Belajar dan Memahami Hukum Karma Bukanlah untuk Menghakimi Nasib Buruk Orang Lain ataupun Menyombongkan Nasib Baik Diri Sendiri

Ketika Karma Baik (Kebetulan) sedang Berbuah, Tidak Tergoda untujk Bersombong Diri ataupun Menyalah-Gunakannya. Ketika Karma Buruk sedang Berbuah, Tidak Terjebak dalam Rasa Rendah Diri dan Tidak Berputus Asa

Belajar Hukum Karma adalah untuk Introspeksi Diri, Bukan untuk menjadi Hakim bagi Individu Lainnya

Yang Menghakimi Orang Lain, Kelak akan Dihakimi sebagai Buahnya

Dalam sutta tentang “perenungan untuk kerap kali kita lakukan”, Sang Buddha membabarkan tentang salah satu petikan perihal Hukum Karma, yakni kita semua, tanpa terkecuali, baik makhluk di alam neraka, alam setan, alam hewan, alam manusia, alam dewa, alam brahma, terlahir dari perbuatan sendiri, berkerabat dengan perbuatan sendiri, mewarisi perbuatan sendiri,  serta berhubungan dengan perbuatan mereka sendiri masing-masing. Yang menyakiti, akan memetik buah disakiti di masa depan maupun kehidupan yang akan datang, pun sebaliknya yang menolong maka akan ditolong dan tertolong. Sutta ini dikenal seluruh umat Buddhist dalam tradisi Buddhistik Theravada di dunia, dengan istilah dalam Bahasa Pali yang lebih dikenal sebagai “kamma yoni kamma bandhu”—selengkapnya “kamma·dāyādo. I am a heir to my kamma, ; kamma·yoni. I am born [in this life] from my kamma, ; kamma·bandhu. I am the kinsman of my kamma”.

Kami, sebagai Buddhist, malangnya alih-alih menghakimi orang lain sebagai “polisi moral”, justru kaum non-Buddhist yang kerap menghakimi kami, dengan menyatakan bahwa kami umat Buddhist mengenal dan meyakini adanya Hukum Karma, namun mengapa kami masih juga bisa marah dan membalas perbuatan-perbuatan buruk orang-orang yang menyakiti, melukai, maupun merugikan kami, seolah-olah menjadi Buddhist artinya menjadi terlarang untuk marah dan membela diri? Itu pertanyaan yang sama bodohnya dengan mereka yang mengatakan bahwa lebih baik seluruh polisi dan hakim dipensiunkan saja, karena ada Hukum Karma yang menjadi polisi serta hakim bagi para pelaku kejahatan.

Hukum Alam tidak sempurna, tidak terkecuali Hukum Karma, dimana bila umat manusia berpasrah diri pada Hukum Alam, maka tidak akan ada pengairan dalam rumah mengingat air pada dasariahnya (nature) mengalir ke arah bawah bukan ke arah atas selayaknya mesin pompa air. Bila Hukum Karma adalah sempurna, maka untuk apakah Pangeran Siddharta Gotama berjuang dalam satu kehidupan ke kehidupan berikutnya hingga mencapai pencerahan sempurna untuk “break the chain of karma” atau “break the shackle of karmic law” alias menanggalkan Hukum Karma? Kami bukan diajarkan untuk melekat pada Hukum Karma, dimana kami diajarkan untuk sebaliknya, berjuang tanpa berspekulasi pada Hukum Karma, bahkan untuk “memutus belenggu rantai karma” bukan sebaliknya semakin terjerat dan melekat padanya.

Karena Karma Baik (secara kebetulan) sedang berbuah pada masa kehidupannya saat kini, banyak orang yang tidak terbiasa berlatih disiplin “self control” yang ketat, akibatnya gagal mengendalikan diri, ibarat membawa kendaraan sport melaju di jalan bebas hambatan menuju ke alam neraka, terjun bebas ke dalamnya sebagai muaranya. Berkat Karma Baik yang berbuah, setiap niat atau kehendak kita akan mudah terealisasi tanpa banyak usaha serta tanpa adanya hambatan yang berarti, sekalipun niat kita buruk dan keliru tetap akan didukung oleh semesta maupun oleh orang-orang di sekitar kita, alias ibarat “pedang bermata dua” yang dapat melukai si pemegang / pemiliknya sendiri.

