(DROP DOWN MENU)

Tuhan Mencobai Manusia? Untuk Anak Sendiri Kok, Dicoba-Coba?

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi : Anda Bertanya, Shietra Menjawab

Neraka sebagai Tugu / Monumen KEGAGALAN Proses Penciptaan Umat Manusia oleh Tuhan

Question: Disebutkan bahwa Tuhan dengan rencananya sedang mencobai manusia lewat segala kuasanya, seperti bencana alam ataupun segala derita lainnya, agar manusia manjadi kuat ditempa cobaan dan demi memuliakan manusia. Apakah memang logis, segala derita maupun kenikmatan hidup ini adalah pemberian maupun cobaan dari Tuhan?

Brief Answer: Pernah terdapat “jingle” pada iklan obat cacing beberapa dekade lampau, yang berbunyi : “Untuk anak sendiri, kok dicoba-coba?” Agama-agama samawi mengklaim, bahwa cobaan Tuhan tidak akan melewati batas kemampuan manusia. Namun, bila konsisten dengan preporsisi sebelumnya tersebut, mengapa banyak bencana alam maupun bencana kemanusiaan, yang sampai merenggut korban jiwa? Jika manusia gagal ketika dicoba-coba atau dijadikan “kelinci percobaan” oleh Tuhan, maka mengapa manusia “gagal” tersebut yang kemudian dicampakkan ke tong sampah raksasa bernama “neraka”—seolah Tuhan hendak “cuci tangan”?

Bila seseorang peneliti atau ilmuan melakukan eksperimen dan penelitian di laboratorium, itu wajar terjadinya, karena memang bukan sang peneliti ataupun ilmuan yang menciptakan alam semesta dan zat-zat kimiawi yang dijadikan objek penelitian dan eksperimen sang peneliti. Berbeda dengan konsep penciptaan umat manusia yang diklaim adalah hasil ciptaan Tuhan, maka bila memang umat manusia diciptakan berdasarkan “gambaran diri Tuhan”, mengapa juga umat manusia penuh cacat cela serta ketidak-sempurnaan yang demikian kentara?

Jika yang menciptakan adalah telah sempurna adanya, mengapa ciptaannya (justru) tidak sempurna dan tidak boleh sempurna? Alam bernama neraka itu sendiri, seyogianya merupakan monumen kegagalan Tuhan dalam proses penciptaan umat manusia. Alam itu sendiri, tidak sempurna adanya, lihat saja seekor kucing pun masih juga bisa terpeleset dan terjatuh ketika meloncat ke atap rumah warga. Jika Tuhan memang sempurna adanya, maka semestinya mudah saja bagi kita untuk menemukan beragam kesempurnaan dalam berbagai sendir kehidupan ini. Mereka pun kerap lupa bahwa, orang-orang jahat tidak terkecuali para “toxic person” pun merupakan ciptaan Tuhan.

PEMBAHASAN:

Umur umat manusia, sejatinya sudah sama tuanya dengan usia Planet Bumi tempat para makhluk hidup bertumbuh dan berkembang biak miliaran tahun lampau. Sudah tidak terhitung banyaknya, jumlah umat manusia sejak zaman purbakala dan prasejarah yang dijadikan objek coba-coba (manusia percobaan) oleh Tuhan, namun apakah Tuhan hingga saat kini dengan “Maha Bodoh”-nya masih juga merasa perlu untuk mencobai umat manusia?

Bila umat manusia perlu dicobai untuk menjadi kuat, itu sama artinya Tuhan tidak benar-benar “Maha Kuasa”, karena gagal menciptakan manusia yang langsung sempurna dan kuat sejak dilahirkan. Untuk apa juga Tuhan merepotkan dirinya sendiri dengan menciptakan manusia yang tidak sempurna, lantas dicoba-coba setelah penciptaan terjadi? Mungkinkah kita juga berkata, seleksi alam yang membuat seekor buaya menjadi mengecil tubuhnya daripada para nenek moyang buaya purba yang sebesar raksasa, adalah hasil percobaan Tuhan alias evolusi adalah intervensi Tuhan? Betapa kurang kerjaannya Tuhan, sampai-sampai mencobai hewan pula. Kasihan para dinosaurus lainnya semacam T-rex, gagal saat dicobai Tuhan.

