(DROP DOWN MENU)

Bila Manusia Terlahir Umpama Kertas yang Putih Polos, maka mengapa Nabi Rasul Allah Kecanduan PENGHAPUSAN DOSA?

Memuliakan Tuhan adalah dengan Cara menjadi Manusia yang MULIA, Bukan dengan Cara menjadi seorang PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA

Question: Bila pandangan umum di masyarakat, ialah manusia terlahir seperti selembar kertas yang bersih dan polos, maka bagaimana menurut pandangan Buddhistik mengenai hal tersebut?

Brief Answer: Bila seorang anak manusia terlahir dalam kondisi putih bersih seperti selembar kertas yang murni dan polos, maka mengapa mereka bisa menjelma hewanis, premanis, dan barbariknis, hingga satanik, seiring bertambahnya usia dan seiring kekuatan tubuh mereka bertumbuh? Bila yang dipersalahkan ialah, orangtua dari sang anak yang menulari sang anak sifat-sifat “toxic”, maka pertanyaan berantainya ialah, bukankah orangtua dari sang anak pun pernah terlahir dalam kondisi menyerupai kertas yang putih polos? Orangtua dari orangtuanya pun, pada mulanya ialah anak yang terlahir seperti kertas yang putih polos. Tidak terkecuali buyut hingga nenek-moyang dari sang anak, juga terlahir dalam kondisi menyerupai kertas yang putih polos?

Dalam pandangan Buddhisme, yang terjadi justru sebaliknya, seseorang terlahir akibat kekotoran batin yang masih menutupi mata suatu makhluk sehingga terbelenggu dalam siklus tumimbal-lahir tanpa berkesudahan, tiada ujung pangkal, dan tiada ujung akhir yang menyerupai serangkaian episode drama “never ending stories” yang menjemukan. Ketika seseorang telah berhasil mengikis habis kekotoran batinnya, sehingga mencapai “pencerahan sempurna”, barulah terjadi “break the shackle / chain of kamma”, dimana tiada lagi tumimbal-lahir bagi sang “Tercerahkan”.

PEMBAHASAN:

Kesempatan paling utama dari terlahir sebagai seorang manusia ialah, untuk berlatih mengikis kekotoran batin yang bersarang dalam diri masing-masing, sembari menanam benih-benih kebajikan sebanyak-banyaknya sebagai “modal menjalani kehidupan” yang bisa mendukung upaya kita mengikis kekotoran batin sebelum kemudian berhasil “memutus belenggu rantai karma”. Ketika kita tidak menggunakan waktu yang berharga ini untuk berlatih pengendalian diri dalam rangka mengikis kekotoran batin dalam diri, yang ada ialah kemerosotan, sebagaimana diuraikan oleh Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:

4 (4) Nandaka

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu Yang Mulia Nandaka sedang mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma di aula pertemuan.

Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan mendatangi aula pertemuan. Beliau berdiri di luar pintu menunggu hingga khotbah itu berakhir. Ketika Beliau mengetahui bahwa khotbah itu telah berakhir, Beliau berdehem [359] dan mengetuk gerendel pintu. Para bhikkhu membukakan pintu untuk Beliau. Sang Bhagavā memasuki aula pertemuan, duduk di tempat yang dipersiapkan untuk Beliau, dan berkata kepada Yang Mulia Nandaka: “Engkau memberikan pembabaran Dhamma yang panjang kepada para bhikkhu. PunggungKu sakit sewaktu berdiri di luar pintu menunggu khotbah itu selesai.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Nandaka, dengan merasa malu, berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, aku tidak tahu bahwa Sang Bhagavā sedang berdiri di luar pintu. Jika aku tahu, aku tidak akan berbicara selama itu.”

Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami bahwa Yang Mulia Nandaka merasa malu, berkata kepadanya: “Bagus, bagus, Nandaka! Adalah selayaknya bagi kalian yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah untuk duduk bersama demi membicarakan Dhamma. Ketika kalian berkumpul, Nandaka, kalian harus melakukan salah satu dari dua hal: apakah membicarakan Dhamma atau mempertahankan keheningan mulia.

(1) “Nandaka, seorang bhikkhu mungkin memiliki keyakinan tetapi ia tidak bermoral; dengan demikian ia tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu. Ia harus memenuhi faktor itu, [dengan berpikir]: ‘Bagaimanakah aku dapat memiliki keyakinan [360] dan juga menjadi bermoral?’ Tetapi ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan dan juga bermoral, maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.

(2) “Seorang bhikkhu mungkin memiliki keyakinan dan bermoral, tetapi ia tidak memperoleh ketenangan pikiran internal; dengan demikian ia tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu. Ia harus memenuhi faktor itu, [dengan berpikir]: ‘Bagaimanakah aku dapat memiliki keyakinan, bermoral, dan juga memperoleh ketenangan pikiran internal?’ Tetapi ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan, bermoral, dan juga memperoleh ketenangan pikiran internal, maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.

(3) “Seorang bhikkhu mungkin memiliki keyakinan dan bermoral, dan ia dapat memperoleh ketenangan pikiran internal, tetapi ia tidak memperoleh kebijaksanaan yang lebih tinggi yaitu pandangan terang ke dalam fenomena-fenomena; dengan demikian ia tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu. Seperti halnya seekor binatang berkaki empat dengan satu kakinya cacat atau timpang akan menjadi tidak lengkap sehubungan dengan bagian yang cacat itu; demikian pula, ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan dan bermoral, dan memperoleh ketenangan pikiran internal, tetapi ia tidak memperoleh kebijaksanaan yang lebih tinggi yaitu pandangan terang ke dalam fenomena-fenomena, maka ia tidak lengkap sehubungan dengan faktor itu. Ia harus memenuhi faktor itu, [dengan berpikir]: ‘Bagaimanakah aku dapat memiliki keyakinan dan bermoral, memperoleh ketenangan pikiran internal, dan juga memperoleh kebijaksanaan yang lebih tinggi yaitu pandangan terang ke dalam fenomena-fenomena?’