Karenanya, kita seyogianya memandang Karma Baik yang sedang berbuah sekadar sebagai sarana bagi kita untuk mengejar perjuangan yang lebih tinggi tingkatan spriritualnya, yakni sebagai “modal” perahu bagi kita untuk menyeberang ke “pantai seberang”—dan ketika kita telah mencapai tepi seberang, perahu itu pun harus kita tinggalkan sebagaimana Sang Buddha melepaskan timbunan parami yang telah ditanamnya dalam kehidupan-kehidupan sebelumnya yang tidak terhitung jumlahnya berkalpa-kalpa selama masih sebagai seorang bodhisatta (lihat kitab Jataka untuk mengetahui kisah kehidupan-kehidupan lampau Buddha Siddharta Gotama).

Terlagi pula, kami para Buddhist, tidak diajarkan untuk “ditampar pipi kiri, maka berikan pipi kanan”, terlebih menyerahkan nyawa untuk digantung hidup-hidup hingga mati (bunuh diri), maupun membuat orang-orang yang menyakiti kita tangannya banjir oleh darah kita. Tidak ada penjahat yang lebih “sial”, daripada penjahat yang dapat dengan begitu mudahnya berhasil melancarkan niat jahatnya, alias jalan tol menuju neraka, dimana korbannya justru menyerahkan diri untuk dibunuh, dan itulah nasib si malang Yudas Iskariot. Bila hukum buatan manusia saja, dalam hal ini hukum pidana negara, membolehkan kita untuk membela diri dan melakukan perlawanan ataupun bela diri (pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai “alasan pemaaf”), maka bagaimana mungkin kami memperlakukan diri kami bak sebongkah batu yang akan diam saja ketika disakiti, seonggok mayat yang hanya bisa membisu dan terbujur kaku, ataupun sebalok batang kayu yang seolah tidak bisa merasakan sakit ketika disakiti ataupun terluka ketika dilukai?

Adalah tidak mendidik, membiarkan orang-orang yang menyakiti diri kita menjelma “besar kepala”, seperti dituturkan oleh Ajahn Brahm maupun Sang Buddha dalam Jataka, “Orang suci sekalipun sesekali harus menampilkan gigi taringnya agar tidak di-bully orang-orang nakal.” Adalah delusi, berasumsi bahwa dengan bersikap pasrah dan bersabar secara bodohnya, maka sang pelaku akan menyadari kesalahannya terhadap pihak korban. Bersikap baik, artinya tidak merugian orang lain juga tidak membiarkan diri kita dirugikan terlebih merugikan diri kita sendiri. Terlagipula, seperti kata pepatah, “be a good persoon, but don’t waste time to prove it!” Manusia adalah makhluk yang irasional, orang-orang baik dan bersabar (justru) cenderung tidak dihargai, namun itulah realitanya dan kita perlu bersikap realistik, dengan hidup secara cerdas bukan hidup secara keras.

Jika kita menghargai diri kita, maka kita mampu untuk mempertahankan hak-hak diri maupun keselamatan dan keutuhan diri maupun kehidupan kita. Sebaliknya, mereka yang gagal menghargai hidup, baik kehidupan dirinya sendiri maupun kehidupan orang lain, akan memilih untuk membiarkan diri disakiti (berpasrah diri) atau bahkan mengakhiri hidupnya sendiri. Itu bukanlah perbuatan baik, terlebih untuk dapat disebut sebagai perbuatan yang bijaksana, akan tetapi tercela. Perbuatan baik artinya, menurut Sang Buddha, tidak menyakiti / merugikan orang lain juga tidak menyakiti / merugikan diri kita sendiri—termasuk juga tidak membiarkan diri kita disakiti oleh diri sendiri maupun oleh orang-orang lainnya. Akibat pandangan tertutup oleh kekotoran batin yang tebal, si dungu ini disebut sebagai orang buta (ignorant), karena sebagaimana disabdakan oleh Sang Buddha: [dikutip dari Dhammapada]

316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.

