Umat Muslim adalah Kaum OPORTUNIS yang Tidak Punya Pendirian dan Inkonsisten dalam Segala Hal, alias Tidak Punya Integritas Diri
Question: Oportunis artinya apa? Di satu sisi, kaum muslim selalu bilang serangan israel ke palestina bukanlah isu terkait agama, untuk menarik simpatik publik dan dunia. Tapi di sisi lain, mereka selalu bilang itu zionis, yahudi, para muslim di timur-tengah dan seluruh dunia harus bersatu melawan yahudi dan amerika, muslim dizolimi, organisasi islam OKI harus tegas dan keras menentang, mati sahid melawan yahudi, kutuk yahudi, dan sebagainya. Apa itu juga termasuk sikap oportunis?
Brief Answer: Oportunis artinya “bermuka dua”, dimana mereka
akan memposisikan diri, ucapan, serta pembelaan / dukungan mereka terhadap
siapa yang mereka nilai atau pandang sebagai lebih menguntungkan diri pribadi
yang bersangkutan. Inkonsistensi pendirian, inkonsistensi dalil, inkonsistensi
alibi, inkonsistensi keberpihakan, inkonsistensi standar (standar ganda),
inkonsistensi wajah (bermuka dua), inkonsisensi ucapan, serta inkonsistensi
argumentasi, menjadi ciri paling tipikal dari kaum oportunis.
Singkatnya, mereka tidak membela atau memihak kebenaran atau keadilan itu
sendiri, namun lebih cenderung keberpihakannya kepada apa-apa yang mereka
hitung sebagai lebih menguntungkan. Bukan hanya kaum muslim yang opotunis,
Bangsa Indonesia pun tergolong negara oportunis, dengan mengklaim sebagai
“politik bebas aktif yang netral dan tidak berpihak”, namun kerap mengurusi
urusan bangsa lain serta menjadi “hakim” yang menghakimi pihak-pihak tertentu
saja. Semisal, pemerintah Indonesia mengutip Konstitusi RI yang menyatakan
“kemerdekaan adalah hak segala bangsa”, akan tetapi justru Indonesia dekat dan
berteman kian erat dengan Rusia yang sedang menjajah Ukraina. Kanan ikut, kiri
pun ikut, sepanjang dinilai menguntungkan.
PEMBAHASAN:
Selama ini, Negara Indonesia mengimpor
produk-produk teknologi pertanian dan farmasi dari Israel, alias tidak
diembargo. Selama ini, Indonesia mengekspor produk-produknya ke Amerika
Serikat, alias tidak diembargo. Begitupula penjajahan atau agresi militer Rusia
ke Ukraina, mengapa kaum muslim di Indonesia tidak berteriak lantang? Turki
menjajah sebagian wilayah Suriah, Arab menyerang Yaman, dimana konflik di Timur
Tengah antar negara sesama islam, terjadi sepanjang tahunnya, namun mengapa
hanya israel yang dipermasalahkan? Muslim menyakiti dan melukai ataupun
merugikan sesama muslim, sebagaimana terjadi di Indonesia maupun di
negara-negara Timur-Tengah, mengapa itu seolah “wajar” saja dan didiamkan?
Umat muslim atau umat agama islam, selalu
menampilkan pola yang khas, yakni “BERMUKA DUA” yang penuh “STANDAR GANDA”,
dalam segala hal. Jika kita telusuri sejarah bangsa Nusantara yang tertera
dalam Kitab Jawa DHARMO GHANDUL, telah ternyata kaum muslim menikmati toleransi
beragama yang diberikan oleh umat Buddhist di Tanah Air sejak era Kerajaan
Majapahit. Namun ketika muslim atau agama islam mulai menjadi mayoritas pada
abad ke-15 Masehi, para muslim tersebut kemudian memberangus toleransi beragama
yang semula / dahulu mereka nikmati di Nusantara, lewat pertumpahan darah dan ancaman
dibalik tajamnya sebilah pedang.
Pada satu sisi, kaum muslim mengklaim “islam
agama cinta damai”, kerap teriak “dizolimi”, akan tetapi telah ternyata yang
sejatinya zolim dan “cinta perang” ialah agama islam atau kaum muslim itu
sendiri, sebagaimana ayat berikut : Saya
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA
MUHAMMAD RASUL ALLAH , menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan
melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya
kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.
[Hadist Tirmidzi No. 2533]
Mengakunya “Agama SUCI”, namun telah ternyata
islam mempromosikan dogma-dogma KORUP semacam “PENGAMPUNAN / PENGHAPUSAN DOSA”
bagi PENDOSA, tentunya. Pencuri, disebut “potong tangan sebagai hukumannya:.
Telah ternyata, umat muslim adalah “KORUPTOR DOSA” itu sendiri. Babi, disebut
“haram”. Akan tetapi, terhadap iming-iming KORUP semacam “PENGHAPUSAN DOSA” (abolition of sins) disebut sebagai
“HALAL” serta dijadikan maskot “HALAL LIFESTYLE”. Terhadap dosa dan maksiat,
begitu kompromistik. Namun, terhadap kaum yang berbeda keyakinan, mereka begitu
intoleran—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:
- No.
4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi
bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebesar itu pula.”
