(DROP DOWN MENU)

Melawan Arus dan Memahami Bahaya Dibalik Mengikuti Arus

Untuk Apa Belajar Sains ke Kitab Agama, itu Salah Alamat. Belajarlah Sains ke Buku-Buku Sains, bukan justru ke Kitab Agama

Yang Manis (Kenikmatan Duniawi) Jangan Langsung Ditelan, dan yang Pahit (Dukkha Kehidupan) Jangan Langsung Dibuang

Ada orang-orang yang hanya karena membaca ataupun terdapat satu ataupun dua ayat yang tampak seperti ajaran kebaikan pada kitab suatu agama, lantas secara prematur menilai bahwa agama tersebut adalah baik dan layak untuk dipeluk adanya—sekalipun ajaran yang baik tersebut sifatnya umum saja karena juga terdapat di agama-agama lainnya, bahkan norma sosial pun telah mengenalnya sebagai kearifan budaya Timur ataupun semacam hak asasi manusia yang universal sifatnya, dimana disaat bersamaan secara membias para pemeluknya menutup mata dari ajaran-ajaran buruk dan jahat penuh cela moril dalam agama dimaksud.

Terlagipula, bukankah absurd bilamana agama yang mempromosikan penghapusan dosa bagi para pendosa tersebut, justru disaat bersamaan mengkampanyekan gaya hidup jujur dan mulia? Semua penipu, selalu tampil dan merias diri bak malaikat, tidak ada penipu yang secara otentik memasang sikap selayaknya kriminil. Semua pelaku usaha yang ketika ber-marketing, selalu akan menampilkan sisi unggul produk yang mereka jajakan kepada calon konsumennya, dan disaat bersamaan menutupi ataupun menyembunyikan serapat mungkin cacat dan buruk dampak pemakaian produk yang mereka produksi ataupun pasarkan tersebut.

Karenanya, untuk menilai suatu agama sebagai baik atau sebaliknya, buruk, perlu pendekatan sikap rasional yang sama sebagaimana kita menghadapi kalangan penipu, yakni melihat gelagat paling halus dari modus-modus kejahatan mereka. Janganlah hanya karena diberi judul atau merek pada kemasannya sebagai “Kitab SUCI”, namun justru mengkampanyekan “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” bagi para pendosa—sekalipun hanya seorang pendosa yang membutuhkan iming-iming ideologi korup “cuci tangan” (sins laundry) semacam itu—lantas kita tidak menaruh kecurigaan sama sekali secara naifnya bahwa bisa jadi sejatinya merupakan “Kitab DOSA” yang menjadi sumber dari “Agama DOSA” bagi para kalangan pendosa, tentunya.

Ada juga kalangan marketing berbagai agama samawi, yang mencoba menghimpun umat baru dengan sesumbar bahwa agamanya tersebut merupakan “agama sains”, semata karena ada satu atau dua kebetulan yang sejalan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, semisal perihal madu sebagai bahan obat-obatan, sekalipun nenek-moyang kita jauh sebelum agama-agama samawi tersebut lahir juga sudah mengenal madu sebagai “kearifan lokal”, disamping fakta bahwa Kitab agama-agama bersangkutan sama sekali tidak menyinggung berbagai bahan herbal yang berkhasiat tinggi seperti jahe, kunyit, temulawak, dan lain sebagainya bahkan jutaan ataupun miliaran herbal berkhasiat tinggi yang tidak pernah disinggung maupun disebut-sebut oleh Kitab-Kitab agama samawi tersebut.

Secara ber-“standar ganda”, mereka menutup mata dari fakta kekeliruan fatal agama-agama samawi yang menyatakan bahwa matahari berotasi memutari Planet Bumi dan bahwa Planet Bumi adalah datar menyerupai piring. Sudah keliru secara se-ekstrem demikian sekalipun, para pemeluknya tetap saja meyakini dan memandang bahwa agama-agama samawi tersebut adalah “agama sains”. Mengapa harus sains yang mengikuti kemauan agama mereka, bukan sebaliknya umat agama mereka yang perlu menyesuaikan keyakinan dengan fakta realita secara apa adanya?

Lebih baik mereka menciptakan agama baru, yakni “Agama SAINS”, dimana para pemeluknya ialah para kalangan ilmuan (umat pemeluknya disebut sebagai para saintis) yang semata percaya dan meyakini fakta empirik ketimbang dogma-dogma metafisika. Bila meyakini adanya fakta penemuan sains, memang dapat mencerahkan umat manusia, maka semua ilmuan tersebut yang paling patut dan layak untuk menyandang gelar kehormatan sebagai “agamais”—realitanya, kebanyakan ilmuan adalah para “ateis”. Oke, kita percaya bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan, bahwa ada tata surya, bahwa ada gerhana bulan dan matahari. Pertanyaan terkecilnya ialah, “So what?” Sama sekali tidak membuat para ilmuan tersebut terbebaskan dari samsara.

