Ada, Brahmana, satu cara yang dengannya seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama adalah seorang pembasmi.’ Karena Aku mengajarkan Dhamma untuk membasmi nafsu, kebencian, dan delusi; Aku mengajarkan Dhamma untuk membasmi berbagai jenis kualitas buruk yang tidak bermanfaat. Adalah dengan cara ini seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama adalah seorang pembasmi.’ Tetapi engkau tidak mengatakan sehubungan dengan ini.”

(7) “Guru Gotama adalah seorang penyiksa.”

[Kitab Komentar : Tapassī bhava Gotamo. Seorang tapassī biasanya adalah seorang petapa yang menekuni praktik menyiksa-diri. Kata ini diturunkan dari kata kerja tapati, “membakar, memanaskan.” Si brahmana, menggunakan kata ini dalam makna seorang yang menyiksa para sesepuh dengan tidak menunjukkan penghormatan selayaknya kepada mereka. Tetapi Sang Buddha menggunakan kata ini dalam makna bahwa Beliau membakar habis kualitas-kualitas tidak bermanfaat.]

“Ada, Brahmana, satu cara yang dengannya seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama adalah seorang penyiksa.’ Karena Aku mengajarkan bahwa kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat – perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran – harus dibakar habis. Aku mengatakan bahwa seseorang adalah penyiksa ketika ia telah meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang harus dibakar; ketika ia telah memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Sang Tathāgata telah meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang harus dibakar habis; Beliau telah memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Adalah dengan cara ini seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama adalah seorang penyiksa.’ Tetapi engkau tidak mengatakan sehubungan dengan ini.”

(8) “Guru Gotama sedang pensiun.”

“Ada, Brahmana, satu cara yang dengannya seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama sedang pensiun’ Karena Aku mengatakan bahwa seseorang pensiun ketika ia telah meninggalkan produksi penjelmaan baru, tempat tidur rahim di masa depan; ketika ia telah memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga [176] tidak muncul lagi di masa depan. Sang Tathāgata telah meninggalkan produksi penjelmaan baru, tempat tidur rahim di masa depan; Beliau telah memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Adalah dengan cara ini seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang Aku: ‘Petapa Gotama adalah seorang yang sedang pensiun.’ Tetapi engkau tidak mengatakan sehubungan dengan ini.”

“Misalkan, Brahmana, ada seekor ayam betina dengan delapan, sepuluh, atau dua belas butir telur yang ia tutupi, ia erami, dan ia pelihara dengan baik. Anak ayam pertama di antara anak-anak ayam itu menusuk cangkangnya dengan ujung cakar atau paruhnya dan menetas dengan selamat, apakah ia disebut yang tertua atau yang termuda?”

“Ia disebut yang tertua, Guru Gotama. Demikianlah ia adalah yang tertua di antara anak-anak ayam itu.”

“Demikianlah pula, Brahmana, dalam populasi yang terbenam dalam ketidak-tahuan, menjadi seperti sebutir telur, sepenuhnya terbungkus, Aku telah menusuk cangkang ketidak-tahuan. Aku adalah satu-satunya orang di dunia ini yang telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tiada taranya. Maka Aku adalah yang tertua, yang terbaik di dunia ini.

KegigihanKu, Brahmana, telah dibangkitkan tanpa mengendur; perhatianKu ditegakkan tanpa kekacauan; tubuhKu tenang tanpa gangguan; pikiranKu terkonsentrasi dan terpusat. Dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. [177] Dengan memudarnya sukacita, Aku berdiam seimbang dan, dengan penuh perhatian dan memahami dengan jernih, Aku mengalami kenikmatan pada jasmani; Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan.

Ketika pikiranKu terkonsentrasi, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lentur, lunak, kokoh, dan mencapai ketanpagangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau. Aku mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penghancuran dunia, banyak kappa pengembangan dunia, banyak kappa penghancuran dunia dan pengembangan dunia, sebagai berikut: ‘Di sana Aku bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan begini, makananKu seperti ini, pengalaman kenikmatan dan kesakitanKu seperti ini, umur kehidupanKu selama ini; meninggal dunia dari sana, Aku terlahir kembali di tempat lain, dan di sana Aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan begitu, makananKu seperti itu, pengalaman kenikmatan dan kesakitanKu seperti itu, umur kehidupanKu selama itu; meninggal dunia dari sana, Aku terlahir kembali di sini.’ Demikianlah Aku mengingat banyak kehidupan lampauKu dengan aspek-aspek dan rinciannya.

