(DROP DOWN MENU)

Ciri Pembeda Utama antara Si Dungu dan Orang Bijaksana

Orang Dungu namun Hendak Menghakimi Kaum Lainnya, Apa Jadinya?

Nabi Muhammad ANTI PUASA DOA “PENGHAPUSAN DOSA”, Sesibuk Buat Dosa sebagai “Bussiness as Usual” sang Rasul Allah

Bila Anda suka masakan dengan rasa asin, maka apakah menjadi aneh, bila ada orang lain yang justru menyukai rasa asam dan menghakiminya? Salah satu ciri orang yang tidak bijaksana, ialah miskin pengetahuan namun memiliki sifat dungu yang mendominasi gaya berpikirnya. Akibat arogansi, ia merasa dirinya tidak perlu meluaskan khazanah pengetahuan, berdelusi bahwa dirinya telah tahu segalanya meski faktanya bagai “katak dalam tempurung”.

Sebagai contoh yang mudah kita jumpai di keseharian, orang-orang dungu yang kebetulan merupakan seorang ekstrovert, kerap menghakimi dan melecehkan para kaum introvert sebagai orang yang tidak normal alias abnormal. Padahal, ilmu psikologi sudah sejak lama membagi dua jenis karakter dasar seorang individu, yakni ekstrovert dan introvert. Orang dengan pengetahuan yang memadai, akan memahami bahwa orang-orang introvert adalah normal saja adanya, sekalipun dirinya merupakan kaum ekstrovert, sehingga tidak ada alasan untuk saling menghakimi satu sama lainnya.

Contoh lainnya ialah orang-orang yang akibat kesombongan atas kesehatannya yang tahan asap, secara sewenang-wenang membakar daging dengan kayu atau arang di dekat venitasi jendela tetangganya, dan merasa itu tidak ada yang salah ataupun yang patut dicela. Sementara itu, dirinya tidak mau memahami bahwa bisa saja tetangganya mengidap gangguan pernafasan seperti asma ataupun saluran pernafasan yang sensitif sehingga membuat menderita dimana asap bakaran arang maupun sampah menyakiti sistem pernafasan yang bersangkutan.

Ilustrasi yang paling relevan ialah kalangan perokok. Para perokok merasa dirinya tidak masalah merokok, bahkan bisa hidup berpuluh-puluh tahun sebagai perokok, lalu memandang bahwa semua orang suka asap rokok dan tidak masalah menjadi “perokok pasif”, tanpa mau memahami dan menyadari bahwa orang lain bisa jadi fatal menjadi “perokok pasif” juga alergi asap rokok.

Tidak terkecuali para pendosawan, kalangan pendosa tersebut merasa tidak ada masalah berbuat dosa seperti menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak-pihak lainnya, sehingga sama sekali tidak memiliki apa yang disebut sebagai “perspektif korban”, namun hanya memiliki serta memakai “perspektif seorang pendosa” semata. Karenanya, mereka tidak mampu memahami maupun menghargai hak-hak seorang korban, berupa keadilan ataupun mendapatkan petanggung-jawaban dari sang pelaku (pendosawan).

Para pendosa tersebut memandang, semua orang adalah sama pendosa seperti diri sang pendosawan. Hanya seorang pendosa maupun “koruptor dosa”, yang butuh iming-iming korup “too good to be true” semacam “PENGAMPUNAN / PENGHAPUSAN / PENEBUSAN DOSA”. Orang suci maupun orang-orang berjiwa ksatria (berani bertanggung-jawab atas perbuatannya sendiri) manakah, yang butuh iming-iming korup demikian? Adapun lawan kata dari “PENGHAPUSAN DOSA”, ialah sikap penuh tanggung-jawab.

Begitupula petani yang dungu, memandang sama semua jenis lahan, sama dungunya dengan mereka yang memandang sama antara “Agama DOSA” dan “Agama SUCI” tanpa mampu membedakan distingsi lebar diantara keduanya, sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:

34 (4) Lahan

“Para bhikkhu, sebutir benih yang ditanam di sebuah lahan yang memiliki delapan faktor tidak akan menghasilkan buah berlimpah, [buah]nya tidak lezat, dan tidak menghasilkan keuntungan. Apakah delapan ini?

“Di sini, (1) ada banyak gundukan dan parit di lahan itu; (2) ada banyak batu dan kerikil di lahan itu; (3) lahan itu mengandung garam; (4) lahan itu tidak dibajak cukup dalam; (5) tidak ada jalan masuk [bagi air untuk mengalir masuk]; (6) tidak ada jalan keluar [bagi air untuk mengalir keluar]; (7) tidak ada saluran irigasi; dan (8) tidak ada batas pinggir. Sebutir benih yang ditanam di sebuah lahan yang memiliki kedelapan faktor ini tidak akan menghasilkan buah berlimpah, [buah]nya tidak lezat, dan tidak menghasilkan keuntungan.

