Benarkah Tidak Ada Kebenaran yang Tunggal Sifatnya?

Jika Tidak Ada Kebenaran Tunggal atau yang Mutlak Sifatnya, Maka Semua Orang hanya Boleh “BE SILENT”!

Bila Tidak Ada Kebenaran Tunggal, maka Tidak Ada Surga maupun Neraka, juga Tidak akan Ada Vonis Pidana Penjara

Question: Ada yang menyatakan bahwa kebenaran itu tidak tunggal sifatnya. Jika kebenaran memang tidak tunggal adanya, namun majemuk, lantas bukankah itu artinya dunia ini digerakkan oleh hukum yang ambigu dan kita harus berspekulasi sepanjang hari, dimana murid-murid ataupun ilmuan tidak lagi dapat memproduksi sesuatu ataupun memecahkan masalah dengan rumus matematika, hukum fisika, hukum kimia, ataupun ilmu-ilmu eksakta lainnya untuk keperluan engineering yang membutuhkan daya presisi tinggi?

Kalau begitu juga, bukankah artinya tidak boleh lagi ada orang yang dihukum penjara, juga tidak boleh lagi ada orang yang dimasukkan ke neraka, ke surga, ataupun ke penjara, karena segalanya menjadi “nisbi”, bila memang “tidak ada kebenaran yang tunggal” sifatnya? Mengapa juga, hakim (di pengadilan) saat memutus perkara, menyatakan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan (seyakin-yakinnya) telah terbukti bersalah? Bukankah bila tidak ada yang namanya “kebenaran”, maka tidak ada yang namanya “bukti”? Bukankah istilah “bukti” maupun semacam “fakta persidangan”, merupakan lawan kata dari “rumor”?

Brief Answer: Hanya “mahkluk konyol” yang menyatakan “tidak ada kebenaran yang tunggal” atau “semua kebenaran adalah majemuk”. Berangkat dari kajian filsafat, kebenaran” terbagi menjadi dua, yakni “kebenaran mutlak” (kebenaran sejati) dan “kebenaran nisbi / tentatif” (sekedar nama atau terkait “sudut pandang”). Ambil contoh ketika kita memakai “point of view” berupa “helicopter view”, maka kita melihat dari arah atas ke arah bawah. Namun, objek yang sama, dapat terlihat berbeda ketika kita perhatikan dari pandangan di permukaan bumi, sehingga pada satu sisi dapat memiliki penampakan yang berbeda bila kita melihatnya dari arah sebaliknya.

Begitupula saat kita melihatnya dalam kondisi terang, temaram, atau bahkan gelap gulita sama sekali. Tidak terkecuali ketika seorang penderita miopia (rabun jauh), penderita katarak, ataupun ketika kita melakukan observasi mendalam dibawah stetoskop, kesemuanya tampak berbeda adanya. Akan tetapi fakta tertaplah fakta, “kebenaran sejati” tetaplah “kebenaran sejati”. Sebagaimana yang telah dinyatakan di muka, bila tiada “kebenaran mutlak” yang tunggal sifatnya, maka tidak boleh ada pelaku kejahatan yang dihukum penjara ataupun dijebloskan ke alam neraka. Bila di dunia ini tidak ada yang namanya “kebenaran”, maka yang ada ialah sebatas “alibi”, bukan “fakta”.

Itulah juga sebabnya, antara “kebolehan” dan “dilarang”, perlu tegas diatur, hitam dan putih-nya, tidak ambigu, tidak menyerupai “pasal karet” yang bisa diselewengkan sesuai selera penguasa. Salah adalah salah, tercela adalah tercela, bukan justru sibuk “mencari-cari alasan”. Penganut pandangan demikian, tidak ubahnya penganut pandangan nihilisme, mengingat “tidak ada kebenaran tunggal ataupun kebenaran mutlak” lebih berkonotasi dengan paham nihilisme ketimbang pluralisme. Adapun “kebenaran majemuk”, mengandung “contradictio in terminis”, dimana antara frasa “kebenaran” dan “majemuk” sejatinya saling menegasikan satu sama lainnya. Rujuk kembali pembahasan di atas, bahwa objek tunggal dapat memiliki beragam “sudut pandang”.