Malang yang kedua bagi kami, para Buddhist, kami tidak pernah menghakimi kaum eksternal yang tidak meyakini adanya Hukum Karma, bahwa ketika seseorang tersebut disakiti, dirugikan, ataupun dilukai, maka ketika yang bersangkutan mengajukan protes maupun komplain, entah kita atau pihak ketiga sebagai pelakunya, memberi respon bahwa itu adalah “Karma Buruk” yang bersangkutan sedang berbuah—seolah-olah hendak berkata, “silahkan salahkan diri Anda sendiri, kini Anda sedang memetik buah Karma Buruk Anda sendiri”, seakan menertawakan dan menikmati penderitaan maupun kemalangan hidup orang lain, alias bersenang-senang disamping penderitaan orang lain. Akan tetapi, justru kami-lah, para Buddhist, yang dihakimi oleh mereka-mereka yang menyudutkan posisi kami, dengan diskredit bahwa itu adalah Karma Buruk kami sedang berbuah ketika kami disakiti, dilukai, maupun dirugikan oleh pihak lain, seolah-olah kami hanya boleh diam berpasrah diri menunggu dimangsa hidup-hidup hingga tulang-belulang. Sang Buddha tidak pernah membiarkan dirinya dilukai oleh Devadatta yang berulang kali mencoba mencelakai Beliau, itulah ajaran konkret lewat teladan nyata.

Ciri khas paling utama dari kalangan yang gemar menghakimi individu lain, ialah watak “sok tahu” mereka yang amat kental serta menonjol, yang mana sayangnya lebih sering kelirutahu, alias “tahu namun keliru”. Mengapa penulis menyebut mereka sebagai “sok tahu”? Karena Sang Buddha sendiri telah menyatakan bahwa Hukum Karma bersifat “acintya”, yang memiliki arti “tak terpikirkan”, “yang tak dapat dipahami”, atau “yang tak dapat dibayangkan”. Kaum puthujana (perumah-tangga) yang tidak terlatih dalam disiplin “self control” yang ketat, cenderung memiliki kekotoran batin yang tebal menyelimuti pandangan mata batin mereka, sehingga pikirannya tidak jernih serta tidak terpusat, namun keruh ibarat air yang keruh, memakai akal sakit milik orang sakit alih-alih akal sehat milik orang sehat, sehingga bagaimana mungkin diharapkan mampu memahami Hukum Karma sebagaimana adanya selain sekadar meraba-raba lantas menerkanya dan mengira si dungu telah memahami seutuhnya perihal cara kerja dibalik Hukum Karma.

Hanya mereka yang telah mengikis kekotoran batin dalam dirinya secara tuntas sepenuhnya, para kaum suci Arahat, yang dapat memahami Hukum Karma—ibarat ikan selama masih di dalam kolam air, tidak akan tahu apa itu air sampai ia dibawa keluar dari kolam tempat ia hidup selama ini. Begitupula ketika rantai belenggu Karma telah diputus, maka barulah seseorang menyadari betapa “hidup adalah dukkha” sekalipun memiliki timbunan segunung Karma Baik. Sementara si dungu, bahkan mempersonifikasikan (memperorangkan) sosok Tuhan, yang demikian abstrak, menjelma sewujud “raja yang tiran”—raja mana mampu merasa senang, tidak suka, benci, kesal, murka, geram, cinta, dendam, mengutuk, menyumpah serapah, hingga mencandu, akan gembira dan memberi hadiah ketika disanjung dan dipuja sembah-sujud, dimana sebaliknya akan tersinggung dan berang ketika tidak disembah dan tidak dipuja-puji. Begitu mudahnya Tuhan didikte serta ditebak, kita sebagai manusia, mampu menyetir Tuhan agar Tuhan menjadi marah, kesal, geram, jengkel, tidak suka, murka, atau bahkan meneteskan air liur.

Sejatinya, Tuhan juga bersifat “acintya”, alias tidak terpikirkan oleh rasio maupun benak manusia. Artinya, manusia tidak dapat menggambarkan Tuhan secara sempurna. Mencoba menggambarkan keindahan Nibbana, sama artinya mengurangi keindahan Nibbana yang sesungguhnya, karena memang tidak terlukiskan. Sama halnya, menggambarkan sosok Tuhan dengan simbol kata seperti agung, Maha Esa, Maha Kuasa, atau istilah-istilah lainnya, terlebih-lebih mempersonifikasikannya bak seorang manusia, sejatinya membatasi keluasan maupun kedalaman Tuhan. Hanya dengan tidak membicakan Tuhan, seseorang umat manusia sejatinya menjaga keutuhan dan kesatuan Tuhan tanpa ternoda oleh bentuk-bentuk pengerdilan Tuhan.

