Saya Manusia yang BEBAS dan MERDEKA, Bukan Individu Jajahan yang Terjajah, kecuali Anda Mengaku sebagai Penjajah

SENI PIKIR & TULIS

Ini adalah Negara Merdeka, Bukan Negara Jajahan yang Terjajah. Karenanya Berhentilah Memiliki Mental Bangsa Jajahan ataupun Mental Pribadi Terjajah dengan Bersikap Seolah-olah Tidak Punya Hak dan Pilihan Bebas maupun Pikiran untuk Menilai dan Memutuskan Sendiri dalam Menjalani Hidup Kita Pribadi

Jangan Bersikap Seolah-olah Kita Bukan Pribadi / Individu yang BEBAS dan MERDEKA

Ketakutan diejek atau diolok-olok (verbal bullying), sekalipun kita tidak pernah menyakiti ataupun melukai terlebih merugikan mereka ataupun orang lainnya, merupakan ketakutan yang tergolong irasional—karena memang seringkali keliru adanya, alias delusif. Kita perlu mulai belajar menanamkan mindset pada mental dan cara berpikir kita, bahwa biarkanlah orang lain mengejek, mencibir, menjelek-jelekkan, menghina, mencaci, memaki, memfitnah, ataupun mengolok-olok kita, namun kita tetap punya hak untuk “tidak memperdulikan” (tidak mengacuhkan), alias hak untuk mengabaikan.

Masyarakat di Indonesia, memiliki kegemaran yang tidak sehat seperti mengejek dan menghakimi orang lain lewat komentar maupun penghinaan. Mudah saja lidah dan mulut melontarkan ucapan atau ujaran mengejek, namun dampaknya dapat melukai dan menyayat hati seseorang hingga mengalami trauma untuk seumur hidupnya. Itulah sebabnya, Karma diciptakan dari perbuatan, ucapan, maupun pikiran. Jangan pernah sepelekan dampak dibalik ucapan, dimana hubungan dalam rumah tangga, pekerjaan, pertemanan, dapat putus semata karena ucapan yang tidak dijaga secara penuh kesadaran. Tempatkan diri kita pada perasaan orang lain, dengan cara begitulah kita melatih empati kita (terkait EQ) yang memang perlu dilatih dan diasah secara berkesinambungan.

Sebuah pepatah pernah menyebutkan, “orang besar” membicarakan ide-ide dan gagasan besar, sementara orang kerdil membicarakan (menggunjingkan) tentang orang lain. Dalam sebuah tempat, semisal pada satu restoran tempat kita sedang makan, kita dapat mengamati, pengunjung yang kerap mengomentari tentang orang lain, semisal berkomentar bahwa betapa baju seragam sang pelayan tampak kucel, betapa cerobohnya pelayan itu hingga menjatuhkan piring di atas meja, dan segala komentar serupa lainnya, itulah cerminan watak tipe kepribadian dibalik orang “kerdil”.

Silahkan saja bila mau mengejek saya, saya tetap tidak akan perduli. Saya punya hak untuk tidak terjajah oleh komentar ataupun isi pikiran orang lain, dan tidak ada yang berhak untuk menjajah urusan hidup orang lain. Urusan saya ialah, mengurus urusan saya sendiri. Yang penting saya tidak pernah merugikan ataupun menyakiti mereka, maka mereka pun tidak berhak untuk menyakiti ataupun melukai saya. Selebihnya, saya tidak akan ambil pusing dan akan tetap melanjutkan hidup dan akan tetap dapat hidup sekalipun tanpa memuaskan selera mereka. Itulah, ‘positive thinking’ dan keberanian hidup dibaliknya.”

Atau secara versi singkatnya, “Silahkan saja bila mau mengejek saya, saya tetap tidak akan perduli! Urusan saya masih banyak, untuk apa juga memusingkan hal yang tidak berfaedah bagi kebaikan saya.”. Itulah salah satu kutipan self-talk ciptaan pribadi penulis, yang perlu kita lakukan secara proaktif dan repetisi lewat “sugesti diri” tatkala muncul “ketakutan irasional” yang biasanya mencoba menguasi diri dan pikiran kita di keseharian.

