Apakah Salah dan Egois, Memilih menjadi Bahagia dan Hidup Berbahagia?

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra Menjawab

Bahagia dan Membangun Hidup yang Bahagia, adalah HAK ASASI MANUSIA

Kebahagiaan Bukanlah Sumber Kejahatan, Kurangnya Kebahagiaan justru menjadi Sumber Kejahatan

Question: Pernah ada yang bertanya kepada saya, apa keinginan terbesar saya? Saya jawab, saya ingin bahagia, happy, ingin punya hidup yang juga membahagiakan. Namun si penanya kemudian menghakimi saya, dengan tudingan sebagai seseorang yang egois. Apakah memilih untuk bahagia dan menjadi bahagia atau berjuang membangun hidup yang penuh kebahagiaan, adalah egois? Lantas, kita harus jawab apa ketika ditanya seperti itu, ingin hidup yang menderita, atau menderita tidak dan bahagia pun tidak? Jangan-jangan yang bertanya itu sendiri pun tidak tahu apa yang diinginkan olehnya. Jika begitu, mengapa juga masih menghakimi orang lain atas hidup milik saya sendiri dan saya sendiri pula yang paling berhak memutuskan hidup saya?

Brief Answer: Memilih untuk memiliki hidup yang berbahagia, serta memiliki kehidupan yang penuh kebahagiaan, merupakan hak asasi setiap orang, tidak terkecuali diri kita masing-masing selaku individu yang merdeka dan setara di mata hukum. Artinya, menjadi kewajiban asasi bagi setiap orang untuk menghormati pilihan hidup kita untuk bahagia maupun atas kebahagiaan hidup yang kita miliki. Ketika orang lain hendak melepaskan haknya untuk hidup bahagia dan berbahagia, maka itu urusan pribadi yang bersangkutan—namun disaat bersamaan yang bersangkutan tidak memiliki hak untuk memaksa orang lain untuk mengikuti jalan hidup penuh ketidak-bahagiaan seperti dirinya.

Memakai hak, bukanlah sebuah bentuk atau wujud keegoisan diri, namun dalam rangka menegakkan apa yang memang patut bagi diri kita sendiri. Bila bukan kita yang mengapresiasi dan memperjuangkan hidup kita sendiri, maka siapa lagi? Bila bukan kita yang berjuang untuk kebahagiaan dan memabahagiakan hidup kita sendiri, maka siapa lagi yang paling bertanggung jawab untuk itu? Bila bukan kita yang menghargai dan memberi harga pada hidup kita sendiri, maka siapa lagi? Bila bisa memilih untuk hidup bahagia, tanpa menjadi korban dari keadaan yang senantiasa membuat gejolak jiwa kita terputar-balik sepanjang hari dan sepanjang tahunnya, mengapa memilih untuk hidup menderita nan penuh derita?

Hidup sederhana dan secara bersahaja adalah baik dan patut dikampanyekan lewat teladan nyata, namun bukan berarti harus hidup secara sengsara dan menyiksa diri. Hidup bahagia juga bukan dimaknai sebagai hidup yang penuh glamor dan terperangkap dalam hedonisme. Kebahagiaan (mental state) juga bukanlah padanan kata dari kesenangan duniawi (mengandalkan faktor eksternal diri berupa kondisional panca inderawi), dimana keduanya adalah dua hal yang saling terpisah, sehingga tidak dapat saling disamakan ataupun untuk saling dipertukarkan.

PEMBAHASAN:

Salah kaprah “tekanan sosial” demikian memang tergolong “toxic”, setidaknya satu diantara sepuluh orang warga kita terjangkiti oleh “mental block” demikian, akibat kultur yang masih menjadikan “berbahagia” seolah sebagai hal yang tabu untuk diekspresikan dan disuarakan. Untuk menjawab fitnah maupun “penghakiman” yang tidak pada tempatnya seperti contoh kasus di atas, dapatlah kita menanggapi secara tenang namun jernih tanpa maksud untuk “mengutuk” balik, bahwa:

Bila kamu mau hidup menderita, maka silahkan hiduplah menderita. Namun jangan paksa orang lain untuk punya gaya hidup yang sama menderitanya seperti hidup yang ingin kamu bangun ataupun yang kini kamu jalani dan raih. Saya punya hak untuk hidup BAHAGIA, berbahagia adalah hak asasi saya.

