Memahami Asas Resiprositas / Resiprokal

Prinsip Saling Menghargai antar Umat Beragama secara Bertimbal-Balik, Tidak Toleran secara Bertepuk Sebelah Tangan

Seri Artikel Sosiologi—Anthropologi

Question: Di negara-negara dimana agama Islam adalah mayoritas, para muslim melarang serta memberangus pluralisme ataupun kemajemukan umat beragama. Jangankan jauh-jauh, di Indonesia sendiri, ada banyak kota atau daerah yang melarang pendirian rumah ibadah bagi umat beragama nonmuslim, belum lagi jika kita bicara mengenai berbagai Peraturan Daerah yang bersifat intoleran seperti pemaksaan penutupan rumah makan saat bulan Ramadhan, kewajiban penggunaan kerudung bagi kaum wanita, hingga pemaksaan anak sekolah peserta didik nonmuslim untuk memakai jilbab di Sekolah Negeri.

Kita pun menjadi bertanya-tanya, ini negara hukum, ataukah negara agama? Artinya, negara-negara mayoritas muslim bersikap intoleran dan tidak terbuka bagi kemajemukan umat beragama. Lantas, mengapa justru mereka yang paling keras berteriak perihal Uighur, Rohingya, dan sebagainya, dengan maksud menuntut diberi keistimewaan berupa toleransi untuk beribadah dan mengekspresikan agamanya, bahkan diberi kebebasan untuk menjadi separatis di negara-negara nonMuslim?

Antara Ibadah, Praktik Rituil, Norakisme dan Narsistik-isme

Beribadah secara HENING, Hening itu Indah, Damai, Sakral, Penuh Makna, dan Mendalam

Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra

Question: Mengapa bisa ada agama, yang mana para umatnya ketika beribadah begitu norak dan narsis, sampai-sampai mengganggu ketenangan hidup umat beragama lain, seolah-olah umat agama lain tidak butuh beribadah sesuai keyakinannya masing-masing secara tenang dan bebas dari segala gangguan, tidak terkecuali gangguan yang bersumber dari “polusi suara” (kebisingan atau suara yang keras akibat speaker pengeras suara eksternal tempat ibadah) maupun “polusi sosial” (parkir liar, menutup jalan milik umum, tebaran sampah yang dibuang sembarangan, dsb, yang mengatasnamakan agama) praktik-praktik ritual keagamaan demikian?

Ada sebuah femomena cukup unik yang biasa kita jumpai. Semua orang dari negara asing yang baru kali pertamanya mengunjungi dan menjejakkan kakinya di Indonesia, bukan dibuat kagum oleh ritual serba “berisik” tersebut, namun justru mengundang ekspresi jijik dan heran disamping senyum sinis ketika kita terangkan bahwa itu adalah praktik ibadah kaum agama tertentu, yang akan terjadi sepanjang harinya mulai dari siang hari, sore, bahkan hingga subuh. Ekspresi mereka seolah hendak berkata, bahwa bangsa kita di Indonesia belum dapat disebut beradab adanya.

Maksud MERUGI Tidak Memeluk Agama PENGHAPUSAN DOSA

Agama SUCI, Agama KSATRIA, Vs. Agama DOSA

“Agama DOSA” namun Dilabel Kemasan sebagai “Agama SUCI”

Question: Ada suatu agama tertentu, yang selalu membuat jargon klaim, bahwa adalah “merugi” yang tidak menjadi pemeluk agamanya tersebut. Maksudnya apa itu, kata “merugi” yang selalu mereka dengung-dengungkan kepada publik sebagai alat marketing mereka untuk menghimpun umat?

Mengapa Polisi (Bisa) Sejahat Itu? Ini Alasannya

Mengapa Polisi Lebih Jahat daripada Preman? Preman Tidak Disumpah Jabatan untuk Menegakkan Hukum, namun Polisi Disumpah Jabatan untuk Menegakkan Hukum dan Keadilan serta Diberi Gaji dari Pajak yang Dibayar Masyarakat maupun Memonopoli Penegakan / Akses Pidana

Polisinya Saja Jahat, bagaimana Penjahatnya?

Question: Polisi ada di sumpah jabatan untuk melindungi dan mengayomi masyarakat, mengenmban amanat sebagai aparatur penegak hukum. Namun, mengapa justru polisi itu sendiri yang kerap melanggar hukum? Lihat saja berbagai “sarang” para polisi berkantor dan bermarkas, semisal Kantor Polisi, tempat pembuatan SIM (Surat Izin Mengemudi) ataupun STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan), banyak terjadi pungutan liar, penyalahgunaan kekuasaan, maupun ajang pamer kekuasaan dan arogansi kalangan kepolisian. Bila di “sarang” polisi saja banyak kejahatan, terjadi secara masif dan terang-terangan, apa yang dapat kita harapkan dari keberadaan polisi di negeri ini?

Sekarang ini bahkan ada tragedi kemanusiaan, dimana Kepala Divisi Propam POLRI yang menjadi penegak etik, panutan, serta menjadi suri teladan tertinggi kalangan profesi polisi, justru memerintahkan anak buahnya yang juga anggota polisi, bahkan para petinggi kepolisian, untuk melakukan pembunuhan berencana terhadap warganegara lainnya. Anehnya, yang tidak masuk diakal ialah, mengapa polisi yang punya kewajiban dan tanggung jawab untuk menegakkan hukum, bahkan memonopolinya, justru “main hakim sendiri” dan melanggar hukum? Bagaimana masyarakat mau diharapkan untuk patuh terhadap hukum, bila polisinya sendiri saja melanggar hukum?

Keganjilan berikutnya yang tidak dapat diterima oleh nurani masyarakat luas ialah, bagaimana mungkin para polisi maupun perwira polisi yang menjadi bawahan sang atasan, menurut saja dan patuh ketika diperintahkan untuk membunuh alias merampas nyawa dan hidup warga lainnya, entah itu korbannya ialah warga sipil ataupun sesama anggota kepolisian? Jangan-jangan disuruh untuk lompat ke jurang dan ke neraka pun, mereka menurut dan patuh saja secara membuta. Kultur patuh dan menghamba pada iblis yang memberikan perintah jahat, bahkan melanggar tugas dan kewenangannya, menyalahgunakan kekuasaannya, “yes man” ABS—asal Bapak senang, sebenarnya apa akar penyebabnya?