Dapat kita komplomentarkan dengan sugesti berikut sebagai pelengkapnya, “Jangan bersikap seolah-olah kita tidak punya pikiran untuk menilai dan memutuskan sendiri.” Kita tidak perlu dan tidak membutuhkan orang lain untuk membuat penilaian bagi kita, kita punya pikiran kita sendiri dan berdiri di atas kaki serta pikiran kita sendiri, untuk menilai serta memutuskan. Nilai dan putuskan sendiri, karena ini adalah hidup kita sendiri, serta konsekuensi hidup yang akan kita tanggung sendiri, disamping tanggung-jawab atas hidup kita pribadi.

Orang-orang yang berkomentar tentang kita, tidak akan bertanggung-jawab atas komentar mereka dan tidak akan dapat dimintakan pertanggung-jawaban bila kita sampai “termakan” komentar dan penilaian ataupun keputusan mereka yang berujung petaka bagi diri kita. Kita seorang dirilah yang paling memahami kondisi serta latar-belakang hidup kita, bukan orang lain, terlepas apapun yang dipikirkan oleh orang lain mengenai diri kita, jadilah diri kita sendiri dengan tetap berdiri di atas kaki serta pikiran kita sendiri sebagia aset yang paling berharga dan tidak ternilai harganya.

Kita pun dapat membuat sugesti diri dengan kalimat sebagai berikut : “Jangan bersikap seolah-olah kita yang telah berbuat jahat dan yang paling patut merasa takut.” Melukai perasaan orang lain, mendiskreditkan, menghina, mengejek, memfitnah, mengolok, merendahkan, melecehkan, memanipulasi, mengeksploitasi, membohongi, membodohi, dan segala jenis ketidakjujuran serta ketidakadilan lainnya, sejatinya merugikan dan menyakiti orang lain yang dilontarkan perkataan-perkataan tersebut. Karenanya, perbuatan-perbuatan negatif demikian tergolong sebagai perbuatan buruk yang tercela (Karma Buruk).

Berhubung sang pelaku telah menanam Karma Buruk, maka yang semestinya (secara logika yang logis) paling patut untuk merasa takut ialah sang pelaku yang telah menanam Karma Buruk, bukan korban. Semakin gembira, tanpa penyesalan, sang pelaku menyakiti perasaan orang lain, semakin besar buah Karma Buruk yang akan dipetik oleh sang pelakunya dikemudian hari. Takutlah untuk menjadi pelaku penanam Karma Buruk, bukan terobsesi pada resistensi atau ketakutan dijadikan korban.

Katakanlah pelakunya menjahati kita, dan bahkan tidak tersentuh oleh hukum. Namun kita perlu menyadari dan memahami, pelakunya merupakan “subject of the law of Karma”, tunduk pada Hukum Karma. Tidak ada yang benar-benar dapat mereka curangi dalam hidup ini, termasuk berkelit dari tanggung-jawab. Cepat atau lambat, Karma Buruk akan berbuah dan dipetik oleh sang pelaku, terlahir dari serta menjadi pewaris atas perbuatan buruknya sendiri. Lari dari tanggung-jawab, hanya menggeser jangka waktu kapan ia harus membayar harganya—bahkan akibat tidak menyesali perbuatannya dan tidak bertanggung-jawab, buah Karmanya menjelma berkali-kali lipat menyerupai sebutir mangga menjelma sepohon mangga, bagai berinvestasi pada Karma Buruk, bunga berbunga.

Kita tidak dapat mengendalikan dunia luar kita untuk sepenuhnya, dimana orang-orang jahat dan peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan bisa saja sewaktu-waktu menimpa kita tanpa dapat kita tolak ataupun hindari sepenuhnya sekalipun kita telah menaruh waspada penuh, seperti kasus “tabrak lari” di jalan umum oleh pengendara terhadap pejalan kaki yang menjadi korbannya. Setidaknya, kita mampu mengendalikan benih-benih rasa takut dalam diri kita, dengan kesadaran penuh bahwasannya yang lebih patut merasa takut ialah mereka yang menanam benih-benih Karma Buruk.