[Kitab Komentar menjelaskan makna “pandangan terang ke dalam fenomena-fenomena”. Adhipaññādhammavipassanā, oleh penerjemah dari Bahasa Pali dikemas sebagai “pengetahuan pandangan terang yang memahami fenomena-fenomena terkondisi” (sakhārapariggāhakavipassanāñāa).]

(4) “Tetapi ketika seorang bhikkhu (i) memiliki keyakinan dan (ii) bermoral, (iii) dan ia memperoleh ketenangan pikiran internal dan (iv) juga memperoleh kebijaksanaan yang lebih tinggi yaitu pandangan terang ke dalam fenomena-fenomena, maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Berbahagia bangkit dari dudukNya dan memasuki kediamanNya. Kemudian, tidak lama setelah Sang Bhagavā pergi, Yang Mulia Nandaka berkata kepada para bhikkhu:

“Baru saja, teman-teman, sebelum bangkit dari dudukNya dan memasuki kediamanNya, Sang Bhagavā mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna dalam empat hal: [361] ‘Nandaka, seorang bhikkhu mungkin memiliki keyakinan tetapi ia tidak bermoral … [di sini Nandaka mengulangi keseluruhan khotbah Sang Buddha hingga:] … Tetapi ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan dan bermoral, dan ia memperoleh ketenangan pikiran internal dan juga memperoleh kebijaksanaan yang lebih tinggi yaitu pandangan terang ke dalam fenomena-fenomena, maka ia lengkap sehubungan dengan faktor itu.’

“Ada, teman-teman, lima manfaat ini yang dihasilkan dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma pada waktu yang tepat. Apakah lima ini?

(5) “Di sini, teman-teman, seorang bhikkhu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan frasa yang benar; ia mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Dalam cara bagaimana pun bhikkhu itu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma yang baik di awal … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna, dalam cara itulah Sang Guru menjadi menyenangkan dan disukai olehnya, dihormati dan dihargai olehnya. Ini adalah manfaat pertama dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam waktu yang tepat.

(6) “Kemudian, seorang bhikkhu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan frasa yang benar; ia mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Dalam cara bagaimana pun bhikkhu itu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma yang baik di awal … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna, dalam cara itulah, sehubungan dengan Dhamma, ia mengalami inspirasi dalam makna dan inspirasi dalam Dhamma. Ini adalah manfaat ke dua dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam waktu yang tepat.

(7) “Kemudian, seorang bhikkhu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan frasa yang benar; ia mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Dalam cara bagaimana pun bhikkhu itu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma yang baik di awal … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan [362] murni sempurna, dalam cara itulah ia melihat dalam Dhamma itu suatu hal yang mendalam dan penuh makna setelah menembusnya melalui kebijaksanaan. Ini adalah manfaat ke tiga dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam waktu yang tepat.

(8) “Kemudian, seorang bhikkhu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan frasa yang benar; ia mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Dalam cara bagaimana pun bhikkhu itu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma yang baik di awal … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna, dalam cara itulah teman-temannya menjadi lebih menghargainya, [dengan berpikir]: ‘Yang mulia ini pasti telah mencapai, atau akan mencapai.’ Ini adalah manfaat ke empat dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam waktu yang tepat.

(9) “Kemudian, seorang bhikkhu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan frasa yang benar; ia mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Dalam cara bagaimana pun bhikkhu itu mengajarkan kepada para bhikkhu Dhamma yang baik di awal … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna, ketika mendengar Dhamma itu para bhikkhu itu yang masih berlatih, yang belum mencapai cita-cita mereka, yang berdiam dengan bercita-cita untuk mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, akan membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Tetapi setelah mendengar Dhamma itu, para bhikkhu itu yang adalah para Arahant, yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan mereka, telah sepenuhnya menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan telah sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, [363] akan sekedar menekuni keberdiaman yang nyaman dalam kehidupan ini. Ini adalah manfaat ke lima dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam waktu yang tepat.”

“Ini adalah kelima manfaat dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat, dari mendiskusikan Dhamma dalam waktu yang tepat itu.”

Sebaliknya, ketika seseorang memandang bahwa manusia terlahir dalam kondisi menyerupai kertas putih polos, maka mereka akan cenderung abai untuk bersikap waspada dan awas (penuh perhatian serta pengendalian diri) terhadap diri maupun pikiran mereka sendiri, sebelum kemudian kekotoran batin kian menebal dan menguasai pikiran maupun jiwa dari yang bersangkutan, lantas berdelusi bahwa dirinya merupakan “polisi moral” atau kaum paling superior yang berhak menghakimi kaum lainnya.

Kontradiksinya akan tampak, ketika seseorang oleh “nabi rasul Allah” justru diajarkan untuk memohon-mohon dan mengemis-ngemis “PENGAMPUNAN DOSA”, sekalipun hanya seorang PENDOSA serta KORUPTOR DOSA yang butuh iming-iming KORUP “too good to be true” demikian—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]

Berikut inilah, “standar moral” umat manusia yang diberikan teladannya oleh sang “nabi rasul Allah” yang oleh ibu-ibu pengajian dijuluki sebagai “manusia paling baik, paling dermawan, paling sempurna, paling suci, serta paling mulia”, tanpa juga mau menyadari bahwa cara memuliakan Tuhan ialah dengan cara menjadi seorang manusia yang mulia, bukan dengan menjelma menjadi seorang KORUPTOR DOSA—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]