“Demikian pula, para bhikkhu, suatu pemberian kepada para petapa dan brahmana yang memiliki delapan faktor adalah tidak berbuah dan tidak bermanfaat, dan tidak sangat cemerlang atau menyebar. Apakah delapan faktor ini? Di sini, para petapa dan brahmana itu memiliki pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, perbuatan salah, penghidupan salah, usaha salah, perhatian salah, dan konsentrasi salah. Suatu pemberian kepada para petapa dan brahmana yang memiliki kedelapan faktor ini adalah tidak berbuah dan tidak bermanfaat, dan tidak sangat cemerlang atau menyebar.

“Para bhikkhu, sebutir benih yang ditanam di sebuah lahan yang memiliki delapan faktor akan menghasilkan buah berlimpah, [buah]nya lezat, dan menghasilkan keuntungan. Apakah delapan ini?

“Di sini, (1) tidak ada gundukan dan parit di lahan itu; (2) tidak ada batu dan kerikil di lahan itu; (3) lahan itu tidak mengandung garam; (4) lahan itu dibajak cukup dalam; (5) ada jalan masuk [bagi air untuk mengalir masuk]; (6) ada jalan keluar [bagi air untuk mengalir keluar]; (7) ada saluran irigasi; dan (8) ada batas pinggir. Sebutir benih yang ditanam di sebuah lahan yang memiliki kedelapan faktor ini akan menghasilkan buah berlimpah, [buah]nya lezat, dan menghasilkan keuntungan.

“Demikian pula, para bhikkhu, suatu pemberian kepada para petapa dan brahmana yang memiliki delapan faktor adalah berbuah dan bermanfaat, dan sangat cemerlang dan menyebar. Apakah delapan faktor ini? Di sini, para petapa dan brahmana itu memiliki pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Suatu pemberian kepada para petapa dan brahmana yang memiliki kedelapan faktor ini adalah berbuah dan bermanfaat, dan sangat cemerlang dan menyebar.”

Ketika lahannya baik,

dan benih yang ditanam juga baik,

dan ada curah hujan yang cukup,

maka hasil panennya juga baik.

Kesehatannya baik;

pertumbuhannya [juga] baik;

kematangannya juga baik;

buahnya sungguh baik.

Demikian pula ketika seseorang memberikan makanan yang baik

kepada mereka yang sempurna dalam perilaku bermoral.

pemberian itu akan tiba pada beberapa jenis kebaikan,

karena apa yang dilakukan adalah baik.

Oleh karena itu jika seseorang menginginkan kebaikan

biarlah seseorang di sini sempurna;

seseorang harus mendatangi mereka yang sempurna dalam kebijaksanaan;

dengan demikian kesempurnaannya akan berkembang.

Seseorang yang sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku,

setelah memperoleh kesempurnaan pikiran,

melakukan perbuatan yang sempurna

dan menyempurnakan yang baik.

Setelah mengetahui dunia ini sebagaimana adanya,

seseorang harus mencapai kesempurnaan dalam pandangan.

Seseorang yang sempurna dalam pikiran maju

dengan mengandalkan kesempurnaan dalam sang jalan.

Setelah menggosok segala noda,

setelah mencapai nibbāna,

maka seseorang terbebas dari segala penderitaan:

ini adalah kesempurnaan sepenuhnya.

“Kabar gembira” bagi kalangan pendosa yang dihapus dosa-dosanya tanpa merasa perlu bertanggung-jawab kepada korban-korban dari sang pendosawan, sama artinya “kabar duka / buruk” bagi korban. Padahal, sebagaimana “bisul”, kita tidak patut menghina mereka yang menderita bisul di bokong, karena semua orang bisa terkena dan mengalami bisul serupa. Sama halnya, pada pendosawan tersebut pun kelak berpotensi dijadikan korban dan menjadi seorang korban dari para pendosawan lainnya. Lantas, sang pelakunya cukup semudah “lip service” dengan menyembah Allah agar tidak perlu membayar konsekuensi dari perbuatan-perbuatan buruknya sendiri—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]

PENDOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, hidup suci, luhur, adil, jujur, mulia, agung, lurus, bertanggung-jawab, berjiwa ksatria, dan bersih? Itu tidak ubahnya ORANG BUTA yang hendak menuntun kalangan butawan lainnya, neraka pun dipandang sebagai surga dan berjemaah mareka terperosok masuk ke dalamnya. Mabuk “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN” dan disaat bersamaan juga kecanduan “PENGHAPUSAN DOSA” (keduanya bersifat “bundling” alias satu paket). Lebih sibuk memohon “PENGHAPUSAN DOSA” ketimbang sibuk bertanggung-jawab kepada para korbannya.

Orang yang banyak makan, bisa karena sedang kelaparan. Sama halnya, yang begitu mengidam-idamkan “PENGHAPUSAN DOSA” ialah kalangan pendosawan yang bergelimang dosa-dosa. Begitu kelaparannya sang nabi rasul Allah atas “PENGHAPUSAN DOSA”, sehingga tidak ada kata puasa dosa permohonan “PENGHAPUSAN DOSA” dalam kamus sang nabi yang disebut-sebut sebagai “standar moral yang sempurna” bagi para muslim dan muslimah. Betapa menderitanya hidup sang nabi rasul Allah, yang melekat pada gaya hidup yang tercela dan penuh noda dosa-dosa, “tercela” pun dipandang sebagai “sempurna”—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]