Untuk dapat hidup damai, kita harus siap untuk menghadapi segala ejekan ataupun lontaran kata-kata merendahkan lainnya. Seorang pemakai kostum badut, ataupun seorang komedian, tetap tegar dan eksis sekalipun publik atau masyarakat (para penonton) yang menyaksikan keberadaan mereka melemparkan senyum atau bahkan ditertawakan. Sang badut ataupun komedian, tetap tenang dan santai, seperti apapun komentar dan pendapat orang lain tentang dirinya. Sama halnya, kita pun harus siapkan mindset berikut dalam benak kita untuk antisipasi dikeseharian, “Silahkan aja bila ada yang mau mengejek ataupun menghina saya, saya sudah siap, saya punya hak untuk tidak perduli dan akan tetap melanjutkan hidup saya.

Tetap tegar dan melanjutkan hidup, dan tetap bertahan hidup tanpa goyah, sekalipun tanpa reaktif membalas perbuatan pelakunya bahkan juga tanpa perlu bersikap defensif untuk menjelaskan dan berargumentasi, itulah yang disebut dengan “positive thinking”. Be a good person, but don’t waste time to prove it—serta tanpa perlu kita jelaskan ataupun mengemis-ngemis agar orang lain mau memahami, mengerti, dan menghormati hak hidup dan menghargai pilihan hidup orang lain (saling tidak mengganggu serta tidak saling menghakimi). Seorang tokoh pernah menuliskan dalam bukunya, bahwa positive thingking” merupakan keberanian itu sendiri sebagai akar fondasinya. Karenanya, orang-orang yang tegar menghadapi segala hinaan, ejekan, gunjingan, pelecehan, maupun segala “verbal bullying” lainnya, ialah orang-orang yang berani (seorang pemberani).

Kita pun dapat menyampaikan sugesti berikut secara lembut dan baik penuh cinta kasih kepada diri kita sendiri, “Be professional, (lalu sebutkan nama kita sendiri).” Maksudnya, biarkanlah pikiran dan komentar orang lain menjadi urusan milikmereka sendiri. Kita, cukup berfokus dan mengurusi urusan diri kita sendiri. Kita tidak perlu memusingkan “business” milik orang lain, semisal isi pikiran orang lain, perkataan orang lain, pendapat orang lain, ejekan orang lain, dan lain sebagainya—kita punya banyak pekerjaan lain yang lebih penting.

Percayalah, kita tidak akan pernah mampu menyelesaikan semua urusan terkait orang-orang yang sejak semula memang menaruh sentimen negatif terhadap diri kita (telinga mereka tertutup rapat), ataupun untuk menjelaskan segala hal, membantah segala fitnah, mendebat segala ejekan, dan akan sama gagalnya dengan mereka yang mencoba menyenangkan setiap orang bila kita meladeni setiap ejekan ataupun hinaan orang lain terhadap diri kita yang tidak akan pernah ada habisnya silih-berganti. Justru dengan mulai belajar tidak menghiraukan, pada akhirnya mereka sendiri yang akan merasa bosan menghina dan mengejek kita (ejekan yang sia-sia), karena tiada tanggapan dari kita sehingga mereka pun “bertepuk sebelah tangan”, semata karena kita tidak mengambil pusing ataupun menjadi reaktif.

Jangan mengejek orang lain, bila tidak ingin memetik buah Karma Buruk berupa diejek dikemudian hari. Begitupula prinsip yang sama, hindari perbuatan-perbuatan yang melukai perasaan orang lain, seperti tidak berdusta, tidak membodohi, tidak memanipulasi, tidak mengekploitasi, tidak bersikap curang, tidak kasar (bermain fisik, atau kekerasan fisik), tidak mengambil apa yang tidak diberikan, tidak ingkar janji, semata agar diri kita terlindungi dari sikap-sikap semacam itu dikemudian hari. Singkatnya, tidak merugikan, melukai, menyakiti, ataupun mengganggu hidup orang lain.

Jika perlu, kita sertakan pula dengan sikap-sikap yang menanam Karma Baik, seperti memberikan nasehat dan teguran kepada yang berbuat keliru, memberikan informasi yang bermanfaat (tepat guna, tepat sasaran, serta tepat waktu), saling menghormati dan saling menghargai satu sama lain, memberikan senyum dan kehangatan dibalik keramahan, berderma materi maupun tenaga dan pikiran, menjaga kepercayaan yang diberikan orang lain, membalas budi baik dengan budi baik serupa, dan lain sebagainya, akan kelak kita memetik buah Karma Baik yang telah kita tanam sendiri dimasa lampau. Itulah cara kita hidup secara penuh tanggung-jawab alias bertanggung-jawab sepenuhnya terhadap diri kita sendiri.