- No.
4857 : “Barang siapa membaca
Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus
kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus,
meskipun sebanyak buih lautan.”
- No.
4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a;
Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah
aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No.
4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk
Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian
disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini
warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku
rizki).”
- No.
4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya
saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha
Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu
memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
selamatkanlah aku,”
- Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja
yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya,
‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah
ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap
kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi.
Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai
setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi
ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan
sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan
sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No.
3540]
Hanya
seorang PENDOSA yang butuh “PENGHAPUSAN DOSA”. PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN
DOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, hidup suci, baik, mulia, lurus,
adil, luhur, serta agung? Itu menyerupai ORANG BUTA yang hendak menuntun para
butawan lainnya, neraka pun dipandang sebagai surga, berlomba-lomba dan
berbondong-bondong dengan bangga penuh percaya-diri mereka terperosok menuju
lembah-jurang-nista yang begitu gelap nan kelam. “PENGHAPUSAN DOSA” (abolition of sins), sifatnya selalu
bundling / komplomenter dengan “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN”. “Kabar gembira”
bagi pelaku kejahatan (pendosa), sama artinya “kabar buruk dan duka” bagi
kalangan korban—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:
- No.
4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah
tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah
menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa
sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan
yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang
do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia
menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku
lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No. 4893.
“dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukkan
sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku
lakukan.’”
- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan
perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah
bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya
bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu
maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi
seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR
Bukhari Muslim]
Oportunis,
artinya selalu berpihak kepada apa atau siapa yang mereka nilai
“menguntungkan”, dan tidak berpihak alias menentang serta menolak apa atau
siapa yang mereka nilai tidak menguntungkan, sehingga untuk itu cukup relevan
menyimak khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara
Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi
oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun
2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:
II. Cāpāla
61 (1) Keinginan
“Para bhikkhu, ada delapan
jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah delapan ini?
(1) “Di sini, ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berusaha,
dan berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian, ia gagal
memperoleh keuntungan. Karena tidak memperoleh keuntungan, ia berduka,
merana, dan meratap; ia menangis dengan memukul dadanya dan menjadi kebingungan.
Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan [294] yang bangkit,
berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan, tetapi tidak
mendapatkannya: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.
[Kitab Komentar menerangkan,
“keuntungan” di atas maknanya ialah “untuk memperoleh empat kebutuhan”, yaitu
jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan.]
(2) “Tetapi ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berusaha,
dan berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Ia memperoleh keuntungan. Karena
keuntungan itu, ia menjadi mabuk, memunculkan kelengahan, dan hanyut dalam
kelengahan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang
bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan
mendapatkannya: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.
(3) “Tetapi ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak
berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Ia tidak
memperoleh keuntungan. Karena tidak memperoleh keuntungan, ia berduka, merana,
dan meratap; ia menangis dengan memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini
disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak
berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan tidak
mendapatkannya: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.
(4) “Tetapi ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak
berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian,
ia memperoleh keuntungan. Karena keuntungan itu, ia menjadi mabuk, memunculkan
kelengahan, dan hanyut dalam kelengahan. Ini disebut seorang bhikkhu yang
menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya
untuk memperoleh keuntungan, dan ia mendapatkannya, menjadi mabuk dan lengah:
ia telah jatuh dari Dhamma sejati.
(5) “Tetapi ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berusaha,
dan berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian, [295] ia gagal
memperoleh keuntungan. Ia tidak berduka, tidak merana, dan tidak meratap karena
tidak memperoleh keuntungan; ia tidak menangis dengan memukul dadanya dan tidak
menjadi kebingungan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan
keuntungan yang bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan,
dan walaupun tidak mendapatkannya, ia tidak bersedih atau meratap: ia tidak
jatuh dari Dhamma sejati.
(6) “Tetapi ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berusaha,
dan berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Ia memperoleh keuntungan. Ia
tidak menjadi mabuk, tidak memunculkan kelengahan, dan tidak hanyut dalam
kelengahan karena keuntungan itu. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan
keuntungan yang bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan,
dan setelah mendapatkannya, ia tidak menjadi mabuk atau lengah: ia tidak
jatuh dari Dhamma sejati.
(7) “Tetapi ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak
berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Ia tidak
memperoleh keuntungan. Ia tidak berduka, tidak merana, dan tidak meratap karena
tidak mendapat keuntungan; ia tidak menangis dengan memukul dadanya dan tidak
menjadi kebingungan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan
yang tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh
keuntungan, dan setelah tidak mendapatkannya, ia tidak berduka atau meratap: ia
tidak jatuh dari Dhamma sejati.
(8) “Tetapi ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak
berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian,
ia memperoleh keuntungan. Ia tidak menjadi mabuk, tidak memunculkan kelengahan,
dan tidak hanyut dalam kelengahan karena keuntungan itu. Ini disebut seorang
bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak berusaha, dan
tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan setelah ia mendapatkannya, ia
tidak menjadi mabuk atau lengah: ia tidak jatuh dari Dhamma sejati.
“Ini adalah kedelapan jenis orang
itu yang terdapat di dunia.” [296]