“Apakah keliru, sekadar menggunakan apa yang menjadi hak asasi saya pribadi untuk hidup bahagia dan menjadi berbahagia, ataupun untuk berjuang membangun hidup yang bahagia dalam kacamata dan sudut pandang saya pribadi? Saya tidak bilang akan membangun hidup yang bahagia dengan merampas kebahagiaan orang lain, juga tidak pernah berkata akan berbahagia diatas penderitaan orang lain. Sehingga, apakah dapat dipersalahkan secara moral?

Itu sama seperti anekdot “uang adalah sumber kejahatan”, dimana telah diluruskan oleh miliarder real estate asal Amerika Serikat bernama Robert T. Kiyosaki, dengan paradigma sebaliknya, yakni “Uang bukanlah sumber kejahatan, justru kurangnya uang yang dapat lebih berpotensi menjadi sumber kejahatan.” Karenanya, memilih untuk hidup bahagia dan memiliki kebahagiaan, bukanlah sebuah “dosa” ataupun untuk di-“tabu”-kan. Siapa sangka, banyaknya orang jatuh miskin atau tetap terus hidup “melarat”, semata akibat “mental block” persepsi pribadinya terhadap uang.

Kita tidak butuh komentar ataupun izin dari orang lain untuk memutuskan hidup secara bahagia dan untuk menciptakan hidup yang penuh kebahagiaan. Terlagipula, berdasarkan aspek psikologi dan sosiologi, orang-orang yang bahagia lebih cenderung bersikap toleran, kompromistis, suka berdana dan memberi kebaikan, tidak mudah tersulut ataupun terpancing emosi, lebih menyenangkan, dan lebih menularkan kebahagiaan kepada orang-orang disekitarnya, disamping tidak menyukai cara-cara yang berbau “kekerasan fisik untuk menyelesaikan setiap masalah”.

Sebaliknya, orang-orang yang lebih cenderung berbuat kejahatan, intoleran, suka menyakiti, suka main kekerasan fisik, “pendek sumbu”-nya, pemarah, tidak memiliki pengendalian diri, radikal, serakah, dan penuh ketidakpuasan dalam hidupnya sehingga banyak menuntut hingga banyak merampas hak-hak orang lain, adalah orang-orang yang dalam hidupnya dirudung oleh ketidakbahagiaan, entah karena merasa tidak berdaya selain memiliki “mental state” untuk tidak bahagia ataukah karena pengaruh “mental block” negatif berupa “toxic culture” masyarakat kita yang menjadikan hidup bahagia seolah sebagai “orang buruk yang tercela” atau sebagai seorang pribadi yang “egois”.

Ketika kita sedang dalam kondisi tidak bahagia, maka kita tidak berhak atau menjadikan keadaan kita sebagai alasan untuk melarang orang lain sekadar menggunakan haknya untuk “hidup bahagia dan berbahagia”. Hanyalah sifat-sifat dangkal yang merasa iri hati atau bahkan dengki ketika melihat orang lain hidup berbahagia, dan merupakan delusi pribadi ketika kita merasa seolah “orang lain bersenang-senang di samping penderitaan diri kita”. Ketika itu terjadi, segera evaluasi cara berpikir kita yang selama ini bersarang di kepala kita, dan mulai untuk mendektoksifikasi pikiran kita dengan mengeluarkan jauh-jauh pikiran demikian yang hanya kontraproduktif terhadap tingkat kebahagiaan hidup kita.

Sebaliknya, juga merupakan delusi ketika kita berpikir bahwa kita sedang menertawakan orang lain yang lebih kurang beruntung daripada kita ketika kita merasa bahagia atau memutuskan untuk berbahagia. Faktanya, kondisi hidup dan latar-belakang sosial ataupun ekonomi orang yang bahagia tidak selalu relevan dan tidak selalu berbanding lurus dengan taraf hidup maupun tingkat ekonomi seseorang, meski ada satu atau dua unsur yang memang memiliki kaitannya. Kebahagiaan, lebih condong sebagai hasil dari “state of mind”. Bahkan, di mata seorang Buddha, bebas dari kemelekatan merupakan kebahagiaan tertinggi.

Ada dua cara membuat hidup kita bahagia. Pertama, peng-kondisian berupa kepemilikan, semisal memiliki kesehatan, memiliki kebebasan finansial, memiliki sanak-keluarga yang baik, dan kepemilikan sebagainya yang tidak kenal terpuaskan dan tiada habisnya. Namun, kondisi-kondisi semacam itu sungguh rapuh dan tidak kekal adanya. Kita, cepat atau lambat, suka atau tidak suka, akan terpisahkan dan berpisah dari orang-orang yang kita cintai dan kasihi, juga akan terpisah dari kesehatan, umur hidup, atau bahkan harta yang selama ini kita kumpulkan secara “banting tulang”.