Dengan mulai memahami bahwa diri kita sendirilah yang memetik buah Karma (“Karma” artinya perbuatan, sementara “vipaka” artinya buah dari perbuatan), maka kita tidak akan lagi tergoda ataupun terpancing untuk semudah itu melecehkan ataupun mengejek dan melukai perasaan orang lain, dan mulai lebih menaruh perhatian terhadap penghormatan terhadap setiap pribadi dan individu yang perasaannya mampu merasa dan terluka, sebagaimana perasaan kita ingin dihargai dan dihormati. Pada prinsipnya, tiada seseorang pun yang senang ketika dilukai dan terluka, dan semua orang akan gembira serta senang bila terlindungi dan dihargai serta diberikan kebaikan hati.

Sebagaimana prinsip emas (golden principle) telah lama mengingatkan kita : Perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, dan jangan perlakukan orang lain sebagaimana kita tidak ingin diperlakukan. Adakah diantara kita, yang senang ketika dihina dan diejak? Jika tidak, maka mengapa juga diantara kita masih terdapat pihak-pihak yang masih dengan mudahnya melontarkan hinaan ataupun ejekan terhadap pribadi lainnya seolah-olah dirinya berhak untuk menghakimi orang lain, yang bahkan orang-orang yang menjadi korban ejekan tersebut tidak pernah menyakiti ataupun melukai diri kita?

Sebagai penutup, ingatlah selalu sugesti diri berikut, “Kita punya hak untuk tidak memperdulikan komentar ataupun hinaan dan ejekan dari orang lain. Saya tetap dapat melanjutkan hidup tanpa memakan hinaan ataupun ejekan mereka, dan inilah yang disebut sebagai sikap ‘positive thinking’.” Kita pun, punya “hak untuk diam” (the right to remain silent) tanpa menanggapi orang-orang yang melecehkan kita secara verbal. Sama seperti orang yang mengajak kita bicara, tidak hiraukan akan membuat yang bersangkutan justru merasa terhina dan tersinggung.

Seperti itulah, ketika kita tidak menghiraukan segala ejekan ataupun hinaan mereka, biasanya mereka akan letih dan lelah sendiri sehingga kapok menghina diri kita, disamping merasa terhina karena “gayung tidak bersambut”—adapun makna kata “gayung bersambut” ialah : “menjawab (melayani) perkataan orang lain”. Yang bila buat lawan katanya, menjadi bermakna : tidak meladeni dan juga tidak melayani perkataan orang lain.

Kita tidak perlu melayani orang-orang yang hanya pandai merendahkan dan mendiskreditkan perasaan dan mental diri kita. Cukup berfokus mengurusi saja urusan kita sendiri, dan buktikan bahwa kita memang tidak membutuhkan komentar orang lain untuk melanjutkan hidup. Katakanlah kepada diri kita sendiri (sugesti diri), “Kita tidak butuh komentar orang lain, dan kita pun tidak memperlukan izin dari orang lain atas hidup dan kehidupan diri kita sendiri.

Sebagai penutup bahasan dalam kesempatan yang berharga ini, izinkan penulis untuk mengutip khotbah Sang Buddha dalam Sayutta Nikāya (sutta pitaka, Tripitaka), berisi ajaran berikut yang membuat kita dapat memahami mengapa Sang Buddha mendapat julukan sebagai “Guru Agung bagi para manusia dan para dewata”, dan cukup relevan dalam topik kita:

Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha, di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Brahmana Akkosaka Bhāradvāja, Bhāradvāja si pemaki, mendengar: “Dikatakan bahwa brahmana dari suku Bhāradvāja telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah Petapa Gotama.” Marah dan tidak senang, ia mendatangi Sang Bhagavā dan mencaci dan mencerca Beliau dengan kata-kata kasar.

Ketika ia telah selesai berbicara, Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Bagaimana menurutmu, Brahmana? Apakah teman-teman dan sahabat-sahabat, sanak keluarga dan saudara, juga para tamu datang mengunjungimu?”

