(DROP DOWN MENU)

Hery Shietra, Ciri dan Watak Orang Jenius

Metode ilmu psikologi klasik yang mencoba mengukur nilai skor IQ (intellectual quotient, kecerdasan intelektual) seseorang berdasarkan “tes IQ”, merupakan teknik konvensional yang ketinggalan zaman serta belum tentu akurat adanya, bahkan patut diragukan. Terdapat metode lain untuk mengetahui seseorang sebagai “jenius” atau tidaknya, berdasarkan karakter atau watak hingga kebiasaan yang mereka tampilkan dikeseharian hidup mereka (traits). Dari berbagai literatur yang mencoba menguraikan ciri-ciri orang jenius, ada sebagian diantaranya yang akurat namun juga ada sebagian diantaranya yang hanya berupa mitos.

Ke-jenius-an pun terbagi dalam / secara segmental, dalam artian tiada orang yang jenius untuk semua bidang disiplin ilmu pengetahuan, mereka bisa jadi sangat lemah dan kurang pandai dalam hal-hal yang memang menjadi kelemahan mereka selama ini. Karena itulah “tes IQ” cenderung meleset oleh sebab mencoba menggenalisir seseorang sebatas pendeknya “penggaris” yang mereka gunakan saat “tes IQ”. Seorang manusia lengkap dengan segala bakat dan potensi atau talentanya, jauh lebih dalam, lebih tinggi, dan lebih luas ketimbang “penggaris” atau alat ukur yang serba terbatas sebagaimana yang selama ini dikenal dalam ilmu psikologi konvensional.

Hery Shietra

 

Ada juga orang “jenius” yang semula tidak memiliki ciri-ciri orang “jenius”, juga tidak cerdas, namun seiring bertambahnya usia kedewasaan serta tanggung-jawab atas hidupnya, tanda-tanda tersebut baru mulai muncul saat memasuki dunia dewasa. Karena itulah, “tes IQ” saat usia Sekolah Menengah atau bahkan Sekolah Dasar, cenderung menghakimi seorang anak yang bisa jadi potensinya tidak terdeteksi oleh penggaris ukur yang sependek “tes IQ”, sehingga menjadi kontraproduktif bagi tumbuh-kembang seorang anak ketika di-vonis sebagai “IQ rata-rata” atau bahkan diberi skor “dibawah rata-rata”.

Untuk itu, penulis akan mengajak para pembaca untuk mengenal lebih dekat ciri-ciri orang yang dapat kita golongkan sebagai “jenius” secara inherent (masih berupa bakat yang perlu dibangkitkan potensinya) maupun karakter umum yang akan dapat kita jumpai pada orang-orang yang memang sudah dikenal luas sebagai seorang “jenius”. Sebagian diantara ciri-ciri tersebut, sangat mencolok sehingga mudah kita kenali secara lahiriah, antara lain:

Hery Shietra

1. Tidak / jarang menggunakan bahasa “gaul”, lebih sering menggunakan bahasa formal dan hampir tidak pernah menulis pesan tertulis kepada orang lain menggunakan kata-kata singkatan.

Orang-orang jenius memang terkesan kaku dan formalistis dari segi berbahasa, terutama bahasa tertulis. Mereka berupaya menutup rapat ruang salah-tafsir lawan bicara, setidaknya dengan tidak membuat kalimat atau kata yang dapat dimaknai lain oleh lawan bicara atau penerima pesan. Sekalipun pihak yang mereka kirimkan pesan menggunakan kata singkatan dan tidak formal, orang-orang jenius cenderung membalas dan mengirim pesan dengan bahasa formal tanpa singkatan kata apapun. Itu adalah ciri paling eksplisit dari seseorang yang notabene “jenius”.

2. Tidak suka melakukan “verbal bullying”.

Pepatah menyebutkan, orang kerdil membicarakan tentang orang lain, sementara orang besar membicarakan ide-ide dan gagasan-gagasan besar. Terdapat perbedaan yang sangat kentara, antara orang-orang “kerdil” dan orang-orang “jenius”. Contoh berikut dapat kita jumpai dengan masif dan mudah pada keseharian kita berkegiatan di Indonesia di dalam maupun di luar rumah. Ketika sekelompok orang menjadikan orang lain, semisal pejalan kaki yang melintas sebagai objek lelucon, itu adalah cerminan orang “kerdil”. Atau seperti ketika kita berada di sebuah rumah makan, seorang konsumen membicarakan kepada rekan satu meja makan dengannya bahwa pelayan di meja makan seberang telah menjatuhkan gelas konsumen, memiliki noda di baju seragamnya, dan tetek-bengek lainnya, itu adalah tipikal watak bawaan “nature” dari orang “kerdil”.