Cara kedua, peng-kondisian terhadap “mental state”. Kita, meminjam istilahd ari Ajahn Brahm, bisa memilih untuk “freedom from wanting” ataukah “freedom to wanting”. Relevan dengan itu, penulis kutipkan artikel inspiratif yang sebelumnya telah pernah ditulis oleh Anthony Dio Martin, dengan kutipan sebagai berikut:

Emotional Superstar atau Emotional Blackhole?

Pernahkah Anda bertemu dengan orang yang sejak bertatap muka dan bicara dengannya saja, Anda sudah merasakan aura dan semangat yang berapi-api terpancar dari dirinya? Atau, justru sebaliknya, ada orang yang tatkala berbicara dengannya, Anda merasakan energi tersedot habis. Nah, itulah tipe manusia dengan istilah emotional superstar dan kebalikannya emotional blackhole.

Tanpa sadar, di lingkungan sehari-hari kita banyak bertemu dengan kedua jenis ini. Untuk memahaminya, perhatikanlah curhatan ini.

“Pak Anthony, kalau orang senang kembali ke rumah, saya sebaliknya. Saya tinggal bersama dengan keluarga besar dan Mama. Tetapi, tiap kali pulang saya sering berantem dengannya. Masalahnya, saudara Mama tersebut tidak bekerja, tetapi suka berkeluh kesah. Habis itu suka ngomongin orang. Tatkala pulang ke rumah dengan kondisi capek, saya inginnya tenang. Tetapi, mendengar omelan dan keluhannya, saya serasa ingin pergi. Rasanya, enggak mau balik ke rumah lagi!”

Istilah superstar (bintang besar) dan blackhole (lubang hitam) berasal dari benda luar angkasa. Kita bisa melihat, betapa berbedanya keduanya. Bintang adalah benda langit yang bersinar bahkan menebarkan energi kehidupan. Sementara itu, lubang hitam adalah benda angkasa yang konon merupakan bintang mati. Lubang hitam memiliki massa sangat besar dengan gravitasi begitu dahsyat sampai-sampai semua benda, termasuk cahaya, akan tertarik ke dalamnya. Selain itu, lubang hitam berjalan dengan kecepatan tinggi dan menarik apapun yang mendekatinya.

Nah, dalam kehidupan kita pun, ada tipe manusia yang mirip seperti si bintang besar dan si lubang hitam. Mereka berbeda sekali. Yang satunya sangat positif, sementara yang lainnya sangat negatif dan menyedot energi.

Contoh ilustrasi yang paling bagus adalah tokoh-tokoh dalam kartun Winnie The Pooh. Dalam cerita kartun karya AA Milne tersebut, ada tokoh si harimau si Tigre, yang sangat periang dan optimis. Itulah si superstar. Sementara itu, ada pula tokoh keledai bernama Eeyore yang selalu berkeluh kesah dan pesimis. Anda termasuk yang manakah?

PERBEDAAN SUPERSTAR DAN BLACKHOLE

Agar lebih paham lagi, mari kita bahas bagaimana sebenarnya perbedaan antara manusia bertipe emotional superstar dengan emotional blackhole.

Pertama, dari sisi penampilannya. Seorang superstar, penampilan fisiknya menyenangkan, wajahnya ramah, banyak senyum serta antusias. Sebaliknya, seorang emotional blackhole fisiknya cenderung turun, wajahnya muram, banyak cemberut, jarang tersenyum, kurang antusias, bahkan terkesan bosanan hingga cenderung suka mengejek.

Kedua, dari sisi bahasa dan isi pokok pembicaraannya. Seorang emotional superstar, kalimatnya lebih positif. Dia banyak mengomentari dengan kalimat yang baik. Lagipula tidak sarkastis (kasar). Sebaliknya, kalimat seorang yang bertipe emotional blackhole banyak berkeluh kesah, suka membicarakan hal-hal yang kurang beres, bahkan bisa sangat sarkastis (kasar).

Ketiga, dari dampaknya bagi orang lain. Seorang emotional superstar cenderung akan menguatkan orang di sekitarnya. Dia memberikan motivasi, serta memberi energi ataupun penghiburan bagi lingkungan sekitarnya. Sementara itu, seorang bertipe emotional blackhole cenderung mendemotivasi, membuat orang jadi patah semangat, menyedot energi, membuat batin orang-orang di sekitarnya jadi tertekan.