Agama samawi, karenanya, merupakan agama yang paling menista Tuhan, dimana Tuhan menjadi ternoda seolah-olah dapat marah, geram, kesal dan perasaan-perasaan negatif lainnya yang menyerupai jiwa “terbakar api emosi”, Tuhan yang tersiksa akibat emosi serta penuh kekotoran batin alih-alih keseimbangan batin (upekkha). Namun si dungu merasa paling mengenal Tuhan, atau bahkan memasukkan Tuhan ke dalam kantung saku yang bersangkutan, yang mana akan dikeluarkan dan dipergunakan bilamana sewaktu-waktu ia perlu mencatut nama Tuhan untuk memjustifikasi kepentingannya sendiri alias memperalat nama Tuhan.

Si dungu berasumsi bahwa Tuhan butuh disembah-sujud ataupun dipuja-puji. Mereka, sayangnya, tidak diajarkan bahwa untuk memuliakan Tuhan ialah dengan cara : 1.) menjadi manusia yang mulia; dan 2.) tidak menyebut-nyebut nama Tuhan. Ini ibarat putusan pengadilan yang korup isinya, diputus oleh hakim korup, namun masih juga mencamtukan irah-irahDEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Tidak ada yang lebih mencoreng nama Tuhan, daripada umat agama-agama samawi itu sendiri. Mereka itulah, para “sok tahu”, yang berdelusi seolah-olah tahu dan kenal betul apa-apa yang notabene sejatinya bersifat “acintya”, entah itu Tuhan maupun Hukum Karma.

Kapasitas intelektual mereka bahkan terlampau dangkal, bagaimana mungkin Tuhan dapat merasa marah, geram, benci, jengkel, ataupun dongkol terhadap sifat, sikap, maupun ulah manusia—toh semua sifat-sifat negatif tersebut diciptakan sendiri oleh manusia ketika menciptakan Bumi serta seisinya, tidak terkecuali umat manusia yang dilahirkan secara sengaja tidak sempurna lewat ramuan sifat-sifat “toxic” berupa “kekotoran batin”, sehingga bukan salah bunda mengandung, seolah-olah dengan bodohnya Tuhan sengaja menciptakan sesuatu untuk ia benci sendiri serta mengutuk apa yang telah ia ciptakan dan rencakan sendiri. Ini persis seperti “Maha Bodoh”-nya Tuhan yang menciptakan dinosaurus untuk kemudian dipunahkan maupun melahirkan anak-anak pria seorang nabi namun kemudian kesemua anak pria sang nabi dibunuh dengan alasan bahwa sang nabi merupakan nabi terakhir. Anda lihat, tanpa IQ yang memadai, adalah omong kosong seseorang berbicara mengenai apa itu SQ.

Akibatnya, terjadilah penghakiman dimana-mana. Ketika merebak wabah akibat pandemik virus menular mematikan, mereka yang menderita akibat terjangkit infeksi hingga meninggal dunia, dihakimi sebagai “miskin iman” (si dungu yang mencobai Tuhan, bukan sebaliknya), gagal menjalani cobaan Tuhan—sekalipun umur umat manusia sudah sama tuanya dengan usia Planet Bumi ini, dan untuk anak sendiri dicoba-coba?—termasuk ketika bencana alam disebutkan bahwa itu adalah kuasa Tuhan sekalipun fenomana alam seperti gunung meletus, gempa bumi, tsunami, badai tornado, adalah alamiah saja sifatnya alias “by nature” akibat konsekuensi hukum kinetik bumi yang berputar pada porosnya, gaya tarik gravitasi antar planet di Tata Surya, serta inti Bumi yang berupa magma cair yang bergejolak, serta pergeseran lempeng tektonik, sehingga terjadi penghakiman oleh umat manusia (umat agama samawi) secara berjemaah terhadap sosok Tuhan yang mereka sembah sendiri.