Sampah adalah jorok, kotor, serta beracun. Manusia sampah pun banyak berkeliaran di luar sana menjadi “mangsa empuk”, ciptaan siapa? Pelangi itu indah, namun manusia sampah adalah buruk, berbau busuk, dan hanya mengganggu pemandangan, ciptaan siapa? Bila umat manusia terus-menerus dicobai, itu sama artinya kita hendak berkata bahwa Tuhan sama bodohnya dengan “Profesor Ling Lung”, yang tidak pernah mau belajar dari percobaan-percobaan dan kegagalan-kegagalannya selama ini. Lihatlah, sudah demikian banyak “manusia percobaan” yang menjadi tumbal yang dikorbankan Tuhan dalam proses uji-coba sekaligus pembuktian betapa tidak benar-benar “Maha Tahu”-nya Tuhan sehingga masih harus pula mengulang-ulang percobaan dan eksperimen serupa tanpa mau belajar dari pengalaman yang sudah-sudah.

Jika Tuhan menaburkan “ranjau paku”, dan Anda diciptakan lengkap dengan segala jiwa nakal ataupun sikap pemberontak Anda yang suka membangkang larangan, lalu terjebak “ranjau paku”, maka siapa yang harus kita persalahkan? Sama irasionalnya, ketika Tuhan memberikan Anda penyakit lewat berbagai “ranjau paku” yang ditebarkan, namun Anda justru meminta pengobatan dan minta diobati kepada sosok yang notabene sang penabur “ranjau paku” itu sendiri (dan Anda tahu itu), lalu masih juga berterimakasih kepada sang penabur “ranjau paku” ketika Anda disembuhkan oleh-Nya, dengan harga mahal berupa menjual atau menggadaikan jiwa Anda menjadi budak sembah-sujud kepada sang penebar “ranjau paku”, itu adalah kekonyolan, bukan “iman”.

Cobalah secara jujur menjawab pertanyaan introspektif berikut. Jika memang Anda yakin seyakin-yakinnya, bahwa Tuhan adalah “Maha Baik” ketika mencobai manusia, serta “Maha Tahu” mana yang terbaik bagi Anda, lantas mengapa Anda setiap harinya masih juga berdoa meminta ini dan itu, mengeluhkan ini dan itu, ataupun menyedihkan ini dan itu? Tuhan mungkin akan menjawab, “Tutup mulut Anda, manusia bodoh. Saya tahu mana yang tebaik untuk kamu lewat cobaan ini, dan tiada cobaan saya yang tidak dapat Anda tanggung! Semua terjadi atas seizin, rencana, dan kuasa saya, si Maha ber-Kuasa.”

Pertanyaan introspektif kedua, apakah setiap bencana alam, seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami, badai, ombak tinggi yang dapat menelan nelayan yang malaut, tanah longsor, kebakaran, dan bencana lainnya yang mematikan ataupun yang membuat derita umat manusia yang menghuni di atasnya, memang adalah “the act of God”? Bukankah semua bencana alam demikian, adalah alamiah saja adanya, “by nature”, dimana lempeng-lempeng bumi saling bertumbukan bahkan sejak dunia ini terbentuk serta sampai kapanpun itu terus berdinamika, dimana magma cair dibawahnya senantiasa menekan keluar membentuk gunung meletus, angin bertiup akibat rotasi Bumi menciptakan badai topan, cuaca panas dengan terik matahari menyengat dapat membakar rumput liar yang kering sehingga terjadi kebakaran hutan dahsyat, lantas mengapa juga umat manusia justru berspekulasi dengan memfitnah Tuhan sebagai “biang keladi” dibaliknya yang paling bertanggung-jawab atas nasib umat manusia?

Umat manusia pun kerap menipu dirinya sendiri dengan membuat “standar ganda” yang dipaksakan. Semisal kaum Muslim yang kerap mengutuk kaum NON-Muslim sebagai tertimpa “azab” dari Tuhan yang disembah oleh para Muslim, ketika para NON-Muslim mengalami sebentuk bencana alam ataupun musibah. Namun, secara tidak konsisten, ketika umat Muslim yang justru tertimpa bencana maupun musibah, justru secara berjemaah para Muslim mendadak berubah pendirian dengan menyebutkan bahwa itu hanyalah sekadar “cobaan” dari Tuhan.