Keempat, dari sisi kondisi latar pribadinya. Seorang emotional superstar, hidupnya cukup berbahagia (meskipun tidak selalu kaya raya). Namun yang menarik, dia justru selalu berusaha membagikan semangat dan kebahagiaannya kepada orang di sekitarnya. [NOTE Penyunting : Karenanya, lebih mungkin untuk memiliki “kecukupan hati”.]

Sebaliknya, tipe emotional blackhole seringkali merasa kurang puas, tidak bahagia ataupun punya masalah. Namun celakanya, untuk menutupi permasalahannya, dia berusaha mendapatkan energi dengan cara mengambil energi orang di sekitarnya. Dia sendiri sering berusaha menutupi kekurangannya dan bertindak seolah-olah tidak ada masalah.

Kelima, dari sikapnya terhadap orang lain. Seorang bertipe emotional superstar dapat bekerja sama dan memberi perhatian pada orang. Dia pun bisa berempati, serta mau sharing dengan orang di sampingnya. Sebaliknya, emotional blackhole cenderung egois, hanya berfokus pada dirinya, tidak pernah merasa puas dan cukup.

Terakhir, dilihat dari pola kebiasaannya. Seorang bertipe emotional superstar optimistis, membangun suasana akrab dan nyaman (karena itu suka ditunggu kehadirannya dan diajak ke mana-mana). Dia paling mudah mengucapkan selamat, mengingat orang lain, serta mengungkapkan perhatiannya.

Sebaliknya, emotional blackhole cenderung lebih pesimis, sering merusak suasana tatkala orang yang lain sedang merasa senang. Dia justru senang mengatakan sesuatu yang merusak kesenangan atau perasaan positif pada orang lain. Dia jarang mau mendengarkan orang, tetapi orang harus mendengarkan dia mengatakan hal-hal yang negatif.

So, bagaimana caranya agar terhindar dari penyakit dan sifat-sifat seorang yang bertipe emotional blackhole? Ada banyak langkah yang harus mulai kita lakukan dengan kesadaran penuh. Ingatlah selalu prinsip ini, “Membicarakan hal negatif dan buruk, tidak akan membuat suasana menjadi lebih baik. Malahan, justru akan membuat kamu semakin terpuruk.”

Oleh karena itu, pertama-tama berusahalah memulai hari Anda dengan energi yang positif serta penuh syukur. Jika mulai berpikir secara negatif, segeralah ganti hal itu dengan yang lebih positif.

Selain itu, belajarlah lebih peka dan identifikasikan teman-teman ataupun anggota keluarga yang bertipe emotional blackhole. Berusaha batasi diri Anda dari mereka-mereka, sebab blackhole cenderung punya pengaruh besar dan suka mencari teman yang mirip.

Dan akhirnya, setiap kali keluar kalimat negatif dari mulut Anda, segera sadari dan segera imbangi dengan sisi positifnya!

So, mau bahagia? Jadilah seorang emotional SUPERSTAR!

Sebagai pesan penutup dari penulis : Be like a Superstar! You can do it! Selama kita ingin menjadi seperti mentari yang terus bersinar, maka kita akan menjadi mentari yang bercahaya dan memancarkan kehangatan bagi siapapun yang ada di dekat kita. Namun jika kita berpikir bahwa kita lebih cocok dan terbiasa menjadi si “lubang hitam” yang selalu menghisap dan menyedot emosi serta perhatian orang lain, maka bukan hanya dirinya sendiri yang akan menderita, namun juga orang-orang terdekat darinya.

Tentu kita ingin turut membahagiakan orang-orang terkasih maupun orang-orang terdekat kita. Namun untuk dapat merealisasikan niat baik tersebut, kita perlu terlebih dahulu hidup berbahagia. Karenanya, “bahagia” adalah kata positif serta membutuhkan niat positif yang baik. Hanya ketika dilandasi oleh niat yang baik dan positiflah, yang dapat melahirkan hal-hal yang positif dan baik. Landasan berpikirnya sangatlah sederhana, sesederhana : bagaimana mungkin, kita mengharap dapat menolong orang lain bila kita bahkan belum dapat menolong diri kita sendiri? Untuk dapat mengajar dan mencerdaskan peserta didik, seorang guru harus terlebih dahulu menjadi cendekia, cerdik-pandai. Untuk dapat membahagiakan orang lain, jadilah bahagia saat kini juga!

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.