Ketika nasib sedang buruk, Tuhan yang disalahkan. Ketika nasib sedang kurang mujur, Karma yang disalahkan. Itulah, yang oleh Sang Buddha diberi julukan oleh kaum “spekulan”, tidak tahu betul apa yang mereka ucapkan namun masih juga diucapkan seolah itulah kebenarannya, alias sekadar ahli dalam spekulasi yang berspekulasi [untuk selengkapnya, lihat sutta Brahmajala Sutta dalam Digha Nikaya, sutta yang pada akhir pembabarannya oleh Sang Buddha, terjadi fenomena alam berupa berguncangnya Bumi secara dahsyat.] Lantas, apakah ayam dan itik tetangga kita pun, berapa butir akan ditelurkan hari ini, kesemua itu harus diatur oleh Tuhan, seolah-olah Tuhan adalah “kurang kerjaan” serta “tidak boleh tidur”? Jika sudah ada Hukum Alam dan Hukum Karma, maka untuk apa lagi Tuhan terlibat, bahkan melakukan intervensi terhadap skor pertandingan sepak bola seolah-olah meritokrasi kompetisi yang “fair play” tidak boleh terjadi?

Ketika kaum spekulan tersebut menghakimi kita, bahwa ketika kita menderita luka, disakiti, ataupun dirugikan oleh pihak lain, itu adalah Karma Buruk kita yang sedang berbuah, sehingga tidak boleh protes kepada sang pelaku yang telah menyakiti ataupun merugikan kita, maka berikanlah tanggapan sebagai berikut : ”Kaki Anda (akan) saya injak hingga Anda kesakitan pun, itu sudah merupakan rencana, kuasa, serta seizin Tuhan. Sehingga, jangan marah ataupun menyalahkan saya bila kaki Anda kesakitan saya injak.” Kita tidak tahu apapun tentang Hukum Karma, karena itu seyogianya janganlah kita menghakimi nasib buruk yang dialami oleh orang lain. Sama halnya, kita tidak tahu apapun tentang Tuhan, karena itu penting bagi kita untuk tidak pernah menyebut-nyebut terlebih mencatut nama Tuhan agar tidak menodai keluhuran serta ke-Esa-an Tuhan. Hanya mereka yang telah mencapai tingkat kesucian sempurna (para Arahat), yang berhak berbicara perihal Hukum Karma maupun Tuhan.

Terlagipula, membicarakan atau lebih tepatnya berspekulasi mengenai cara kerja Hukum Karma maupun apa itu Tuhan, tidak menuntun kita kepada kesucian diri maupun pikiran kita—kesemua itu adalah “wasting time”, alias tidak berfaedah. Lhatlah negeri kita di Indonesia ini, bangsa-nya tidak pernah kekurangan kaum “agamis” yang kerap menyebut-nyebut nama Tuhan, bercerita tentang Tuhan, telah ternyata masih jauh dari watak bangsa beradab dimana segala masalah diselesaikan dengan cara kekerasan fisik serta korupsi terjadi secara masif.

Hanya ajaran yang mengarahkan kepada kita praktik latihan disiplin diri penuh “self control” yang benar-benar dapat secara konkret membawa kita kepada perkembangan jiwa dan pikiran. Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]. Anda cium dan bersujud sampai dahi kening Anda hitam sekalipun, Anda tidak akan terlepas dari dukkha ataupun kebodohan batin.

Ideologi “penghapusan dosa”, membuat para pendosa berbondong-bondong memproduksi serta mengoleksi dosa, sekalipun kita tahu : HANYA SEORANG PENDOSA YANG BUTUH IMING-IMING KORUP BERNAMA “PENGHAPUSAN DOSA”. Yang pahit, jangan langsung dibuang. Sebaliknya, yang manis, jangan langsung ditelan. “Agama KSATRIA”, umatnya ialah kalangan ksatriawan, namun tidak semua orang sanggup menjalani hidup selayaknya seorang ksatria yang memilih untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruknya baik disengaja atau akibat kelalaiannya sehingga mengakibatkan orang lain menderita luka, sakit, maupun rugi. Sebaliknya, “Agama DOSA”, umatnya adalah para dosawan dimana para pendosa menjadi umatnya, disebut demikian semata karena alih-alih mengajarkan gaya hidup higienis dari dosa, justru mempromosikan cara hidup bergelimang dosa lewat ideologi korup “penghapusan dosa” (sins laundring). Pendosa, hendak berceramah perihal hidup suci, lurus, baik, dan bersih? Itu ibarat orang buta yang hendak menuntun orang-orang buta lainnya. Terhadap dosa dan maksiat, demikian kompromistik, namun terhadap kaum yang berbeda demikian intoleran.