Sebaliknya, ketika seorang “jenius” berjumpa pelintas jalan lain, seaneh apapun penampilan pengguna jalan lainnya yang ia jumpai tersebut di tengah jalan, seorang “jenius” tidak pernah tertarik untuk menjadikan orang lain sebagai objek atau bahan lelucon. Orang-orang “jenius” menyadari, dengan merendahkan martabat atau melecehkan orang lain, tidak akan membuat martabat dan harkat dirinya sendiri menjadi meningkat. Orang “jenius” adalah orang yang memang sudah berharga dari sananya, sehingga tidak perlu merendahkan orang lain untuk membuat dirinya seolah tampak lebih pandai dan berbobot.

Orang-orang “jenius” juga menyadari, itu adalah hak masing-masing individu atas tubuh dan hidupnya sendiri, dimana kita tidak punya hak untuk mengatur terlebih menghakimi hidup dan kehidupan orang lain. Masing-masing warga dan individu memiliki pilihan bebas atas hidupnya sendiri, sebagai bangsa yang bebas dan merdeka dari penjajahan bangsa lain maupun oleh bangsa sendiri. Terlagi pula, dengan tidak menghakimi cara hidup orang lain, maka seorang “jenius” pun merasa tidak perlu ambil pusing ataupun perduli bilamana ada orang-orang yang menggunjingkan sikap hidup orang “jenius” yang bagi orang kebanyakan dinilai sebagai “aneh” dan diluar kelaziman. Kita tidak butuh izin ataupun komentar orang lain atas hidup kita sendiri.

3. Memang Jenius adanya, namun tidak perlu membuang waktu untuk membuktikannya kepada dunia.

Orang-orang “jenius”, tidak jarang mendapat nilai akademik yang buruk semasa di sekolah. Barulah ketika ia menemukan minat yang memang menjadi bakat potensinya saat menjelang dewasa, ia menjadi bersinar dan lepas landas. Bila orang-orang yang sebenarnya tidak pandai, namun memaksakan diri agar tampak pandai, akan cenderung banyak bicara dan banyak aksi. Sebaliknya, orang-orang “jenius” justru lebih tampil secara “low profile”, dimana jarang menjadi pusat perhatian publik ataupun orang-orang di komunitas kerja maupun lingkungannya berkegiatan. Menurut orang “jenius” mencoba mengambil perhatian agar tampak cerdas, ialah suatu upaya bodoh yang hanya membuang-buang waktu, tidak produktif serta tidak kreatif. 

Pepatah menyebutkan, “jadilah orang baik, tanpa perlu membuang-buang waktu untuk membuktikannya” (be a good person, but don’t waste time to prove it). Sama halnya, orang-orang “jenius” memang adalah jenius adanya, sehingga untuk apa lagi mencari pengakuan dari dunia dan orang lain? Diakui atau pun tidak, “by nature” mereka memang jenius serta berharga adanya.

4. Separuh perkataan, sudah cukup.

Sebuah peribahasa Belanda pernah menyebutkan: “Een goed verstaander heeft maar een half woord nodig.” Artinya, orang yang pandai memahami, (cukup) membutuhkan separuh perkataan. Jika masih belum jelas, tahu berbuat apa yang diharapkan dari dia. Orang-orang “jenius” adalah tipikal orang yang introspektif, logis, rasional, serta analitis. Karenanya, mereka kurang menyukai berbincang dengan banyak orang, terutama ketika berhadapan dengan orang-orang yang ia nilai sebagai irasional dan tidak logis cara berpikir maupun cara berbicaranya. Tidak heran bila komunitas pergaulannya menjadi cenderung sempit dan terbatas terhadap orang-orang tertentu, meski bukan bermakna anti sosial. Mereka, para “jenius”, hanya bersikap selektif untuk berdialog secara intens dengan orang-orang tertentu.

5. Introvert tulen.

Diantara berbagai ciri eksplisit, mungkin itulah yang paling menonjol dari seorang “jenius”, yakni tergolong sebagai pribadi dengan tipikal kepribadian “introvert”—sebagai lawan kata “ekstrovert”. Saking introvert-nya, mereka bisa disalahpahami sebagai seorang “autis”. Namun itu dapat kita maklumi, sebab peneliti menemukan bahwa ada kaitan erat antara genetik autis dan tingkat kecerdasan seseorang. Ada kemungkinan pun para “jenius” menunjukkan gejala sindrome “bipolar” sebagaimana anekdot “bipolar adalah pertanda kejeniusan” (bipolar is sign of genius).

