Memuliakan Tuhan adalah dengan Cara menjadi Manusia yang MULIA, Bukan dengan Cara menjadi seorang PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA
Question: Bila pandangan umum di masyarakat, ialah manusia terlahir seperti selembar kertas yang bersih dan polos, maka bagaimana menurut pandangan Buddhistik mengenai hal tersebut?
Brief
Answer: Bila seorang
anak manusia terlahir dalam kondisi putih bersih seperti selembar kertas yang
murni dan polos, maka mengapa mereka bisa menjelma hewanis, premanis, dan
barbariknis, hingga satanik, seiring bertambahnya usia dan seiring kekuatan
tubuh mereka bertumbuh? Bila yang dipersalahkan ialah, orangtua dari sang anak yang
menulari sang anak sifat-sifat “toxic”, maka pertanyaan berantainya
ialah, bukankah orangtua dari sang anak pun pernah terlahir dalam kondisi menyerupai
kertas yang putih polos? Orangtua dari orangtuanya pun, pada mulanya ialah anak
yang terlahir seperti kertas yang putih polos. Tidak terkecuali buyut hingga nenek-moyang
dari sang anak, juga terlahir dalam kondisi menyerupai kertas yang putih polos?
Dalam pandangan
Buddhisme, yang terjadi justru sebaliknya, seseorang terlahir akibat kekotoran
batin yang masih menutupi mata suatu makhluk sehingga terbelenggu dalam siklus tumimbal-lahir
tanpa berkesudahan, tiada ujung pangkal, dan tiada ujung akhir yang menyerupai serangkaian
episode drama “never ending stories” yang menjemukan. Ketika seseorang
telah berhasil mengikis habis kekotoran batinnya, sehingga mencapai “pencerahan
sempurna”, barulah terjadi “break the shackle / chain of kamma”, dimana
tiada lagi tumimbal-lahir bagi sang “Tercerahkan”.
PEMBAHASAN:
Kesempatan paling utama dari terlahir sebagai
seorang manusia ialah, untuk berlatih mengikis kekotoran batin yang bersarang
dalam diri masing-masing, sembari menanam benih-benih kebajikan sebanyak-banyaknya
sebagai “modal menjalani kehidupan” yang bisa mendukung upaya kita mengikis
kekotoran batin sebelum kemudian berhasil “memutus belenggu rantai karma”. Ketika
kita tidak menggunakan waktu yang berharga ini untuk berlatih pengendalian diri
dalam rangka mengikis kekotoran batin dalam diri, yang ada ialah kemerosotan,
sebagaimana diuraikan oleh Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID IV”, Judul
Asli : “The Numerical Discourses of the
Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu
Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh
DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:
4 (4) Nandaka
Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta,
Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu Yang Mulia Nandaka sedang
mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan
khotbah Dhamma di aula pertemuan.
Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan
mendatangi aula pertemuan. Beliau berdiri di luar pintu menunggu hingga khotbah
itu berakhir. Ketika Beliau mengetahui bahwa khotbah itu telah berakhir, Beliau
berdehem [359] dan mengetuk gerendel pintu. Para bhikkhu membukakan pintu untuk
Beliau. Sang Bhagavā memasuki aula pertemuan, duduk di tempat yang dipersiapkan
untuk Beliau, dan berkata kepada Yang Mulia Nandaka: “Engkau memberikan
pembabaran Dhamma yang panjang kepada para bhikkhu. PunggungKu sakit sewaktu
berdiri di luar pintu menunggu khotbah itu selesai.”
Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Nandaka, dengan merasa malu, berkata
kepada Sang Bhagavā: “Bhante, aku tidak tahu bahwa Sang Bhagavā sedang berdiri
di luar pintu. Jika aku tahu, aku tidak akan berbicara selama itu.”
Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami bahwa Yang Mulia Nandaka merasa
malu, berkata kepadanya: “Bagus, bagus, Nandaka! Adalah selayaknya bagi kalian
yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah
tangga menuju kehidupan tanpa rumah untuk duduk bersama demi membicarakan
Dhamma. Ketika kalian berkumpul, Nandaka, kalian harus melakukan salah satu
dari dua hal: apakah membicarakan Dhamma atau mempertahankan keheningan mulia.
(1) “Nandaka, seorang
bhikkhu mungkin memiliki keyakinan tetapi ia tidak bermoral; dengan demikian ia
tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu. Ia harus memenuhi faktor itu, [dengan berpikir]:
‘Bagaimanakah aku dapat memiliki keyakinan [360] dan juga menjadi bermoral?’