Jika perlu, melawan arus. Ada dorongan birahi / libido dalam diri, bukan artinya harus disalurkan dan dilampiaskan ataupun dipuaskan. Keterampilan “self control”, terasah bila kita berlatih dalam disiplin diri yang ketat. “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. an-Nisa` [4]: 3). Bandingkan dengan apa yang disabdakan maupun diberikan teladan hidup oleh Sang Buddha dalam kutipan berikut:

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

(1) “Dan apakah orang yang mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.

(2) “Dan apakah orang yang melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.

Ada penceramah agama samawi yang berceramah lewat pengeras suara eksternal tempat ibadahnya, yang membahana bahkan masuk gelombang suaranya ke dalam toilet tempat kloset kediaman penulis berada, yang bersangkutan meremehkan ancaman pandemik akibat virus menular yang dapat berpotensi mematikan manusia-manusia yang komorbit, bahwa “Virus begitu saja takut, semua hidup dan mati manusia ada di tangan Tuhan, buat apa takut pada virus menular?” Ada juga umat agama samawi lainnya yang mengklaim dan berbangga diri tidak menerapkan protokol kesehatan, tidak pernah mengenakan masker dikala wabah merebak, bahkan mempromosikan “anti vaksin”, mengkampanyekan “cukup vaksin iman”, cukup beribadah kepada Tuhan, toh tetap sehat dan hidup—itulah bentuk-bentuk “kesombongan atas kesehatannya”, yang mana bisa jadi betul dirinya tidak fatal akibat terjangkit, namun yang bersangkutan yang justru mencelakai orang lain (vektor agen penular) karena menulari orang-orang yang bisa berdampak fatal ketika tertular. Lihatlah, orang-orang ber-IQ dangkal yang lebih cenderung mencelakai orang lain, cenderung egosentris, delusif, serta yang paling kerap menista Tuhan, sekalipun fakta memperlihatkan telah ribuan korban jiwa sesama anak bangsa tumbang dan tewas akibat wabah dimaksud.

Anda butuh seorang “penjilat pendosa penuh dosa”? Terlebih Tuhan, presiden saja membentuk “kabinet kerja” alih-alih “kabinet penjilat yang korup”. Kini, kita bandingkan ajaran serta teladan sebagai berikut, untuk mengetahui secara langsung “kebahagiaan” level semacam apakah yang selama ini mengisi benak dan kehidupan mereka yang berdelusi sebagai memeluk agama paling superioritas di dunia ini, yang sebagai paling agamais, yang sebagai paling disayangi oleh Tuhan, maupun delusi-delusi lainnya yang kekanakan sifatnya. Ingat, teladan merupakan ajaran yang paling konkret:

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim].

- “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]

Bagaimana mungkin, kesenangan surgawi digambarkan tidak ubahnya kesenangan duniawi semacam bersetubuh? Kenikmatan surgawi, lebih mungkin berupa kenikmatan meditatif ketimbang terbakar oleh api nafsu yang membara. Mengapa, mereka, para agamais tersebut, begitu gemar mengatur-ngatur, mendikte, serta menghakimi kaum “NON”? Karena mereka tidak bahagia atas agama dan ibadah mereka sendiri. untuk itu, simak khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, perihal “kebahagiaan” dengan kutipan:

VII. Kebahagiaan

64 (1)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan seorang umat awam dan kebahagiaan seorang yang telah meninggalkan keduniawian [menuju kehidupan tanpa rumah].300 Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan dari seorang yang telah meninggalkan keduniawian adalah yang terunggul.”

65 (2)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan indria dan kebahagiaan meninggalkan keduniawian. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan meninggalkan keduniawian adalah yang terunggul.”

66 (3)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan yang terikat dengan perolehan dan kebahagiaan tanpa perolehan. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan tanpa perolehan adalah yang terunggul.”