Singkat kata, bila memang tidak ada “kebenaran yang tunggal sifatnya”, maka untuk apa juga yang bersangkutan si pembuat pernyataan tersebut berbicara panjang lebar atau membuat suatu jawaban tertentu, dimana jawaban sepanjang atau sependek apapun pandangannya, sejatinya telah “membatasi ruang lingkup kebenaran”. Bukankah kita dengan demikian bisa menimpali : “Pendapat Anda perihal ‘kebenaran tidak tunggal sifatnya’, juga bukan kebenaran, karena bisa jadi ‘kebenaran adalah tunggal sifatnya’ sebagai kebenaran alternatifnya.”

Nibbana, bila digambarkan keindahannya, maka akan membatasi keindahan Nibbana itu sendiri. Adapun menggambarkan keindahan surga, masih dimungkinkankan, mengingat keindahan surgawi masih memiliki keterbatasan sifatnya, mengingat makhluk dewata sekalipun akan meninggal dunia ketika cahaya tubuhnya meredup, akibat buah-buah Karma Baiknya telah menipis dan habis. Istilah “Maha Baik”, julukan demikian pun sejatinya membatasi kebaikan yang diberi julukan. Sebuah “penggaris” atau alat ukur, secanggih, sepanjang, atau sedalam apapun, tetap saja memiliki keterbatasan dalam hal daya ukur.

PEMBAHASAN:

Contoh paling sederhana dari kajian sosiologi maupun anthropologi, pelaku kejahatan akan cenderung marah ketika korbannya melakukan perlawanan sengit atau ketika sang pelaku mengalami kegagalan akibat sang korban menolak disakiti / dirugikan, maupun ketika kedok atau modus kejahatannya terungkap. Pelaku, bisa dan seringkali lebih galak daripada korban, yang dapat kita jumpai realitanya dalam keseharian berupa pengendara yang berkendara secara melawan arus, sekalipun merampas hak pejalan kaki ataupun pengendara lainnya, sang pelanggar akan lebih galak sekalipun sejatinya bersalah secara moral karena merampas hak orang lain.

Kemungkinan terbesar pihak-pihak yang menganut “tidak ada kebenaran tunggal ataupun yang mutlak”, ialah berlatar-belakang pemeluk paham nihilisme”, alias para kaum ateistik. Sudah sejak lama, Sang Buddha berhadapan dengan penganut paham nihilisme atau ateisme demikian:

“Bayangkan seorang pria yang terkena panah beracun”, kata Sang Buddha. “Seorang dokter datang, siap mencabut anak panah dan memberinya penawarnya, tetapi pria itu menghentikannya.”

“'Jangan terburu-buru! Pertama, aku ingin tahu siapa yang menembakku. Dari kota atau desa mana dia berasal? Aku juga ingin tahu dari kayu apa busurnya dibuat. Juga, apakah itu busur silang atau busur panjang?'”

“Jelas,” kata Sang Buddha, “orang itu akan mati dan pertanyaan-pertanyaannya akan tetap tidak terjawab.”

Dalam tiap-tiap kasus—aktivitas Tuhan pencipta (THEISTIK) ataupun tanpa-penyebab (ATEIS) sebagai antitesisnya—para pelaku menghindari tanggung jawab atas perbuatan-perbuatan mereka, serta keduanya sama-sama merupakan pandangan “ekstrem” yang ditolak dalam Buddhisme, dimana Sang Buddha untuk itu telah pernah bersabda: [dikutip dari khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara]

 “Para bhikkhu, ada tiga doktrin sektarian ini yang, ketika dipertanyakan, diinterogasi, dan didebat oleh para bijaksana, dan dibawa menuju kesimpulan mereka, akan berakhir dalam tidak berbuat. Apakah tiga ini?

(1) “Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lalu.’

(2) Ada para petapa dan brahmana lainnya yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh aktivitas Tuhan pencipta.’

