Bahaya Dibalik Gaya Hidup Berbiaya Tinggi
Didik Anggota Keluarga Anda Hidup Rendah Hati dan
Sederhana, Paling Tidak Dimulai dari Diri Anda Sendiri sebagai Teladan bagi Putera-Puteri
Anda
Question: Kita tidak pernah tahu, apakah besok kita diputus hubungan kerjanya (PHK) oleh perusahaan, atau usaha kita bangkrut, terkena musibah sehingga kehilangan harta, atau bahkan kesehatan sehingga tidak lagi mampu bekerja secara optimal, dan sebagainya. Apakah tidak bahaya, ketika ada keluarga atau orangtua yang mendidik anak-anaknya hidup dengan gaya hidup berbiaya tinggi, dimana anak-anaknya tidak menjadi terbiasa dengan cara hidup sederhana? Tidak ada yang lebih mengerikan daripada mendidik putera-puteri kita gaya hidup berbiaya tinggi dengan senantiasa menuruti segala keinginan mereka untuk dibelikan ini dan itu, meskipun kita sanggup untuk membelikan mereka kesemua yang mereka inginkan.
Brief Answer: Adalah orang yang bijak, yang memahami bahwa
hidup ini bagai “roda yang terus berputar”, alias penuh ketidak-pastian dan
selalu terkandung bahaya dibalik ketidak-pastian yang senantiasa kita hadapi
dalam keseharian. Sejatinya, dengan membiasakan diri hidup rendah hati, kita
tidak akan merasa sakit ketika terjatuh. Ibarat kita berada di lantai 10, jatuh
ke lantai dasar dapat membuat jiwa kita demikian “patah hingga remuk”. Namun,
dengan kerendahan hati, kita menjadi “membumi” sehingga tidak terlalu terasa
sakit ketika jatuh ke “daratan”.
Begitupula cara hidup sederhana dan bersahaja,
sebetulnya itu demi kebaikan diri kita sendiri, dimana juga perlu kita didik
anggota keluarga kita agar memiliki pola hidup yang sederhana dan bersahaja,
agar kita terbiasa dan terlatih memiliki daya tahan, baik secara fisik maupun
mental, ketika keadaan berubah drastis ke titik nadir terbawah dalam hidup
kita. Banyak diantara manusia, yang siap untuk naik derajat ekonomi maupun
status sosial. Namun, seberapa banyak diantara mereka yang telah siap secara
mental atau psikis untuk jatuh ke derajat yang lebih bawah atau bahkan yang
paling terendah?
Begitupula ketika Anda hendak menikahi seorang
wanita untuk menjadi istri Anda, maka komitmen atau kesepakatan pra pernikahan
yang perlu Anda sampaikan dan sepakati dengan calon istri Anda ialah, berupa
prinsip “hidup suka dan duka bersama”, dalam artian bila sang suami mengalami
kendala dalam ekonomi, maka sang istri hendaknya tidak “merongrong” dengan
mengajukan gugatan cerai. Suami dan istri, perlu tetap berjalan bersama
sekalipun sedang mengalami masa sukar dalam rumah-tangga.
Semua usaha, terkandung resiko usaha. Bisa
untung, juga bisa buntung. Ketika buntung, namun tidak tertutup kemungkinan
kelak akan kembali untung. Sebaiknya, jauhi calon istri yang dalam pola
pikirnya hanya terbiasa dengan cara hidup “suka bersama-sama, duka jalan
masing-masing”. Baik suka dan duka, dipikul bersama, itulah pasangan yang
harmonis dan “setia kawan”. Begitupula sebagai seorang anak, tidaklah perlu
menekan orangtua untuk banting-tulang atau bahkan meminjam hutang secara “gali
lubang, tutup lubang”, hutang-hutang mana bisa bertumpuk hingga menggunung
tanpa lagi dapat dilunasi. Jangan buat orangtua Anda mati membawa dosa
hutang-hutang tertunggak. Konon, suami melakukan korupsi, adalah akibat tekanan
istri yang kerap “merongrong” penghasilan sang suami.
PEMBAHASAN:
Untuk apa menjadi pejabat yang
korupsi atau menjadi pengusaha serakah yang merampas kesehatan para konsumen
produk-produk pangan olahan yang ia produksi dan edarkan ke pasar, bila telah
ternyata menjadi seorang petapa saja tetap dapat hidup dengan bahagia. Bahkan,
Pangeran Siddhatta Gotama melepaskan takhta-Nya, menanggalkan jubah kerajaannya
dan mengenakan jubah petapa dan hidup selibat sebagai petapa yang sangat-amat
sederhana, justru bisa merealisasikan kebahagiaan yang bebas dari kemelekatan
inderawi. Sikap banyak manusia yang mengejar perolehan materi ataupun bergaya
hidup berbiaya tinggi, ibarat anak kecil yang kekanak-kanakan, yang begitu
terobsesi mengoleksi mainan-mainannya yang konyol dan lebih menyerupai “koleksi
barang sampah tidak berguna” di mata orang yang lebih dewasa. Kita pun akan
tertawa mengingat masa kecil kita yang terobsesi mengoleksi “sampah-sampah”
demikian.