[Note : Kitab Komentar mengemas yang pertama sebagai kebahagiaan di tiga alam (alam indria, alam berbentuk, dan alam tanpa bentuk) dan mengemas yang terakhir sebagai kebahagiaan yang melampaui duniawi (lokuttarasukha).]

67 (4)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan dengan noda-noda dan kebahagiaan tanpa nodanoda. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan tanpa noda-noda adalah yang terunggul.”

68 (5)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan duniawi dan kebahagiaan spiritual. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan spiritual adalah yang terunggul.”

[Note : Kitab Komentar menjelaskan, perbedaannya adalah antara sāmisa sukha, yang didefinisikan oleh seorang penerjemah sebagai kebahagiaan yang kotor yang mengarah kembali pada lingkaran [penjelmaan yang tidak berkesudahan], dan nirāmisa sukha, kebahagiaan tidak kotor yang mengarah pada akhir lingkaran tumimbal-lahir.]

69 (6)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan mulia dan kebahagiaan tidak mulia. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan mulia adalah yang terunggul.”

70 (7)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan jasmani dan kebahagiaan batin. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan batin adalah yang terunggul.”

71 (8)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan yang disertai dengan sukacita dan kebahagiaan tanpa sukacita. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan tanpa sukacita adalah yang terunggul.”

[Note : Kitab Komentar menerangkan, kebahagiaan dengan sukacita (sappītika sukha) adalah kebahagiaan jhāna pertama dan ke dua. Kebahagiaan tanpa sukacita (nippītika sukha) adalah kebahagiaan jhāna ke tiga dan ke empat.’

 

72 (9)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan yang menyenangkan dan kebahagiaan keseimbangan (batin). Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan keseimbangan adalah yang terunggul.”

[Note : Kitab Komentar menuebutkan, kebahagiaan yang menyenangkan (sātasukha) adalah kebahagiaan tiga jhāna pertama. Kebahagiaan keseimbangan (upekkhāsukha) adalah kebahagiaan jhāna ke empat.]

73 (10)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan konsentrasi dan kebahagiaan tanpa konsentrasi. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan konsentrasi adalah yang terunggul.”

74 (11)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan yang berdasarkan pada adanya sukacita dan kebahagiaan yang berdasarkan pada ketiadaan sukacita. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan yang berdasarkan pada ketiadaan sukacita adalah yang terunggul.

[Note : Kitab Komentar menguraikan, Sappītikārammaa sukha dan nippītikārammaa sukha. Agak meragukan bahwa, dalam empat Nikāya, kata ārammaa selalu yang bermakna “objek kesadaran” dalam makna umum seperti dalam Abhidhamma dan komentar. Makna aslinya lebih mendekati “landasan” atau “penyokong.” Kadang-kadang, seperti dalam SN 34:5, III 266, kata ini menunjukkan suatu “objek meditasi.” Seiring perjalanan waktu, makna ārammaa pasti telah meluas dari “objek meditasi” menjadi “objek kesadaran” dalam makna umum, tetapi sepengetahuan Bhikkhu Bodhi perkembangan ini terjadi setelah masa ketika Nikāya-nikāya disusun.

75 (12)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan yang berdasarkan pada kenikmatan dan kebahagiaan yang berdasarkan pada keseimbangan. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan yang berdasarkan pada keseimbangan adalah yang terunggul.”

76 (13)

“Para bhikkhu, ada dua jenis kebahagiaan ini. Apakah dua ini? Kebahagiaan yang berdasarkan pada bentuk dan kebahagiaan yang berdasarkan pada tanpa-bentuk. Ini adalah kedua jenis kebahagiaan itu. Di antara kedua jenis kebahagiaan ini, kebahagiaan yang berdasarkan pada tanpa-bentuk adalah yang terunggul.”

[Note: Kitab Komentar menjelaskan, kebahagiaan yang berdasarkan pada bentuk (rūpārammaasukha) adalah yang berdasarkan pada jhāna keempat dari alam berbentuk, atau jhāna manapun yang muncul dengan berdasarkan pada itu. Yang berdasarkan pada tanpa-bentuk (arūpārammaasukha) adalah yang berdasarkan pada jhāna tanpa bentuk, atau jhāna manapun yang muncul dengan berdasarkan pada tanpa bentuk.”