Tetapi ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan dan juga bermoral, maka ia
lengkap sehubungan dengan faktor itu.
(2) “Seorang
bhikkhu mungkin memiliki keyakinan dan bermoral, tetapi ia tidak memperoleh
ketenangan pikiran internal; dengan demikian ia tidak lengkap sehubungan dengan
faktor itu. Ia
harus memenuhi faktor itu, [dengan berpikir]: ‘Bagaimanakah aku dapat memiliki
keyakinan, bermoral, dan juga memperoleh ketenangan pikiran internal?’ Tetapi
ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan, bermoral, dan juga memperoleh
ketenangan pikiran internal, maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.
(3) “Seorang
bhikkhu mungkin memiliki keyakinan dan bermoral, dan ia dapat memperoleh
ketenangan pikiran internal, tetapi ia tidak memperoleh kebijaksanaan yang
lebih tinggi yaitu pandangan terang ke dalam fenomena-fenomena; dengan demikian ia tidak lengkap sehubungan dengan
faktor itu. Seperti halnya seekor binatang berkaki empat dengan satu kakinya
cacat atau timpang akan menjadi tidak lengkap sehubungan dengan bagian yang
cacat itu; demikian pula, ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan dan bermoral,
dan memperoleh ketenangan pikiran internal, tetapi ia tidak memperoleh
kebijaksanaan yang lebih tinggi yaitu pandangan terang ke dalam
fenomena-fenomena, maka ia tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu. Ia
harus memenuhi faktor itu, [dengan berpikir]: ‘Bagaimanakah aku dapat memiliki
keyakinan dan bermoral, memperoleh ketenangan pikiran internal, dan juga memperoleh
kebijaksanaan yang lebih tinggi yaitu pandangan terang ke dalam
fenomena-fenomena?’
[Kitab Komentar menjelaskan makna “pandangan terang
ke dalam fenomena-fenomena”. Adhipaññādhammavipassanā, oleh penerjemah
dari Bahasa Pali dikemas sebagai “pengetahuan pandangan terang yang memahami
fenomena-fenomena terkondisi” (saṅkhārapariggāhakavipassanāñāṇa).]
(4) “Tetapi
ketika seorang bhikkhu (i) memiliki keyakinan dan (ii) bermoral, (iii) dan ia
memperoleh ketenangan pikiran internal dan (iv) juga memperoleh kebijaksanaan
yang lebih tinggi yaitu pandangan terang ke dalam fenomena-fenomena, maka ia
lengkap sehubungan dengan faktor itu.”
Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini,
Yang Berbahagia bangkit dari dudukNya dan memasuki kediamanNya. Kemudian, tidak
lama setelah Sang Bhagavā pergi, Yang Mulia Nandaka berkata kepada para
bhikkhu:
“Baru saja, teman-teman, sebelum bangkit dari dudukNya dan memasuki
kediamanNya, Sang Bhagavā mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan
murni sempurna dalam empat hal: [361] ‘Nandaka, seorang bhikkhu mungkin
memiliki keyakinan tetapi ia tidak bermoral … [di sini Nandaka mengulangi keseluruhan
khotbah Sang Buddha hingga:] … Tetapi ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan
dan bermoral, dan ia memperoleh ketenangan pikiran internal dan juga memperoleh
kebijaksanaan yang lebih tinggi yaitu pandangan terang ke dalam fenomena-fenomena,
maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.’
“Ada, teman-teman, lima manfaat ini yang dihasilkan dari mendengarkan
Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma pada waktu yang tepat.
Apakah lima ini?
(5) “Di sini, teman-teman, seorang bhikkhu mengajarkan kepada para
bhikkhu Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir,
dengan makna dan frasa yang benar; ia mengungkapkan kehidupan spiritual yang
lengkap dan murni sempurna. Dalam cara bagaimana pun bhikkhu itu mengajarkan kepada para bhikkhu
Dhamma yang baik di awal … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap
dan murni sempurna, dalam cara itulah Sang Guru menjadi menyenangkan dan
disukai olehnya, dihormati dan dihargai olehnya. Ini adalah manfaat pertama
dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam
waktu yang tepat.