6. Pemalas.

Pilih mana, kerja keras ataukah kerja cerdas? Para pekerja keras, mengandalkan otot, dimana sayangnya otot tidak memiliki otak. Jadilah, orang-orang yang kerap menyelesaikan segala masalah dengan kekerasan fisik, semata karena otot-otot di tangannya yang digunakan untuk “menyelesaikan setiap masalah” tidak ber-otak sehingga cenderung tidak memiliki kemampuan untuk berpikir secara rasional dan logis, tidak pandang siapa yang sebenarnya benar dan yang bersalah, semata menuruti kehendak dorongan hati untuk bermain kekerasan fisik sekalipun sejatinya dirinya yang telah bersalah.

Sebaliknya, para “jenius” cenderung sebagai seorang yang penuh introspektif. Karenanya, mereka tidak menyukai ketidakadilan maupun diperlakukan secara tidak adil. Proses berpikir dan introspektif, menguras energi mereka, sehingga alokasi energi yang ada dikerahkan lebih banyak untuk proses olah otak. Tidak heran, bila kemudian mereka tampak seperti pasif dan lamban. Begitupula proses kreatif dan proses berkarya para “jenius”, merupakan bagian dari kerja cerdas, alih-alih kerja keras. Akan tetapi perihal tanggung-jawab, pasti akan mereka kerjakan dan selesaikan, meski membutuhkan waktu. Meski disebut sebagai “pemalas”, namun kesemua itu tidak sepenting watak mereka yang penuh tanggung-jawab.

7. Menjomblo.

Nicola Tesla, penemu dinamo turbin pembangkit listrik dan Tesla Coil serta berbagai penemuan futuristik lainnya, tercatat pernah mengalami perang ilmu pengetahuan terhadap Thomas Alfa Edison, yang pada gilirannya mengkritik teori relativitas Albert Einstein sebagai teori yang cacat secara keseluruhannya (dan kini hampir terbukti kebenaran kritik dari Tesla, karena kecerdasan Tesla melampaui tingkat intelektual para peneliti dan ilmuan sezaman dengannya), adalah seorang jomblo tulen hingga ia menjadi lanjut usia dan tutup usia, tanpa pernah menikah, dan mungkin juga tanpa pernah berpacaran sama sekali. Yang jelas, salah satu ciri mencolok dari para “jenius” memang merupakan seseorang yang jomblo.

8. Mandi air dingin maupun berjalan kaki meski punya alat pemanas air untuk mandi dan punya kendaraan bermotor.

Untuk fakta ciri orang “jenius” satu ini, memang bukan mitos. Mereka punya alat pemanas air di kamar mandi rumahnya, namun tidak pernah sekalipun dipakai bahkan untuk mandi pagi sekalipun. Begitupula saat keluar rumah menuju suatu tempat, sekalipun kondisi cuaca dan jarak tempuh cukup membuat banyak orang lainnya memilih menggunakan kendaraan bermotor, para “jenius” memilih untuk berjalan kaki, dan membiarkan kendaraan bermotornya berdebu dan penuh sarang laba-laba.

9. Hanya menyukai humor yang cerdas.

Orang-orang “jenius”, tidak seserius yang kita bayangkan sebelumnya. Mereka juga humoris dan menyukai humor-humor, hanya saja jenisnya ialah humor yang cerdas, bukan jenis humor yang dangkal seperti menjadikan orang lain sebagai objek lelucon dan bahan tertawaan. Orang-orang “jenius” sangat menghargai humor yang cerdas. Berikut salah satu humor yang akan menjadi favorit orang-orang “jenius”:

Ketika seorang pemuda tengah terkagum-kagum menyaksikan keindahan pesona alam hutan yang dikunjungi olehnya.

Mendadak menerjang seekor singa yang tampaknya ganas dan kelaparan, siap untuk menerkam sang pemuda hidup-hidup.

“Astaga, Tuhanku, aku berjumpa seekor singa yang menakutkan. Mohon keajaiban Engkau, Tuhanku!” pekik sang pemuda dalam hatinya, memohon pertolongan Yang Maha Kuasa dengan kedua telapak tangan saling tertelungkup di depan dada.

Mendadak, sang singa berlutut dan menelungkupkan kedua telapak tangannya di depan dada, sembari mulai memejamkan mata, seperti postur hendak berdoa.

“Astaga, Tuhanku, aku berjumpa seekor singa yang baik!” seru sang pemuda.

Mendadak pula, sang singa kemudian berkata, “Ya, sebagai seekor singa yang baik, sebelum makan, tidak lupa untuk berdoa terlebih dahulu.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Hery Shietra

Hery Shietra

Hery Shietra

Hery Shietra

Hery Shietra