Zaman pra agama samawi lahir, berbagai bencana alam terjadi. Namun, sejak era agama samawi lahir hingga saat kini, intensitas bencana alam tidak lebih minim dari era sebelumnya, dimana umat manusia dan para umat agama-agama samawi masih juga menjadi korban bahkan jatuh korban jiwa akibat berbagai bencana alam yang bertubi-tubi dan masih “to be continue” menghantui di depan sana. Membohongi diri sendiri, sebagai bentuk cara “penghiburan diri” yang sangat tidak mencerdaskan. Mereka menyebutnya sebagai, “cobaan untuk mempertebal iman”—yang terjadi ialah sebaliknya, ketakutan (alih-alih kecintaan) para umat manusia terhadap sosok diktatoriat dan sikap otoriter Tuhan yang kerap “pamer kekuasaan” dengan memberikan ancaman derita bagi manusia yang tidak menggadaikan jiwanya sebagai budak sembah-sujud dan “lip service” kepada Tuhan yang citranya menjadi bak raja lalim yang akan senang ketika dipuja-puji dan akan murka ketika tidak disembah. Di mata mereka, Tuhan yang mereka sembah tidak lebih lunak daripada seorang Adolf Hitler sang diktator.

Seorang wanita diperkosa oleh berandal, lalu melahirkan seorang anak hasil dari pemerkosaan tersebut. Sang pelaku pemerkosa, di depan hakim akan seketika berdalih dengan alibi klise : Semua ini terjadi diluar kuasa saya, hanyalah bidak atau pion yang dikendalikan oleh rencana dan kekuasaan Tuhan saya. Jika semua ini mustahil terjadi tanpa seizin maupun kehendak Tuhan, maka semua ini terjadi berdasarkan rencana dan kuasa Tuhan. Dengan kata lain, saya juga adalah korban dari Tuhan yang memakai tangan saya untuk memperkosa manusia lainnya. Jika saya tidak memiliki pilihan bebas, semata sebagai alat memuluskan rencana dan juga telah mendapat izin dari Tuhan, mengapa saya yang kemudian dilempar ke penjara ataupun ke neraka jahanam?

Namun demikian, disamping kesemua itu, yang lebih sering terjadi ialah umat manusia yang kerap mencobai Tuhan, alih-alih Tuhan yang mencobai manusia. Semisal, seseorang melakukan sumpah dengan menyebut nama Tuhan, “JIka saya memang berbohong, biarlah Tuhan yang akan menyambar saya dengan geledek petir hingga terpanggang hitam gosong!” Tuhan yang tidak mau direpotkan oleh tetek-bengek demikian, seolah-olah diatur oleh umat manusia, bahwa Tuhan harus berbuat sesuatu dan dikendalikan oleh umat manusia.

Ketika umat manusia berhasil mendikte dan menyetir Tuhan, maka apa jadinya? Sekalipun benar sang pembuat sumpah telah berbohong adanya, dengan resiko benar-benar akan disambar petir oleh Tuhan, namun tetap saja sang manusia pendusta yang gemar berbohong tersebut telah berhasil mengangkangi Tuhan, dimana di alam baka setelah kematiannya disambar geledek petir, sang manusia meledek Tuhan sebagai sosok yang mudah saja dicobai. Membuat Tuhan marah, bahkan mengalahkan Tuhan, bukanlah hal mustahil oleh manusia.

Justru mudah saja, semata dengan menjadi kaum NON terhadap agama samawi manapun. Ketika seorang manusia memilih untuk menjadi kaum NON, sekalipun resikonya ialah dilempar ke alam neraka, tetap saja manusia tersebut telah memenangkan peperangan akbar “Manusia Vs. Tuhan”, dimana Tuhan yang keluar sebagai pihak yang menjadi pecundang semata karena sang manusia tidak menyerah dan tidak tunduk pada segala ancaman maupun pamer kuasa Tuhan. Bukan salah bunda mengandung, salahkan yang menciptakan manusia yang memiliki sifat gemar membangkang serta pemberontak demikian.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.