(6) “Kemudian, seorang bhikkhu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma
yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan
frasa yang benar; ia mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni
sempurna. Dalam cara bagaimana pun bhikkhu itu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma
yang baik di awal … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan
murni sempurna, dalam cara itulah, sehubungan dengan Dhamma, ia mengalami
inspirasi dalam makna dan inspirasi dalam Dhamma. Ini adalah manfaat ke dua
dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam
waktu yang tepat.
(7) “Kemudian, seorang bhikkhu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma
yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan
frasa yang benar; ia mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni
sempurna. Dalam cara bagaimana pun bhikkhu itu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma
yang baik di awal … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan
[362] murni sempurna, dalam cara itulah ia melihat dalam Dhamma itu suatu
hal yang mendalam dan penuh makna setelah menembusnya melalui kebijaksanaan.
Ini adalah manfaat ke tiga dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat, dari
mendiskusikan Dhamma dalam waktu yang tepat.
(8) “Kemudian, seorang bhikkhu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma
yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan
frasa yang benar; ia mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni
sempurna. Dalam cara bagaimana pun bhikkhu itu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma
yang baik di awal … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan
murni sempurna, dalam cara itulah teman-temannya menjadi lebih
menghargainya, [dengan berpikir]: ‘Yang mulia ini pasti telah mencapai, atau
akan mencapai.’ Ini adalah manfaat ke empat dari mendengarkan Dhamma pada
waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam waktu yang tepat.
(9) “Kemudian, seorang bhikkhu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma
yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan
frasa yang benar; ia mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni
sempurna. Dalam cara bagaimana pun bhikkhu itu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma
yang baik di awal … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan
murni sempurna, ketika mendengar Dhamma itu para bhikkhu itu yang masih
berlatih, yang belum mencapai cita-cita mereka, yang berdiam dengan
bercita-cita untuk mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, akan
membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh
apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan.
Tetapi setelah mendengar Dhamma itu, para bhikkhu itu yang adalah para Arahant, yang
noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah
melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai
tujuan mereka, telah sepenuhnya menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan
telah sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, [363] akan sekedar menekuni
keberdiaman yang nyaman dalam kehidupan ini. Ini adalah manfaat ke lima dari mendengarkan
Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam waktu yang
tepat.”
“Ini adalah kelima manfaat dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang
tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam waktu yang tepat itu.”
Sebaliknya, ketika seseorang memandang bahwa manusia
terlahir dalam kondisi menyerupai kertas putih polos, maka mereka akan
cenderung abai untuk bersikap waspada dan awas (penuh perhatian serta
pengendalian diri) terhadap diri maupun pikiran mereka sendiri, sebelum
kemudian kekotoran batin kian menebal dan menguasai pikiran maupun jiwa dari yang
bersangkutan, lantas berdelusi bahwa dirinya merupakan “polisi moral” atau kaum
paling superior yang berhak menghakimi kaum lainnya.
Kontradiksinya akan tampak, ketika seseorang oleh “nabi
rasul Allah” justru diajarkan untuk memohon-mohon dan mengemis-ngemis “PENGAMPUNAN
DOSA”, sekalipun hanya seorang PENDOSA serta KORUPTOR DOSA yang butuh iming-iming
KORUP “too good to be true” demikian—kesemuanya
dikutip dari Hadis Sahih Muslim:
-
No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi
bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebesar itu pula.”
-
No. 4857 : “Barang siapa membaca
Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus
kali dalam sehari, maka dosanya akan
dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
-
No. 4863 : “Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a;
Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
-
No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang
masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat
kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii
wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah
aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah
aku rizki).”
-
No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang
sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan
Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika
kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
selamatkanlah aku,”
- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar
gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan
Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk
surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi
menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga
berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]
-
Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah
ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap
kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi.
Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai
setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi
ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan
sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan
sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No.
3540]
Berikut
inilah, “standar moral” umat manusia yang diberikan teladannya oleh sang “nabi
rasul Allah” yang oleh ibu-ibu pengajian dijuluki sebagai “manusia paling baik,
paling dermawan, paling sempurna, paling suci, serta paling mulia”, tanpa juga
mau menyadari bahwa cara memuliakan Tuhan ialah dengan cara menjadi seorang
manusia yang mulia, bukan dengan menjelma menjadi seorang KORUPTOR DOSA—juga
masih dikutip dari Hadis Muslim:
-
No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada
Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
-
No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah
tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia
menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku
lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
-
No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukkan
sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku
lakukan.’”
-
No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan
perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa
suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni
dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah
menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”
[HR Bukhari Muslim]