Sebaliknya, Sang Buddha, pengetahu segenap alam dan guru dari para dewa maupun para manusia, pernah bersabda bahwa yang bermanfaat untuk menunjukkan jalan ke kebebasan sempurna, hanya sebanyak segenggam daun di tangan Beliau, dibanding dengan jumlah dedaunan yang ada pada pepohonan pada hutan tersebut. Artinya, Sang Buddha mengetahui segenap alam semesta ini lengkap dengan segala isinya, namun hanya pengetahuan mengenai Dhamma (terutama Empat Kebenaran Mulia perihal kehidupan adalah derita, penyebab dari derita kehidupan, akhir dari derita, dan jalan menuju akhir derita) yang benar-benar dapat menyelamatkan umat manusia dari siklus tidak berkesudahan dari tumimbal-lahir yang menjemukan.

Sang Buddha tahu betul segala sains modern yang saat kini pun belum pernah terungkap oleh peneliti dan ilmuah paling canggih manapun, namun mengapa tidak diungkap dalam Tipitaka? Jawabannya, buat apa juga hal tersebut diungkap oleh Sang Buddha, karena 45 tahun Beliau mengajarkan Dhamma adalah lebih penting daripada membuang-buang waktu mengajari sains kepada umat manusia, sains mana cepat atau lambat akan ditemukan oleh para peneliti dan para ilmuan di masa yang akan datang. Sang Buddha lebih memilih untuk mengajarkan umat manusia mengenai penemuan berharga Beliau, penemuan mana semulia permata yang tidak ternilai harganya, yakni Dhamma—dan itulah yang dimaksud oleh Beliau mengenai hanya pengetahuan sebanyak segenggaman daun itulah yang betul-betul bermanfaat bagi umat manusia untuk terlepas dan terbebas dari samsara.

Dhamma memang bersifat melawan arus mainstream, bertolak-belakang dari segala “kebenaran nisbi” yang lazimnya dikenal oleh umat manusia. Contohnya ialah ajaran dogmatis agama-agama samawi yang menyatakan bahwa hewan diciptakan Tuhan agar dapat dinikmati (dimakan) oleh manusia, segala kenikmatan iderawi dicipakan Tuhan juga untuk dinikmati oleh umat manusia sebagai anugerah terbesar Tuhan bagi para “hamba-hamba”-nya. Akibatnya, fatal, umat manusia termakan oleh dogma demikian, kemudian berlomba-lomba menikmati kesenangan inderawi, mengumbar nafsu, tidak terkendali, bahkan tidak takut berbuat dosa berkat iming-iming penghapusan / pengampunan / penebusan dosa yang “too good to be true”—alias kabar gembira bagi para kalangan pendosa dan disaat bersamaan menjadi kabar buruk bagi para korban dari para “pendosa penjilat penuh dosa” tersebut.

Mari kita simak secara langsung khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, perihal “mengikuti arus” dan “melawan arus” terkait sikap kita terhadap kesenangan inderawi yang ditawarkan oleh dunia fana ini, dengan kutipan sebagai berikut:

~ Mengikuti Arus ~

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

(1) “Dan apakah orang yang mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.

(2) “Dan apakah orang yang melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.

(3) “Dan apakah orang yang kokoh dalam pikiran? Di sini, dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah, seseorang terlahir spontan, pasti mencapai nibbāna di sana tanpa pernah kembali dari alam itu. Ini disebut orang yang kokoh dalam pikiran.

(4) “Dan apakah orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas tanah yang tinggi?

[6] Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seseorang telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini disebut orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang yang terdapat di dunia.”

Orang-orang itu yang tidak terkendali dalam kenikmatan indria, tidak bebas dari nafsu, menikmati kenikmatan indria di sini, berulang-ulang kembali pada kelahiran dan penuaan, “orang-orang yang mengikuti arus” tenggelam dalam ketagihan.

Oleh karena itu seorang bijaksana dengan perhatian ditegakkan, dengan tidak mendekati kenikmatan indria dan perbuatan buruk, harus meninggalkan kenikmatan indria walaupun menyakitkan: mereka menyebut orang ini “orang yang melawan arus.”

Orang yang telah meninggalkan lima kekotoran, seorang yang masih berlatih yang telah terpenuhi, tidak mungkin mundur, telah mencapai penguasaan pikiran, indria-indrianya tenang: orang ini disebut “orang yang kokoh dalam pikiran.”

Orang yang telah memahami hal-hal yang tinggi maupun rendah, membakarnya, sehingga lenyap dan tidak ada lagi: orang bijaksana yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah mencapai akhir dunia, disebut “orang yang menyeberang.”