“Kadang-kadang mereka datang berkunjung, Guru Gotama.”

“Apakah engkau mempersembahkan makanan atau kudapan kepada mereka?”

“Kadang-kadang aku melakukannya, Guru Gotama.”

“Tetapi jika mereka tidak menerimanya darimu, maka milik siapakah makanan-makanan itu?”

Jika mereka tidak menerimanya dariku, maka makanan-makanan itu tetap menjadi milikku.”

Demikian pula, Brahmana, kami—yang tidak mencaci siapa pun, yang tidak memarahi siapa pun, yang tidak mencerca siapa pun—menolak menerima darimu cacian dan kemarahan dan semburan yang engkau lepaskan kepada kami. Itu masih tetap milikmu, Brahmana! Itu masih tetap milikmu, Brahmana!”

Brahmana, seseorang yang mencaci orang yang mencacinya, yang memarahi orang yang memarahinya, yang mencerca orang yang mencercanya—ia dikatakan memakan makanan, pertukaran. Tetapi kami tidak memakan makananmu; kami tidak memasuki pertukaran. Itu masih tetap milikmu, Brahmana! Itu masih tetap milikmu, Brahmana!

“Raja dan para pengikutnya memahami bahwa Petapa Gotama adalah seorang Arahanta, namun Guru Gotama masih bisa marah.”

[NOTE Redaksi : Kitab Komentar menyebutkan, Ia telah mendengar bahwa para petapa menjatuhkan kutukan ketika mereka marah, jadi ketika Sang Buddha berkata, “Itu masih tetap milikmu, Brahmana!” Ia menjadi takut, berpikir, “Petapa Gotama sepertinya menjatuhkan kutukan kepadaku.” Oleh karena itu, ia berkata demikian.]

[Sang Bhagavā:]

“Bagaimana mungkin kemarahan muncul dalam diri seorang yang tidak memiliki kemarahan, dalam diri seorang yang jinak berpenghidupan benar, dalam diri seorang yang terbebaskan oleh pengetahuan sempurna, dalam diri seorang yang seimbang yang berdiam dalam kedamaian?

[NOTE Redaksi : Bhikkhu Bodhi menerjemahkan tādi sebagai “Yang Stabil” sesuai dengan kemasan dalam komentar, tādilakkhaa pattassa, yang menyinggung penjelasan tādi pada Nidd I 114-16: “Arahanta adalah tādi karena Beliau ‘stabil’ (tādi) dalam hal untung dan rugi, dan sebagainya; Beliau adalah tādi karena Beliau telah melepaskan segala kekotoran; Beliau adalah tādi karena Beliau telah menyeberangi empat banjir, dan seterusnya, Beliau adalah tādi karena batin-Nya telah terbebas dari segala kekotoran; dan Beliau adalah tādi sebagai penggambaran diri-Nya dalam hal kualitas-kualitas-Nya.”]

“Seseorang yang membalas kemarahan dengan kemarahan dengan cara demikian membuat segala sesuatu menjadi lebih buruk bagi dirinya. Tidak membalas kemarahan dengan kemarahan, Seseorang memenangkan peperangan yang sulit dimenangkan.

“Ia berlatih demi kesejahteraan kedua belah pihak—Dirinya dan orang lain—Ketika, mengetahui bahwa musuhnya marah, Ia dengan penuh perhatian mempertahankan kedamaiannya.

“Ketika ia memperoleh penyembuhan bagi kedua belah pihak—Dirinya dan orang lain—Orang-orang yang menganggapnya dungu, adalah tidak terampil dalam Dhamma.”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Akkosaka Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! … Aku berlindung pada Guru Gotama, dan pada Dhamma, dan pada Bhikkhu Sagha. Semoga aku menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, sudilah memberikan penahbisan yang lebih tinggi kepadaku.”

Kemudian brahmana dari suku Bhāradvāja menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, ia menerima penahbisan yang lebih tinggi. Dan segera, tidak lama setelah penahbisannya, berdiam sendirian, dengan tekun berlatih dalam Dhamma, menyadari pembebasan, kemudian Yang Mulia Bhāradvāja menjadi salah satu dari para Arahanta.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.