Sama halnya, segala kepemilikan dan gaya hidup
masyarakat yang kian hedonis dan materialistis, tampak seperti anak Taman
Kanak-Kanak di mata seorang Buddha. Sebagaimana dapat kita simak lewat khotbah Sang
Buddha dalam “Aṅguttara
Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi
oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun
2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan
kutipan:
206 (6) Ikatan
“Para bhikkhu, ada lima ikatan
pikiran ini. Apakah lima ini?
[Kitab Komentar : Cetaso vinibandhā. “Kemandulan-kemandulan
itu mencengkeram pikiran, setelah membelenggunya terlebih dulu, oleh karena itu
disebut ‘belenggu pikiran’” (cittaṃ vinibandhitvā muṭṭhiyaṃ katvā viya gaṇhantī ti cetaso vinibandhā).]
(1) “Di sini, seorang bhikkhu tidak
hampa dari nafsu pada kenikmatan indria, tidak hampa dari keinginan,
cinta, dahaga, kegemaran, dan ketagihan padanya.
Ketika seorang bhikkhu tidak hampa dari nafsu pada kenikmatan indria, tidak
hampa dari keinginan, cinta, dahaga, kegemaran, dan ketagihan padanya, maka
pikirannya tidak condong pada semangat, usaha, ketekunan, dan upaya. Karena
pikirannya tidak condong pada semangat, usaha, ketekunan, dan upaya, ini adalah
ikatan pikiran yang pertama.
(2) “Kemudian, seorang bhikkhu tidak
hampa dari nafsu pada jasmani, tidak hampa dari keinginan, cinta, dahaga,
kegemaran, dan ketagihan padanya. Ketika seorang bhikkhu tidak hampa dari nafsu
pada jasmani, tidak hampa dari keinginan, cinta, dahaga, kegemaran, dan
ketagihan padanya, maka pikirannya tidak condong pada semangat, usaha,
ketekunan, dan upaya. Karena pikirannya tidak condong pada semangat, usaha,
ketekunan, dan upaya, ini adalah ikatan pikiran yang ke dua.
(3) “Kemudian, seorang bhikkhu tidak
hampa dari nafsu pada bentuk, tidak hampa dari keinginan, cinta, dahaga,
kegemaran, dan ketagihan padanya. Ketika seorang bhikkhu tidak hampa dari
nafsu pada bentuk, tidak hampa dari keinginan, cinta, dahaga, kegemaran, dan
ketagihan padanya, maka pikirannya tidak condong pada semangat, usaha,
ketekunan, dan upaya. Karena pikirannya tidak condong pada semangat, usaha,
ketekunan, dan upaya, maka ini adalah ikatan pikiran yang ke tiga.
(4) “Kemudian, setelah makan
sebanyak yang ia inginkan hingga perutnya penuh, seorang bhikkhu menyerah
pada kenikmatan beristirahat, kenikmatan kelambanan, kenikmatan tidur.
Ketika seorang bhikkhu … menyerah pada kenikmatan beristirahat, kenikmatan
kelambanan, kenikmatan tidur, maka pikirannya tidak condong pada semangat,
usaha, ketekunan, dan upaya. Karena pikirannya tidak condong pada semangat,
usaha, ketekunan, dan upaya, ini adalah ikatan pikiran yang ke empat.
(5) “Kemudian, seorang bhikkhu
menjalani kehidupan spiritual demi [kelahiran kembali dalam] kelompok deva
tertentu, [250] dengan berpikir: ‘Dengan perilaku bermoral, pelaksanaan,
praktik keras, atau kehidupan spiritual ini aku akan menjadi salah satu deva atau
salah satu [pengikut] para deva.’ Ketika ia menjalani kehidupan spiritual
demi [kelahiran kembali dalam] kelompok deva tertentu … maka pikirannya tidak
condong pada semangat, usaha, ketekunan, dan upaya. Karena pikirannya tidak
condong pada semangat, usaha, ketekunan, dan upaya, ini adalah ikatan
pikiran yang ke lima.
“Ini, para bhikkhu adalah
kelima ikatan pikiran itu.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.