“Ini, Brahmana, adalah pengetahuan sejati pertama yang Kucapai pada jaga pertama malam itu. Ketidak-tahuan tersingkirkan, pengetahuan sejati telah muncul; kegelapan tersingkirkan, cahaya telah muncul, seperti yang terjadi pada seorang yang tekun, rajin, dan bersungguh-sungguh. Ini, Brahmana, adalah penerobosanKu yang pertama, seperti anak ayam yang menerobos keluar dari cangkangnya. [178]

Ketika pikiranKu terkonsentrasi, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lentur, lunak, kokoh, dan mencapai ketanpagangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk, hina dan mulia, berpenampilan baik dan berpenampilan buruk, kaya dan miskin, dan Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka sebagai berikut: ‘Makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang mencela para mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang tidak mencela para mulia, yang menganut pandangan benar, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.’ Demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, berpenampilan baik dan berpenampilan buruk, kaya dan miskin, dan Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka. “Ini, Brahmana, adalah pengetahuan sejati ke dua yang Kucapai pada jaga pertengahan malam itu. Ketidak-tahuan tersingkirkan, pengetahuan sejati telah muncul; kegelapan tersingkirkan, cahaya telah muncul, seperti yang terjadi pada seorang yang tekun, rajin, dan bersungguh-sungguh. Ini, Brahmana, adalah penerobosanKu yang ke dua, seperti anak ayam yang menerobos keluar dari cangkangnya.

Ketika pikiranKu terkonsentrasi, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lentur, lunak, kokoh, dan mencapai ketanpagangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Aku memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; Aku memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; Aku memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; Aku memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Aku memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda’; [179] Aku memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; Aku memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’; Aku memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

Ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, pikiranKu terbebas dari noda indriawi, dari noda penjelmaan, dan dari noda ketidak-tahuan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Aku secara langsung mengetahui ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali pada kondisi makhluk apa pun.’

“Ini, Brahmana, adalah pengetahuan sejati ke tiga yang Kucapai pada jaga terakhir malam itu. Ketidak-tahuan tersingkirkan, pengetahuan sejati telah muncul; kegelapan tersingkirkan, cahaya telah muncul, seperti yang terjadi pada seorang yang tekun, rajin, dan bersungguh-sungguh. Ini, Brahmana, adalah penerobosanKu yang ke tiga, seperti anak ayam yang menerobos keluar dari cangkangnya.”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Verañjā berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama adalah yang tertua! Guru Gotama adalah yang terbaik! Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada seseorang yang tersesat, atau memegang pelita di dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung pada Guru Gotama, pada Dhamma, dan pada Sagha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung mulai hari ini hingga seumur hidup.”

Berikut inilah, mengapa muslim yang baik, muslim yang bersedia bertanggung-jawab, muslim yang mampu “self-control”, muslim yang ahimsa, muslim yang bermoral, merupakan “oknum” dalam perspektif “Agama DOSA yang bersumber dari Kitab DOSA”, sekaligus mencerminkan apa yang dimaksud sebagai “soleh dan soleha” dalam kamus islam, membuat orang-orang yang masih sehat akalnya tidak akan “nyambung” berkomunikasi dengan kalangan muslim yang memandang adalah “merugi” bila tidak menikmati serta mencandu dan kecanduan “PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN DOSA”, orang-orang dengan “akal sakit milik orang sakit”—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]

PENDOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, moral, hidup suci, luhur, adil, jujur, mulia, agung, lurus, bertanggung-jawab, berjiwa ksatria, dan bersih? Itu menyerupai ORANG BUTA yang hendak membimbing para BUTAWAN lainnya, berbondong-bondong secara deras menuju jurang-lembah nista, dimana neraka pun diyakini sebagai surga. Alhasil, sang nabi rasul Allah dalam keseharian lebih sibuk mengoleksi segunung dosa, memproduksi segudang dosa, berkubang dalam samudera dosa, serta bermandikan dosa-dosa, memberi teladan (standar moral) mabuk serta kecanduan “PENGHAPUSAN DOSA” (bagi PENDOSA, tentunya), alih-alih sibuk bertanggung-jawab atas perbuatannya sendiri ataupun berlatih dalam disiplin diri yang ketat bernama “self-control”—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]