(3) Dan ada para petapa dan brahmana lain lagi yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya terjadi tanpa suatu sebab atau kondisi.’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku mendatangi para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya terjadi tanpa suatu sebab atau kondisi,’ dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’ Ketika Aku menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya. Kemudian Aku berkata kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah tanpa suatu penyebab atau kondisi maka kalian mungkin melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan aktivitas seksual, berbohong, mengucapkan kata-kata yang memecah-belah, berkata kasar, bergosip; maka kalian mungkin penuh kerinduan, memiliki pikiran berniat buruk, dan menganut pandangan salah.’

Mereka yang mengandalkan ketiadaan penyebab dan kondisi sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini. Karena mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang ke tiga atas para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian.

“Kemudian, para bhikkhu, Aku mendatangi para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh aktivitas Tuhan pencipta,’ Dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’ Ketika Aku menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya. Kemudian Aku berkata kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah karena aktivitas Tuhan pencipta maka kalian mungkin melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan aktivitas seksual, berbohong, mengucapkan kata-kata yang memecah-belah, berkata kasar, bergosip; maka kalian mungkin penuh kerinduan, memiliki pikiran berniat buruk, dan menganut pandangan salah.’

Mereka yang mengandalkan aktivitas Tuhan pencipta sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini. Karena mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang ke dua atas para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga doktrin sektarian itu yang, ketika dipertanyakan, diinterogasi, dan didebat oleh para bijaksana, dan dibawa menuju kesimpulan mereka, akan berakhir dalam tidak berbuat.”

Jika tidak ada yang “benar-benar benar” dan tidak ada yang “benar-benar tercela / buruk”, maka yang bersangkutan akan berakhir dalam kondisi “tidak berbuat sesuatu apapun” maupun sebaliknya untuk “berbuat sesuatu yang tidak sepatutnya dilakukan”, tidak mampu membedakan distingsi pemisah yang tegas antara mana yang “baik” dan mana yang “buruk”, serta “berbuat kegilaan” (madness) secara tidak lagi terbendung. Lebih lanjut, Sang Buddha telah pernah bersabda: [dikutip dari Dhammapada dan Aguttara Nikāya]

316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.

~0~

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

(1) “Dan apakah orang yang mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.

(2) “Dan apakah orang yang melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.

~0~

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.

(2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji.

~0~

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.

(2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji.

Hanya dengan akal sehat milik orang sehat” (bukan “akal sakit milik orang sakit”) dan pikiran yang jernih, kita baru akan mengetahui, memilah, memahami, menyadari, serta memastikan, manakah “Agama SUCI yang bersumber dari Kitab SUCI” ataukah “Agama DOSA yang bersumber dari Kitab DOSA”?—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]

Terhadap dosa dan maksiat, demikian kompromistik. Namun terhadap kaum berbeda keyakinan, demikian intoleran. PENDOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, hidup suci, luhur, adil, jujur, mulia, agung, lurus, bertanggung-jawab, berjiwa ksatria, dan bersih? Itu menyerupai orang BUTA yang hendak menuntun kaum butawan lainnya, neraka pun dipandang sebagai surga dan sebaliknya. Berbondong-bondong mereka terperosok menuju jurang-lembah nista yang kelam dan gelap, sembari berdelusi terjamin serta yakin-seyakinnya itu adalah alam penuh kesenangan inderawi / duniawi (alam surgawi namun isinya kesenangannya duniawi?).

Siapakah yang paling mengharap dihapus dosa-dosanya? Tentunya para PENDOSA, lebih tepatnya para “KORUPTOR DOSA”. Semakin BERDOSA, semakin sang PENDOSA tergila-gila mencandu dan mabuk “PENGHAPUSAN DOSA”. Mabuk “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN” dan disaat bersamaan juga mabuk “PENGHAPUSAN DOSA” (keduanya bersifat bundling, ibarat odol berkomplomenter dengan sikat gigi), lewat teladan mabuk serta kecanduan sang nabi pemabuk junjungan para pemabuk berikut yang dijadikan patokan “standar moral” para butawan yang kini menjadi hegemoni dunia—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]